Sebongkah batu tampak membentur sebuah tong sampah berwarna biru di tepi jalan pas di depan gang Gaharu. Seorang anak dengan raut wajah kesal rupanya adalah sumber batu itu. Ditendangnya keras-keras batu tadi hingga berbunyi “Tung…” ketika membentur tong. Tak banyak yang peduli dengan suaranya. Mungkin karena kalah dengan bisingnya lalu-lintas saat itu.
Namanya Lohi. Dia sendiri tidak tahu kenapa dinamai demikian. Tapi hari itu Lohi sedang kesal. Sebenarnya kalau mau jujur tiap hari Lohi kesal. Kesal bukan karena hari yang buruk tapi karena teman yang buruk. Teman yang buruk? Ya, di kelasnya Lohi selalu jadi bahan celaan. Siapa lagi yang jadi motor para pencela kalau bukan Mahfud?, tapi bukan Lohi namanya kalau tidak bisa menguasai dirinya. Sebagai anak tertua dalam keluarganya dengan adik berjumlah 4 orang, Lohi di tuntut untuk menjadi lebih dewasa di banding umurnya. Walau masih kelas 5 SD, Lohi tampak mempunyai raut wajah lebih dewasa dari teman-temannya. Ketika di cela, Lohi hanya diam. Memang kesal kalau di cela tapi biasanya setelah menendang satu-dua batu, Lohi kembali lega.
Angkot D jurusan terminal Joyoboyo melintas di hadapannya. Lohi memberi kode agar angkot berhenti. Tinggal sisa satu kursi di ganjalan pintu. Itupun harus berbagi dengan satu orang ibu. Rupanya ibu itupun membawa barang jualannya. Satu gendongan penuh botol-botol. Rupanya ibu itu adalah penjaja jamu.
Di rumah, Lohi tak segera mengganti baju. Dia langsung naik ke kamarnya. Bukan air minum pelepas dahaga yang dia cari melainkan cermin yang ada di lemari. Lohi mematut diri. Bercermin. Melihat wajahnya dan akhirnya mendongakkan kepalanya. Satu yang dilihatnya, hidungnya. Apa benar lobang hidungku lebih besar dari anak lain? Malam itu Lohi tak bisa tidur memikirkan lobang hidungnya.
Hari itu sebenarnya hari biasa. Tak ada yang spesial atau kegiatan besar yang akan terjadi hari itu. Anak-anak kelas 5 C tampak berbaris rapi sebelum masuk ke kelas. Ketika masuk semuanya masih berdiri. Salam di ucapkan ke ibu guru, ke teman-teman semua, setelah itu baru duduk. Pelajaran siap di mulai. Sayang hari itu banyak jam kosong. Guru-guru sedang rapat. Persiapan UN katanya. Jam-jam kosong jadi penderitaan tersendiri buat Lohi. Hari itu dia dapat celaan baru. Lohi si Lobang Hidung. Siapa lagi kalau bukan Mahfud motornya? “Lohi… lobang hidung, ampun deh Lohi masa lobang hidung bisa besar gitu sih…” Mahfud mulai memancing. Saat itu lobang hidung tampaknya akan jadi sumber kelakar. Masing-masing pendukung Mahfud mulai berbicara tentang betapa besar dan luasnya lobang hidung Lohi. “Pensilku sama kotak pensilnya sekalian kayaknya muat di lobang hidung Lohi…” riuh tawa mulai terdengar. “Jangankan kotak pensil si Bujang. Si Bujang pun bisa masuk ke lobang hidung si Lohi…” satu lagi suara terdengar. Riuh tawa semakin ramai. “Si Bujang mah masih kecil, kayaknya kita sekelas bisa masuk.. ha.. ha.. ha..”, Mahfud mulai menambahkan. Seluruh kelas tampak tertawa. Tak ada yang membela. Tak ada yang menengahi. Lohi mencoba tersenyum. Sedikit menarik sudut bibirnya yang tipis.
Untung jam kosong itu tak terlalu lama. Pelajaran mulai lagi. Pelajaran budi pekerti. Intinya, menghargai satu sama lain itu penting. Tak boleh menghina atau mengecilkan orang lain. Setiap orang itu adalah mahluk hidup yang secara spesial di ciptakan Tuhan masing-masing menurut kehendakNya. Jadi tidak boleh saling menghina atau merendahkan satu dengan yang lain. Semua murid tampak manggut-manggut setuju. Lohi hanya menunduk.
Pelajaran budi pekerti selesai. Pembahasan lobang hidung kembali di mulai. Lohi tetap berupaya tersenyum. Jam-jam kosong kembali lagi. Persiapan UN membuat guru rapat kembali. Hingga pulang pembahasan lobang hidung tetap tak selesai. Lohi tak mau cengeng. Dia pulang dengan tegar. Hanya batu di jalan yang jadi sasarannya. “Tung…” sebuah tong sampah berbunyi terbentur batu.
Keesokan paginya Lohi tampak kusut. Dia baru bisa tidur jam 1 pagi. Masuk jam 7 berarti Lohi harus bangun jam lima pagi. Jam 6 pagi Lohi harus sudah di Joyoboyo menunggu angkot D. Kalau tidak dia akan terlambat. Pagi itu Lohi terlambat bangun. Jam 6 lewat sepuluh Lohi baru bangun. Tak sempat mandi lama-lama, dengan cepat Lohi menyambar roti dan minum teh yang disiapkan ibu. Memang, ibu tak pernah membangunkan Lohi. Ibunya tahu kalau Lohi bisa mengatur dirinya. Baru kali ini dilihatnya Lohi tergesa-gesa. Pikirnya tadi Lohi sudah bangun tapi masih membaca di kamarnya. Tak terpikir oleh ibu kalau Lohi terlambat bangun.
Di Joyoboyo antrian angkot D penuh penumpang tampak berbaris rapi. Angkot D berjalan pelan. Lohi semakin khawatir kalau dia akan terlambat. Setelah penuh dengan formasi 6 orang di bangku panjang, 4 orang di bangku pendek, dan 2 orang terjejal di ganjalan pintu, angkot D mulai berjalan agak cepat. Lohi tampak terhimpit di antara ketiak dua ibu berbadan besar.
Di depan jalan menuju ke sekolah SD Cahaya Mentari, Lohi turun. Jalan itu sudah sepi, tak ada anak sekolah lagi. Jangan-jangan aku sudah terlambat! Begitu pikir Lohi. Berjalan cepat Lohi bergegas. Matanya melihat ke depan. Pintu gerbang sekolah sudah tampak. “Aduh…”, sebuah suara terdengar. Lohi berusaha mencari sumber suara. Rupanya itu suara Mahfud. Leher kemejanya tampak di cengkeram. Dua anak berbadan besar tak berseragam tampak bersama Mahfud. Rupanya Mahfud sedang di palak. Dimintai uang oleh dua anak tadi. Lohi hanya geleng kepala. Mau menolong Mahfud tapi bagaimana kalau nanti gerbang di tutup?
“Hoi…” suara teriakan terdengar. Dua anak berbadan besar tak berseragam tampak terkejut. Seorang anak tampak berjalan cepat menuju mereka. “Lepaskan dia!”, rupanya itu Lohi. Dia memutuskan untuk membantu Mahfud. “Cerewet loe!” “Bukkk…”, suara pukulan tangan mengenai perut terdengar. Lohi tampak terhuyung. “Plakk…” “Bukkk..” “Awww…” suara meringis terdengar.
Lohi tampaknya berhasil membuat kedua anak berbadan besar itu kesakitan. Keduanya menatap Lohi marah. Tapi hanya menatap dan langsung pergi. Lohi menatap Mahfud. Mahfud hanya melongo tak bersuara. Tak ada terimakasih. Hanya tatapan matanya sejenak ke Lohi yang masih memegang pipinya yang memerah. Mahfud bergegas menuju pintu gerbang. “Tunggu pak…” suara Lohi terdengar begitu melihat penjaga pintu mau menutup gerbang. Si penjaga menoleh sesaat. Menunggu Lohi sejenak setelah sebelumnya Mahfud masuk. Lohi bergegas. Berjalan cepat memasuki pelataran sekolah. Pintu gerbangpun di tutup.
Hari itu Mahfud tampak berbeda. Tak ada kelakar yang keluar dari mulutnya. Tak ada cela yang terdengar. Ketika di pancing temannya untuk berbicara tentang lobang hidung pun Mahfud tak bergeming. Hanya senyum meringis sambil melihat ke arah Lohi. Dalam hati Mahfud malu. Lohi telah menolongnya pagi tadi. Padahal Lohi selama ini selalu di cercanya. Karena tak ada respon dari Mahfud maka kelakarpun usai. Tak ada motor maka kelakar dan celaan tak berjalan. Sepanjang sisa hari itu berlangsung tanpa celaan pada Lohi. Pelajaran demi pelajaran usai. Waktunya pulang. Hingga waktu pulang sesekali Mahfud menatap Lohi. Lohi pun membalas tatapan Mahfud. Keduanya tak bersuara hingga masing-masing menempuh jalan pulang.
Malam itu Lohi bisa tidur nyenyak. Bangga karena kejahatan dibalasnya dengan kebaikan. Beda dengan Mahfud. Malam itu dia tidak bisa tidur. Bingung. Harus berkata apa ke Lohi. Minta maaf? Rasanya kok sungkan. Akhirnya Mahfud tertidur. Tapi bukan tidur yang nyenyak dan nikmat tapi mimpi buruk yang datang melawat. Mahfud bermimpi buruk. Dirinya tampak kecil dalam mimpi. Tiba-tiba tampak sebuah lobang besar mendekatinya. Mahfud berusaha berlari kencang namun lobang itu terus mengikuti. Makin dekat makin tampaklah sesosok yang dia kenal. Rupanya itu adalah Lohi. Lohi menjadi besar berkali lipat. Seperti raksasa dalam cerita dongeng. Kepala Lohi juga besar. Kepala itu tampak mendekat menuju Mahfud. Mahfud seakan tersedot dalam lubang hitam besar. Lubang hidung Lohi yang selama ini dia cela. “Tidak… ampun Lohi… ampun…” suara Mahfud berteriak tampak tak di dengar oleh Lohi. Mahfud terhisap dalam lobang hitam. Mahfud terbangun. Badannya berkeringat. Dia tak mau tidur lagi. Takut mimpi buruk datang kembali. Rupanya sudah pukul 6 pagi. Mahfud bergegas mandi.
Di sekolah Mahfud bertemu dengan Lohi di pintu gerbang. Aku harus bicara dengan Lohi, pikir Mahfud. “Lohi…” sebuah suara memanggil Lohi. Lohi berbalik. Dilihatnya Mahfud berjalan cepat ke arahnya. “Hai Lohi… aku mau bilang terima kasih atas pertolonganmu kemarin..” suara Mahfud terbata-bata. Lohi hanya tersenyum. Dijabatnya tangan Mahfud. “Aku juga mau minta maaf atas perlakuanku selama ini ya…” Lanjut Mahfud. Lohi mengangguk dan tersenyum. Sambil berangkulan mereka memasuki kelas. Hari itu Lohi dan Mahfud berdamai. Mereka menjadi teman akrab sejak saat itu. Mahfudpun berubah menjadi anak yang santun dan sopan sejak mereka berdua bersahabat.
Berpuluh-puluh tahun kemudian Mahfud masih sering mengingat kejadian itu. Mengingat Lohi sahabat karibnya. Lohi yang saat itu telah menjadi seorang peneliti di sebuah negara maju. Mahfud selalu tersenyum setiap mengingat peristiwa itu apa lagi kalau dia ingat mimpinya tentang lobang hitam. Di kursi kepresidenan yang kini didudukinya Mahfud tampak gagah. Perilakunya yang baik telah mengantarnya menjadi seorang presiden. Presiden sebuah negara adikuasa saat itu. Negara itu bernama Indonesia.
Cerpen Karangan: Willy Sitompul Blog: http://www.willysitompul.blogspot.com