“Endraaa, mandi!” Emak memanggilku. Kutinggalkan lapangan. Itulah tempat bermainku dan kawan-kawan. Tidak luas sih, tapi cukuplah bagi kami bermain kejar-kejaran sampai badan dan baju basah kena keringat.
Tak ingin Emak memanggilku untuk kedua kalinya, aku berlari menuju halaman belakang rumah. Tidak langsung pergi mandi sih, badanku masih basah dengan keringat. Nih, malah ada keringat menetes dari sela-sela rambutku, mengalir turun sampai leherku. Lagi pula kata Emak kalau badan masih berkeringat sebaiknya tidak buru-buru mandi. “Nanti malah sakit. Tunggulah sebentar sampai suhu badanmu normal. Tidak kaget jadinya waktu kena air,” begitulah nasihat Emak.
Wah, seru sekali permainan kami hari ini. Begitu serunya hingga waktunya shalat Maghrib tiba masih saja aku ingat betapa hebat cara kami saling menjatuhkan menara. Bukan menara betulan lho, melainkan pecahan-pecahan genting tanah liat yang kami tumpuk hingga setinggi lutut anak kecil. Kami bermain dalam dua kelompok berlawanan. Masing-masing kelompok punya satu menara yang harus di jaga dari kelompok lain. Jika menara berhasil dijatuhkan hingga tak ada lagi sisa pecahan genting yang bertumpuk, maka kelompok yang menjatuhkan menara tersebut memenangkan permainan. Coba kalau tadi Emak tidak memanggilku, pasti kami masih asyik bermain.
Saat hendak mengambil air untuk wudhu, ku lihat wajah Emak yang letih. Mungkin cucian baju Emak sangat banyak hari ini. Kalau saja aku dapat membantunya. Sayang, tempat Emak bekerja jauh sekali dari sini. Emak juga melarangku ke sana.
“Emak malah khawatir kalau Endra nyusul Emak ke sana. Endra kan masih kecil. Sudahlah, yang penting Endra belajar yang rajin, shalat yang rajin, ngaji juga yang rajin, ya! Pokoknya Endra harus jadi anak pintar, tawakal, dan berbakti kepada negara. Janji sama Emak, ya.” Yah, kalau Emak sudah bilang begitu, aku hanya bisa mengangguk. Tapi dalam hati aku berjanji, pada Emak juga diriku sendiri, pasti aku akan rajin melakukan semuanya itu. Aku ingin Emak bangga dan bahagia melihat usahanya memasukkanku ke sekolah luar biasa tidak sia-sia. Walaupun aku tidak bisa bicara dengan mulutku, aku akan bicara dengan karya dan kerjaku.
“Endra, ayo shalat dulu. Kok bengong?” tegur Emak lembut sambil tersenyum. Kubalas senyum Emak. Tak lama kemudian, aku dan Emak shalat Maghrib di mushala yang letaknya agak jauh dari rumah.
Dalam shalatku, muncul keinginan melihat Emak shalat di rumah beralaskan sebuah sajadah yang indah. Lho, kok? Ah, sudah-sudah, shalat yang benar. Pikiranku kok ke mana-mana sih? Selesai shalat, terlintas lagi keinginan itu. Iya, ya, Emak kan sekarang tidak punya sajadah, pikirku ketika itu. Memang, kalau hujan deras dan kami tidak bisa shalat di mushala ini, Emak dan aku terpaksa menggunakan selembar kain putih kecil yang lebih tepat di sebut sebagai sapu tangan sebagai ganti sajadah.
Emak pernah punya sajadah. Tapi untuk keperluan sekolahku, Emak menjual sajadah dan rukuhnya. Akhirnya, sebisa mungkin kami selalu shalat di mushala atau masjid sehingga Emak bisa meminjam rukuh yang disediakan di sana dan tak perlu khawatir dengan sajadah.
Nah, seminggu yang lalu Emak di beri rukuh oleh seorang ibu yang di rumahnya Emak biasa mencucikan baju. Emak kelihatan senang sekali. Sekarang tinggal sajadahnya. Ah, aku ingin sekali melihat Emak shalat dengan rukuh dan sajadahnya sendiri. Kalau saja aku boleh ikut teman-teman yang lain menyemir sepatu atau mengamen di jalan. Tapi aneh juga sih, kalau mengamen bagaimana caraku menyanyi? Aku kan tuna wicara. Alat musik juga seadanya. Semir sepatu juga butuh uang untuk membelinya. Belum lagi kalau ketahuan Emak aku bekerja di jalanan. Aduh… pusing deh. Lalu dari mana aku dapat uang untuk beli sajadah?
Usai shalat di mushala, kami kembali ke rumah. Ku buka lemari pakaianku untuk mengganti sarung dengan celana panjang. Mataku tertuju pada selembar karung terigu warna putih yang sudah di cuci bersih, setumpuk pakaian warna-warni yang sudah tidak muat lagi, gunting, benang dan jarum jahit. Aha! Sepertinya aku dapat ide!
22 Desember, kira-kira tiga bulan kemudian, ideku sudah selesai dilaksanakan. Pakaian kekecilan yang berwarna-warni kuguntingi membentuk masjid dan hiasan-hiasan lain lalu kujahit di atas karung terigu. Tak sabar rasanya menunggu Emak pulang sore ini.
Azan Maghrib berkumandang ketika Emak pulang dan tersenyum melihatku menunggunya di depan pintu. Dan ketika sudah waktunya kami ke mushala, aku berpamitan untuk pergi mendului ke mushala untuk shalat Maghrib sambil menitipkan sepucuk surat. Emak yang bingung melihat tingkahku hanya melongo. Ah, aku grogi nih, dag-dig-dug rasanya debaran jantungku. Aku ingin agar Emak lebih dulu membaca suratku sebelum membuka kejutan yang kusiapkan.
“Emak, terima kasih, ya, sudah menyekolahkan Endra. Tapi Endra sedih waktu Emak harus jual rukuh dan sajadah untuk bayar sekolah. Mak, sekarang kan Emak sudah punya rukuh, tapi belum punya sajadah. Endra ingin sekali lihat Emak pakai sajadah. Tapi Endra nggak punya uang untuk beli. Karena itu Endra bikin sendiri. Semoga Emak suka. Selamat Hari Ibu, ya, Mak. Endra sayang deh sama Emak. Hatur nuhun, Emak. Dari Endra, anak Emak yang paling ganteng hehehe…”
Dari balik pintu ku lihat Emak terkejut membaca tulisanku. Aduh, Emak kok malah nangis ya? Aduh, memangnya tadi aku nulis apa sih? Atau hasil karyaku jelek buat Emak? Ah, sudahlah, tunggu saja di sini, batinku. Tak lama kemudian Emak keluar dan mendapati aku yang berdiri di balik pintu. Emak berlutut dan menciumiku sambil menangis sembari mengucapkan terima kasih berulang kali. Senangnya hatiku, tidak sia-sia kukorbankan waktu bermainku selama tiga bulan ini.
Hari itu hari yang paling indah bagiku. Melihat senyum Emak terasa seperti surga buatku meski hingga kini aku masih tidak tahu seperti apa dan di mana surga itu berada. Sajadah itu pula yang menjadi kenanganku dengan Emak sebelum Pemilik Surga memanggilnya. Selamat jalan, Emak.
Cerpen Karangan: R. Marena