Aku berusaha mendekat, mengintip wajah dibalik rambut hitam panjang yang menutupi hampir sebagian wajah si pemiliknya. Dengan hati-hati kupanggil namanya “Reina?”. Wanita muda yang kini menjadi calon pasien pertamaku itu makin menenggelamkan wajahnya dibalik rambut hitam lebatnya. Seolah aku ini hantu, bangku yang kami duduki kini bergetar, dan baru kusadari berasal dari tubuh pasien pertamaku ini. “Jangan takut… aku tidak berniat jahat padamu”. Perlahan Reina membalikkan wajahnya ke arahku. Lidahku kelu seketika. Bayanganku tentang betapa menyenangkannya memiliki pasien yang akan kusembuhkan untuk pertama kalinya sejak kelulusanku dari universitas, kini berubah menjadi rasa terkejut yang amat sangat kurasakan. Di hadapanku kini kulihat sesuatu yang tidak layak disebut wajah, hidung yang lubangnya hanya sebesar lubang semut, mata yang seharusnya indah kini hanya terlihat seperti satu buah kelereng putih hitam di dalam kelopak yang kehilangan pasangannya. Bibir indahnya yang ranum kini hanya terlihat seperti dua garis, begitu tipis dan rata dengan lubang di tengahnya yang dengan luar biasanya masih bisa mengeluarkan suara. Dan sisanya hanya kulit yang meleleh karena suatu sebab. Alis matanya sudah tidak ada, kontras dengan rambut hitam lebatnya. Dibalik rasa takutku, sesungging senyum kuberikan padanya dan sebuah keberanian muncul serta membuatku mengeluarkan satu kalimat “Mau berteman denganku?”.
Seminggu sudah aku resmi menjadi psikolog dengan pasien pertamaku, Reina. Siapa sangka pasien pertamaku adalah anak berumur 15 tahun yang bukan hanya terganggu jiwanya, tetapi juga memiliki wajah yang menyedihkan. Belakangan kuketahui, Reina adalah korban kekerasan dari ayah kandungnya yang telah menyiram air keras ke wajah cantiknya. Ayah seperti apa yang sangat tidak berperasaan menyakiti putrinya sendiri seperti itu. Cantik. Ya, Reina dahulunya adalah gadis yang sangat cantik rupanya. Sebuah potret yang kupegang kini melukiskan wajah indah Reina sebelum kejadian tragis itu. Reina memiliki kulit kuning langsat khas orang Indonesia dengan wajah yang hampir seperti orang Arab. Kalau saja aku tidak tahu kalau yang di foto ini orang Indonesia, aku pasti akan mengira ia adalah gadis Arab cantik atau sekedar keturunan habib.
Semenjak kejadian itu, ayah Reina dipenjara dan terakhir dikabarkan meninggal dunia di dalam sel akibat serangan jantung. Dan ibunya yang seminggu lalu menghubungiku terdengar putus asa ketika memintaku menjadi ‘dokter’ untuk anaknya. “Kau harus melihat putriku terlebih dahulu, baru kuceritakan semuanya”, ucap seorang ibu paruh baya itu dengan nada yang sedikit dipaksakan. Dibalut rasa penasaran, akhirnya hari itu juga aku menemui putrinya yang sedang duduk tertunduk di atas gazebo kayu di tengah halaman rumah megah miliknya. Melihat kondisinya saat itu, aku hanya merasa kasihan dan sangat ingin memposisikan diriku bukan sebagai dokternya, melainkan temannya. “Mau berteman denganku?”, ditanya seperti itu Reina dengan matanya yang hanya dapat melihat sebelah sedikit terkejut dan sedetik kemudian ia mengangguk. Ia menyodorkan sebuah kertas dengan lukisan pohon. Aku yang saat itu masih cemas dan bingung dengan apa yang diberikannya, kemudian melihat sekeliling dan menyadari sesuatu. Tempat yang lebih mirip pondok kayu itu dipenuhi dengan kertas-kertas dengan gambar pohon yang terlukis di atasnya. Pohon kering lebih tepatnya, tidak ada gambar lain di sekitar pohon-pohon itu, hanya sebuah pohon yang tidak berdaun, dengan ranting-ranting yang sudah hampir patah dan terlihat rapuh. “Waaah.. Reina gambarnya bagus banget. Boleh yang ini buat kakak?”, kataku sambil menunjuk gambar yang tadi ia berikan. “Itu memang untuk kakak”, sahutnya dan kemudian melanjutkan kegiatan menggambarnya. Hari itu dilalui dengan hanya aku yang banyak berbicara. Setelah kalimat terakhirnya ‘Itu memang untuk kakak’ pada hari itu, Reina tidak mengeluarkan kalimat apapun lagi. Pada akhirnya, aku hanya menceritakan hal-hal tidak penting mengenai diriku, yang disambut begitu tak acuh olehnya.
Satu minggu berlalu, setiap hari aku kesana untuk menjenguk Reina, dan setiap hari itu pula Reina memberiku gambar yang sama. Pohon kering yang tak berdaun. Semua strategi yang kupelajari di universitas dulu tentang menangani pasien yang memiliki gangguan mental, seperti tidak berguna dalam kasus Reina. Mulai dari memotivasinya untuk tidak putus asa menjalankan hidup, menceritakan kisah anak-anak yang lebih malang darinya, membawakan makanan-makanan kesukaannya, bahkan mengajarkannya cara bermain jejaring sosial, tidak ada satu pun cara yang bisa membuatnya berbicara kepadaku. Ah aku hampir gila. Reina adalah pasien pertamaku, ini adalah satu-satunya motivasiku untuk tetap bertahan menjadi psikolognya. Hari ini, dengan sisa-sisa semangat yang ku punya, kulangkahkan kakiku memasuki rumah megah Reina.
“Aira…!! Reina.. T..Tolong Reina!”, teriak Ibu Dewi ibunda Reina tergesa-gesa memanggil namaku dengan peluh di wajahnya dan air mata yang mulai tergenang dari matanya. Tanpa bertanya apapun aku segera berlari dan tanpa pikir panjang aku langsung tahu kemana arah kakiku pergi. Pondok kayu halaman belakang, “Reina..!! Kamu nggak apa-apa?”, tanyaku dengan rasa takut. “Sakit kak.. sakit.. mataku sakit..”, jawabnya.
—
Hari itu, untuk pertama kalinya semenjak seminggu yang lalu, Reina mengeluarkan kalimat lain selain ‘Itu memang untuk kakak’. Tapi, bukannya merasa senang, kalimat ini adalah kalimat yang tidak pernah kuharapkan keluar dari mulutnya, ‘Sakit kak.. sakit.. mataku sakit… Hari itu, Reina tidak dibawa ke Rumah Sakit. Aku yang pada saat itu merasa tidak dapat menahan emosiku melihat keadaan Reina memarahi ibunya dan sekaligus merasa bingung. “Kenapa Reina tidak dibawa ke rumah sakit?!”, tanyaku yang saat itu merasa geram karena tidak dapat berbuat apapun. “Dia memang sering seperti itu. Dan tidak pernah mau lagi dibawa ke rumah sakit.”, jawab ibu Dewi dengan masih menyisakan isak tangis di wajahnya. Dan pada akhirnya, kami hanya membopong tubuh mungil Reina ke kamarnya. Dan disana ia tertidur pulas setelah mengakhiri teriakan kesakitannya.
Kamar itu hanya sebuah kamar sederhana dengan badcover besar di tengahnya dan sebuah lemari di sudut ruangan. Tidak ada barang lain lagi di kamar itu selain gambar-gambar yang biasa Reina buat di halaman, tertempel berjejer di sekeliling dinding kamar.
Selama Reina tertidur, aku dan Ibu Dewi menunggu Reina dengan duduk di pinggir tempat tidurnya. Tanpa disadari, mataku mulai mengantuk. Ibu Dewi yang tidak enak melihatku menunggu Reina sampai terkantuk-kantuk seperti itu, menyuruhku untuk pulang. Tapi aku menolaknya, aku tidak ingin pulang sebelum membuat suatu usaha ‘penyembuhanku’ terhadap Reina. Ini adalah prisnsipku sejak awal, meskipun aku tahu yang kulakukan mungkin tidak akan memiliki perkembangan. Tanpa kusadari, sejak tadi aku tertidur dengan tubuhku duduk di lantai dan kepala bersandar pada pinggir tempat tidur Reina. Sedikit menyatukan nyawaku dari rasa kantukku, kuperhatikan Reina sudah tidak ada di tempat tidur, kini ia sedang berkutat dengan kertas dan alat tulisnya untuk menggambar.
“Reina. Kamu sudah bangun? Kenapa nggak bangunin kakak?”, tanyaku dengan sedikit nada senang karena melihat ia tidak berteriak kesakitan seperti tadi. Seperti biasa, Reina tidak menjawab apa yang kutanyakan. Ia masih sibuk dengan gambarnya. Tapi, ada yang berbeda dengan gambarnya kini. Pohon itu.. berdaun?. “Ini untuk kakak”, ucapnya tanpa kusangka-sangka setelah menyelesaikan proyek pertamanya yang lain dari biasanya itu. “Reina sekarang gambar pohonnya kok ada daunnya ya?”, tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa penasaranku. “Aku senang kakak senyum dan gak lari waktu pertama kali lihat wajah jelekku. Pohon yang dulu itu aku yang dulu. Pohon yang ini aku yang sekarang.” Ini adalah kalimat terpanjang pertama yang dikeluarkan Reina saat itu. Aku sudah tak dapat membendung air mataku lagi. Aku mengerti sekarang. ‘Aku yang dulu’ adalah ketika Reina rapuh dan tidak memiliki harapan, digambarkan dengan pohon tanpa daun dengan ranting-ranting yang hampir patah dan rapuh. ‘Aku yang sekarang’ adalah Reina yang sudah memiliki sepercik harapan dan motivasi untuk mengubah hidupnya, dengan pohon kokoh dengan daun lebat di atas ranting-ranting rapuhnya. Bukan lagi Reina yang pertama kali kutemui dengan tatapan hampa yang tak memiliki gairah hidup.. Reina yang rapuh, kini menjadi Reina yang penuh harapan. Dan aku berjanji akan terus memotivasinya untuk mewujudkan harapan besarnya itu. Harapan sebuah pohon rapuh yang menginginkan daun memeluknya.
TAMAT
Cerpen Karangan: Sandra Auliana Facebook: https://www.facebook.com/sandra.auliana
Nama: Sandra Auliana Nama Pena: SanzenAira