Mentari memancarkan sinarnya yang hangat di sela-sela gumpalan awan, pagi yang segar menyambut Iskan begitu ia membuka mata, beranjak dari ranjang. Bergegaslah ia berangkat menuju kantornya yang terletak tak jauh dari tempat kosnya. Gelora semangat memenuhi jiwa muda berusia 25 tahun itu. Sepanjang berjalan kaki ke kantor, langkah kakinya diayunkan lebar-lebar pertanda rasa percaya diri, pikirannya melayang kepada kepuasan atas pencapaian dalam hidupnya: datang dari kampung lusuh di Bogor menuju ibukota, berjuang kuliah dengan beasiswa dan uang saku yang minim jumlahnya, hingga sekarang ia telah bekerja di perusahaan asuransi ternama di Jakarta dan memegang jabatan cukup tinggi. Namun ada satu hal yang belum dicapai Iskan: mempersunting Asih, kekasihnya di kampung. Setiap malam pikiran Iskan selalu terbayang wajah Asih, bunga desa yang sangat dicintainya. Di sela-sela kesibukannya bekerja, Iskan menyempatkan waktu untuk menghubungi Asih sekedar menanyakan kabar dan melepas rindu. Kini di usia 25 tahun, ia merasa cukup mapan dan siap untuk meminang Asih menjadi istrinya.
Sampailah ia di kantor, bersiap menghidupkan komputer, memulai pekerjaan hari ini. Tiba-tiba seorang sekretaris direksi menghampiri mejanya. “Mas Iskan, Mas diminta ke ruangan Pak Kusno.” “Oh, baiklah. Saya segera ke sana,” sahutnya tegas.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Iskan, menyunggingkan senyum ramah dan menjabat tangan bapak direktur, Pak Kusno. Pak Kusno memicingkan mata, wajah berkumisnya terlihat semakin seram. “Tak usah berbasa-basi kau, anak muda. Tak kusangka pegawai yang memperlihatkan budi baik sepertimu ternyata seorang yang munafik.” Iskan tersentak mendengar respon atasannya, matanya terbelalak. “Pak, apa yang sebenarnya sedang Bapak bicarakan?” Pak Kusno menghela napas, meneguk kopinya yang hangat, lalu bertanya pelan, alisnya dinaikkan, “Bukankah semalam Anda orang yang terakhir berada di kantor karena Anda bilang ingin menyelesaikan pekerjaan?” Iskan diam sejenak, berpikir. “Ya benar Pak, itulah yang saya lakukan,” jawab Iskan yakin. “Semalam laptop saya tertinggal di atas meja karena terburu-buru mennggalkan kantor.” Pak Kusno menatap Iskan tajam, kembali meneguk kopinya, lalu melanjutkan, “Pagi ini saya tak dapat menemukan benda itu di manapun di ruangan ini.” Dahi iskan berkerut, hatinya berdebar-debar tak karuan. “Apa yang sebetulnya Anda maksud, Pak Kusno?” “Mungkinkah Anda menyimpannya untuk diri anda sendiri?” Perkataan itu menghujam dada Iskan, mebuatnya tak mampu berkata-kata untuk beberapa detik. Resahnya makin menjadi, lalu berujar, “Bagaimana Bapak dapat langsung menyimpulkan demikian? Saya pun tak tahu seperti apa laptop Bapak.” Keringat dingin membasahi dahi Iskan. Matanya berkaca-kaca, hampir menjatuhkan air mata. Diputarnya otaknya untuk mencerna apa yang terjadi, tapi ia tak mampu. BRAK!!! Digebraknya meja oleh Pak Kusno. Kilat amarah terpancar di matanya. “Tidak ada orang lain yang pantas dicurigai kecuali Anda, anak muda munafik! Tak usah berbohong! Saya tidak bodoh! Semalam setelah saya meninggalkan kantor, hanya Anda berdua dengan si Udin office boy yang masih di sini. Saya tidak mungkin menuduh Udin karena ia adalah orang yang sangat terpercaya.”
Kembali Iskan membisu, mengingat apa yang terjadi semalam. Setelah rampung pekerjaannya, ia bergegas pulang ke tempat kos untuk melepas lelah, sementara si office boy Udin pulang terakhir untuk mengunci pintu dan mematikan lampu.
“Keluar anda dari sini! Jangan pernah injakkan kaki di kantor ini lagi, pencuri! Kepercayaan saya telah anda nodai!,” bentak Pak Kusno dengan bola mata hampir keluar dan wajah merah padam. Bibir Iskan kelu, sepatah kata pun tak mampu ia ucapkan. Tuduhan ini bagai belati yang menusuk jantungnya, memporak-porandakan kebahagiannya, dan membunuh hari depannya. Ia melangkah lemas ke luar ruangan, kepalanya tertunduk pasrah, air mata meleleh ke pipinya.
“Bagai panas setahun ditimpa hujan sehari” Kejadian sehari yang lalu begitu membuat Iskan terpukul. Pertanyaan tak henti bergejolak dalam hatinya. “Bapak Direksi, mengapa anda begitu dungu menuduh seenaknya?” “Udin, apakah engkau yang sebenarnya mencuri laptop Pak Kusno?” “Tuhan, mengapa kau takdirkan aku begini?” “Masihkah ibu bangga terhadapku? Dapatkah ia hidup layak dan makan 3 kali sehari tanpa penghasilan dariku?” “Masihkah Asih bersedia menerima aku yang kini tak lebih dari seorang pengangguran?” Tidurnya semalaman gelisah. Tak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halamannya di sebuah dusun kecil di Bogor. Tak rela rasanya ia memberi tahu ibunya bahwa ia kehilangan pekerjaan dan tak lagi dapat memberikan uang, juga memberi tahu Asih kekasihnya bahwa calon suaminya tak mampu memberi nafkah. Ia telah mengepak semua barangnya ke dalam sebuah kardus besar semalam. Dikuncinya kamar kos, lalu berangkat menuju terminal bis untuk pulang membawa kekecewaan untuk ibu dan kekasihnya. Ia merasa kalah.
Ibunya, seorang janda paruh baya, terkejut tatkala melihat Iskan di ambang pintu, menenteng kardus yang kelihatan berat. “Iskan?,” ibunya terperangah lantas mengambil kacamata agar dapat lebih jelas melihat. “Itukah kau, Nak?” Iskan tak bicara beberapa saat, ekspresi murung menaungi wajahnya yang biasanya ceria. “Kini aku tak lagi punya pekerjaan, Bu. Aku seorang pecundang. Maafkan putramu ini, Bu,” kata Iskan dengan sedikit terisak dan tatapan berkaca-kaca. “Ada apa, Nak? Coba ceritakan ke Ibu,” pinta ibunya, nada dalam suaranya hangat menunjukan ketulusan dan naluri keibuan. Tangis menghambur, membasahi muka Iskan seraya ia menjelaskan ibunya apa yang telah terjadi. Ibunya mendekapnya erat, berkata, “Masih terbentang jalan lain. Hidupmu tidak berakhir sampai di sini, Anak Ku.”
Iskan dan Asih berjanji bertemu di pasar malam pada malam Minggu. Memandang paras Asih yang elok, Iskan memuji kecantikan gadis itu dalam sukmanya, sekaligus menyiapkan mental untuk berterus terang padanya. “Neng Asih, kapan kira-kira keluarga mu siap menerima lamaran ku?,” Iskan membuka pembicaraan. Asih mengangkat bahu, “Neng tak tahu. Itu terserah Akang kapan akan datang meminang.” “Sebenarnya Akang baru saja ditimpa musibah, Neng. Akang dituduh mencuri lalu dipecat, sekarang Akang tidak punya pekerjaan. Masihkah Neng sudi menerima keadaan Akang saat ini?” Asih menatap Iskan lekat-lekat, penuh kekecewaan. “Kang, bagaimana Akang akan menjamin kehidupan kita beserta anak-anak kita kelak?” “Akang akan berusaha mencari pekerjaan baru secepatnya,” janji Iskan. “Neng butuh kepastian, Kang. Seminggu yang lalu seseorang telah datang melamar Neng, orangtua Neng terus membujuk Neng untuk menerimanya,” jawab Asih lirih. “Maafkan Neng, Akang. Sepertinya Neng lebih memilih mengikuti saran orangtua.” Untaian kata yang disampaikan pelan dan lembut oleh Asih tak jauh berbeda dengan hardikan Pak Kusno. Hati Iskan ibarat batu yang lapuk oleh hujan dan menjadi ringkih, mudah dihancurkan oleh ucapan wanita. “Sepicik itukah pandangan Eneng? Jadi Neng menyia-nyiakan ikatan di antara kita yang telah dijalin 3 tahun lamanya dan memilih laki-laki lain yang baru saja Neng kenal?,” tanya Iskan sedikit menjerit. Asih yang murung mengangguk. Suasana pasar malam yang riuh dengan pedagang, pembeli, dan anak-anak yang bersuka ria tak dapat dirasakan Iskan. Sekali lagi harapannya kabur.
Setibanya Iskan di rumah, ia hempaskan tubuhnya ke kasur. Pedih masih menyelimuti kalbunya, matanya basah oleh linangan air mata pilu. “Dituduh mencuri, dipecat, lalu sekarang diputus kekasih” gumamnya menggerutu. “Apa gunanya hidup ini? Haruskah kuakhiri kepahitan ini?” Di rumah ia seorang diri karena ibunya sedang keluar rumah untuk suatu urusan. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Dilihatnya sebilah pisau keperakan yang panjang dan tajam milik almarhum ayahnya, terbersit di kepalanya suatu bisikan setan. “Dapatkah kutusuk perutku dengan pisau ini? Inginku tinggalkan segala kehancuran ini, segala kegagalanku, bayanganku akan gadis yang hendak aku jadikan pendamping hidupku” ia bergumam pada diri sendiri. Lantas diambilnya pisau itu, ia arahkan ke perutnya, lalu… Pintu belakang terbuka, ibunya baru saja kembali ke rumah lewat pintu belakang di dapur. “Iskan!!!! Apa yang sedang kau lakukan?!,” ibunya memekik panik, berlari menghampiri putranya, meraih pisau itu dari tangan Iskan. “Iskan, apakah kamu tengah mencoba bunuh diri? Sudahkah luntur imanmu itu?!,” ibunya kalap, marah luar biasa. “Aku telah takluk oleh hidup, Bu!!!,” bentak Iskan, penuh murka. “Aku orang yang gagal. Setelah dituduh mencuri dan kehilangan pekerjaan, jantung ku remuk karena Asih memutuskan untuk menerima pinangan orang lain, padahal aku ingin menikahinya, Bu! Aku begitu mencintainya!” “Terima kenyataan itu, Iskan!,” ibunya balik membentak. “Kamu belum takluk, perjuanganmu belum berakhir sampai di sini. Ini adalah cobaan dari Tuhan yang menguji seberapa kuat imanmu. Jangan putus asa hanya karena wanita, wanita di dunia tidak hanya satu. Tindakan mencoba bunuh diri sangat konyol dan bodoh! Ibu tak tahu apa jadinya bila Ibu tak cepat kembali, mungkin kamu sudah mati konyol.” “Ibu tidak mengerti sedalam apa cinta ku pada Asih!,” teriak Iskan. “Dalamnya pun tak kalah dengan dalamnya samudra!” “Ibu tahu Nak, ibu paham kau sangat menyayanginya. Mungkin ia bukan jodohmu, Nak. Percayalah Tuhan menjanjikan pekerjaan lebih layak dan gadis yang lebih tepat untuk bersanding denganmu.”
Butuh waktu lama meredam emosi Iskan. Ia terus meronta, menjerit, dan menangis seperti orang sakit mental. Ketika amarahnya mulai mereda, ibunya berbisik di telinganya, “Jangan berlama-lama di kampung agar kau tidak terus-menerus teringat pada Asih dan meratapinya. Merantaulah lagi esok pagi, carilah rezeki dan jemputlah kesuksesan.” “Ibu mendapat kabar dari kerabat jauh kita di Jakarta, Uwak Jaka namanya. Ia tengah merintis usaha keripik dan membutuhkan tenaga untuk mengurus pembukuan,” tambah ibunya. Iskan tercengang mendengarnya, “Ibu, aku ini lulusan sarjana, betapa disayangkan bila bekerja di industri kecil begitu.” “Cobalah tinggal bersama keluarga Uwak Jaka dan tinggal bersama mereka sembari kau cari pekerjaan baru,” ucap ibunya, menyeka air mata dan mengelus rambut putranya.
Selama perjalanan ke Jakarta, paras jelita Asih terus terbayang oleh Iskan yang belum juga mampu menerima kandasnya jalinan kasih yang telah lama dibina. Segala kesetiaan dan ketulusan dirusak oleh satu kejadian saja. Di rumah Uwak Jaka, Iskan berkenalan dengan Mansur dan Sobir, 2 karyawan humoris yang bertugas membuat keripik. Juga Euis, anak perempuan bungsu Uwak Jaka yang berusia 17 tahun, lemah lembut, dan memiliki etika sangat baik. “Kita di sini kerja selalu dengan hati yang girang,” goda Mansur menyunggingkan senyum lebar yang jenaka. “Kau kerja di sini tak perlu banyak hal yang dipusingkan, banyak-banyaklah bercanda dengan kami,” Sobir menimpali. Iskan terkekeh mendengar dua sejoli itu. “Kau mau coba keripik buatan kami?,” Sobir menyodorkan sebungkus keripik kentang bermerk “Keripik Kentang Cap Pak Jaka”. “Yang ini rasa pedas asin.” Iskan mengangguk, mengambil satu keripik. Ia cicipi pelan-pelan, lidahnya menyentuh setiap sisi keripik, fokus pada rasa bumbunya. “Luar biasa rasanya, Kang!,” seru Iskan. “Ini keripik terlezat yang pernah saya cicipi. Bumbunya gurih, rasa pedas asinnya pas. Tekstur keripiknya renyah dan tidak banyak mengandung minyak.” “Kang, sudah sampai mana saja keripik ini dijual?,” tanya Iskan. “Baru daerah Jakarta,” jawab Mansur. “Usaha ini baru 6 bulan berjalan dan penjualannya belum memuaskan. Bos kami Pak Jaka tak sanggup lagi mengurus pengeluaran dan pemasukan karena usianya sudah lanjut dan sakit-sakitan, sedangkan putri bungsunya yang tinggal di sini sibuk sekolah.” Muncul tekad dalam diri Iskan untuk memajukan industri kecil ini, ia melihat potensi “Keripik Cap Pak Jaka” dapat melejit karena rasanya yang nikmat. Ia berusaha menghilangkan Asih dari ingatannya dengan bekerja total dan menjalin pertemanan baik dengan Mansur, Sobir dan Euis, sering mereka berempat bergurau bersama. Diam-diam Euis menaruh simpati pada Iskan karena diamatinya pemuda itu tekun mengatur administrasi, berinovasi menciptakan kemasan yang lebih menarik, dan mencetuskan distribusi ke lebih banyak toko dan warung kecil.
“Perusahaan keripik milik bapakmu ini tidak boleh diremehkan, kita pun bisa menjual keripik ini sampai ke seluruh Indonesia, Euis,” Iskan berkata pada Euis di suatu saat santai bersama Mansur, Sobir, Euis, dan Pak Jaka; semangat meluap-luap terdengar dalam nada bicaranya “Kerjamu bagus, Iskan. Uwak sudah cermati pembukuan, kau mengerjakannya sungguh teliti, profit kita terus menanjak. Tentunya naiknya profit bukan hanya keuntungan bagi Uwak, tapi juga berkah bagi kita semua. Gaji Iskan, Mansur, dan Sobir dinaikkan,” Uwak Jaka berkata puas, senyum bangga hadir di wajahnya yang pucat pasi karena sakit. “Terima kasih ya, Pak!,” Mansur dan Sobir serentak berseru kegirangan.
Optimisme Iskan yang berbunyi “kita pun bisa menjual keripik sampai ke seluruh Indonesia” berujung pada realita yang manis. Setelah 5 tahun ia dan 2 orang kawannya berjuang bersama-sama di usaha keripik, “Keripik Cap Pak Jaka” telah terjual dengan kemasan menarik dan rasa yang bervariasi di supermarket di kota-kota besar di Indonesia; Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makasssar. “Keripik Cap Pak Jaka” menjadi cemilan populer yang digandrungi masyarakat.
“Ibu, aku tak pernah menyangka industri keripik ini bisa menjadi besar,” ucap Iskan di pembicaraan telepon. “Terimakasih atas nasihatnya beberapa tahun silam ketika aku tak tahan dengan musibah yang menimpaku dan nyaris bunuh diri.” “Iya Nak, ibu selalu doakan yang terbaik untukmu,” sahut ibunya.
Beberapa bulan kemudian, sakit Pak Jaka bertambah parah, keluar masuk rumah sakit menjadi lebih sering baginya. Suatu malam, Iskan menjenguk Uwak Jaka ke rumah sakit. Dilihatnya Uwak Jaka terbaring lemas ditemani Euis yang duduk di sampingnya, jarum infus tertancap di tangannya, matanya yang sayu perlahan terbuka. “Iskan, ada suatu hal yang hendak Uwak sampaikan,” nada suaranya Uwak Jaka terdengar lemah. “Apa itu, Uwak?,” tanya Iskan. “Kau anak muda yang cerdas, telah membawa usaha keripik milik Uwak melesat, sementara Uwak sudah semakin uzur dan sakit-sakitan. Uwak telah memikirkan matang-matang sebelum sampai pada keputusan ini, sebaiknya perusahaan keripik ini diserahkan kepadamu untuk diteruskan.” Iskan serasa berada di alam mimpi mendengarnya. “Uwak, apakah maksud Uwak usaha keripik akan diberikan kepadaku?” Uwak Jaka mengangguk-anggukkan kepala, “Tidak salah lagi.” Ia menoleh sebentar ke arah Euis di sebelah tempat tidurnya, lalu kembali menatap Iskan dengan tatapan dalam. “Euis adalah putri bungsu Uwak yang santun dan lemah lembut, banyak pemuda mencoba mencuri perhatiannya. Jika kau ingin memiliki ia sebagai istrimu, Uwak akan memberikan restu dan merasa bahagia.” Sekali lagi Iskan tak percaya akan apa yang dikatakan Uwak Jaka, raga pemuda itu seolah dibawa terbang ke khayangan. Ia mencuri pandang ke arah Euis ysng tersipu mendengar pesan ayahnya. Barulah Iskan sadar bahwa selama ini ia berada dekat sekali dengan wanita yang jauh lebih cantik, cerdas dan santun dibanding cinta lama yang telah membelah dadanya, mencabik-cabik ketulusan dan kesetiaannya. “Terima kasih banyak, Uwak. Aku terima keduanya,” Iskan berkata mantap. Iskan bukanlah seorang pecundang yang berhasil ditaklukkan terjangan dan cobaan berupa tuduhan dan putusnya pertunangan. Ia mampu bangkit lagi, dan melesat… melesat jauh.
Cerpen Karangan: Hanifah Rahadianty Kusmana Facebook: Hanifah Rahadianty Kusmana