Di sore hari, ada seorang nenek yang sedang duduk di samping rumah. dia sering melamun dikala mentari sudah mulai menghilangkan wujudnya. Nenek itu sudah berumur 90 tahunan, dengan rambut yang sudah memutih, dengan kulitnya yang sudah mulai keriput, giginya yang sudah mulai ompong, punggungnya yang sudah membungkuk, dan juga dengan suaranya yang sudah mulai nggak jelas (pelo). Dia tetap berdiri tegar melawan kerasnya hidup dan derasnya cobaan. Rumahnya jauh dari penduduk atau lebih dekatnya di dekat (tegal). Dia hidup sebatang kara. Suaminya sudah meninggal dan dia tidak dikaruniai anak.
Sehari-harinya dia bekerja mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitar rumahnya. Kemudian kayu itu dijual ke penduduk-penduduk yang perjalanannya kurang lebih 2 km dari rumahnya, dia tak pernah putus asa, dia tak pernah menyesali kehidupan, dia memang nenek yang sangat luar biasa, dia mempunyai sifat yang jarang banget dimiliki orang lain, yaitu sifatnya yang penyabar dan tak pernah gelisah dalam menghadapi cobaan apapun. Bekerja sebagai pencari kayu bakar, ia tekuni sejak dia masih berumur 60 tahunan, di saat itu kakek (suaminya) masih ada. Biasanya Mereka mencari kayu bakar bersama-sama.
Dia menekuni pekerjaan ini demi sesuap nasi, demi menyambung hidup. Banyak orang yang menganggap pekerjaan ini sepele, tapi bagi nenek ini pekerjaan itu sangat amat mulia. Karena dengan ranting-ranting kayu inilah nenek bisa bertahan hidup.
Kemanapun nenek pergi, pasti nenek itu tak pernah lepas dari selendang yang ia sampirkan di pundaknya. Di selendang itu ada selembar foto nenek bersama suaminya disaat suaminya masih ada. Foto itu ia taruh di pucuk selendang yang diikat (dibundeli). Di saat sedang sendiri, nenek ini membuka ikatan selendangnya dan melihat foto tadi. Dia sayang banget sama suaminya, kalau ada apa-apa, baik kejadian yang menyenangkan maupun menyedihkan nenek itu sering mencurahkan hatinya ke foto itu…
Dengan radio mungilnya yang ia miliki sejak ia masih SD, radio pemberian ibunya yang masih ia simpan sampai sekarang. Kadang kalau hatinya sedang gundah, nenek ini sering memutar musik di radio mungilnya itu, untuk menghilangkan atau mengurangi kejenuhan, disertai dengan kicauan burung, sambil memakan tela bakar dan secangkir kopi di dekat pohon bambu dengan angin yang semilir, nenek ini merasakan aman dan damainya kehidupan.
“Hidup memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tetapi bila dijalani dengan sungguh-sungguh, tantangan dan cobaan ini pasti akan lunak atau akan menyerah pada kita. Bukan kita yang akan menyerah pada tantangan dan cobaan, Melainkan tantangan dan cobaan itulah yang akan menyerah pada kita”. Kata-kata inilah yang menjadi prinsip nenek itu, kata-kata ini dia selalu ingat-ingat sejak dia masih kecil. Setiap mau melakukan sesuatu, tetapi dia sudah pasrah atau menyerah duluan, ibunya pasti bilang kayak gitu. Sehingga dengan sendirinya nenek ini ingat kata-kata itu. Nah, inilah yang menjadi motivasi nenek untuk menjadi lebih kuat dalam menghadapi apapun.
Nenek ini banyak disegani warga, karena sifatnya yang mulia, dan tak kenal lelah. Meskipun sudah tua, dia tetap bekerja sebisanya, dia tak mau meminta-minta. Dia tak ingin dikasihani.
Sambil menjual kayu bakar, nenek ini sering membersihkan jalan-jalan, memungut sampah, dan menanami pohon-pohon kecil di tanah-tanah yang kosong, lebih tepatnya di tanah yang gersang, supaya kalau hujan tanah-tanah ini tidak longsor dan menyebabkan banjir. Nenek melakukan semua ini tanpa mempunyai fikiran timbal balik atau jasa dari warga. Dia melakukan ini tulus dari hati, bukan karena dia ingin dikatakan nenek pahlawan atau apa, tetapi memang benar-benar dari hati.
Tapi siapa sangka, Keikhlasan, kesabaran dan kegigihan nenek ini menghasilkan buah yang sangat manis, ada seorang warga yang melaporkan ketulusan nenek ini ke lurah, kemudian lurah ini melaporkan kepada atasan-atasannya, dan laporannya disetujui oleh para aparat, sehingga nenek ini mendapat piagam penghargaan dari provinsi dan mendapat uang tiap bulannya enam ratus ribu. Selain itu, nenek ini juga diberi fasilitas (rumah yang lebih layak), tapi nenek ini menolak. Dia hanya mau tinggal di rumahnya sendiri. Karena dengan rumah gubuknya ini, nenek itu mempunyai banyak kenangan dengan suaminya. Kegiatan ini kelihatanya mudah, tapi tidak semua orang mau melakukannya tanpa pamprih.
Cerpen Karangan: Ririn N Facebook: arient phaprichya II