Wajah polos itu menatap padang rumput yang terbentang luas di hadapannya. Pikirannya melayang jauh dari tempat raga itu berpijak. Matanya terpejam secara perlahan seiring hembusan angin. Terdengar suara alam yang sangat indah. Dirasakan setiap gesekan angin yang tercipta di kulitnya, sangat menyejukkan. Rambut hitamnya seakan-akan menari bebas menyambut sapuan angin.
Sangat nyaman. Hanya itu yang dirasakannya. Terbesit keinginan untuk ikut terbang bersama hembusan angin. Terbang jauh dari semua kenyataan ini. Kenyataan pahit yang sangat menyiksanya.
Ia sangat lelah. Rasa itu selalu menghantui, selalu hadir dimanapun ia berada. Tak peduli beratus-ratus kilometer jarak yang ditempuhnya, tapi perasaan itu selalu datang menganggu. Perasaan itu seperti permanen tertancap dalam dirinya. Apa tidak ada cara untuk menghilangkan rasa tersebut? Sungguh, ia benar-benar tersiksa.
Tanpa izin, air mata jatuh bebas membasahi pipi gadis itu. Tiba-tiba kedua tangannya mendarat keras di pipi tersebut. Tamparan keras itu diulangnya berkali-kali, entah sampai kapan tangannya akan berhenti. Tak dihiraukan kedua pipinya yang semakin panas dan memar. Ia hanya ingin melampiaskan kebencian pada dirinya sendiri.
Tangisnya semakin menjadi. Gadis itu mulai kelelahan. Tapi hal itu tak membuatnya berhenti menampar pipinya sendiri. Ia benci. Sangat benci!
“Percuma kau melakukan itu”
Refleks tangan gadis itu berhenti. “Kau?” Tanyanya lirih hampir tak bersuara ketika menyadari keberadaan seseorang di sampingnya.
“Sampai kapan pun perasaan itu akan selalu menyelimutimu”
“Apa yang kau tahu hah? Kau tak mengetahui apapun!”
“Tentu saja aku mengetahui semuanya, bahkan melebihi dari apa yang kau ketahui”
Gadis itu mengerutkan keningnya “Apa maksudmu?”
“Bodoh! Meski kau menampar dirimu sendiri sampai mati rasa sekalipun, itu tak akan pernah mengurangi rasa bersalahmu” Ucap sosok tersebut datar.
Gadis itu tersentak. Kepalanya mendongak, menatap wajah itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun pemilik wajah tersebut hanya tersenyum samar. Senyuman yang berbeda. Senyum itu tak terlihat seperti senyuman penghinaan yang biasa menghiasi bibir tersebut.
“Kau… mengetahuinya?”
“Bukankah sudah kukatakan?” Balas sosok itu sambil beralih menatap wajah gadis di sampingnya.
“A… apa yang kau ketahui?”
“Apa aku perlu mengulangnya?” Sosok itu semakin mendekatkan wajahnya. “Aku mengetahui lebih dari yang kau ketahui, Sarah”
Sarah menelan ludah. Mata lelaki itu menatapnya sangat tajam. “Tapi.. tapi aku terpaksa melakukannya”
“Kau pikir semua orang akan berpikir tentang keterpaksaanmu itu? Mereka tak akan peduli”
Air muka Sarah berubah. “Kau benar, Deas” Gadis itu memalingkan pandangannya. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Jika kau hanya berdiam diri dan melakukan tindakan bodoh seperti ini, masalahmu tak akan pernah selesai. Rasa bersalah itu akan terus tertanam dalam dirimu” Gumam Deas
Sarah tidak dapat menahan. Untuk kesekian kalinya pipi itu dibasahi oleh bulir-bulir bening yang berjatuhan dari matanya.
“Kau pikir menangis adalah solusi atas masalah ini?” Senyuman kecut menghiasi bibir Deas. Lelaki itu menyentuh dagu Sarah kemudian diarahkannya wajah itu untuk menghadap wajahnya. Mata mereka saling bertemu. “Hentikan tangismu itu!” Bisiknya
Dengan keras Sarah mendorong tubuh Deas. Lelaki itu mundur beberapa langkah akibat dorongan tersebut. “Pergilah dari sini!! Aku tidak membutuhkanmu!!” Bentaknya
Deas terkekeh pelan. “Baiklah kalau itu yang kau mau” Namun lelaki itu justru melangkah maju mendekati Sarah. “Lakukan apa yang dikatakan oleh hati nuranimu! Jangan pernah mengikuti apa yang ada di pikiranmu, karena itu hanya akan membuatmu terjatuh semakin dalam. Renungkan itu, Sarah!” Kemudian Deas berbalik dan melangkah menjauhi gadis yang termenung menatap punggungnya.
—
Sarah memasuki sebuah ruangan yang cukup besar. Semua mata tertuju padanya. Tatapan kagum tak henti-hentinya terpancar dari setiap pasang mata yang ada. Tapi bagi Sarah, tatapan itu tak lebih dari tatapan pembunuh haus darah yang tak sabar menancapkan pisau tepat di dadanya.
Tepuk tangan tiba-tiba terdengar dari segala sisi ketika ia berdiri tepat di tengah panggung. Di beberapa sudut terlihat beberapa wartawan yang sedang membidiknya. Sarah menghela napas sejenak. Seandainya semua tahu, ia tidak pantas berdiri di panggung itu. Ia tak pantas mendapat tatapan kagum. Seharusnya bukan dirinya yang mendapatkan semua itu. Tapi dia, gadis yang menjadi korban atas keegoisannya.
“Selamat siang” Sapa Sarah datar
“Siang” Jawab kompak semua orang yang ada di ruangan itu
“Terimakasih, kalian telah menyempatkan waktu untuk menghadiri acara Meet and Greet ini” Mata-mata itu tertuju lurus padanya. “Pada kesempatan ini, saya ingin kalian semua tahu tentang sebuah kenyataan” Gadis itu menghela napas sejenak. “Kenyataan yang sesungguhnya”
“Apa maksudmu Sarah?” Tanya salah seseorang yang duduk di deretan bangku paling depan. Semua mata menatapnya penasaran.
“Pada nyatanya, saya tidaklah sebaik seperti yang kalian kira. Saya tidak pantas menjadi pemenang.” Cairan bening mulai membasahi matanya.
Sarah mengangkat novel bercover merah marun yang sedari tadi digenggamnya. “Kalian semua lihat novel ini! Novel ini tidak layak kalian baca! Saya telah membohongi semua orang! Saya bertindak curang selama ini” Air matanya mulai berjatuhan. “Sehari sebelum penilaian, saya mencuri naskah novel milik salah seorang peserta berbakat yang saya yakini ia akan memenangkan kompetisi. Saya mengganti beberapa bagaian, bahkan ada bagaian yang saya hilangkan dari naskah tersebut. Saya takut dia akan mengalahkan saya, karena memenangkan kompetisi itu adalah obsesi terbesar saya.” Sarah terdiam sejenak “Hasilnya, saya menjadi juara pertama dan saya mendapat beberapa penghargaan, bahkan saya mendapat predikat penulis terbaik tahun ini. Tapi semua itu tak membanggakan seperti perkiraan saya sebelumnya, justru hal itu membuat hidup saya semakin tidak tenang karena rasa bersalah selalu menghantui!”
“Apa yang kau bicarakan? Apa itu sinopsis novel terbarumu?”
Sarah tersenyum sinis mendengar pertanyaan yang terlontar dari salah seorang remaja belia. “Tidak!! Seharusnya bukan novelku yang kalian baca, tapi novel gadis itu! Dia adalah peserta yang naskah novelnya telah kuhancurkan! Dia adalah pemenang kompetisi itu! Bukan aku!” Dorongan emosi yang meluap membuatnya lupa akan penggunaan kata ‘saya’ dalam kalimat yang ia lontarkan.
Sontak semua mata menatap dengan pandangan bingung. Bertanya-tanya siapa yang dimaksud Sarah sebenarnya. Beberapa orang mengedarkan pandangan ke sekeliling karena rasa penasaran yang begitu besar.
“Pemenang yang sebenarnya adalah dia!” Sarah menunjuk gadis mungil yang duduk di kursi kedua deretan paling depan. Semua mata mengikuti arah telunjuknya. Ia memejamkan mata sejenak, karena tak sanggup melihat ekspresi yang tercipta di wajah gadis itu.
Terlihat para wartawan berlarian menuju depan panggung. Mereka tidak akan melewatkan berita panas ini. Tiba-tiba gadis itu berdiri dari duduknya, wajahnya terlihat merah menahan amarah.
“Kau jahat! Apa salahku sampai kau melakukan ini padaku Sarah? Mengapa kau tega melakukan ini padaku?” Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca.
“Aku tau itu. Aku memang jahat, aku salah, Tita! Kumohon maafkan aku, aku janji akan melakukan apapun untukmu asal kau memaafkan aku”
“Kau menghancurkan impianku Sarah!!! Aku sangat membencimu!”
KRAAK!!!
Sarah menyobek novel karyanya. Lalu dilempar keras sobekan novel itu ke tanah. “Aku harap kalian juga melakukan hal yang sama pada novelku, novel itu tak layak untuk kalian semua” Ia berlari turun dari panggung dan berhenti tepat di hadapan Tita.
“Kau boleh membenciku, aku memang pantas mendapatkannya. Tapi aku benar-benar menyesali perbuatan licikku itu. Ku mohon, Tita maafkan aku” Tiba-tiba Sarah merendahkan tubuhnya sampai berlutut di hadapan Tita. Semua mata menatapnya dengan berbagai tatapan. Tak terkecuali para wartawan yang sedang mengarahkan kamera pada dua gadis itu.
“Aku tidak dapat memafkanmu semudah itu” Tita berjalan meninggalkan Sarah yang masih dalam posisi berlutut di kakinya.
Sarah menundukkan kepala. Rasa bersalah yang teramat besar menyelimuti dirinya. “Maafkan aku Tita” Gumamnya pelan.
—
Pandangan gadis itu kosong. Tak dihiraukan rerumputan hijau yang menari-nari di hadapannya. Walaupun hembusan angin memberantakan tatanan rambutnya, tapi hal itu tak membuatnya bergerak sedikit pun. Hanya isak yang terdengar saat ini.
“Sudah kuduga kau ada di sini”
Refleks gadis itu menoleh ke belakang, mengikuti asal suara tersebut. Ia hanya menatap sosok itu dengan datar.
“Apa kau merasa tenang saat ini? Setelah mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya?” Sosok itu berjalan mendekat.
“Semua tidak semudah seperti yang kubayangkan” Pandangan gadis itu kembali kosong.
“Aku tau Sarah, saat ini semua orang memandangmu rendah dan karirmu kembali pada titik nol. Ini pasti tak mudah bagimu, tapi bukankah itu lebih baik? Daripada kau berbahagia di atas penderitaan orang lain yang tidak bersalah?”
Sarah hanya terdiam. Ada perasaan yang menyeruak dalam dirinya. Entah perasaan macam apa itu. Tiba-tiba sebuah lengan besar merengkuh dirinya.
Sosok itu merapatkan pelukannya, seperti berusaha mentransfer kekuatannya kepada Sarah. Dibiarkan gadis itu menangis terisak-isak di dadanya. Mendengar tangis gadis itu membuatnya terluka. Air mata Sarah seperti paku-paku yang menghujami hatinya.
“Aku takut, aku takut Deas” Ucap Sarah di sela-sela tangisnya
“Aku selalu di sampingmu, tak ada yang perlu kau takutkan Sarah”
Deas mencium lembut puncak kepala Sarah. Masih dalam posisi yang sama, angin berhembus kencang. Membawa terbang dedaunan kering yang rapuh. Rerumputan bergoyang mengikuti irama lagu alam. Benar-benar damai.
“Apa yang kulakukan benar?” Tanya Sarah sambil menguraikan pelukan Deas.
“Kau melakukan hal yang sangat benar. Dan aku yakin sekarang rasa bersalah itu tak akan lagi menyelimutimu, kau bisa bernapas lega” Deas menatap Sarah dan menghapus air mata gadis itu dengan jarinya.
“Tapi bagaimana jika aku akan terus seperti ini? Terpuruk selamanya. Bagaimana jika mereka semua akan terus membenciku?”
“Sudah kukatakan, aku akan selalu di sampingmu. Tak akan kubiarkan itu terjadi padamu. Buktikan kepada mereka bahwa kau masih bisa bangkit dengan kejujuranmu”
“Apa aku bisa?”
“Kau pasti bisa, Sarah”
“Aku sangat berhutang budi padamu”
Sarah merasakan hembusan angin menyentuh kulitnya dengan lembut. Menciptakan kedamaian yang tiada duanya. Sapuan angin membuat mata gadis itu terpejam secara perlahan. Nyaman.
Tak lama gadis itu membuka mata. Sontak ia terkejut karena wajah Deas berada sangat dekat dengan wajahnya. Napas Sarah tercekat. Jantungnya berdetak sangat cepat.
Deas mengangkat sebelah alisnya “Ternyata kau terlihat sangat aneh dari jarak sedekat ini”
“Kau sangat cepat kembali berubah menjadi Deas yang menyebalkan!” Cibir Sarah “Berhentilah menggodaku! Aku tidak dalam mood baik hari ini” Ia menjauhkan wajahnya dan berniat meninggalkan lelaki itu.
“Tapi aku dalam mood sangat baik hari ini”
Sarah melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan ucapan lelaki itu.
“Oh, jadi itu balasanmu untuk malaikat penolong sepertiku? Bukankah kau mengatakan berhutang budi padaku?” Deas tersenyum miring. Matanya memancarkan sesuatu yang sulit ditebak.
Langkah Sarah terhenti, kemudian membalikkan tubuhnya. Gadis itu menghela napas sejenak. “Kau tidak ikhlas membantuku?”
“Tentu saja, kau pikir untuk apa aku susah payah menyadarkanmu jika tidak ada maksud lain”
Sarah mengerutkan keningnya. Ia mendecak pelan. “Lalu apa yang kau inginkan hah?”
Lelaki itu maju perlahan dengan senyuman miring di bibirnya. “Kau” Jawab Deas mantap.
“Apa??”
“Aku menginginkanmu, Sarah”
Mata Sarah membesar. “Jangan mempermainkanku, Deas! Bagaimana bisa kau menginginkan gadis licik sepertiku?”
“Ya, kau memang sangat licik!”
“Bagus jika kau menyadari…”
“Kau sangat licik karena kau telah merampas hatiku tanpa izin” Potong Deas tanpa memalingkan matanya sedikit pun dari gadis itu.
“Rayuan macam apa itu? Kau pikir aku percaya?” Sarah tersenyum sinis. “Hentikan rayuan tidak jelas itu! Aku tak akan menerima bantuan apapun darimu” Gadis itu berbalik, namun tiba-tiba sebuah tangan mencengkram kuat lengannya. Sarah menghentikan langkahnya namun tidak membalikkan tubuhnya.
Deas maju beberapa langkah, melenyapkan jarak yang tercipta. Dadanya menempel pada punggung Sarah. Kedua tangannya menyentuh lembut bahu gadis itu. Perlahan ia menundukkan kepala.
“Aku menginkanmu karena aku mencintaimu, Sarah” Bisik Deas tulus tepat di telinga gadis itu.
Cerpen Karangan: Ifarifah Blog: www.ifarifah.blogspot.com