Pagi ini aku berangkat dengan tergesa-gesa. Aku bangun kesiangan lagi. Dengan cepat, aku menghabiskan rotiku sarapan pagi ini. Aku memanggil ayahku untuk segera mengantarkanku ke sekolah. Sesampai di sekolah, selang 5 menit bel pun berbunyi. Aku berlari menuju kelas. Oh ya, masih banyak sekali tugasku yang belum aku kerjakan.
Nina teman sebangkuku sudah duduk manis di kursinya sambil menyiapkan buku pelajaran. Dia tersenyum padaku. “Hampir terlambat lagi Siska?”. Aku cuma mengangguk saja, dan baru teringat kalau PR matematikaku belum aku kerjakan. Seperti biasa Nina dengan sukarela akan meminjamkan buku PRnya. “Kok bisa lupa mengerjakan PR Sis?” tegur Nina padaku. “Semalam keasyikan main game jadi lupa mengerjakan PR, Nin.”, seruku sambil terus menulis PR-ku. “Harusnya sebelum main games atau melihat TV tugas sekolah dikerjakan dulu, Sis. Agar tugas sekolahmu tidak terabaikan!”, dengan sabar Nina selalu mengingatkanku, dan seperti biasa aku cuma mengangguk saja. Ya. Dia Nina. Nina adalah teman sebangkuku sekaligus sahabatku di sekolah. Dia akan dengan sabar mendengar keluh kesahku ketika aku mengeluh dengan keluarga dan teman-temanku. Dia begitu baik, bahkan sangat baik. Begitu tulus. Walaupun aku agak cuek dengan kata-kata bijaknya.
Nina selalu bisa meredam kemarahanku saat aku sedang kesal. Dan dia juga yang tidak pernah lelah memotivasi aku agar rajin belajar mengingat saat ini kami telah kelas 9 yang sebentar lagi akan UN. “Kamu seharusnya bersyukur, Sis. Orangtuamu berkecukupan dan sayang padamu. Jangan kau sia-siakan kesempatan yang kau miliki”. Itu nasihat yang selalu diucapkan Nina padaku. Dan seperti biasa aku hanya tersenyum.
Hari ini tanggal 14 Juli adalah ulang tahun Nina. Aku sudah menyiapkan kado mulai kemarin. Dengan uang tabungan, aku membelikan Nina tas sekolah, karena aku lihat tasnya sudah terlihat lusuh, warnanya pun mulai memudar. Aku ingin memberi kejutan pagi ini, jadi aku berangkat pagi-pagi. Kalau biasanya Nina yang berangkat lebih dulu, kali ini aku ingin aku yang lebih dulu duduk di kelas sambil menunggunya. Tapi sampai jam masuk berbunyi Nina tidak muncul-muncul juga. Aku mulai resah. Dan sampai jam pelajaran usai Nina benar-benar tidak muncul. Aku bertanya pada teman-temanku kenapa Nina tidak masuk. Teman-temanku tidak ada yang tahu.
Sampai seminggu Nina tidak masuk sekolah, dan aku pun menyesal tidak pernah menanyakan alamat rumah padanya. Aku tak tahu nomer handphone-nya. Entahlah. Di era globalisasi ini ternyata masih ada orang tidak punya handpone. Itulah Nina yang sederhana, yang tulus, yang baik dan yang selalu ada buat aku. Aku pun semakin merindukannya setelah seminggu dia tidak masuk.
Akhirnya aku memberanikan diri ke kantor menanyakan pada ibu Riri wali kelasku tentang alamat rumah Nina. Setelah mendapatkan alamat rumah Nina sepulang sekolah aku dengan tergesa menuju rumahnya dengan membawa kado yang belum sempat aku berikan di hari ulang tahunnya. Rumahnya masuk gang sempit dan jauh dari sekolah. Dan itulah hebatnya walau rumahnya jauh dan harus naik angkot dia selalu datang pagi. Semangatnya sungguh luar biasa. Semangat untuk menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang dokter. Dia selalu mengatakan padaku ingin menjadi seorang dokter agar dapat menolong orang-orang miskin yang tidak mampu berobat. Mungkin tetangganya menderita faktor ekonomi.
Aku bertanya pada tetangga Nina sampai akhirnya kutemukan rumah Nina. Rumah yang sederhana, bahkan sangat sederhana. Dan ketika kuketuk pintu rumahnya keluarlah seorang ibu sambil menggendong anak kecil. Wajah ibu itu begitu tirus, dan juga terlihat sembab. “Ibu, apa benar ini rumah Nina?” tanyaku hati-hati karena takut salah alamat. “Iya nak, benar ini rumah Nina”. Aku melompat girang karena akan segera bertemu dengan Nina. “Nina ada, Buk?” tanyaku lagi. “Nina sedang mencuci baju di rumah tetangga”. Aku tercekat mendengar ucapan ibu Nina. “Semenjak ayahnya meninggal Nina membantu ibu mencari uang. Biasanya sepulang sekolah dia membantu ibu. Karena seminggu terakhir ibu sakit, ya Nina yang menggantikan posisi saya sementara. Sebenarnya, ibu tak tega, Nak. Tetapi dia selalu memaksa ibu untuk istirahat.”, ibu Nina bercerita dengan suara bergetar dengan ekspresi wajah sendu. Tanpa sadar air mataku menetes. Nina yang ceria, Nina yang selalu optimis menatap masa depan, Nina yang selalu rajin belajar dan selalu jadi juara di sekolah, ternyata hidupnya begitu sengsara. Tapi dia tidak pernah mengeluh, tidak pernah memperlihatkan penderitaannya.
Aku malu. Aku malu menceritakannya kepadanya. Aku sadar bahwa ayah dan ibuku marah saat nilaiku turun, aku justru merasa tidak dianakemaskan lagi. Lihat Nina. Dia bersekolah tanpa ada sosok ayah. Mengapa dia masih bisa tegar? Terkadang aku justru menangis bila ayah pergi ke luar negeri. Nina selalu berkata, “Tuhan telah memberikan keluargamu rezeki yang cukup. Dan Ia memerintahkan ibumu memarahimu, agar apa? Agar kau menjadi disiplin. Kau masih bisa menikmati banyak games, dan itu telah membutakanmu. Cinta. Lihatlah, Sis. Mereka yang di sana merintih sambil berdoa mengarungi nasibnya. Bersyukurlah, Sis. Kau punya orangtua yang lengkap dan kaya.” Kini aku tersadar. Apa arti kata-katanya. Setelah melihat keadaan yang fakta.
Nina datang dari kejauhan. Saat beberapa langkah lagi sampai rumahnya, aku segera memeluknya. “Nina, aku kangen kamu.”, kubisikkan kataku dengan lembut di telinganya. Aku merasakan tubuh Nina semakin kurus, mungkin dia kelelahan dan kurang istirahat karena bekerja dan juga merawat ibunya. Kuberikan kado yang berhari-hari kusimpan. “Terima kasih Siska, kau masih mengingat ulang tahunku, aku sendiri lupa karena kesibukanku membantu ibu”. Aku terharu ketika Nina membuka kadonya, dan ada tas di dalamnya. Matanya berbinar bahagia. “Sudah lama aku ingin memiliki tas model ini, tapi aku tidak mampu membelinya”, seru Nina dengan gembira. Aku bahagia melihat binar bahagia di mata sahabatku Nina. Bahagia. Di balik kesedihan dan beratnya hidup yang dia jalani dia bisa tersenyum mendapatkan kado dariku.
Sepulang dari rumah Nina, aku serasa mendapat pencerahan. Bahwa seharusnya aku bersyukur masih mempunyai orangtua yang lengkap dan sayang padaku. Hidupku berkecukupan, berlimpah kasih sayang. Alangkah bodohnya aku kalau tidak bersyukur atas keadaan ini. Aku berjanji akan patuh pada nasihat ayah dan ibu. Harus rajin belajar agar cita-citaku menjadi arsitektur dapat tercapai. Nina, sahabatku yang hidup dalam keterbatasan optimis menggapai impiannya menjadi dokter, sedang aku yang serba kecukupan harusnya lebih optimis dalam menjemput impianku meraih cita-citaku. Terima kasih, Nina sahabatku. Karenamu kini aku sadar bahwa dalam hidup kita tidak boleh selalu mengeluh, harus lebih banyak bersyukur dan juga kita tidak boleh menyerah pada keadaan.
Terima kasih Nina. Kita bagai sepasang kupu-kupu yang terbang. Kita tak hanya gundah. Kita mencari nektar bersama-sama, menolong saat terjebak di dahan, dan melihat bersama indahnya dunia di atas awan. Peristiwa ini. Aku tak akan melupakannya. Semua nasihatmu ternyata sangat berharga bagiku. Aku tahu, Nin. Kamu memiliki keterbatasan ekonomi. Tapi kau tahu? Kau tak boleh menyerah. Indonesia masih membutuhkan sejuta ataupun semiliar anak yang berprestasi. Sepertimu. Nina. Kau dan aku telah berjanji. Bahwa kita tak akan menyerah dalam dongeng fana ini. Keterbatasanmu bukanlah uzur dari semua ini. Nina. Lihatlah cahaya di depan. Pemerintah telah peduli dengan rakyat-rakyat sepertimu. Kelak kau akan bahagia di masa depanmu. Terima kasih Nina. Atas mentarimu. Sampai jumpa… Siska. Sampai jumpa. Sama-sama.
TAMAT
Cerpen Karangan: Zhafirah Chintya Rafiandra Blog: rafiandraeldien14@blogspot.com Hi, kami dari SMPN 2 Jember