Kamis sore disambut dengan rintik hujan yang cukup deras. Awan gelap bergulung-gulung dengan petir yang sekali-kali menyambar lemah. Jutaan rintik-rintik air mengguyur daerah kecamatan, termasuk tempat sekolahku. Rintik-rintik air berloncatan di atas aspal. Ada juga yang memercik setelah menghantam ujung-ujung rumput yang tipis dan runcing.
Aku berdiri termangu di pos satpam menunggu hujan yang tak kunjung berlalu. Aku baru saja pulang dari latihan rutin Merpati Putih. Sebenarnya, hujan bukanlah suatu masalah bagiku. Ini hari Kamis. Tak masalah bagiku untuk lari menerjang hujan karena besok sudah bisa ganti seragam. Aku juga sudah biasa hujan-hujanan saat latihan. Masalahnya adalah sepatu cadanganku sedang dipinjam tetangga. Oh, bukan itu inti masalahnya. Intinya adalah aku lupa membawa kantung kresek untuk membungkus buku-buku yang ada di dalam tasku. Tasku sudah agak rusak. Kena setengah gayung saja tetesan air hujan, buku-buku dalam tasku bisa tak karuan bentuknya.
30 menit berlalu. Hujan kini tak sederas 30 menit sebelumnya. Keadaan relatif aman. Aku sudah bisa beranjak dari pos satpam sekarang. Dengan tenang aku menapakkan kaki satu langkah menjauh dari pos dan berjalan menuju gerbang. Kemudian, tinggal bersiap-siap menyeberang jalan menuju halte depan sekolah.
Sayangnya, belum begitu lama ketenangan itu hadir, mataku menangkap bayangan rintik hujan yang kembali memadat. Aku mendongak. Benar saja. Kurang dari setengah detik wajahku basah kuyup. Segera kulepas jaketku dan membungkus tasku dengannya. Kulindungi tasku dengan badanku agar tak terkena air hujan. Sementara itu, rintik hujan dengan gencar menyerbu badanku. Suhu udara yang dingin ditambah badanku yang basah membuatku menggigil. Sialnya, jalan raya tak kunjung sepi. Aku terjebak di bawah hujan.
Tiba-tiba, di tengah-tengah kebimbanganku memilih antara kembali ke pos satpam atau tidak —karena jarak pos satpam harus kutempuh dengan berlari jika ingin tasku terjamin kering, secara ajaib tubuhku bebas dari serangan rintik hujan. Padahal, saat kulihat lurus ke depan, masih jelas terlihat titik-titik air yang jatuh dengan rapatnya. Aku mendongak. Dahiku berkerut begitu kudapati payung merah terkembang di atas kepalaku. Pandanganku turun mengikuti gagang payung yang terbuat dari aluminium. Dan kudapati tangan si empunya payung yang menggenggam ujung gagang yang terbuat dari plastik warna merah pula. Tangannya terangkat setinggi pundakku. Aku tersenyum kepada orang itu.
“Kiki,” sapaku. “Baru pulang?”
Si empunya payung menoleh, kemudian tersenyum lebar. Ya, namanya Kiki. Dia teman sekelasku. Tingginya hanya mencapai pundakku. Seragamnya abu-abu panjang dengan kerudung hitam terjulur hingga melebihi dadanya. Kulitnya coklat gosong karena ia sering kudapati berjalan mondar-mandir sambil menggotong tiang net, gulungan net, ataupun keranjang bola di bawah terik matahari setiap hari kamis. Dan ya, dia ikut ekskul voli di hari yang sama dengan hari latihan rutin Merpati Putihku. Kami sering pulang bersama. Tapi, untuk kejadian dimana kami berada di bawah satu payung kami belum pernah. Jujur, aku agak canggung. Aku cowok, dan aneh saja rasanya berbagi payung dengan seorang cewek.
Kiki langsung saja tengok kanan kiri jalan raya seolah hendak menyeberang. Ia tak menjawab pertanyaanku.
“Nyeberang sekarang, yuk!” ajak Kiki. “Udah aman, nih!”
Aku tengok keadaan jalan raya. Memang benar, jalan sudah aman. Aku pun mengangguk, kemudian sambil turut memegangi gagang payung aku dan Kiki menyeberang bersama, lalu duduk di halte depan sekolah bersebelahan. Kupangku tasku yang terbungkus jaket, lalu bersandar di punggung kursi dengan santai.
“Kamu ini aneh,” sahut Kiki tiba-tiba.
Aku menoleh. Kudapati Kiki tengah menatapi tas-jaketku dengan dahi berkerut dalam. “Kenapa? Apa yang aneh?”
Kiki tersenyum kecil. “Lha itu, masa jaket buat ‘mbuntel’ tas begitu? Harusnya ya buat penutup badan biar nggak dingin!”
Aku nyengir. “Aku lupa bawa kresek buat bungkus bukuku. Jadi, biar nggak basah, ya tak bungkus pake jaket. Hehe…”
Kiki geleng-geleng. Ia kemudian menyerahkan payung merahnya yang sudah ia kuncupkan padaku. “Ambil nih!”
Aku termangu menatapi payung itu. “Lho? Entar kamu gimana?”
“Tenang aja,” jawab Kiki sambil tersenyum. “Rumahku deket dari jalan raya, kok! Aku juga udah bungkus buku-bukuku. Kamu lebih mengkhawatirkan.”
Aku menatap Kiki dan payung merahnya dengan sangsi. Aku tak yakin rumah Kiki dekat dengan jalan raya. Desa Kiki satu arah dengan desaku. Dan aku sering melihatnya meloncat dari bis lalu berlari menuju rumahnya yang tak kutahu letaknya. Bisa saja rumah Kiki lebih jauh dari jalan raya daripada rumahku.
“Udah, Do! Nggak usah bingung gitu,” sahut Kiki tiba-tiba. “Ambil aja, nih!”
Aku terdiam sejenak menatapi Kiki dan payung merahnya. Kemudian, dengan penuh pertimbangan, aku terima payung itu.
“Makasih, Ki,” ucapku lirih.
Kiki mengangguk sambil tersenyum lebar, gaya khasnya. “Sama-sama.”
Tak lama kemudian, bus tujuan kami datang. Dengan segera kami menaiki bis, lalu duduk di dekat pintu bis yang kemudian melaju kencang di bawah hujan.
—
Aku berhati-hati mengambil langkah di atas aspal yang berlubang sana-sini dan becek menuju rumahku. Payung merah terkembang melindungiku dari rintik hujan yang masih deras dan rapat. Jaket merahku sudah kupakai kembali, sementara tas gendongku dengan aman tersampir di balik punggung.
Setelah lima menit berjuang menempuh perjalanan dari jalan raya, akhirnya aku sampai di rumah. Mama sudah menungguku di pintu. Dengan segera aku menghampiri mama, meletakkan payung di serambi, dan mencium tangannya sambil mengucapkan salam.
“Ya ampun, Yudo…” desah mama setelah mendapatiku dalam keadaan basah kuyup di dalam balutan jaket yang kering. “Kamu ujan-ujanan? Buku kamu basah nggak? Terus, jaketmu kok bisa kering begitu?”
Aku nyengir. “Yah, mama pikir sendiri aja deh!” jawabku sambil duduk di kursi serambi untuk melepas sepatu.
“Terus itu payung siapa?” tanya mama begitu melihat payung merah yang tadi aku letakkan.
“Punya temen, ma,” jawabku.
“Oh,” balas mama. “Tapi ya jangan dibiarin keujanan gitu, dong! Taruh di dalam! Punya temen, lho!”
Aku tak menjawab. Setelah selesai lepas sepatu, langsung saja aku ambil payung itu, mengibaskannya sebentar, menutupnya, kemudian membawanya ke dalam rumah. Aku letakkan payung itu di belakang pintu, sementara aku pergi mandi.
Sepuluh menit kemudian, aku kembali untuk memindahkan payung merah itu ke kamarku. Adzan maghrib seketika berkumandang. Aku tersentak. Kutengok jam dinding. Jam enam lebih dua puluh menit. Aku tengok keadaan lewat jendela. Langit sudah gelap. Hujan baru saja reda. Aku kembali menatapi payung merah di tanganku dan tersenyum.
“Coba aja tadi Kiki nggak minjemin,” kataku pada payung itu. “Pasti jam segini aku baru sampai rumah!”
—
Esoknya, aku berjalan menuju kelas kimia sambil menenteng payung merah di tangan kananku. Kali ini jaket merahku aku sampirkan di bahu. Semalam jaket bersama payung merah itu aku keringkan di gudang belakang rumah. Niatnya hari ini akan kukembalikan si payung merah kepada si empunya, Kiki.
Aku tatap payung merah di tangan kananku. Warnanya cerah berkilat-kilatan diterpa sinar matahari pagi. Warna yang sungguh cantik. Aku tak heran mengapa Kiki menjadikan payung ini payung favoritnya —Kiki selalu membawa payung ini setiap hari semenjak musim penghujan datang. Warna payung ini terlihat jelas di antara tirai hujan di bawah awan hitan yang bergulung-gulung. Mungkin saja Kiki ingin agar orang yang membutuhkan tempat bernaung dari hujan bisa melihat payungnya.
Aku tersenyum begitu kuingat betapa seringnya aku melihat Kiki berada di bawah payung merah ini bersama seorang asing di jalan aspal menuju gerbang sekolah. Yang membuat lucu adalah Kiki tidak menawarkan bantuan dengan kata-kata lebih dulu, melainkan langsung saja ‘hinggap’ di dekat orang yang membutuhkan dengan payung yang tahu-tahu sudah terkembang di atas kepala. Orang yang ia tolong bermacam-macam. Guru, adik kelas, kakak kelas, teman seangkatan, karyawan, tamu sekolah, bahkan satpam sekolah.
Beberapa menit kemudian, aku sampai di kelas kimia. Setelah meletakkan tas di bangkuku, aku menghampiri Kiki dengan payung merah di tangan. Kiki sedang asyik mendengarkan musik di handphonenya —tanpa earphone— sambil duduk di kursi guru.
“Payung kamu, Ki,” kataku langsung.
Kepala Kiki yang semula manggut-manggut mengikuti irama musik mendadak diam. Ia menoleh, menatap payung merahnya dan tersenyum kecil.
“Buku kamu aman?” tanya Kiki.
Aku mengangguk. “Alhamdulillah. Makasih ya payungnya! Kalo kamu nggak dateng, kemarin nggak tahu bakalan jadi apa aku sampai di rumah.”
Kiki tertawa ringan. “Sama-sama. Taruh aja di bawah meja,” jawabnya sambil menunjuk bangku dimana ia letakkan ransel ungunya.
Aku mengangguk. Kubawa payung merah Kiki menuju bangku yang Kiki maksud, lalu kuletakkan payung merah di bawah meja dengan posisi melintang sejajar dengan meja. Lalu, aku kembali ke bangkuku dan menyibukkan diri dengan berlatih mengerjakan soal kimia di buku paketku.
—
Waktu tak terasa berlalu. Bel pulang berdering nyaring. Aku tak langsung pulang karena berniat hendak shalat Jum’at di masjid sekolah. Jarak rumahku terlalu jauh. Tak akan kesampaian shalat Jum’at jika aku memilih pulang.
Rupanya, cuaca masih tak mendukung. Hujan yang cukup deras kembali mengguyur. Aku, bersama teman-teman yang lain, terjebak di lorong penghujung ruang kelas biologi sambil mematung menatapi hujan. Hujan terlalu deras untuk kami lewati. Tak ada jalan pintas menuju mushola selain menyeberang lapangan voli yang becek. Dan tidak lucu kalau kami harus shalat dalam keadaan basah kuyup.
Aku mendesah. Kutatap sekeliling. Teman-teman yang lain tampak sibuk di depanku, menggerutu karena hadirnya hujan di saat yang tidak tepat. Sementara aku celingukan sendirian di baris paling belakang.
Di tengah kebingunganku, mendadak saja Kiki sudah berdiri di sampingku. Aku tersentak kaget mendapati kehadirannya. Sementara Kiki tersenyum lebar.
“Mau shalat Jum’at?” tanya Kiki.
Aku menghirup nafas banyak-banyak. Dalam hati aku sudah bisa menduga apa yang akan Kiki lakukan. Apalagi kalau bukan meminjamkan payung merahnya?
“Begitulah,” jawabku lemah.
Dan, seperti yang aku duga, dengan mudahnya Kiki menyodorkan payung merahnya padaku. “Ambilah!”
Kali ini, tanpa pertimbangan aku ambil payung merah itu. Selain karena waktu shalat yang makin mepet, banyaknya siswa yang termangu di ujung lorong membuatku dengan senang hati menerima payung merah Kiki.
“Okelah,” kataku sambil menerima payung itu.
“Sip!” sahut Kiki. “Tapi ingat, jangan berjalan di bawah payung itu sendirian, atau aku nggak bakal meminjamkan payung itu lagi!”
Aku mengangguk menyanggupi. “Ntar kamu tunggu aku, ya! Habis Jum’atan aku kembaliin ni payung.”
Kiki tersenyum sambil mengangguk. Lalu, tanpa kata ia berlalu kembali menuju kelas biologi. Sementara itu aku maju ke barisan depan dan mengembangkan payung merah. Benar saja, teman-teman yang memang hendak menyeberang langsung mengerubutiku hendak ikut bernaung. Tapi, banyaknya siswa dan payung yang lebarnya terbatas membuat suasana kacau. Aku berpikir keras untuk mengurai kekacauan itu.
“Tunggu temen-temen!” aku berseru sambil menatapi kembangan payung merah. Segera aku mengira-ngira seberapa banyak orang yang bisa bernaung bersama untuk menyeberangi lapangan.
“Begini,” aku mulai bersuara. “Nanti, 4 orang nyeberang bersama-sama. Aku yang bakal bolak-balik sambil membawa 3 orang di antara kalian. Gimana?”
Suasana bising sesaat, kemudian terdengar suara bahwa mereka menyetujui usulanku. Aku tersenyum lega. Lalu, mulailah aku mengantar 3 orang pertama menyeberang.
—
Shalat Jum’at sudah usai. Hujan sudah tak sederas satu jam yang lalu. Mungkin iya, di tengah pelaksanaan shalat tadi hujan sempat turun dengan derasnya. Dengan payung merah yang masih terkembang karena basah, aku berjalan menuju kelas biologi hendak menghampiri Kiki. Ia pasti sudah lama menunggu.
Namun, begitu aku sampai, pintu kelas sudah dikunci. Gembok besar terpasang. Tak ada orang di sekitar —kecuali aku, tentu saja. Aku mengernyit saat kuingat Kiki. Aku tak ada bayangan kenapa pintu dikunci seawal ini. Ditambah keberadaan Kiki yang tak kuketahui.
Hujan mendadak kembali deras mengguyur. Aku termangu. Mungkin saja Kiki sudah ada di halte. Aku paham sifat anak itu. setelah pulang sekolah, selain hari Kamis, Kiki pasti sudah ada di halte. Dengan segera aku menembus hujan dengan payung merah menaungiku.
Dengan langkah cepat aku keluar dari lapangan dalam kemudian menyusuri jalan aspal menuju gerbang luar dengan payung merah terkembang di atas kepala. Baru saja aku mencapai separuh jalan menuju gerbang, kulihat sosok siswi berseragam pramuka berdiri di gerbang. Tubuhnya tinggi kurus, berdiri dengan lemas menatapi jalan raya. Tasnya ungu, persis seperti yang aku lihat pagi ini. Astaghfirullah!
“Kiki!” jeritku seketika. Si empunya payung malah kehujanan sendirian sementara aku dengan tenang bernaung di bawah payungnya. Segera aku berlari menghampiri Kiki dan menyodorkan payung merah separuh bagian ke atas kepalanya agar dia tak lagi kehujanan. Kiki tampak tertegun sesaat, kemudian perlahan menoleh menatapku. Aku tersentak begitu kudapati bibirnya yang membiru dan wajahnya yang putih pucat.
“Astaghfirullah…” desahku kaget campur kesal karena Kiki meninggalkan ruangan biologi dan hujan-hujanan. “Kenapa kamu nggak nungguin aku?!”
Kiki tak menjawab pertanyaanku. Ia turut memegangi gagang payung dan tengok kiri-kanan, memastikan keadaan jalan. “Kita nyeberang sekarang, yuk!”
Aku menelan ludah. Lagi-lagi ia tak menjawab pertanyaanku. Lalu, kami berdua menyeberangi jalan bersama-sama di bawah naungan payung merah. Kami berdua pun langsung duduk di bangku halte menanti kedatangan bis.
Aku duduk di tempatku dengan resah. Rasanya tak karuan karena telah membiarkan Kiki, si pemilik payung merah yang biasa menaungi orang dengan payungnya, kehujanan sendirian tanpa payung yang bisa menaunginya. Diam-diam aku mengecek keadaan Kiki. Dia duduk meringkuk sambil menggigil kedinginan. Tak tahan aku melihatnya. Langsung kuambil jaket merahku di dalam tas, lalu menyelimutkannya ke badan Kiki.
Kiki sejenak terdiam, kemudian perlahan menatapku. Aku membalas tatapannya. Dan entah untuk berapa lama kami hanya saling tatap, tanpa kata.
“Makasih,” ucap Kiki akhirnya dengan sebuah senyum samar sambil merapatkan jaket ke tubuhnya.
Aku mulai bisa tersenyum lega. “Sama-sama. Jaketku dibawa pulang aja!”
Kiki hanya mengangguk pelan.
“Oh ya, makasih sekali lagi buat payungnya,” ucapku menambahkan.
Lagi-lagi Kiki mengangguk pelan. “Nanti kalau aku udah nggak bisa bawa payung itu lagi, kamu yang bawain, ya?”
Kali ini aku terdiam, bingung. Aku tak mengerti maksud perkataan Kiki. Jangan-jangan…
‘Ah! Nggak mungkin!’ aku segera menepis dugaan burukku. Tapi, entah mengapa, seberapa kali aku berusaha menepisnya, dugaan buruk itu terus saja muncul. Aku hanya bisa menatap Kiki dengan cemas.
Cerpen Karangan: Lisa T Facebook: https://www.facebook.com/lisa.suryani.21 si tukang ngayal yang berusaha menjadi penulis cerita/kisah…