Adzan subuh dari masjid dekat rumah membangunkanku. Sambil merenggangkan badan dan menguap selebar-lebarnya aku duduk di pinggir ranjang guna mengumpulkan nyawaku. Setelah merasa sedikit segar, aku ambil handphoneku yang sudah dicharge semalaman untuk mengetahui waktu. Rupanya ada satu pesan masuk. Aku baca pesan itu. dari Angga, ketua kelas.
“Temen-temen, tolong doain temen kita, Kiki. Sekarang dia lagi di rumah sakit. Asmanya kambuh, kata kakaknya karena tadi sore sempet keujanan. Kiki lagi dirawat intensif. Kondisinya parah. Semoga Kiki cepet sembuh!”
Kakiku langsung lemas. Tak percaya, aku baca pesan itu berulang-ulang. Tapi hasilnya tetap sama. Asma Kiki kambuh dengan parah karena kemarin kehujanan. Dan payung merahnya kemarin ada di tanganku. Ya Tuhan…
Aku langsung mengutuk diriku sendiri yang telah membiarkan Kiki kehujanan begitu kemarin. Bahkan aku sendiri, orang yang terakhir ditolong Kiki, yang telah membuat kondisinya drop. Rasa takut dan cemas langsung menyelubungi jiwaku. Rasanya aku tidak berani berangkat sekolah.
Dan mendadak saja aku teringat perkataan Kiki kemarin sewaktu di halte. Dugaan burukku kembali muncul, bahkan semakin kuat. Tanganku mengepal kuat-kuat. Tidak! Itu tidak mungkin!
Dengan kondisi cemas luar biasa aku melesat menuju kamar mandi untuk wudhu. Lalu, dalam kegalauan aku melaksanakan shalat Subuh. Doaku terlantun bersama nada suaraku yang sendu. “Ya Allah… selamatkan Kiki! Sempatkan aku meminta maaf padanya dan membalas kebaikannya! Aku mohon ya Allah, beri aku kesempatan!”
Dengan penuh harap aku berdoa keselamatan dunia akhirat sebagai penutup shalatku. Batinku pedih mendapati kenyataan bahwa Kiki, temanku yang paling baik, mendapat nasib tak sebaik sikapnya pada sesama. Dan semua itu karena kebodohanku yang telah merenggut payung merah darinya —meskipun itu atas izin Kiki.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ada pesan masuk. Hatiku langsung berdebar tak karuan. Terbayang dalam benakku Kiki yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Aku pun berusaha menepis anggapan bahwa sms itu berisi kabar buruk dari Kiki. ‘Aku ingin Kiki baik-baik saja… Aku mohon…’
Takut-takut aku ambil handphoneku dan kubaca pesannya pelan-pelan. Dari Angga lagi.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Salah seorang teman kita, Kiki, telah berpulang ke Rahmatullah pada hari Jum’at pukul 11 malam setelah berjuang keras untuk bertahan melawan penyakit asmanya. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT. Nanti kita sempatkan takziah ke rumah Kiki bersama wali kelas.”
Serasa ada petir menyambar di pagi hari yang suci ini begitu aku selesai membaca pesan itu. Aku tak mampu berkomentar apa-apa terhadap pesan itu. Jari-jari tanganku melemas. Handphoneku terjatuh membentur lantai, bersamaan dengan diriku yang langsung ambruk dalam sujud di atas sajadahku sambil menangis perih. Doaku terlambat…
—
Aku termangu sendiri di dalam lautan manusia yang turut bertakziah ke rumah Kiki. Keranda hijau tergeletak di depan sana berisi jasad Kiki yang sudah terbalut kain kafan putih. Tak bisa kutahan rasa haru pilu dalam hati setiap kali aku melihat keranda itu. Tak akan kutemukan lagi Kiki yang selalu tersenyum lebar, yang selalu berada di bawah naungan payung merahnya bersama seorang asing di jalan aspal menuju gerbang sekolah.
Suasana sepi senyap. Hanya suara ustad yang terdengar membacakan doa-doa sebelum mengantarkan Kiki ke tempat peristirahatannya yang abadi. Aku masih berdiri dalam diam, tenggelam dalam lautan manusia sambil membiarkan diri hanyut dalam kesedihan dan kepiluan tanpa tetes airmata. Aku mencoba dan mencoba menguatkan diri. Aku yakin, kepergian Kiki bukan mutlak kesalahanku. Tapi, Allah juga berperan dalam menentukan kematian Kiki. Aku menengadah menantang langit. Langit pagi yang bersih dan cerah, tak ada setitik pun awan kelabu menggumpal. Sungguh berlawanan dengan suasana hatiku sekarang.
Saat aku masih tenggelam dalam kesunyian, tiba-tiba tampak sebuah keributan kecil dari arah samping. Aku menoleh. Kulihat ada seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba gelap dari gamis hingga kerudung berusaha menembus kerumunan yang statis. Ia terus merangsek maju sampai akhirnya ia tiba di dekatku. Ia berhenti, menatapku dengan mata nanar. Aku hanya bisa berdiri diam, tak mengerti.
“Dik Yudo Prawira?” tanya wanita itu.
“Iya?” jawabku lirih sambil menatapi wanita itu keheranan. Kulihat kedua tangannya yang tampak menenteng benda lebih dari satu. Nafasku tercekat begitu kudapati kedua benda itu; payung merah Kiki dan jaket merahku.
“Sepertinya adik sudah tahu maksud mbak menemui adik begini,” kata wanita itu sambil tersenyum datar. “Mbak hendak mengembalikan jaket ini. Juga, mbak hendak menyerahkan payung ini ke adik.”
Aku tersigap mendapati wanita itu yang menyodorkan payung merah dan jaket merah itu padaku. Aku tak menyangka wanita itu akan memberikan payung merah kesayangan Kiki padaku bersama jaket merahku.
“Maaf,” ucapku. “Bukannya itu payung punya Kiki, mba?”
“Iya, ini punya Kiki,” jawab wanita itu. “Tapi Kiki minta agar kamu menyimpannya…”
Mataku membulat. Menyimpannya? Itu berarti Kiki meminta agar payung merah ini berpindah tangan padaku? Aku langsung menggeleng, tanda tak setuju.
“Maaf mba, saya nggak bisa!” jawabku tegas. “Saya nggak ada hak atas payung itu! karena payung itu pulalah saya melupakan hal terpenting dari hidup Kiki! Saya nggak mau!”
“Tapi ini permintaan terakhir Kiki,” sahut wanita itu. “TEPAT sebelum Kiki menghembuskan nafasnya yang terakhir.”
Bulu kudukku meremang mendengar sahutan wanita itu. Mendadak aku teringat kembali perkataan Kiki YANG TERAKHIR sebelum kami naik bis saat di halte. Nafasku kembali tercekat.
‘Nanti kalau aku udah nggak bisa bawa payung itu lagi, kamu yang bawain, ya?’
“Kamu tahu alasan kenapa Kiki ingin agar kamu menyimpan payung ini?” tanya wanita itu lirih dengan airmata yang mulai mengalir di pipinya.
Aku membeku di tempat, antara bingung dan tak percaya. Aku tak bisa menjawab. Dengan lemah aku menggeleng.
Wanita itu sekali lagi menyodorkan payung merah Kiki dan jaket merahku dengan senyum kepedihan. “Kamu tahu kenapa? Karena, Kiki ingin agar kamu menggantikan tugasnya sebagai pelindung bagi orang lain. Ia ingin kamu meneruskan kebaikan dari payung merah ini. Asal kamu tahu, Kiki mendapat payung ini dari almarhum kakeknya, dan kakeknya berpesan agar Kiki menyebar kebaikan dengan payung ini. Sekarang tugas Kiki sudah berakhir, dan Kiki telah menunjukmu sebagai penerusnya.”
Aku terpana mendengar cerita wanita itu. Mataku terpaku pada kedua benda di tangan wanita yang kukira adalah kakak perempuan Kiki ini. Badanku bergetar hebat saat wanita itu menyebut tentang diriku yang sebagai penerus tongkat estafet kebaikan Kiki. Itu artinya, Kiki menaruh kepercayaan besar terhadapku untuk bisa meneruskan kebaikan yang dibawa oleh payung merahnya. Ia tak peduli bahwa aku telah membuat nyawanya melayang. Batinku langsung merasa miris. Aku sadar, itu sama saja Kiki tengah menghukumku atas apa yang telah aku perbuat.
Akhirnya, dengan kepiluan yang dalam aku terima payung merah dan jaket merahku. Wanita itu pun berlalu. Dan tepat setelah wanita itu menghilang dalam kerumunan, keranda hijau terangkat. Aku tersentak. Sudah saatnya Kiki pergi. Aku menatapi keranda itu dan payung merah di tanganku bergantian. Keharuan dalam hati semakin parah mendera. Keranda Kiki mulai dibawa menjauh, meninggalkan rasa bersalah dan beban yang teramat besar dalam batinku. Kutatapi terus payung merah yang kini menjadi milikku itu dengan pandangan kabur. Sembari mengiring kepergian Kiki, airmataku tak dapat kubendung, mengalir turun sederas rintik hujan.
—
Seminggu telah berlalu semenjak kepergian Kiki. Langit masih berteman awan hujan. Hanya seminggu lalu saja aku bertemu hari yang benar-benar bersih dari awan hitam kelabu. Benar-benar hari pemakaman yang cerah. Sepertinya langit tak ingin lagi menyusahkan Kiki di saat-saat terakhirnya sebelum ia dikembalikan pada tanah.
Aku berdiri sendirian di bawah payung merah peninggalan Kiki. Tak ada yang dapat kubantu hari ini. Semua orang kulihat membawa payung sendiri-sendiri semenjak kepergian Kiki. Sebenarnya aku merasa bersalah karena aku tak bisa menjalankan tugas yang Kiki berikan padaku dengan baik. Aku ingin seperti Kiki dahulu, yang dengan mudahnya menyodorkan sebagian payung merah ke atas kepala seorang yang asing.
Tiba-tiba saja, aku merasakan kehadiran seseorang yang berhenti dan berdiri di sampingku. Aku menoleh. Hampir saja aku meloncat kaget atas apa yang aku dapat. Kulihat Kiki, dengan rambut hitam panjang sepinggang tergerai dan pakaian panjang warna putih. Wajahnya bersih dan bersinar cerah. Kakinya tertutup kain putih panjang yang tampak mengular. Ia menatapku kemudian tersenyum lebar seperti gaya khasnya.
“Kki… Kiki…” aku terbata-bata. Tak bisa kulukiskan betapa terkejutnya aku saat mengetahui ada arwah Kiki yang kini berdiri di sampingku.
Kiki tertawa singkat, kemudian mendongak menatap kembangan payung merah di atas kepalanya. “Bukannya aku udah bilang supaya kamu nggak sendirian di bawah payung ini?”
Aku masih tak bisa bicara saking shocknya. Aku tak yakin kalau sekarang aku benar-benar dalam kondisi sadar. Tapi, ini semua terlalu nyata jika aku menyebut ini sebagai mimpi. Aku bisa merasakan aliran air merembes memasuki sepatuku. Bisakah aku sebut ini mimpi?
Kali ini Kiki menatapku sambil cemberut. “Yah, padahal aku udah percaya sama kamu…”
Mendadak aku terhenyak mendengar ocehan Kiki barusan. Aku ingat kembali perkataan wanita paruh baya itu di hari pemakaman Kiki. Aku ingat dia menyuruh agar aku menjadi pelindung di bawah hujan menggantikan Kiki. Tapi, apa yang aku lakukan selama seminggu ini? Seketika berkecamuk rasa marah, kecewa dan sedih dalam hatiku.
“Maaf,” ucapku lirih dengan nafas tertahan. Mataku mendadak menghangat.
“Aku mengerti,” jawab Kiki.
Aku tersentak seketika mendengar jawaban Kiki. Cepat-cepat kuusap pandanganku yang mulai kabur untuk melihat ekspresi Kiki sekarang. Kali ini ia tersenyum lembut, sangat lembut. Hatiku pun terenyuh. Pandangan mataku kabur lagi.
“Sudahlah, nggak usah nangis,” ucap Kiki sementara aku sibuk menahan airmata yang merebak di ujung mataku agar tidak mengalir turun. “Aku mengerti kamu belum terbiasa. Lagipula, aku lihat sekarang jarang sekali orang yang mau hujan-hujanan, ya?”
Aku hanya diam sambil menatap Kiki lamat-lamat. Hatiku masih bernuansa kelabu. Suasana batinku terlalu buruk untuk membantuku bicara.
“Tapi nggak usah khawatir,” ucap Kiki lagi. “Sementara aku belum benar-benar pergi, aku akan membantumu. Aku akan mengarahkanmu pada orang terdekat yang membutuhkan.”
Aku menghela nafas panjang. Aku baru saja akan menjawab “aku tidak yakin” ketika kudapati Kiki yang tahu-tahu sudah menghilang. Aku celingukan, mencari-cari sosok Kiki sambil meneriakkan namanya berkali-kali. Namun, ia tidak juga muncul.
Mendadak, seakan ada suatu dorongan kuat dari dalam hatiku, aku dipaksa menoleh ke belakang. samar-samar kulihat bayangan seorang laki-laki bertubuh agak gempal berlari menuju ke arahku. Tangannya kerepotan membawa buku-buku cetak. Bisa kutebak ia seorang guru.
Mataku membelalak melihat adanya kesempatan emas ini. Kali ini aku tahu maksud perkataan Kiki sebelum ia menghilang. Dengan segera aku berlari menghampiri orang itu dan menyodorkan sebagian payung merahku ke atas kepalanya. Rupanya ia pak Adi, guru kimiaku.
“Wah, kebetulan sekali!” seru pak Adi senang begitu dirinya terlindung oleh payung merahku. “Makasih ya, nak—siapa?”
“Yudo, pak!” jawabku tegas sambil tersenyum sopan.
Aku pun menemani perjalanan pak Adi dengan diselingi cerita-cerita yang pak Adi sampaikan. Aku terus menemaninya ketika pak Adi menunggu kedatangan bis ke arah tempat tinggalnya. Di sela-sela ceritanya, aku tersentak begitu kudengar pak Adi menyebut nama Kiki. “Biasanya, anak itu yang membawa payung dan menaungi bapak seperti ini,” katanya.
Akhirnya bis yang ditunggu pak Adi tiba. Setelah mengucapkan terimakasih sekali lagi dan tersenyum padaku, pak Adi naik ke bis. Bis melaju pergi. Jalan raya juga kebetulan sepi. Aku langsung menyeberang dan duduk di halte.
Sembari menunggu kedatangan bis menuju desaku, aku duduk melamun sambil memainkan payung merah. Aku putar-putar payung itu sehingga tampak seperti roda merah besar yang berotasi dengan cepat. Pikiranku melayang pada perkataan pak Adi tentang Kiki. Aku menghela nafas, menyadari akan sebegitu berharganya kehadiran Kiki dan payung merahnya dahulu di tengah-tengah guyuran hujan. Mungkin hanya berupa pertolongan sederhana, namun kebaikannya yang berjalan terus-menerus menanamkan kesan tersendiri di dalam hati orang yang melihat dan mengenalnya. Jasanya tak mudah terlupakan begitu saja meski kini Kiki sudah tak telihat lagi di mata.
Bosan memutar-mutar payung merah, pandanganku beralih ke seberang jalan. Nafasku terhenti beberapa saat begitu kulihat sosok Kiki ada di sana, di bawah hujan tanpa naungan. Namun, tak seperti tempo lalu, kini badannya tak basah diterjang rintik-rintik hujan. Kulihat dengan jelas senyumnya, sebuah senyum penuh rasa bangga padaku. Aku tak urung tersenyum diselingi haru. Dalam hati, aku memperkuat janjiku agar terus meneruskan tongkat estafet Kiki dengan menyalurkan kebaikan payung merah di tanganku ini kepada semua orang, siapa saja dimana saja.
Kiki tersenyum makin lebar sambil mengangkat kedua ibu jarinya, seakan-akan ia mendengar ikrar janji yang baru saja aku tancapkan dalam hati. Ia tertawa riang sebentar.
“Aku rasa kamu sudah cukup mengerti,” katanya dari seberang sana dengan suara biasa —yang anehnya mampu aku dengar dengan jelas. “Sekarang aku bisa pergi. Selamat tinggal, Yudo!”
Aku mengangguk sambil tersenyum, tak mampu mengucapkan kata “selamat tinggal” pada Kiki —terlalu menyakitkan. Rasa haru dalam hatiku makin kuat terasa. Mataku menghangat lagi. Kiki tersenyum, kemudian menghilang seakan kabur ditiup angin atau luntur diguyur hujan. Airmataku seketika mengalir tanpa mampu kukendalikan. Dan entah seberapa lama hujan menjadi saksiku mengantar kepergian Kiki yang sesungguhnya, dan menemaniku sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah.
Cerpen Karangan: Lisa T Facebook: https://www.facebook.com/lisa.suryani.21 si tukang ngayal yang berusaha menjadi penulis cerita/kisah…