Awalnya aku ragu dalam menghadapi hidup ini, banyak anak manusia yang memandang pertemanan hanya melalui fisik saja tanpa melihat dasar isi hati yang paling dalam. Aku ragu dalam memilah milih teman, apa lagi partner yang sesungguhnya sangat ingin sekali kumiliki.
Di sekolah, banyak sekali teman yang menjauhiku, mencampakkanku, dan menganggap ku tak ada. Aku sedih dan kecewa dengan semua yang dilakukan temanku. Apakah mungkin hanya karena keterbatasan fisik yang aku miliki, mereka tega melakukan perbuatan yang sudah ku anggap sangat keji itu? Atau adakah alasan lain yang lebih logis dan dapat dengan mudah ku terima tentang pembully-an – pembully-an yang mereka tindaskan padaku? Entahlah aku tak dapat berpikir apa-apa lagi tentang ini.
“Fitrah!” Seorang teman dari jauh memanggilku yang sedang mendengarkan rekaman yang sengaja ku rekam ketika guru bahasa Indonesiaku menerangkan suatu pelajaran. Tampaknya ia sedang membutuhkan bantuanku yang terlihat dari nada suaranya yang lirih. Atau jangan-jangan Ia hanya menjebakku agar aku terkecoh dan rencana yang telah di susun kawan-kawanku untuk membully-ku kembali terulang dan berhasil menggoreskan luka dihatiku.
Oh ya! Namaku Fitrah, Aku adalah anak perempuan penyandang tuna netra. Aku tidak sekolah di Sekolah Luar biasa memang. Karena aku ingin menunjukkan pada semua orang bahwa prestasiku dapat menyaingi kemampuan anak lain yang rata-rata berkefisikan normal. Aku tak malu untuk menimbah ilmu di sekolah ini walau dengan beribu keterbatasan, apa lagi dalam hal penglihatan.
Namun, jangan salah. Dalam melangkah aku tidak akan menyusahkan siapa-siapa. Sebuah tongkat dan kaca mata hitam untuk penyandang tunanetra sepertiku dapat membantuku dalam melangkah. Meski terkadang aku sering terjatuh, tersandung bantu dan lainnya. Mungkin itu karena aku kurang berhati-hati dan instingku tidak kupakai waktu aku melangkah.
Suara yang menyahutkan namaku itu mulai mengganggu pikiranku. Rasa takut mulai menghantui. Tubuhku menggigil dan berkeringat dingin. Dalam hati aku berucap “Aku tak mau di bully lagi, sudah cukup di hari kemarin kalian membullyku, mempermalukanku, menjatuhkan harga diriku. Untuk hari ini jangan! Aku ingin hidup dengan tenang seperti anak lainnya” “Fitrah! Sini. Ada orang yang nyariin kamu nih.” Aku tak mengacuhkannya, terus saja aku mendengarkan sebuah rekaman dengan balutan suara guru Bahasa Indonesiaku yang sangat lantang namun merdu itu. Bahasa Indonesia memang pelajaran favoritku. Meski aku tak dapat melihat namun aku senang mendengarkan atau memperhatikan sesuatu yang berhubungan dengan sastra.
Sejenak, hati nuraniku bergetar. Mungkinkah aku akan salah besar apabila yang dikatakan temanku benar jika ada yang mencariku namun sampai saat ini aku tidak mengindahkannya? Demi Tuhan, aku takut penindasan itu terjadi. Aku tak mau. Aku mulai bimbang dengan semua ini.
Aku mengikuti sumber suara itu. Rasa takut ku tepis begitu saja. Senyum yakin menyungging di bibirku. Harapan-harapan akan tidak terjadinya kejadian yang buruk mulai terbit di hatiku. Pikiran positif harus selalu ada di otakku, walau terkadang yang terjadi bukanlah suatu hal yang indah dan bukanlah suatu hal yang aku inginkan.
Tiba di suatu tempat, tempat seorang teman memanggil namaku berdiri. Aku mencari sosok orang yang sedang mencariku itu, namun sunyi yang ku rasakan. Tak ada selirik suara yang kudengar. Dan tiba-tiba saja “Byuuaaarrrrrr!!!” Tubuhku basah kuyup ada seseorang yang sengaja menyiramku dari belakang. Lalu muncul ribuan caci menyerangku “Orang buta, orang buta, orang buta!” Dengan bahagianya mereka mendendangkan cacian itu. Tuhan sekejam itukah mereka terhadapku. Dan begitu kejikah diriku sehingga mereka tega mempermainkan aku terus menerus.
Aku menghambur dari tempatku berdiri. Aku berjalan setengah berlari dan masih dengan sebuah tongkat dan kacamataku yang setia menemaniku. Tubuhku makin menggigil saja karena seluruh tubuhku basah kuyup tak terkecuali seragamku. Aku kehilangan arah seakan-akan aku menyerah, tak ada yang menopangku, tak ada yang peduli dengan keadaanku. Betapa tersiksanya menjadi seorang tunanetra yang di anggap hina sepertiku. “Tuhan, Kirimkan aku seberkas cahaya yang dapat membuat langkahku kembali cerah. Ampunilah mereka yang selalu membuat hidupku hancur berantakan. Ampuni mereka Tuhan. Walau bagaimanapun mereka tetap temanku. Mereka tidak buta penglihatan namun mereka buta hati. Aku tahu mataku tidak akan kembali normal. Namun setidaknya Engkau mau menyembuhkan mereka, menyadarkan mereka tentang apa yang telah mereka perbuat.” Doaku dalam hati dengan terus merintikkan air mata.
Aku menyelinap masuk kedalam kamar mandi perempuan. Aku menyendiri di sana namun lagi-lagi tongkat dan kacamataku yang setia menemani. Airmataku terus mengalir diam-diam jatuh di bajuku. Kini basahnya seragamku bukan hanya berasal dari siraman air yang sengaja disiram tadi mungkin bisa jadi airmataku turut serta membasahinya.
“Tok-tok-tok. Fitrah. Fitrah. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?” Sebuah suara terdengar dari sisi pintu kamar mandi. “Aku nggak papa. Siapa di sana?” Aku mencoba menjawabnya setelah menyeka airmataku. “Aku shinta temen sekelasmu, bisakah kamu keluar sebentar. Aku pingin ngomong.” Aku pun keluar dari kamar mandi menuju kediaman Shinta. “Fit, Maaf ya aku nggak pernah ngajak kamu main, nggak pernah ngajak kamu belajar bareng. Nggak pernah ngajak kamu komunikasi, sebenernya aku takut banget kamu malah tambah di bully gara-gara aku temenan sama kamu. Sebenernya udah lama banget aku pingin temenan sama kamu. Tapi apa daya, aku terlalu takut aku terlalu cemen. Maaf ya” Kata-katanya penuh dengan penyesalan. Aku bersyukur kepada Tuhan karena masih ada orang selembut Shinta mau peduli denganku. Aku tersenyum ikhlas lalu berkata “Nggak papa kok, Shin. Aku udah terbiasa kayak gini. Makasih ya udah mau jujur sama aku.” Ia meraih tanganku lalu menggenggamnya dengan erat dan penuh perasaan. “Kamu mau nggak jadi temenku, kalo bisa sahabatku? Mau nggak? Cari temen kayak kamu itu susah banget lo.” Aku tersipu dengan ucapannya, jelas sekali aku mau berteman dengan Shinta yang bersosok sangat terima apa adanya itu. Bagiku ia adalah seorang malaikat yang dikirim Tuhan untuk menemaniku setelah sekian lama aku menghadapi hari-hariku sendiri. “Duduk sebangku bareng aku yuk? Mau nggak? Udah lama kan kamu duduk sendiri?” Ia menarikku lalu mengisyaratkanku untuk duduk pada kursi panjang yang di sediakan karyawan sekolah di kamar mandi. “Kamu nggak bercanda kan? Tapi gimana kalo aku nantinya Cuma ngerepotin kamu? Aku nggak mau buat kamu susah.” Aku mulai gelisah, dan harapan untuk mendapatkan teman duduk sebangku mulai lenyap. “Nggak kok, aku malah seneng banget bisa duduk bareng kamu” Aku tersenyum mendengar penjelasannya. “Eh, bajumu basah banget tahu nggak, mau pake baju olahragaku?” Ia menyodorkan sebuah seragam olahraga kepadaku. Sebenarnya aku merasa telah merepotkan, namun harus bagaimana lagi aku tidak ingin jatuh pingsan hanya karena tubuhku menggigil akibat baju basah yang ku kenakan.
Setelah ku kenakan seragam milik Shinta ketubuhku, aku dan Shinta meninggalkan kamar mandi bersama-sama. Ia menggenggam tanganku seraya membantuku berjalan. Dengan percaya diri aku melangkah bersamanya. Tanpa rasa ragu aku menunjukan pada semua orang bahwa hari ini aku telah memiliki seorang sahabat. Sahabat yang bisa menerima keadaan, apapun keadaanku.
Aku bangga kepada Shinta, Ia tak malu memiliki teman sepertiku. Kali ini aku tak merasa sendiri lagi. Ada Shinta yang menemaniku. Hari demi hari ku hadapi bersamanya. Walau kadang cercaan cercaan selalu muncul dari mulut temanku yang merasa iri denganku. Ia tetap bersamaku, bahkan tidak malu untuk menggenggam tanganku dan memeluk tubuhku dihadapan mereka yang selalu mencercaku.
Hingga suatu hari, guruku mengutusku untuk mengikuti lomba membaca puisi antar SMP tingkat kabupaten dalam meperingati hari pendidikan nasional. Aku memang sangat suka sekali puisi. Sudah lama sekali aku ingin mengikuti ajang ini. Namun suatu bencana menimpaku. Kacamata khusus tunanetra milikku rusak hingga aku tak dapat mengenakannya lagi. Ayahku berusaha memperbaikinya, karena untuk memperbaikinya butuh biaya yang sangat mahal dan Ayahku tidak memiliki sejumlah rupiah untuk membayarnya. Aku merasa kesulitan tanpa kacamata tersebut. Hari menuju perlombaan sudah semakin dekat namun kacamata tunanetraku masih belum kunjung sembuh. Terpaksa aku hanya menghandalkan tongkatku.
Shinta turut berduka, namun aku selalu meyakinkannya bahwa aku masih bisa melangkah walau tanpa kacamata tersebut. Aku akan mengikuti perlombaan yang sudah lama ku impikan walau tanpa kaca mata yang sangat setia padaku itu. Shinta berjanji padaku akan membantu membimbingku melangkah apabila aku mengalami kesulitan nantinya.
Tiba pada hari perlombaan, ku mantapkan hatiku kembali. Ku pendam semua rasa grogi. Aku yakin aku bisa karena aku telah berlatih, berlatih dan berlatih tanpa melupakan doa yang berisi harapan semoga gadis tunanetra sepertiku dapat mengharumkan nama sekolahku.
Shinta berjanji padaku akan menjemputku dan mengantarku ke tempat aku berlomba nanti bersama keluarganya. Shinta bilang, Ia pernah menceritakan semua tentang diriku kepada keluarganya sehingga membuat orang tua Shinta yang terkenal dermawan ingin bertemu denganku. Dan pada kesempatan ini mereka tidak akan menyia-nyiakannya.
Aku sudah menunggu 1 jam lamanya di teras depan rumahku. Menunggu keluarga Shinta pastinya. Aku sengaja menunggu lebih awal supaya nanti ketika keluarga Shinta datang aku tak perlu tergesa-gesa. Aku sudah mengenakan seragam yang sangat rapi sesuai dengan apa yang di harapkan panitia. Namun, keluarga Shinta tak kunjung tampak kehadirannya. Hingga waktu menuju ke perlombaan semakin dekat. Ibuku memberi isyarat padaku untuk segera berangkat menuju tempat perlombaan. Tapi aku tetap bertekat ingin menunggu keluarga Shinta, aku tak ingin membuat keluarga Shinta kecewa. Ibuku menawarkan diri untuk mengantarku. Namun aku tak mau dan terus menunggu. Dalam pikiranku, mungkin keluarga Shinta sedang di timpa macet sehingga mereka telat menjemputku. Waktu telah melampaui waktu perlombaan di mulai, aku harus segera beranjak, jika tidak aku tidak akan mengikuti perlombaan tersebut.
Aku berpamitan pada Ibuku. Aku meminta izin untuk berangkat menuju tempat perlombaan. Lagi-lagi Ibu menawarkan untuk mengantarku. Namun kali ini aku tak ingin menyusahkan Ibu, hari ini kondisi kesehatan ibu sedang tidak stabil, jadi kuputuskan untuk berjalan sendiri dengan tongkat yang kumiliki dan tanpa kaca mata yang menemani. Aku yakin aku dapat sampai ketempat yang kutuju dengan selamat karena aku telah mendapat restu dari Ibu.
Aku berjalan sendiri di pinggir jalan yang cukup ramai. Sebenarnya ada rasa takut yang membayangi. Tapi aku tak peduli. Guru-guru pasti sudah menungguku di sana. Teman-teman? Entah sepertinya mereka tak begitu mengharapkan kemenanganku. Apa pentingnya bagi mereka. Mungkin mereka hanya dapat mem-bullyku dan berusaha melunturkan asaku. Aku terus berdoa semoga hari ini lancer dan tidak ada pihak yang merasa kecewa.
Sudah cukup jauh aku melangkah. Aku merasa ada kendaraan yang akan melintas di depanku. Aku terus berfikir positif. Namun jaraknya semakin lama semakin dekat. Kekhawatiranku mulai melambung tinggi. Suara mobil dapat kudengar dengan jelas. Tiba-tiba ada sepasang tangan menarik tubuhku sehingga membuat aku terpaksa menghempaskan tongkatku. Suara rem cakram mobil mulai terdengar, gemuruh orang berbisik juga dapat ku tangkap. Pemilik sepasang tangan tersebut adalah Shinta. Shinta memeluk tubuhku dengan erat dan penuh kasih sayang seraya berkata “Kamu nggak papa kan, Fit?” aku yang masih merasa sedikit shock menjawab dengan tenang “Aku nggak papa, makasih ya udah mau nolongin aku.”
Shinta mengajakku menuju mobilnya, sebelumnya Ia membantuku mengambil tongkat yang terlempar jauh dari kediamanku. Di mobil milik Shinta, aku sedikit berbincang-bincang dengan orangtua Shinta. “Maaf ya, sayang tadi Tante telat jemput kamu. Tante masih ada rapat penting di kantor.” Suara lembut Mama Shinta berhasil menenangkan perasaanku yang luluh lantah karena kecelakaan yang nyaris terjadi akan merenggut nyawaku. Aku tersenyum, Papa dan Mama Shinta sangat bangga kepada anaknya karena berkat keberaniannya menarik tubuhku, nyawaku tidak jadi hilang. Papa dan Mama Shinta juga banyak berbincang-bincang denganku, mengenai sekolah dan lain sebagainya.
Sesampainya di tempat perlombaan. Suasana memang sangat meriah. Aku dapat mendengar suara peserta yang mebacakan puisinya dengan indah. Di antar Shinta dan Mama Shinta, aku menuju tempat guru Bahasa Indonesiaku berada. Beliau tak henti-hentinya memotivasiku sehingga gergi yang sebenarnya sejak dari tadi sudah hilang namun datang lagi berhasil lenyap berkat semangat dari guruku. Aku tidak pernah merasa malu karena kekuranganku. Justru di ajang ini aku ingin menunjukan bahwa seorang tunanetra sepertiku mampu bersaing dengan anak-anak yang secara fisik normal.
Ini waktuku untuk tampil dengan puisiku. Aku tak perlu membacanya, aku sudah hafal tiap-tiap baitnya. Puisi yang aku bawakan adalah puisi karya Guru Bahasa Indonesiaku sendiri, Bu Indri. Beliau membuatkan puisi yang pas untukku. Sebenarnya aku memiliki puisi sendiri. Namun Bu Indri menyarankan agar aku membawakan puisinya saja karena makna dalam kata-katanya yang sangat mudah sehingga memungkinkanku untuk berlatih dengan mudah.
Setelah tampil dengan percaya diri. Aku kembali duduk di samping Bu Indri. Tepuk tangan masih dapat ku dengar. Ternyata aku adalah peserta terakhir dalam perlombaan ini. Dan pemenang akan di umumkan dalam waktu setengah jam lagi. Aku menunggu dengan sabar di sana. Shinta kali ini menggenggam tanganku seraya meyakinkanku “Kamu pasti menang, Penampilanmu barusan bagus banget.” Dan ternyata yang dikatakan sahabatku benar. Aku mendapatkan juara pertama karena kelancaranku membawakan puisi tanpa satupun partitur yang ku bawa. Aku bersyukur kepada Tuhan. Akhirnya impianku tercapai walau harus jatuh bangun dalam meraihnya. Aku mendapatkan sebuah piala dan piagam dari panitia yang akan ku abadikan di sekolahku. Mama Shinta memberikanku penghargaan pula yaitu sebuah kaca mata tunanetra yang masih baru. Pasti harganya sangat mahal, aku menolaknya namun Mama Sinta menyangkal dan berkata “Ini juga penghargaan buat kamu karena kamu udah mau jadi sahabat Shinta” tanpa ragu aku menerimanya.
Kini penindasan dan pembully-an mulai sirna. Aku sudah jarang sekali mendengar cacian dari teman-teman yang iri padaku. Kali ini aku dapat menunjukkan bahwa orang cacat dan buta sepertiku dapat menyaingi orang normal pada umumnya. Teman-teman mulai berdatangan padaku untuk di ajari teknik membaca puisi dengan benar. Dengan senang hati aku mengajarkannya. Kini banyak lawan yang ingin menjadikanku kawan. Sedangkan Shinta saat ini bukan hanya seorang sahabat melainkan juga partner hidup yang aku impikan.
Cerpen Karangan: Silvia Mayningrum Facebook: Silvia Mayningrum