Matahari sudah tinggi dan sinarnya cukup menyengat. Bagi orang yang tak terbiasa pastilah sudah meringis dan mencari perteduhan. Tapi aku sudah terbiasa. Mungkin kulit gelapku sudah beradaptasi karena setiap hari sejak pagi aku sudah ada di bawah langit di atas aspal. Berputar-putar di sekitar perempatan menyusuri jejeran mobil yang setia menanti lampu merah berganti jadi hijau. Aku tak sendirian. Bukan, bukan maksudku bahwa di dunia ini ada banyak orang yang senasib denganku, tapi sehari-hari aku tak sendirian karena seorang teman selalu bersamaku. Ia berjalan di depan sementara aku mengikuti dari belakang berpegangan pada pundaknya. Ia jadi pemanduku karena aku tidak bisa melihat. Kami menghampiri satu mobil ke mobil yang lainnya. Berharap selembar uang seribu atau duaribuan terjulur keluar dari celah kaca jendela yang terbuka. Berharap ada manusia yang masih memiliki nurani di bumi ini, menyisihkan harta seujung kukunya yang tak berarti banyak buatnya namun cukup berharga bagi kami. Menyambung hidup di tengah kota metropolitan yang kejam ini. Mengumpul recehan demi recehan hanya untuk membeli nasi guna menjaga tubuh ini tetap bernyawa.
Menjelang malam, sisa pendapatan hari itu kami bagi berdua. Adil, masing-masing mendapat lima puluh persen. “Pak… Sedekah, Pak…” ucap temanku ketika kami berada di sisi salah satu mobil. Tidak terdengar olehku gesekan kaca yang diturunkan. Kami pun tidak memaksa. Sabar dan ikhlas menanti pengendara yang terketuk hatinya. Kami menuju kendaraan di belakangnya. Jika ada yang berhati mulia, aku bisa merasakan sesuatu diletakkan di telapak tanganku yang terbuka dan aku akan berterima kasih seraya mengucap doa untuk keselamatan dan berkah yang diterimanya. Demikian berulang-ulang sepanjang hari. Kami menghabiskan hari di jalanan yang panas dan penuh polusi.
Perutku mulai terasa lapar. Namun sepertinya uang kami belum cukup. Rejeki hari ini agak seret. Memang pendapatan setiap hari tidak sama. Kadang lumayan, kadang sedikit. Kalau sedang sepi, biasanya temanku akan menuntunku menghampiri pengendara motor. Benar saja, dia sedang melakukannya sekarang. “Pak, sedekahnya, Pak…” Aku mengulurkan tangan. “Maaf, gak ada uang kecil.” ujar pengendara motor itu. Kami pun segera berlalu darinya.
Penolakan sudah jadi santapan kami sehari-hari. Tak ada rasa kecil hati meski terkadang ucapan mereka kasar. Ada yang marah, ada pula yang melontarkan nasehat, ‘Malas kamu ya… Masih sehat kok minta-minta!’ Ya, Tuhan… Tidakkah mereka punya sedikit belas kasihan melihat sesama yang berkekurangan? Apalah yang bisa dikerjakan seorang buta seperti aku ini? Dunia hanya menganggapku sebagai sampah! Mengotori kota dengan tampang hina dan dekil ini. Tidak produktif dan hanya menjadi beban orang lain.
Wahai manusia yang masih di beri kelengkapan indera dan anggota tubuh, bersyukurlah pada Tuhan! Kalian masih bisa mengerjakan banyak hal. Kalian masih bisa hidup layak. Bukankah setiap agama menuntut rasa syukur dari umatnya yang diwujudkan dengan cara menolong orang lain? Bukankah dalam Islam memberi sedekah adalah ciri orang beriman dan akan mendatangkan pahala? Bukankah dalam Kristen dan Katolik mengasihi sesama itu suatu keharusan dan menolong orang yang membutuhkan itu sama seperti memberi kepada Tuhannya? Bukankah dalam ajaran Buddha juga dianjurkan menderma untuk melemahkan keserakahan dan dosa? Dan umat Hindu juga harus untuk bersedekah sebagai salah satu perbuatan susila yang menjaga Dharma? Namun adakalanya agama itu hanya ada di tempat ibadah. Tidak di jalanan seperti ini. Aku coba memahami kenyataan itu. Takdir adalah kenyataan. Manusia pada hakikatnya harus bertahan hidup hingga masa yang diberikan Tuhan untuknya berakhir.
Lewat tengah hari kami beristirahat di bawah sebatang pohon. Seliter air yang ku bawa dalam botol plastik bekas melepaskan dahaga kami. Uang yang ada kemudian kami belikan makan siang.
Panasnya siang ternyata tak berbekas di sore harinya. Cuaca berubah drastis. Hujan lebat mengguyur kota. Awalnya kami berteduh di emperan toko, namun hujan tak jua berhenti. Setelah sejam – saat curah hujan mulai berkurang – temanku berkata, “Ayo, Min… Kita mainkan aja. Kalau begini terus gak dapat duit kita.” “Ayolah…” jawabku. Teringat akan anak isteri. Tak mungkin seharian aku hanya dapat uang yang habis untuk makanku sendiri. Mereka juga butuh makan, pakaian dan kebutuhan hidup lainnya. Walau isteriku juga berusaha mengais rejeki di tempat lain. Biasanya dia membawa dua anak kecil kami mengemis di emperan toko dekat pasar. Kami bertemu nanti selepas maghrib di rumah atau di ujung gang. Banyak pengemis lain terutama anak-anak jalanan masih meminta-minta hingga larut malam. Namun bagiku, waktu untuk keluarga masih lebih penting. Aku harus bersama mereka saat malam tiba untuk menikmati hidup berkeluarga.
Sore menjelang, hujan telah berhenti. Matahari bersiap-siap berangkat ke belahan bumi lain. Pakaianku sudah basah bermandikan air hujan. Semoga saja sakit tidak bertandang ke tubuh kurusku ini, bisa tambah repot urusannya. Kami pun meninggalkan lampu merah menyusuri jalanan yang saat itu kemacetannya sudah mencapai puncak. Kami berjalan agak jauh dari persimpangan tempat kami mencari nafkah hingga tiba di sebuah areal pekuburan yang sepi. Kami masuk ke pekarangannya. Kubuka bungkusan plastik hitam yang selalu kubawa setiap hari. Sepotong kaos katun berkerah dan celana panjang denim menggantikan baju dekilku yang telah basah. Dari dasar kantongan kuraih telepon seluler yang sedari tadi mati, lalu kuhidupkan. Sejenak menanti SMS yang masuk atau daftar panggilan tak terjawab sambil mengenakan jam tangan dan kaca mata minusku. Setelah berbagi pendapatan hari itu, kami pun berpisah untuk bertemu lagi esok harinya.
Cerpen Karangan: Bergman Siahaan Blog: bergmansiahaan.com