Hari itu, aku tertatih. Tidak jelas aku sedang berada di mana. Samar-samar seperti di tengah-tengah antara sorga dan neraka. Tunduk, tengadah, bahkan sesekali kepalaku menengok ke arah kanan, kiri dan belakang. Aku berdiri di tengah-tengah dimensi hidup penuh khayal. Kepalan tanganku gusar dengan urat nadi yang tampak tegang. Dunia itu merogok dalam-dalam tenggorokanku sampai ke hulu hati, nafas sesak, denyutan pompa darah di jantungku keras, lebih keras, dan semakin keras. Aku larut dalam sugesti kecemasan dan rontaan kebingungan.
Waktu itu sebuah tangan menepuk pundakku sebelah kanan. Seketika aku menoleh ke arahnya. Tampak ku lihat sesosok manusia misterius berpakaian putih, hampir mirip kakekku yang telah lama tiada. Tanpa sapa dia berkata. “Lihatlah hai anak muda, pandanglah sorga di belakangmu, begitu indah, asri, dengan hiasan bunga mawar mengitari pegunungan-pegunungan tinggi di sana. Sumber kehidupan yang bergelimang, rona-rona cahaya bintang berdansa dengan pepohonan.” “Siapa kau kek? Apa maksud perkataanmu tadi?” sambut tanyaku. “Apa untungnya kau tahu siapa aku, yang perlu kau tahu hanyalah, di mana tempat itu?” jawabnya tegas. “Tapi hidupku lebih mewah dari itu kek. Aku tak perlu lagi berjalan kaki seperti mereka, aku tak perlu lagi pergi jauh-jauh ke Belanda untuk menemui pamanku, aku tak perlu lagi menggenggam pinsil dan penghapus untuk menulis segala tentang kehidupan ini. Kini aku berada di titik sempurna, semua orang pun tahu, kita tak perlu lagi bersusah payah untuk mencari makan, atau untuk mencerna sepotong goreng singkong yang rasanya aneh.” Kakek misterius itu hanya tersenyum, terpaut seraya mengejek perkataanku. Dia memang pendengar yang baik, begitu juga aku. Tak lama kemudian Ia melanjutkan kampanye konyolnya. “Baiklah anak muda, saatnya kau melihat ke depan. Lihatlah, tatap dan renungkan apa yang akan kau saksikan.” Kakek itu meluruskan telunjuknya ke arah depan dengan sorot mata yang tajam penuh makna. “Lihatlah pegunungan di sana, lihatlah langit mendung itu, musim-musim tak beraturan, predator dengan senjata bergerigi meluluh lantahkan paku bumi ini, mereka kupas tuntas keasrian alam dengan segala akal bulus dan keserakahannya, aroma menyengat dari tebaran nafsu kekuasaan, rencengan rupiah, lidah-lidah panjang yang merah, para monster yang haus darah berkeliaran di setiap penjuru rumahmu, bahak tawa mereka menunjukkan bahwa kita hanya semut kecil yang bisa di injak-injak lalu mati, merekalah pemangsa harga diri kita dengan akal bulus dan senyuman dusta juga kemunafikan, kita hanya contoh kecil dari korban kepecundangan mereka, lilitan kain belang-belang itu hanya tipuan, topeng di wajahnya pun terbuat dari bahan anti peluru, merekalah neraka, bukan sorga bagimu, aku, atau kita.” Ujarnya bernada meyakinkanku. “Apakah aku harus peduli pada semua itu kek? Kau hanya manusia renta dan sudah bau tanah, mana mungkin kau mengerti arti kesuksesan.” Sang Kakek itu pun tak mau kalah, dia mempertahankan argumentasinya dengan terus melanjutkan atraksi ceramahnya yang semakin lama membuatku sedikit kesal. “Aku memang sudah tua, jelas saja karena usiaku tak lebih muda darimu anak muda, aku sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun, setiap hari tugasku hanya mengawasi kalian dengan memo yang telah lusuh ini.” “hufh…! Bicaramu seperti menunjukkan bahwa kau adalah Tuhan, jangan ngaco. Di zaman sekarang, orang yang menganggap dirinya sebagai Tuhan adalah kafir.” Lagi-lagi ia mengelak argumentasiku yang bernada seperti tuduhan. “Orang kafir itu hanya ada pada jiwa-jiwa yang kotor, dia mampu membangkang dari apa yang dijaganya. Aku sendiripun tak pernah tahu siapa orang-orang kafir itu. Tak ada jawaban pasti, siapa orang kafir sebenarnya.” Begitu gamblangnya kakek misterius itu berujar, hampir-hampir aku kalah argumen.
Di sela-sela perang dingin itu, tiba-tiba saja pundak kiriku di tepuk oleh sebuah tangan, nampaknya dari arah belakang. Aku tercengang seketika melihat siapa yang menepuk pundakku itu. “Siapa lagi?” pikirku saat itu. Kini laki-laki berjubah hitam dengan kumis tipis dan jambul yang tampak seperti ujung pantopel yang aku kenakan. “Jangan dengarkan dia saudaraku, dia hanya akan menyesatkan pikiranmu saja.” Sambutnya dengan senyuman. “Siapa lagi kau? Apa urusanmu datang kemari?” Tanyaku. “Aku datang untuk menyelamatkanmu dari kesesatan.” Jawabnya. “Apa maksudmu?” “Kau punya pilihan hidup, pilih saja yang menurutmu benar.” “Dari perkataanmu, kau cukup meyakinkan, apa yang akan kau tunjukkan padaku sebagai pembuktian bahwa perkataanmu benar soal pilihan itu?” Lanjut pertanyaanku. “Tidak ada.” “Lantas?” “Hanya saja kau begitu luwes, ambil saja semuanya, kau punya keluarga yang patut kau hidupi, anak istrimu selalu menunggumu di rumah dengan harapan kau dapat memberikan mereka kejutan besar.” Aku berpikir sejenak, memikirkan apa yang dikatakan laki-laki misterius berjubah hitam itu. Kejutan apa yang sebenarnya ia maksud. “Aku memang berkeluarga, mereka baik terhadapku, tapi sampai saat ini aku belum memberikan mereka kejutan besar itu. Dengan cara apa?” “Apa kau merasa kekayaanmu itu sudah cukup? Itu masih belum ada apa-apanya. Coba kau lihat petinggi-petinggi negara di luar sana, mereka hidup serba berkecukupan. Hak rakyat adalah hakmu juga, ambil saja semuanya demi kau dan keluargamu, karena keluargamu lebih membutuhkanmu dibandingkan rakyatmu sendiri.” Aku tersenyum, sedikit semangat mendengar apa yang diutarakan pemuda misterius itu. “Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku lagi. Pemuda berjubah hitam itu tertawa sebelum menjawab pertanyaanku. “Hahahaha… mudah saja, sangat… sangat… dan sangat mudah…! Kau ambil saja uang itu, jangan pedulikan orang lain, karena belum tentu orang lainpun memperdulikanmu. Kau punya tanggung jawab besar atas keluargamu. Kau itu seorang petinggi negara ini, kau di percaya oleh kerajaanmu. Apa lagi yang kau pikirkan? Sudah, ambil saja semua harga diri dan martabat makhluk-makhluk kerdil itu, mereka sendiri tidak punya hak mengatur hidupmu.” “Tapi akumencintai mereka, aku bisa seperti inipun berkat mereka!” Sanggahku. “Ha ha ha…!” lagi-lagi pemuda misterius itu tertawa “Kau bisa seperti ini bukan berkat mereka, tapi berkat dirimu sendiri. Kau itu pintar, pecahan matematikapun kau selesaikan dalam hitungan detik. Cinta itu bukan ukuran seperti ilmu fisika atau kimia, dia tidak dapat di ukur. Kau bukan makan cinta, tapi nasi.” Sejenak aku berpikir kembali, kian salut penuh keheranan. Ku pikir inilah sebuah anugerah, aku mendapatkan dorongan yang hebat dan membanggakan dari seorang sahabat misterius. Untuk apa aku memikirkan liliput-liliput itu, mereka hanya makhluk kerdil tak bermoral.
Tiba-tiba kakek renta berjubah putih yang berdiri di sebelah kananku tadi menyela di tengah-tengah percakapan kami. “Hei anak muda, gunakanlah sisa hidupmu untuk menjaga dirimu sendiri juga negerimu dari jerat keserakahan. Jangan dengarkan perkataan iblis itu, dia menjerumuskanmu pada suatu kerugian yang besar. Janganlah kau beri keluargamu makanan yang bukan haknya. Karena suatu saat hak, derajat, dan martabat yang kau renggut dari rakyatmu akan membawamu pada jurang yang terjal dan dalam, serta dibawahnya terdapat bara api yang memuncahkan gelombang panas melebihi matahari.” Sahabat misteriusku nampak gusar mendengar ceramahan Si kakek tua, lantas dia melanjutkan perkataannya dengan penuh motivasi. “Untuk apa aku menghasutmu kawan? Sama sekali tidak ada untungnya bagiku. Aku sudah kaya, hotel-hotel itu pernah jadi milikku, aku pernah jadi raja, aku sudah bosan dengan lembaran-lembaran rupiah, dan sekarang giliranmu, lanjutkanlah kekuasaanku.” Sedikit banyak aku merasa bingung, di mana kebenaran itu. Mana yang benar dan yang salah? Nuraniku tak dapat memilih begitu saja, terlalu berat rasanya, bagai memikul seribu kubik batu di pundakku. Ku lanjutkan tanyaku pada kakek misterius berjubah putih itu. “Apa lagi yang akan kau tunjukkan padaku setelah ini, kek? Apa mungkin kau sudah kehilangan kekuatan argumenmu?” Tanyaku pada kakek berjubah putih. Sepontan sang kakek tua menjawab pertanyaanku. “Kau lihat sampah-sampah itu? Kau lihat mereka yang tidur nyenyak di atas kepedihan anak-anaknya? Perhatikanlah, di sana begitu banyak korban peperangan, demokrasi yang amburadul, provokasi merajalela, saling menggulingkan, saling menjatuhkan, saling membakar, huru-hara berpadu dengan teori rasial, mereka bukanlah dirimu, dirimu adalah pahlawan, pahlawan penolong umatmu yang telah jadi korban kehancuran negeri ini.” “Itu bohong kawan, itu tidak ada dalam rumus hidupmu, Si tua renta itu hanya ingin mendapat keuntungan sebagai selirmu nanti, lama kelamaan dia akan menyingkirkanmu dari tahta kebenaran dan duduk di atas singgasana keserakahan.” Hasut sobat misteriusku.
Tak lama kemudian, tepat dihadapanku muncul pemandangan yang begitu mengerikan, itu duniaku, itu planet tempatku hidup. Banjir, letusan gunung merapi, longsor, gempa bumi, kelaparan, kemiskinan meraja, kesenjangan sosial, perang saudara, rasisme, anarkisme, korupsi, kolusi dan nepotisme, udara yang tercemari oleh polusi, gubahan lumpur panas, disintegrasi, dan aksi-aksi kejahatan yang semakin mengakar. Begitu miris, aku bahkan hidup di tengah-tengah roman kehancuran itu.
Aku tersadar. “Ya Tuhan…! Apa yang aku pikirkan selama ini?” Lidahku kelu, tubuh ini pun kaku, hatiku bergetar, takut, iba dalam diriku bangkit. Kakek tua berjubah putih telah menunjukkan neraka di balik duniaku yang seakan-akan menyerupai surga. Seketika itu aku terperanjat, tersedot ke dalam lubang hitam. Warna-warni cahaya, gelap bagai rongga bawah tanah, sampai aku berpikir ‘Di mana aku?’ Kian dimensi itupun memudar. Si kakek misterius dan seorang pemuda berjubah hitam yang sempat memanggilku dengan sapaan mesranya ‘Sobat’ seketika lenyap dari pandanganku. Memoriku hilang sekejap.
Aku membuka mata, perih rasanya, seperti ada setumpukan krikil terselip di sela-sela kelopak mataku yang memerah bagai iritasi, leherku pegal terganjal oleh sandaran kursi ruang kantor yang tampak tidak asing lagi bagiku, meja kerja yang dipenuhi lembaran-lembaran rupiah yang berhamburan dari dalam koper hitam intim bersama setumpukan kertas yang berserakan tidak karuan.
Kini aku tersadar dari mimpi aneh sejam yang lalu itu, sambut renunganku sesaat mengingat apa yang aku lihat dalam bunga tidurku tadi. Ku hampiri jendela kaca lantai 4 di ruang kantorku, ku lihat duniaku dengan mata terbuka, hatiku berkata ‘Ini duniaku’. Planet bumi tercinta yang harus ku jaga dengan segala pengorbanan jiwa raga. Mereka rakyatku, abdi yang harus aku pertanggungjawabkan atas kepercayaannya, merekalah raja tertinggi di negeri bahkan di dunia ini, akan aku genggam erat kepercayaan mereka terhadapku selama ini.
Perlahan aku menoleh ke arah meja kerjaku yang acak-acakan. Dengan segala kerendahan hati, ku urungkan niatku untuk memperkaya diri, ku kembalikan harkat, derajat, dan martabat mereka sebagai hak mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat.
Cerpen Karangan: Riky Fernandes Blog: rikyfernandes.mywapblog.com Facebook: Riky Fernandes