Pukul sepuluh pagi, kereta tiba di stasiun. Terlambat lima belas menit karena perbaikan jalur, sebuah hal yang sangat tidak biasa terjadi. Rumor mengatakan bahwa ada sekelompok teroris yang merusak magnet rel, yang lainnya menuduh kelompok anti-pemerintah, dan lain-lain. Namun aku tahu bahwa semua itu tidak benar.
Rel rusak karena putusnya arus. Sumber listriknya, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang terdapat di Cirebon, mengalami kerusakan pagi ini. Aku tahu karena aku bekerja di sana, dan belum ada sejam lalu aku dikabari kerusakan tersebut.
Kereta mulai meluncur, tanpa suara, secepat peluru menuju Jakarta. Aku bersandar di kursiku, menghela napas pelan. Minggu ini bukanlah minggu yang baik, apalagi dengan semua investigasi yang dilakukan terhadapku dan seluruh badan keuangan yang kukepalai.
Setelah pikiranku terasa lebih baik, aku meraih koperku dan mengeluarkan koran hari ini yang ku beli di stasiun. Sebagian besar isinya adalah berita internasional, dan nyaris semuanya adalah mengenai krisis ekonomi di Amerika Serikat. Negara tersebut memutuskan untuk meminjam uang lagi ke Cina, semalam. Padahal ku pikir keputusan mereka untuk menjual tanah mereka ke Brazil sudah cukup buruk. Sepertinya mereka sangat putus asa.
“Permisi bu, apakah ibu perlu baik-baik saja?”
Aku menoleh dan melihat seorang ibu-ibu duduk di kursi beberapa meter dariku. Wajahnya tampak agak pucat, dia berkeringat dan menggigil. Dia mendongak saat seseorang berjalan mendekatinya, berdiri di depannya dan menanyakan pertanyaan barusan.
Salah. Bukan seseorang, melainkan sebuah robot.
“Sebenarnya… saya agak demam,” Ibu-ibu tersebut berkata. “Tapi tidak apa-apa… beberapa hari lagi saya akan ke dokter.”
Robot itu tak berwajah. Di lokasi yang harusnya terdapat sebuah kontur hidung, mulut, dan apapun yang membentuk wajah pada manusia normal, padanya hanya terdapat sebuah bidang mulus kosong. Putih, tanpa ekspresi. Namun dari caranya menunduk, postur tubuhnya, hingga posisi lengannya saat dia berbicara dengan ibu-ibu tersebut, seolah terpancar segenap rasa pengertian yang sangat tinggi.
Dia mengangguk. Setelah diam beberapa saat, robot itu berkata, “Medis kereta akan tiba di sini dalam lima belas detik, bu. Mohon menunggu sebentar.”
“Ah, tidak usah…” kata si ibu, menggeleng. “…saya tak apa-apa kok, cuma demam biasa…”
“Tidak apa-apa. Selama ibu berada di kereta ini, segala kondisi ibu, dari kesehatan, keselamatan, hingga kesejahteraan ibu, adalah tanggungjawab kami,” kata robot itu. Sebuah robot berlari melewati depanku dengan sangat cepat, gesit dan anggun dalam tiap langkahnya. Aku memandangi saat robot tersebut, yang memiliki corak merah muda di bagian dadanya, berhenti di depan si ibu-ibu dan mengulurkan telapak tangannya, yang bersih dan polos, ke pergelangan tangan ibu-ibu tersebut.
Aku memalingkan wajahku sementara si robot medis memberikan sebuah obat kepada si ibu, dan menunggunya menelannya. Dalam beberapa menit kondisi si ibu akan membaik, dan kemudian berterima kasih kepada kedua robot tersebut, kemudian keduanya akan kembali berjalan, berkeliling kereta untuk menjaga semua penumpang.
—
Kalender menunjukkan tahun 2014 saat generasi pertama robot perfect-humanoid melangkah di daratan. Dua kaki, dua tangan, tubuh yang serupa dengan manusia, berbahan polycarbon, memiliki rangka yang sangat kokoh, dan dapat di program sesuai dengan kebutuhan, dengan segera mereka menjadi perhatian masyarakat dunia. Pembuatnya, seorang ilmuwan dari negara Indonesia, mematenkan mereka dan meneken kontrak dengan perusahaan mobil lokal untuk memproduksi mereka secara masal.
Hasilnya sangat sukses. Tahun 2015, berbagai bidang pekerjaan vital dan berbahaya di berbagai penjuru dunia di ambil alih oleh robot. Perusahaan tersebut, perusahaan mobil lokal dari sebuah negara yang terpuruk akan korupsi mendadak berubah menjadi raksasa teknologi internasional. Produksi dan pengembangan robot terus berlanjut, dengan tujuan utama sebagai pembantu manusia. Tak ada satu profesi pun yang tak bisa dilakukan mereka.
Tahun 2017, melalui kerjasama dengan berbagai pihak, perusahaan tersebut mengubah nama mereka menjadi Company dan mulai membagikan robot-robot secara cuma-cuma ke berbagai tempat di Indonesia. Mereka menjadi pekerja bangunan, pekerja tambang, pekerja umum, hingga pembantu rumah tangga. Dana perawatan di tanggung oleh pemerintah, dan khusus untuk robot-robot yang bekerja di industri, biaya di tanggung industri tersebut.
Selama beberapa belas tahun terakhir, setelah meninggalkan sistem ekonomi liberal, negara Indonesia semakin maju sementara negara-negara Barat mulai lumpuh karena ekonomi. Namun kemajuan tersebut tidaklah cukup. Korupsi dan kejahatan masih kental, sangat amat kental di Indonesia. Hingga akhirnya, pada tahun 2019, seorang Presiden yang baru terpilih – seorang pemuda, ambisius, idealis, dan keras – memerintahkan Company untuk mulai memproduksi robot guna kepentingan penegakan hukum.
Sempat ada kontroversi di sana. Pihak kepolisian menentang rencana tersebut, namun setelah uji coba lapangan, terbukti bahwa para robot bisa lebih efektif dalam mengatasi berbagai masalah hukum di masyarakat. Dan bagaimana tidak? Mereka kuat. Mereka tangguh. Mereka tidak mengenal toleransi terhadap pelanggaran peraturan. Jika kau melanggar hukum, mereka akan datang dan menangkapmu, sangat sederhana.
Para robot juga mulai digunakan di peradilan. Sistem kecerdasan buatan yang mereka miliki terbukti mampu memberikan netralitas, perhitungan, sekaligus kalkulasi yang luar biasa dalam pengambilan keputusan. Lidah sengit para pengacara tidak bisa membela orang yang benar-benar menyalahi hukum.
Nah, dari berbagai kesuksesan itulah, para robot mulai dimanfaatkan untuk pemberantasan korupsi. Tak ada satu pun koruptor yang lolos. Meski hanya sekedar mencuil, pasti tak akan lolos. Para robot adalah penyidik yang luar biasa, mampu mengakses dan mengolah data dengan keefektifan puluhan kali kemampuan manusia.
Dan karena itulah, aku duduk di kotak ini saat ini.
“Audit bulanan. Saya adalah seorang kepala baru di bagian tersebut, baru bekerja beberapa bulan, namun saat itu saya sudah bisa tahu bahwa ada yang tidak beres. Jumlah uang yang masuk dan yang keluar tidaklah sama, dan itu sudah terjadi selama tiga bulan terakhir. Laporan keuangan di atas kertas menyatakan semua beres, namun aliran uang yang terpantau di sistem berbeda. Saat itulah saya tahu bahwa ada yang salah.”
“Korupsi terjadi.”
“Ya, korupsi terjadi,” aku mengiyakan, memandang robot di hadapanku. Baru kali ini aku menemukan sebuah robot yang berfungsi sebagai jaksa penuntut. Aku sudah mendengar cerita-ceritanya, ya, tapi baru kali ini aku benar-benar melihatnya dan mengalaminya sendiri.
“Dan saat Anda menyadari hal tersebut, apa yang Anda lakukan?” Robot tersebut bertanya.
“Saya melapor kepada KPK. Mereka mencatat semua laporan saya, dan setelah itu mereka mulai melakukan penyidikan. Saya memberitahu mereka bahwa kemungkinan besar korupsi terjadi di bagian perbengkelan.”
“Kenapa Anda berpikir seperti itu?”
“Karena laporan keuangan yang salah tersebut diberikan oleh seseorang yang bekerja di bagian tersebut. Saya juga menyarankan agar orang tersebut diselidiki.”
Jaksa penuntut, yang adalah sebuah robot, Dia menoleh kepada hakim, sebuah robot lain – dari golongan dengan ukuran tubuh lebih besar dan kemampuan olah data lebih tinggi – lalu mengangguk. Tak ada pertanyaan lagi.
Aku menghela napas, berjalan kembali ke kursiku sembari menoleh ke meja terdakwa. Putera, seorang pekerja berusia 40-an tahun, menatapku balik dengan mata merah. Dia mengenakan pakaian tahanan, penampilannya acak-acakan, dan seluruh urat wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam. Aku tak berani membayangkan perlakuan seperti apa yang dia terima sebagai seorang koruptor di rumah tahanan.
Putera tidak didampingi pembela. Sudah tak ada lagi pengacara yang mau membela tertuduh koruptor selama dua tahun terakhir. Reputasi mereka pasti akan langsung jatuh bila melakukannya. Tuntutan dari masyarakat untuk memberantas korupsi mengalahkan segala hal lainnya.
Beberapa menit kemudian, giliran Putera untuk ditanyai. Jaksa penuntut maju, dan kali ini, alih-alih berbicara dan bersikap dengan sopan dan baik seperti yang dia gunakan kepadaku, dia berdiri sangat dekat dengan kotak terdakwa, menjulang di hadapan Putera dan menunduk dengan sangat merendahkan. Aku mencoba membayangkan apa yang Putera sedang lihat sekarang, dan aku mendapati tanganku gemetar.
“Bisa kau ceritakan apa sebenarnya alasanmu melakukannya?”
Suara yang mengancam dan tegas. Nada yang mengintimidasi sekaligus bersimpati, bergema hingga ke seluruh ruangan. Dia sangat mengerti caranya memancing informasi keluar dari seorang manusia.
Putera bergetar, dan sejenak kukira dia akan menangis, luluh seketika. Namun ternyata tidak. Dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali, kemudian menjawab, dengan suara yang serak dan parau seolah menahan tangis selama berabad-abad.
“Namanya Ani. Dia temanku saat SMP sampai SMA. Perempuan cantik, juara kelas, anggota OSIS, dan teman karibku. Aku… aku menyukainya sejak saat pandangan pertama, kalian tahu…” dia mencoba tersenyum, memandang kami semua, namun yang dia lihat hanyalah para penonton yang menatapnya balik dengan sengit di dalam ruang sidang ini, serta para juri yang tak berwajah. Sia-sia usahanya mencoba menarik simpati.
Air matanya mulai mengalir. Dia melanjutkan, “Aku tak pernah bisa memberanikan diriku untuk menyatakan perasaan kepadanya. Tidak sampai… aku bertemu kembali dengannya empat bulan lalu. Dia berantakan. Dia berbeda dari Ani yang dulu, namun dia masih Ani yang ku kenal. Kami bertemu beberapa kali, aku membantunya dalam banyak hal – mencarikannya pekerjaan, mencarikannya tempat tinggal tetap, dan masih banyak lagi.”
Aku mengangkat alisku sedikit. Aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
“Aku hanya… aku benar-benar tak menyangka. Dia berkata dia mencintaiku. Dia berkata dia juga suka padaku. Aku merasa seperti remaja lagi, kalian tahu…” dia terkekeh pelan, menggeleng sedih. “…hal berikutnya yang kutahu, dia mengirimkan sebuah video berisi rekaman kami yang sedang bermesraan.
“Dia mengancamku. Dia bilang dia akan memberitahukan itu kepada istriku, keluargaku, kepada semua orang jika aku tidak memberikannya uang dalam jumlah besar setiap minggu. Aku berhasil memenuhinya selama sebulan pertama, namun…”
“Kau kehabisan uang, dan kau terpaksa mencari jalan untuk memenuhinya,” kata robot jaksa penuntut.
Putra mengangguk pelan, menatap lantai dengan lemah. Banyak orang di ruang sidang ini mengangguk, mengerti bahwa alasannya ternyata adalah karena ancaman wanita. Cukup baru, dibandingkan dengan alasan-alasan yang biasanya mereka dengar.
“Kenapa kau tidak melaporkannya?” tanya robot penuntut.
“Aku… tidak tahu,” kata Putra pelan. “Mungkin karena… di dalam hatiku, sebenarnya aku masih menyukai dia. Aku masih ingin bersama dengan dia. Makan siang bersama tanpa beban, menghabiskan malam-malam berdua… membicarakan apa-apa yang kami alami bersama saat SMA dulu. Setidaknya itu harapanku… dan meskipun dia tak pernah memberikannya padaku setelah ancaman itu, aku tak pernah berhenti berharap… Tapi aku juga tak ingin kehilangan istriku… Aku tak tahu apa yang harus ku-”
“Jadi kau mengutamakan keegoisanmu, gairahmu, di atas hak-hak orang yang kau rebut karena uang mereka kau curi?” robot penuntut bertanya lagi, menyela Putra dengan keras.
“Ti-tidak, tidak begitu!” kata Putra buru-buru. “Aku – aku hanya mengambil beberapa puluh juta! Aku mengambil uang tersebut dari dana sisa, dana yang toh nantinya akan dikucurkan untuk dana perawatan robot! Uang tersebut tak akan mengalir ke gaji siapapun, tak ada yang rugi -”
“Dana tersebut akan mengalir untuk perawatan para robot pembantu pekerja PLTN. Kau tahu apa yang akan terjadi jika dana tersebut kurang, jika jumlah oli dan bahan bakar mereka tidak mencukupi karena uangnya kurang dari jumlah seharusnya? Bahwa mereka harus di kirim ke pabrik pusat dalam waktu cukup lama, dan mengharuskan para pekerja, para manusia, bekerja sendiri tanpa bantuan? Kau menempatkan mereka dalam bahaya! Kau dengar kerusakan yang terjadi di PLTN hari ini?”
“Ti-tidak, aku tidak mendengarnya! Aku sedang di penjara dan -”
“Dua petugas meninggal. Meninggal, Pak Putra, karena dua robot yang yang biasa membantu mereka sedang di kirim ke pabrik pusat, karena kedua robot tersebut sudah tiga bulan terakhir kekurangan asupan pelumas sebanyak dua belas mililiter! Kemana perginya dua belas mililiter pelumas tersebut, kalau bukan karena uangnya tidak ada, eh, Pak Putra? Dan apakah kau tahu, bahwa kedua petugas tersebut memiliki keluarga, yang satu anaknya akan menikah bulan depan dan yang satu seharusnya akan pensiun empat hari lagi?”
Hening. Semua orang yang di ruang sidang kini mengerti penuh akibat dari korupsi yang dilakukan oleh Putera. Meski tergolong hanya sedikit, dan karena alasan yang cukup manusiawi, namun akibatnya sangat fatal.
Dan sementara Putra mulai menangis, dan robot penuntut mulai berbicara lagi dengan tajam, aku menghela napas dan menatap ke luar jendela. Cuaca cerah, udara bersih. Aku membuka ponselku dan mulai mengetik SMS. Kereta jurusan Cirebon baru akan berangkat enam jam lagi. Mungkin masih ada waktu untuk bertemu dengan temanku, makan siang bersama dan mengobrol selama beberapa jam.
Aku tak mendengar apa keputusan dari hakim, namun dari riuhnya tepuk tangan dan sorakan penuh kemenangan dari sekelilingku, aku yakin betul bahwa hasilnya memuaskan.
Dan aku mulai memikirkan dimana sebaiknya aku makan siang.
Cerpen Karangan: Ahmad Alkadri Blog: http://cityofwoodandrain.wordpress.com/ Ahmad Alkadri adalah mahasiswa yang memiliki kegemaran jalan-jalan, menulis, dan membaca. Sejak kecil, buku-buku novel tebal telah dihalapnya, dari serial Harry Potter, Ender’s Game, hingga Wheel of Time. Genre favoritnya adalah Fantasi, Fiksi Ilmiah dan Horor. Kegemarannya akan novel membuatnya terdorong untuk menulis, untuk ikut menceritakan kisahnya, baik fiksi maupun non-fiksi. Saat ini, dia sedang sibuk menyiapkan diri untuk penelitiannya dan menulis novelnya yang terbaru.