“Intinya setiap harta yang kita miliki, wajib kita zakati. Sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW”. Terang Pak Aji di tengah penjelasannya, saat menyampaikan materi hadits bab zakat sore itu. Dia adalah salah satu dosen di kampusku, STAIN Salatiga. “Dalam hadits yang telah kita bahas hari ini, memang zakat wajib dikeluarkan jika telah mencapai haul dan nisob. Namun, untuk kalian yang belum punya penghasilan yang tetap dan masih di gaji oleh orang tua kalian, alangkah baiknya jika kalian belajar untuk berzakat sedari dini”. Lanjut dosen yang suka bercanda ketika menyampaikan materi. Tapi kali ini seakan sedang berpidato sebagai panglima perang. Serius sekali. “Uang yang diterima dari orang tua kalian, dari kerja sampingan kalian, atau bahkan dari beasiswa yang kalian terima. Sebaiknya disedekahkan minimal 2,5% saja untuk pensucian harta kalian dan sebagai sarana latihan berzakat. Dan lagi, itu hanya titipan Allah. Kita dipercaya oleh-Nya untuk menjadi bendahara Allah di muka bumi ini maka kita tidak sepatutnya mengkorupsi harta Allah karena dalam harta yang kita miliki ada sebagian hak mereka yang lebih membutuhkan”. Beliau melanjutkan, 2 matanya tajam menatap kami.
Keadaan kelas sepi. Semua mahasiswa nampak serius menyimak penjelasan Pak Aji yang masih serius juga, bahkan kini semakin membara seakan beliau ingin menekankan betapa pentingya urgensi pembelajaran zakat pada hari itu.
Kubuka buku catatan kecil yang menjadi sahabatku, kukatakan sahabat karena dialah yang selalu rela mendengarkan keluh kesahku, dan di buku itu juga aku catat ilmu-ilmu baru. Seperti kali ini. Bukankah sahabat sejati memang harus seperti itu. Dan yang paling spesial adalah karena buku itu pemberian dari ayahku saat aku meraih juara 1 di kelas ketika SMK dulu. Beliau tulis dengan tangannya sendiri di halaman depan buku itu untuk ananda Didin Syamsudin dan tulisan itu cukup meredakan rasa rinduku padanya saat aku merasa butuh kehadirannya di sini. Setelah ku buka halaman yang masih kosong, aku mengingat-ingat berapa uang yang ayah kirim terakhir kali dan uang yang aku dapat dari sampinganku kerja di Pabrik roti Pakdek ku. “300 ribu ditambah 50 ribu… terus dikali 2,5% ” Aku mencoba menghitung manual di buku. “Ah, ribet pake kalkulator saja.” Batinku. “Hemmm.. sedikit.. gampang.” Gumamku girang karena hanya melihat nominal 8.750 saja yang tertera di layar hp ku. Konsentrasiku kembali kufokuskan pada dosen yang agak gemuk itu. Dan kini beliau telah duduk di tempat duduk dosen yang terletak di depan kelas. “Iya, kita cukupkan kuliah kita hari ini, semoga bermanfaat dan sampai jumpa minggu depan”. Tutup Pak Aji yang membenarkan tebakanku yang sedari tadi menebak bahwa perkuliahan akan selesai. “Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh!” Salam pak Aji menutup perkuliahan sore itu. “Wa’alaikukumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Hanya sebagian mahasiswa yang terdengar menjawab salam, mungkin karena mereka sudah kecapean karena kuliah kami memang terlalu sore. Kulihat jam yang melingkar di tanganku menunjukan pukul 17.05. “Wah sudah sore banget, nih, Din. Angkotnya masih ada gak ya?” Tanya Andre dengan nada cemas. Dia adalah teman satu ma’had-ku. Kebetulan dia mengambil kuliah yang sama denganku, lumayan jadi ada teman ngobrol kalau pulang kesorean seperti ini. Biasanya memang kami tidak pulang sesore itu. Namun, karena keasyikan pembahasan materi kuliah, kami jadi lupa waktu. “Udah ayo cepetan, takut angkotnya sudah gak ada!” Ku tarik tangannya dan mengajak jalannya sedikit kencang.
Ketika kami keluar kelas, ku lihat kampus kami sedah sepi. Nyaris tidak ada satu orang pun. Langit di atas kampus mulai menghitam, matahari pun bersiap berpamit di barat membuat langit berubah kemerahan di ujung sana dan memaksa penjaga malam untuk menyalakan lampu-lampu yang berbaris rapi di atap koridor dari ujung belakang hingga ke depan gerbang kampus. Rapi sekali. Hening dan sepi, tidak ada suara bising yang mengganggu, bahkan jika kami berdiam menghentikan langkah, maka suara detikkan jam di tanganpun berunjuk rasa. Benar-benar sepi, sunyi, mencekam, bahkan menyeramkan. Ah, malang sekali nasib kampusku di malam hari.
Kami terus berjalan keluar kampus menuju Tembus (bukan halte sih) tempat kami biasa menunggu angkot. Setelah melewati gang sempit kira-kira 200 meter dari gerbang kampus, kami telah sampai di Tembus. Aku dan Andre duduk cemas menunggu angkot jurusan “Suruh” yang melewati jalur ma’had kami di Tingkir. Sudah 10 menit kami menunggu namun angkot belum juga menampakkan batang bempernya (kalau manusiakan batang hidungnya, hehe). Andre sedari tadi diam saja, sejak kami menunggu angkot disini, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Dia hanya menatap jam tangannya berkali-kali. Mukanya menggambarkan kecemasan. Kondisi Andre pun sama dengan kampusku. Kesepian. Dan aku, tidak jauh dengan Andre. Cemas, takut, dan khawatir. Khawatir kalau saja kami telah kehabisan angkot dan harus terpaksa pulang jalan kaki sekitar 7 kilometer ke Mahad. Menyebalkan sekali. “Ah, kalau jalan kaki, isya baru sampai ma’had, donk” Batinku menggerutu dalam lamunanku. “Huuuh..huuuh..huuuh.. (Suara terengah-engah) Mas kalau Tingkir masih jauh, gak?” Tanya seorang Bapak-bapak tiba-tiba menyadarkan lamunanku. Seorang bapak-bapak yang tak ku kenal, memakai kaos yang telah basah oleh keringat dan celana panjang khas TNI, juga sebuah tas kecil seperti yang selalu di pakai tukang kredit barang-barang rumah tangga, melingkar di pundaknya. Perawakannya tinggi, kurus, kulit putihnya sudah mulai mengendor. Ku taksir umurnya sekitar 40 tahunan. “Eh iya, gimana, Pak?” Balasku, meminta dia mengulang pertanyaannya karena aku belum sepenuhnya mencerna pertanyaannya di tengah lamunanku. “Ini mas, huh… huuuu.. Terminal Tingkir… huuu…masih jauh gak?” Ulang Bapak tua itu. Yang dengan susah payah mengeluarkan kalimat dari mulutnya karena masih balapan dengan nafasnya yang memburu. Ekspresi wajahnya seperti atlet maraton yang telah berlari 10 kilometer namun posisinya paling bucit. Keringat mengalir deras di seluruh tubuh dan wajahnya memperjelas bahwa dia sedang di dera rasa lelah yang begitu sangat. Wajahnya bagai bulan kesiangan. Pucat sekali. “Oh.. masih jauh, Pak. Kira-kira 15 menit kalau naek angkot.” Terangku. “Saya boleh minta uang gak, Dek? 2000 rupiah saja buat naek angkot ke Tingkir.” Tanpa basa-basi sama sekali, dia meminta uang kepadaku. “Gimana, Dre?” Aku menoleh ke kiri bertanya kepada sahabatku yang sedari tadi ikut mendengarkan dialog kami. “Uangku limit, Din. Ini hanya cukup buat ongkos angkot dan makan nanti malam. Saya kanannya ke saku celananya dan mengeluarkan selembar uang 5000 rupiah. “Memangnya bapak habis dari mana?” Tanyaku curiga. Takut kalau bapak ini bermaksud jahat kepada kami. “Begini, Dek, saya dari Palembang. Saya mau berkunjung ke rumah adik saya di Karang Gede. Tapi, tadi saya salah naik bus. Seharusnya saya naik bus jurusan Semarang-Solo. Bus yang saya tumpangi malah jurusan Semarang-Jogja. Saya tadi tertidur di bus, ketika bangun tas saya sudah gak ada. Padahal semua barang saya di dalam tas semua, termasuk Hape dan dompet.” Cerita bapak itu yang kini sudah mulai bisa mengatur ritme nafasnya sambil duduk di samping kananku.
Aku iba dengan nasibnya, namun hatiku berperang karena di satu sisi aku masih teringat kejadian 3 bulan lalu saat aku hampir di hipnotis oleh bapak-bapak tua juga ketika aku baru saja keluar dari Bank selepas menarik tabunganku, dan bapak tua saat itu menghampiriku dengan modus yang sama juga. Bertanya arah. Ku curigai niat jahatnya karena bapak itu memulai percakapan dengan menepuk bahuku. Bahkan sampai dua kali ia mengulang ritual itu di bahu kiriku. Namun, bukannya aku kehilangan kesadaran, untungnya malah aku semakin waspada. Karena gelagat niat buruknya mudah terbaca ibarat “bagai aur di atas bukit”. Ketika itu dia menanyakan arah Semarang setelah satu kali menepuk bahu kiriku. Setelah ku tunjukan arah Semarang dia malah bercerita panjang lebar yang intinya dia kehilangan semua barangnya dan tidak bisa pulang. Di lanjut tepukan di bahu kiriku yang kedua dan dia meminta sejumlah uang. Nekat sekali. Niat jahatnya semakin tampak karena aku yang sedari tadi tidak terpengaruh oleh hipnotisnya terus waspada bahkan memojokkan dia.
“Memang rumah bapak dimana, di Semarang?” Ku lempar pertanyaan memancing. “Ya, rumah saya di Semarang, Dek.” Nah sekarang jelas niat buruknya. Terang saja tadi, kan, dia tanya arah Semarang, atau lebih tepatnya pura-pura tanya. Sedangkan rumahnya sendiri di Semarang. “Pak saya asal Cirebon, dan saya baru 2 bulan tinggal di Salatiga. Tapi saya tahu arah Semarang ya, ke utara. Di sini saya sedang kuliah dan belum punya penghasilan. Kalau bapak minta uang sebannyak itu aku belum punya. Mohon maaf sekali, ya, Pak, Ehm.” Sindirku padanya dengan nada sangat sinis. Seperti sebuah pukulan super dari Cris Jhon, Kalimatku membuatnya K.O. Dan akhirnya dia pamit dengan muka malu setengah mati seperti seekor kucing rumahan yang di usir majikannya.
Aku kembali tersadar dari memori itu. Jiwaku kembali menyatu dengan ragaku, ya di Tembus, di samping Bapak tua yang sedang kehilangan arah, uang, hp bahkan rasa malunya itu. Dia minta uang tanpa basa-basi seakan kami sudah lama bersahabat. Sungguh malang sekali nasibnya. Tapi aku belum bisa lepas dari memori itu. Walaupun waktu itu aku tidak terhipnotis bahkan aku mampu membuatnya pulang seperti orang yang kalah main judi. Sekali lagi. Memori itu masih membayang.
“Ayo, Din, penuhi permintaannya. Kasih dia 2000 rupiah saja. Dan selesai!” ku dengar bisikan itu dari malaikat di samping kananku. “Ah, tidak bisa, mungkin saja bapak ini juga bohong.” Setan di samping kiriku pun tak mau mengalah. Seperti itu, aku bingung harus menuruti bujukan siapa. Ku lihat lagi Bapak tua itu, dia masih duduk dan melihat kendaraan yang berlalu lalang di depan kami. Ekspresi wajahnya kurang lebih menggambarkan berharap dia bisa naek salah satu angkot itu menuju Tingkir. Memang, kalau ingin ke Karang Gede, ya harus naek angkot jurusan Tingkir terlebih dahulu. Kemudian naek angkot satu kali lagi dari Tingkir ka Karang Gede. “Ada gak, Dek, uangnya?” “Oh iya, kebetulan kami sedang menunggu angkot yang lewat Tingkir. Sebaiknya bapak ikut bersama kami saja sampai Tingkir, nanti setelah di Tingkir kami kasih ongkos buat ke Karang Gede” Malaikat di sebelah kananku mulai sedikit memenangkan pertarungannya. Meskipun aku terus waspada. Atau lebih tepatnya su’udzon ke si Bapak itu. Yang hanya terdiam duduk, menandakan dia setuju dengan tawaranku.
Dan kini 3 makhluk mamalia sesama jenis itu, sama-sama diliputi perasaan yang sama. Gelisah menunggu angkot yang sama juga. Namun, aku terkejut ketika baru 5 menit bapak itu menunggu bersama kami. Tiba-tiba dia mengejutkanku beranjak pergi ke arah Tingkir dengan langkah cepat. Dan lagi, tanpa basa-basi. “Lho, mau kemana, Pak? Tingkir masih jauh, Pak.” Tanyaku setengah berteriak. “Ah, biarin aku jalan sendiri saja.” Kata Bapak tua itu tanpa menoleh ke arah kami. Aku tertegun, aku baru menyadari bahwa dia memang jujur. Dia sudah tak punya tata krama lagi untuk sekedar basa-basi meyakinkanku bahwa dia memang benar-benar membutuhkan bantuan. Bahkan hanya sekedar 2000 rupiah saja. Bodoh sekali. Aku mengutuk diriku sendiri. Kenapa aku tidak menyadarinya sedari tadi, kenapa aku tidak langsung saja berikan uang itu. Kenapa justru aku yang terlalu banyak basa-basi hanya untuk mengeluarkan uang 2000 rupiah saja. Astagfirullahal’adzim.
Tidak lama setelah bapak itu meninggalkan kami, sebuah angkot bertuliskan “Suruh-Jetis” di kaca depannya berhenti di depan kami. Akhirnya kami mendapatkan angkot juga. Walaupun aku harus pulang dengan perasaan sesal yang sangat menyesakkan dada. Aku merasa berdosa sekali kepada diriku. Bapak tua itu dan Allah yang melihat semua kejadian itu tentunya. Sekali lagi. Aku mengutuk diriku.
Keesokan harinya, setelah selesai salat dhuha di masjid yang berada di samping kampusku, yang juga berstatus Masjid Raya kota Salatiga, tepatnya pukul 11.00 saat sinar mentari semakin terik menyinari kota itu. Aku sedang memakai sepatu selepas keluar dari masjid dan berencana pergi ke kantin untuk sarapan. Namun ku lihat seorang bapak tua berkulit hitam dan berkacamata dengan sebuah peci hitam kumel di kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu dan mulai menghampiriku yang masih sibuk mengikat tali sepatuku. “Assalamu’alaikum.” Salam bapak itu memulai percakapan. “Wa’alaikumussalam warahmatullah” Jawabku sambil menyambut jabat tangannya. “Kantor pengurus masjidnya dimana, ya, Mas?” “Itu di balik tangga, Pak” Aku menunjuk ke arah pintu di balik tangga. “Saya sudah muter-muter kota ini, Dek. Menanyakan masjid raya. Akhirnya sampai juga. Saya asalnya dari Kalimantan, saya kesini untuk mencari putri saya di Magelang. Namun sudah 3 minggu saya mencari, tidak ada kabar sama sekali mengenai dia. Akhirnya saya putuskan untuk kembali pulang saja ke Kalimantan, mau gimana lagi saya hanya bisa bertawakal saja kepada-Nya.” Curhat bapak itu yang sekarang duduk di samping kananku. “Ah, lagi-lagi orang tersesat.” Batinku. Namun seakan dia mengerti isi hatiku dia melanjutkan ceritanya. “Ini KTP saya, Dek. Saya asli orang Kalimantan. Dan saya sekarang ingin pulang ke kampung halaman saya, sedangkan saya tidak punya uang. Kau lihat sendirilah isi tasku, semua baju-baju yang ku bawa sudah saya jual buat makan. Saya mencari Masjid Raya dan sudah tanya orang-orang dimana Masjid Raya, dan alhamdulillah sekarang saya sudah menemukannya. Saya sedih, Dek dengan sikap orang-orang disini. Mereka taat beribadah namun mereka tidak peka akan nasib saudara-saudaranya. Mereka hanya mementingkan khabluminallah saja, sedangkan khabluminanas-nya nol besar.” Tutur Pak Anton yang namanya kuketahui setelah membaca KTPnya tadi. Aku hanya tertunduk, seperti terdakwa yang terbukti bersalah. Malu sekali. Aku merasa sangat tersinggung oleh ceritanya. “Bahkan sekarang pun saya tidak tahu, apakah saya akan di kasih bantuan oleh mereka (menunjuk ke arah kantor pengurus). Saya tidak tahu harus bicara bagaimana kepada mereka. Saya malu, Dek. Kalau di masjid ini saya tidak dapat bantuan, saya akan masih mencoba mencari ke lembaga-lembaga Islam lainnya di kota ini. Tapi jika dalam 3 hari saya tidak dapat bantuan dari lembaga islam, terpaksa, Dek, Saya harus minta bantuan ke Gereja. Seorang muslim minta bantuan ke Gereja. Malu sekali diriku ini, Dek. Serendah itukah saudara-saudara muslim di negeri ini?” Lanjut beliau. Serius sekali. Kali ini tidak ada rasa curiga sedikit pun di hatiku. Aku tersentuh. Aku semakin merasa bersalah dengan kejadian kemarin di Tembus. Aku harus menebusnya. Mungkin ini kesempatan dari Allah untuk aku memperbaiki kesalahanku. Dan tanpa rasa ragu sedikit pun aku keluarkan 20.000 rupiah dari sakuku. “Pak Anton, mohon maaf ini ada sedikit rejeki yang Allah titipkan buat Bapak, mohon diterima, ya. memang tidak banyak, tapi mungkin cukup sekedar buat beli air minum.” “Oh tidak, Dek. Adek masih sekolah, adek juga membutuhkan uang itu.” Tak kusangka beliau tidak mudah menerimanya begitu saja. Tidak seperti peminta-minta pada umummya yang langsung menyambar pemberian. Mulia sekali. Subhanallah. “Tidak, Pak. Saya masih ada, ini memang rejeki buat Bapak. Saya ikhlas memberikanya, Pak. Mohon di terima.” Kuberikan uang itu dan kini beliau mau menerimanya. “Alhamdulillah, Dek. Saya tidak bisa membalas apa-apa, semoga Allah yang akan membalasnya. Terima kasih”. “Iya, Pak. Sama-sama. Semoga bermanfaat, saya senang bisa membantu Bapak”. “Ya sudah, saya pamit dulu, Dek. Mau menemui pengurus masjid. Semoga Allah membukakan hati mereka seperti Allah telah membuka hatimu, Dek”. “Aamin.” Jawabku mengamini. “Wassalamualaikum.” Beliau mengulurkan tangan mengajakku untuk berjabat tangan. “Wa’alaikumussalam.” Jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Dan melihatnya melangkah pergi masuk ke kantor pengurus masjid.
Ku lihat dia memasuki kantor pengurus masjid dan menghilang di balik ruangan itu. Kini aku tersadar bahwa betapa pentingnya khabluminannas. Islam memang agama yang begitu sempurna. Ibadah zakat yang merupakan rukun islam yang ke tiga begitu penting peranannya dalam kehidupan sosial. Aku kembali teringat pesan dosen haditsku bahwa kita harus belajar berzakat sedari dini. Islam hanya menetapkan 2,5% saja dari harta kita untuk diberikan ke 8 ashnaf. Padahal aku mudah sekali memahami teori itu, tapi ibarat “Angan lalu paham tertumbuk” begitu sulit untuk mengaplikasikannya. Salah satu ashnaf itu ialah musafir. Seperti bapak tua bercelana TNI itu dan Pak Anton. Seharusnya aku menyadari itu sejak awal. Namun aku bersyukur kepada-Nya, karena Dia masih memberikan kesempatan kepadaku untuk menyampaikan hak di antara 8 ashnaf itu. Ya, dengan perantara Pak Anton itu.
Cerpen Karangan: Didin Syamsudin Facebook: didin.syamsudin[-at-]rocketmail.com Seperti anak-anak yang lainnya, saat lahir saya diberikan nama yang baik oleh kedua orang tua saya, DIDIN SYAMSUDIN. mungin itu sebagai do’a agar kelak saya bisa menjadi penerang agama. aamiin. sekarang saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa di STAIN Salatiga.
untuk mengenal lebih jauh tentang saya silahkan contac saja di facebook didin.syamsudin[-at-]rocketmail.com