“Hidup. Sesuatu yang harus kujalani karena paksaan waktu yang terus mendorongku maju.” – Reina
Raja langit perlahan-lahan mulai keluar dari persembunyiannya. Menciptakan gradasi warna sisa langit malam dipadu dengan sinar merah kekuningannya yang sangat indah dan selalu memberi kesan kagum bagi setiap orang yang melihatnya. Namun sayang, hanya segelintir orang saja yang benar-benar memahami betapa indah dan berharganya peristiwa harian itu. Kuhembuskan napas perlahan. “Baiklah, lembaran baru untuk permainan kejam ini telah dimulai” Gumamku. Ya! Permainan kejam sang waktu yang terus memaksa maju tanpa pernah memikirkan keadaanku. Sudah bertahun-tahun aku hidup di dunia tapi sampai saat ini aku masih belum mengerti apa itu waktu dan makna kehidupan.
Hidup. Apa itu hidup? Untuk apa aku hidup? Apa yang akan aku kejar dalam hidup ini? Semua seperti gelap. Seakan-akan hidupku tak bertujuan, tak bercita cita. Semua berlari menuju cita citanya sedangkan aku hanya terdiam melihat mereka berlari dengan semangatnya demi cita-cita mereka tersebut. Entahlah. Aku tak mempunyai hal yang istimewa dalam hidup ini. Aku merasa hidup ini hanya garis datar yang entah akan berjalan kemana. Walaupun kita harus bersyukur atas semua yang diberikanNya, tapi aku selama ini hanya menjalani apa yang di depan dan apa yang ada. Aku tak tahu nanti akan menjadi apa. Intinya dalam hidup ini aku hanya mempunyai satu kata yaitu “jalan”. Aku akan terus berjalan walaupun aku tak tahu harus ke mana. Dan aku akan terus berjalan sampai aku memecahkan misteri dalam permainan waktu dan kehidupan ini.
Kulirik jam dinding yang menempel manis di tembok kamar. Tepat pukul 05.00, aku beranjak dari dudukku dan melangkah keluar kamar. “Rei, tumben udah bangun?” Tanya Bunda saat aku memasuki dapur. “Ya” Jawabku singkat. Sebenarnya dari semalam aku masih terjaga hingga pagi ini. Entahlah. Mata dan pikiranku sangat tidak bisa berkompromi dengan tubuhku yang lelah. Dan pikiranku masih saja dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri tak tahu kapan akan mendapatkan jawabannya. “Baguslah, jadi bunda nggak perlu susah payah membangunkanmu” Tambah beliau. Aku meneguk segelas air yang baru saja kuambil. Kemudian kulangkahkan kaki menuju kamar mandi.
*****
Aku berjalan dengan langkah gontai. Aku bosan dengan semua ini. Dengan aktivitas monoton yang memakan waktu sangat lama. Ya, sekolah. Tidak ada yang spesial dari sekolah. Hanya itu-itu saja yang terjadi. Kalau bukan karena sekolah merupakan kewajiban setiap penduduk di negara ini dan tuntutan dari orang sekitarku, pasti aku lebih memilih melakukan hal-hal lainnya yang dapat mempermudahkanku dalam memecahkan misteri permainan kejam kehidupan ini.
Kulangkahkan kaki memasuki kelas dan langsung menuju bangkuku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kelas, pandangan yang masih sama dari hari-hari sebelumnya. Beberapa teman berkumpul membicarakan urusan mereka, beberapa lagi mengerjakan PR dan beberapa bangku masih tak berpenghuni. “Rei, tumben datang pagi?” Tanya Terry sambil meletakkan tasnya. “Kemajuan bukan?” Tanyaku balik. “Iya juga ya” Jawabnya sambil melangkah mendekati beberapa temanku yang sedang berkumpul.
Pelajaran hari ini seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Guru menerangkan di depan dan murid mendengarkan di bangku masing-masing. Hal yang sangat sering terjadi. Mengapa para guru tidak mencoba metode pembelajaran yang lebih menarik? Seperti belajar dalam sebuah permainan atau apa saja yang menyenangkan. Bukankah belajar yang baik adalah belajar dalam kondisi senang? Bukan dalam kondisi bosan dan mengantuk?
“Anak-anak ini ada penyuluhan dari mahasiswi psikologi UNAIR. Ibu harap kalian mendengarkan dengan baik” Ucap Bu Har –Guru BK- “Pagi semuanya” Sapa 2 orang tersebut “Pagi…” Balas teman sekelasku kompak. Bersamaan dengan itu Bu Har berjalan keluar kelas. “Perkenalkan nama saya Diana dan ini teman saya Sandra” Ucap ramah salah satu mahasiswa yang mengaku mempunyai nama Diana. “Kami kesini hanya untuk memberi sedikit informasi tentang ilmu psikologi kepada kalian sekaligus kami meminta bantuannya untuk penelitian kami” Mbak Diana berhenti sejenak. “Kalian sudah SMA, pasti sudah mempunyai pandangan untuk ke depannya bukan” Tambahnya dengan nada menggantung seperti bertanya, tapi menurutku itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. “Cita-citamu apa?” Tambahnya sambil menunjuk. Aku menoleh ke belakang, kanan, kiri tapi semua mata tertuju padaku. Ya, dia bertanya kepadaku. “mm… nggak tau” Jawabku polos. Sontak semua temanku tertawa. “Kamu tidak mempunyai cita-cita? Baiklah apa yang kamu sukai?” Tanyanya lagi “mmm.. entahlah” “Waduh! Generasi macam apa ini hal yang disukai saja tidak tahu bahkan cita-cita pun juga tidak punya” Aku hanya diam mendengar ucapannya. “Baiklah, bagaimana dengan kamu?” Tanyanya kepada Hanny – salah satu teman kelasku – “Dokter” Jawabnya mantap “Wah, bagus! Mengapa kamu memilih dokter?” “Karena profesi dokter sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di Indonesia dan menurutku penghasilan seorang dokter sangat lumayan” Kuhembuskan napas perlahan. Mayoritas masyarakat termasuk Ayah menganggap dokter adalah pekerjaan yang sangat mapan. Tapi sukses tidak hanya dokter saja bukan? Banyak pekerjaan lain yang bisa menjamin. Dan bukan hanya dokter saja yang dibutuhkan negara ini. Banyak profesi sederhana yang sebenarnya sangat berpengaruh penting. “Kalau kamu nanti akan melanjutkan ke perguruan tinggi mana?” Tanya Mbak Diana kepada Jonas “Antara UGM atau UNAIR” “Mau ngambil apa?” “Hukum mbak” “Hebat!” Ucap Mbak Diana kagum
Mengapa semua mempunyai tujuan dan cita-cita? Apa tujuan dan cita-citaku? Apakah hidupku terlalu suram sampai-sampai tidak jelas seperti ini? Pertanyaan yang sama lagi-lagi berkelibat di otakku. Kualihkan pandangan ke jendela. Mataku menangkap bayangan burung-burung kecil berterbangan di langit. Begitu bebasnya. Apa burung juga memiliki tujuan? Apa burung juga tahu kemana ia akan terbang?
*****
Kuhempaskan tubuhku di salah satu bangku yang tersedia di taman ini. Kulihat sebuah keluarga yang sedang bercengkerama dengan hangatnya. Namun tak jauh terlihat seorang anak laki-laki duduk melamun dengan sebuah buku di genggamannya. Tiba-tiba ada keinginan dalam diriku untuk menghampiri anak tersebut. “Hai, kamu ke sini sama siapa?” Tanyaku ketika berada di hadapan anak itu. Namun ia hanya diam. Menatapku dengan pandangan bingung dan heran. “Kenalkan aku Reina, nama kamu siapa?” Tambahku dengan nada ramah Matanya menelusuriku dari kepala sampai ujung sepatu dengan wajah kebingungan dan mulutnya masih terkunci. “Jangan takut, aku orang baik-baik kok. Aku sama sekali nggak mempunyai niatan jahat” Ucapku lagi meyakinkan “Kakak pulang sekolah?” Kalimat pertama yang terlontar dari mulut kecilnya. “Iya, nama kamu siapa?” “Kakak nggak langsung pulang? Nggak dimarahi sama Mamanya kakak?” Aku menghela napas. Dasar anak ini, aku bertanya A tapi jawaban yang keluar dari mulutnya Z. ‘Sabar Reina’ Batinku “Nggak, kan kakak udah besar” Jawabku sambil mengambil duduk di sebelahnya “Oh, enak ya!” “Nama kamu siapa?” “Nama kakak Reina? Namaku Fiko” Jawabnya sambil mengulurkan tangan. Kuanggukan kepala sambil membalas uluran tangannya. “Kamu sendirian?” Tanyaku “Seperti yang kakak lihat, memangnya kakak melihat ada orang lain di sebelahku selain kakak?” “Iya juga ya” Jawabku sambil menggaruk kulit kepalaku yang tidak gatal. Pasti aku terlihat sangat bodoh di depan bocah ini. “Kamu sekolah dimana?” Tanyaku lagi untuk mengurangi kecanggungan di antara kami. “Aku nggak sekolah” “Kenapa?” “Nggak dibolehin Mama sama Papa, padahal aku sangat ingin sekolah. Aku ingin sekolah tinggi sampai aku bisa menjadi arsitek. Aku akan membangun tempat yang rindang. Kota ini terlalu luas jika hanya diisi dengan bangunan megah.” Jawab Fiko Apa? Anak yang masih berumur sekitar 10 – 11 tahun ini sudah mempunyai cita-cita? ‘Reina betapa suram hidupmu’ satu kalimat yang tiba-tiba terlintas diotakku. “Mengapa kamu ingin menjadi arsitek dan membangun tempat seperti itu?” “Aku kasihan melihat orang-orang. Lihat orang itu!” Jawabnya sambil menunjuk seorang ibu yang berjalan di trotoar dengan menggenggam payung agar terlindung dari sengatan matahari. “Kakak lihat kan, Ibu itu memakai payung padahal payung kan untuk melindungi kita dari hujan tapi siang ini matahari sedang bersinar dengan semangatnya. Pasti Ibu itu nggak tahan dengan panas yang menyengat ini. Kita butuh tempat rindang yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi suhu yang panas ini” Ia menghela napas sejenak. “Aku akan membuat bangunan seperti mall yang ramah lingkungan dengan tidak memakai kaca untuk lapisan dinding luarnya tapi diganti dengan tumbuhan dan akan terdapat berbagai macam tumbuhan di sana jadi nggak perlu AC. Selain itu biaya membuatnya pasti nggak terlalu mahal dan banyak banget keuntungan lainnya. Coba kakak bayangkan kalau semua mall di kota ini seperti itu! Pasti kota kita akan jadi lebih indah dan sejuk” Jelas Fiko panjang lebar dengan mata berbinar. “Keren!” Gumamku tiba-tiba. Aku memandang kagum wajah polos dihadapanku ini. Alasan yang sangat sederhana tapi dapat membuatnya memiliki cita-cita luar biasa. “Apa yang keren Kak?” “Ide kamu, aku nggak nyangka anak seumuran kamu punya pemikiran seperti itu. Aku yang berumur 17 tahun aja nggak punya cita-cita. Aku iri sama kamu” “Kakak nggak punya cita-cita? Nggak mungkin!” “Tapi aku serius. Gimana caranya kamu tau cita-citamu itu?” “Aku juga nggak tau, tiba-tiba aku ingin jadi arsitek saat Papa sama Mama mengajakku keliling kota” Jawabnya polos “Pasti orangtuamu bangga mempunyai anak seperti kamu, Fiko” “Tapi kayaknya cita-citaku nggak akan terwujud” “Lo memangnya kenapa?” “Karena Papa sama Mama nggak ngijinin aku sekolah lagi” Jawabnya. Raut mukanya tiba-tiba berubah menjadi sedih. Mengapa orangtua Fiko tidak mengijinkannya sekolah? Apakah tidak ada biaya? Kupandangi anak laki-laki di hadapanku ini. Menurutku dari segi penampilan pakaian yang dikenakan sangat layak. “Fikooo…!” Teriak seseorang dari kejauhan. “Kak Ari!” Balas Fiko sambil berlari menuju lelaki yang memanggilnya. “Kamu dari mana aja? Kakak nyariin kamu kemana-mana” Ucap lelaki itu. Tiba-tiba matanya mengarah padaku. “Siapa kamu?” Tanyanya dengan nada dingin. “Itu kak Reina, dia teman baruku” Jawab Fiko. “Iya, kenalkan aku Reina” Ucapku sambil mengulurkan tangan. “Fiko, lain kali jangan mudah dekat dengan orang asing” Kata lelaki yang seingatku bernama Ari itu tanpa membalas uluran tanganku. “Sudahlah ayo kita pulang! Kamu harus istirahat” Tambah Ari sambil menggenggam tangan Fiko dan melangkah menjauh. “Tunggu!” Cegahku. Lelaki itu menghentikan langkahnya. “Apa?” “Kalau aku boleh tahu, mengapa Fiko nggak diijinkan sekolah?” Ari mengalihkan pandangan ke wajah adiknya. “Fiko, lain kali jangan menceritakan urusan pribadi ke orang asing” Ucapnya. Fiko hanya mengangguk. “Bukan urusanmu” Jawab Ari sambil mengalihkan pandangan ke arahku. Kemudian Ari dan Fiko melanjutkan langkah mereka yang sempat terhenti. Ada apa dengan lelaki itu? Aku hanya bertanya baik-baik tapi ia seperti tidak ramah denganku. Apakah wajahku terlalu memberi kesan kriminal bagi setiap orang yang pertama kali melihatku?
*****
Malam yang menyenangkan, tanpa PR dan tanpa ulangan harian. Seandainya saja setiap hari seperti ini pasti semua pelajar tidak akan mengeluh. Untuk mengisi waktu luang, kutekan tombol power laptopku. Beberapa menit kemudian munculah gambar langit angkasa yang tak lain adalah wallpaper laptopku. Kugeser dan kuklik mouse beberapa kali dan kini wallpaper tersebut telah berubah menjadi lembar kerja yang penuh dengan beberapa tulisan.
Ya inilah duniaku, lebih tepatnya dunia keduaku. Sebenarnya aku suka menulis. Menulis apapun yang ada dipikiranku. Kutuangkan semua imajinasiku dalam kata-kata. Entah itu fiktif ataupun nonfiktif. Hanya dengan menulis aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa kegundahan yang selalu menyelimutiku di dunia sesungguhnya. Kugerakkan 10 jari yang kupunya untuk menekan pelan beberapa abjad yang tersedia pada keyboard. Membentuk rangkaian kalimat panjang. Dan hanya beberapa menit saja, aku sudah tenggelam dalam imajinasiku sendiri.
Beberapa jam kemudian kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi beberapa paragraf yang memenuhi 8 halaman. Kubaca ulang tulisan tersebut dari awal. Ada perasaan yang menyeruak dalam diriku. Perasaan senang yang tak terdefinisikan. Tapi, tidak ada yang mengetahui tentang dunia kedua ini termasuk kedua orangtuaku. Menurutku, Ayah dan Bunda tidak akan menyetujui jika anak perempuannya ini menjadi penulis. Karena mereka berimpian agar aku menjadi orang yang bergelut dalam bidang kesehatan. Tapi jauh dalam diriku tak ada niatan untuk terjun ke bidang tersebut, aku tidak tertarik dengan hal itu. Itulah salah satu faktor mengapa sampai sekarang aku masih bingung dengan tujuanku kelak.
Kuhempaskan tubuhku ke sandaran kursi. Kutatap langit-langit kamar yang hanya berwarna putih polos. Tiba-tiba aku teringat Fiko. Pertemuan singkat dengannya tadi siang membuatku tergugah untuk mencari tujuan dan cita-citaku. Impian si bocah polos itu sangat luar biasa. Arsitek? Aku kurang mengerti dengan profesi itu. Dengan rasa penasaran kuklik ikon yang bertuliskan ‘google’ kemudian kuketik kata kunci ‘arsitek’ di kolom pencarian.
Muncul beberapa pilihan artikel. Ada satu judul artikel yang menarik perhatianku. Setelah kubuka, ternyata sebuah blog yang menceritakan tentang perubahan hidup seorang mahasiswa arsitektur. Aku sangat terkejut membaca tulisan dalam blog tersebut. Dituliskan bahwa si penulis merasa menyesal telah memilih jurusan arsitektur, perubahan pola makan dan jam tidur si penulis yang mengarah ke penurunan serta penulis juga menuliskan bahwa kehidupan arsitek tidak seperti yang diasumsikan oleh masyarakat selama ini karena hanya 10 % dari arsitek di negara ini yang termasuk dalam IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) dan 90% lainnya ada yang membuka usaha sendiri, ada yang beralih profesi namun masih berhubungan dengan ilmu arsitektur dan sebagian memilih pekerjaan yang menyimpang dari arsitektur bahkan ada juga yang menjadi pengangguran.
Setelah membaca blog tersebut nyaliku menciyut. Begitu susahkah menjadi arsitek? Bukankah arsitek pekerjaan yang hanya mengandalkan perhitungan dan kemampuan menggambar? Begitu kerasnya persaingan di luar sana. Semoga saja Fiko tetap semangat demi impian arsiteknya itu dan aku yakin kelak ia akan menjadi arsitek sukses.
*****
“Bagaimana kuliahmu?” Tanya Ayah kepada Kak Artan ketika semua anggota keluarga berkumpul untuk sarapan. “Baik Yah, lagi banyak-banyaknya tugas dari dosen” Jawab kakakku satu-satunya itu. “Belajar yang rajin, kuliah ini menentukan untuk profesimu kelak” Ingat Ayah. “Iya. Oh ya minggu ini aku akan ada turnamen futsal ” Balas Kak Artan. “Kamu jangan terlalu fokus ke futsal nanti kuliahnya mogok kan repot” Tambah Bunda. “Futsal cuma untuk hobi aja kok Bun, prioritas utama tetap jadi pengacara” “Pokoknya Ayah sama Bunda nggak mau dengar berita aneh-aneh tentang kuliahmu” “Siap, kalian tenang aja!”
Aku menghembuskan napas berat. Masih terlalu pagi untuk membahas cita-cita, bukan? Apa tidak ada topik lain untuk perbincangan di meja makan ini? Kak Artan selalu bisa membuat Ayah dan Bunda bangga. Kakakku itu mahasiswa hukum di salah satu universitas ternama di kota ini dan ia bercita-cita menjadi pengacara terkenal. Apa sih enaknya debat di pengadilan demi klien? “Kalau kamu bagaiman Rei? Sudah tau mau kuliah jurusan apa?” Tanya Ayah tiba-tiba kepadaku “mmm… nggak tau Yah” Jawabku pelan “Gimana toh kamu ini? Kamu sudah kelas 2 SMA, Reina” Balas Ayah dengan logat Jawa yang sangat kental “Masih belum ada yang pas” “Jurusan apa yang pas untuk anak yang tidak bercita-cita?” Tanya Ayah dengan nada merendahkan Aku jengah mendengar pertanyaan itu. “Sastra” Jawabku pelan “Sastra? Mau jadi opo kamu? Jurusan Bahasa di SMA aja di hapus” Balas Ayah kemudian meneguk teh hangat yang ada di genggamannya. “Oh ya kemarin anak teman Ayah yang jurusan kedokteran itu sudah memasuki semester akhir dan sekarang lagi sibuk-sibuknya ngurus skripsi” Tambah beliau Aku menghembuskan napas pelan. ‘Itu kan anak teman Ayah bukan aku’ Batinku “Gimana kalau Ayah kenalkan sama kamu? Biar bisa bertukar pengalaman?” Tanya Ayah “Terserah” Ucapku pasrah “Aku harus berangkat sekarang, ada tugas yang belum selesai” Tambahku sambil beranjak dari kursi. “Gimana mau masuk kedokteran kalau tugas aja masih nyontek?” Sindir Kak Artan Tapi telingaku sudah cukup kebal mendengar sindiran-sindiran seperti itu. Setelah mencium tangan Ayah dan Bunda, aku langsung melangkah menuju pintu tanpa menggubris sindiran Kak Artan.
Kulajukan motor kesayanganku melawan hiruk pikuk Kota Pahlawan ini. 15 menit kemudian aku sudah memasuki gerbang yang tak asing bagiku. Sekolah sekolah dan sekolah. Ya, rutinitas yang diwajibkan namun belum tentu menjamin masa depan kita kelak.
*****
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Serba putih. Sekarang aku berada di rumah sakit. Kalau saja bukan karena Bunda yang mengajakku menjenguk salah satu teman arisannya, pasti sekarang aku masih menikmati mimpi indah di kasur empukku. Aku mengikuti langkah Bunda menelusuri lorong demi lorong di rumah sakit ini. “Bun, kita tanya aja!” Usulku. “Kayaknya belok sini” Ucap Bunda. “Sus, kamar mawar dimana ya?” Tanyaku kepada seorang suster yang kebetulan lewat tanpa menghiraukan ucapan Bunda. “Oh, belok kiri trus lurus aja. Kamar mawar ada di sebelah kanan” Jawab Suster tersebut. “Makasih Sus” Balasku sambil tersenyum. “Oh iya belok kiri, Bunda ingat sekarang” Tambah Bunda dengan nada seolah-olah tahu. Aku menghela napas perlahan. “Rei, habis ini luruskan?” “Katanya Bunda udah ingat?” Pancingku. “Ya, Bunda kan cuma memastikan biar nggak nyasar” Balas Bunda mengelak. ‘Bunda… Bunda…’ Batinku
Tak lama ketemulah kamar Mawar yang kami cari-cari dan tanpa membuang waktu lagi Bunda langsung masuk ke dalam. Terlihat seorang wanita setengah baya terbaring lemah dengan infus di tangan kirinya. Wanita itu tersenyum kecil saat mengetahui kami datang dan Bunda berusaha memeluk sahabatnya tersebut. Sangat mengharukan. Karena tidak ingin mengganggu, kuputuskan untuk keluar sekaligus mencari angin.
Kakiku terhenti saat melewati taman tengah rumah sakit tersebut. Mataku menangkap sosok yang tak asing. Kumajukan langkah mendekati sosok tersebut. “Fiko” Panggilku pelan. Refleks ia menoleh ke arahku dan tersenyum. “Kak Reina? Ngapain kakak ke sini?” “Iya, hanya mengantar Bunda menjenguk temannya. Kamu sendiri ngapain di…” Pertanyaanku terhenti saat aku menyadari bahwa Fiko mengenakan pakaian yang sama seperti yang dikenakan teman Bunda tadi. “Kamu sakit?” “Aku nggak tau. Yang kutahu hampir setiap Minggu aku harus ke rumah sakit” Jawabnya polos Aku memandangnya dengan tatapan prihatin. “Kak Reina, aku senang bisa mengenal kakak” Tambahnya tiba-tiba “Aku juga beruntung bisa bertemu anak sehebat kamu” Balasku sambil tersenyum “Aku iri sama kakak. Kakak bisa sekolah sampai setinggi yang kakak mau. Sedangkan aku hanya sekolah sampai kelas 4 SD” Kutatap lekat sepasang mata di hadapanku ini, aku melihat keputusasaan dibalik manik hitamnya. Tak kutemukan binar mata yang kutangkap saat pertama bertemu dengannya. Sepasang mata itu kini beralih, memandang rerumputan hijau yang sedikit menari terkena sapuan pelan angin. “Kenapa kamu iri sama aku? Walaupun aku sekolah sampai SMA tapi aku nggak sehebat kamu. Kamu anak terhebat yang pernah aku temui” Ucapku sambil mengusap pelan puncak kepala Fiko. “Kalau sudah sembuh aku yakin orangtuamu pasti ngijinin kamu sekolah” Tambahku “Semoga aja” Jawabnya pelan dengan mata menerawang jauh entah kemana. “Kamu harus makan yang banyak terus minum obat teratur biar cepat sembuh dan sekolah lagi” Ia hanya diam. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya kini. “Kemarin aku nggak sengaja dengar percakapan Papa dan Dokter Hadi. Katanya semua semakin parah dan umurku nggak lama lagi” Kalimat yang terlontar dari mulut kecil itu Aku terkejut mendengarnya. Penyakit apa yang diderita Fiko? Apakah separah itu? “Apakah aku akan mati?” Tanyanya polos “Fiko, yang tahu umur kita cuma Tuhan, dokter kan cuma manusia biasa sama seperti kita” Balasku sambil menatap wajah polos di sampingku itu. “Aku berdoa agar Tuhan memberiku umur panjang sampai aku bisa membuat Mama, Papa dan Kak Ari bangga” “Amin, pasti Tuhan mendengarkan doa anak hebat seperti kamu” Tiba-tiba Fiko mendongakkan kepalanya. Menghadap langit yang berwarna biru bercampur dengan abu-abu gelap. Aku pun mengikutinya. Kemana matahari siang ini? Mengapa ia bersembunyi di balik awan gelap? “mmmhh” Napas Fiko tiba-tiba tersengal-sengal “Fiko kamu kenapa?” Tanyaku gugup Tapi mulutnya tak mengeluarkan satu kata pun. Wajahnya semakin pucat. Dan napasnya semakin tidak beraturan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya berteriak minta tolong dengan sekencang-kencangnya. Untung saja, tak lama beberapa suster datang dan langsung membawa Fiko.
Aku hanya berdiri di balik tembok tak jauh dari ruang tempat Fiko dirawat. Aku tidak mempunyai keberanian untuk bertatapan langsung dengan keluarga Fiko. Aku takut. Apa ini semua salahku? Semoga tidak terjadi apa-apa dengannya. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan itu. “Dokter, bagaimana keadaan anak saya?” Tanya Mama Fiko dengan air mata masih mengalir di pipinya. Dokter itu hanya terdiam.
*****
Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 03.00 pagi. Kemudian aku beranjak dari tempat tidur menuju meja belajar. Kubuka jendela yang berada di sebelah kanan meja belajar. Angin malam berhembus pelan. Kurasakan gesekan angin yang tercipta di kulitku, sangat dingin. Tapi hal itu tak membuatku untuk berpikiran kembali ke tempat tidur. Kutatap langit malam, tak ada bintang yang bertebaran. Aku tak tahu mengapa banyak orang menganggap bintang itu indah. Bintang hanya pelengkap langit. Meskipun tanpa pelengkap tersebut, langit tetap terang dengan cahaya bulan yang lebih indah.
Dengan mata masih menatap langit malam, pikiranku mengingat kejadian 1 minggu yang lalu. Fiko. Mengapa ia harus pergi menghadapNya secepat ini? Mengapa Tuhan mengambil anak yang memiliki cita-cita jelas seperti Fiko? Tapi mengapa Tuhan justru membiarkan anak tidak jelas sepertiku untuk hidup lebih lama? Mengapa aku diberi umur panjang sedangkan Fiko tidak? Mengapa harus dia yang mengidap lupus, Tuhan? Apa benar Tuhan tidak adil?
Tiba-tiba seekor kupu-kupu terbang di dekat jendela. Kupu-kupu cantik itu terbang dengan bebasnya. Menurut banyak orang kupu-kupu adalah hewan yang memiliki metamorfosis yang sangat mengagumkan. Dari telur kecil berubah menjadi ulat. Ulat yang menjijikkan, tak dianggap dan tak ada satupun orang yang ingin tersentuh olehnya. Namun beberapa hari kemudian ulat tersebut bersembunyi membentuk kepompong. Menurutku, di dalam kepompong ulat merenung mencari cara agar dapat di anggap dan tidak diremehkan oleh dunia. Sehingga ulat berubah menjadi kupu-kupu cantik yang selalu dikagumi banyak orang.
Kuhembuskan napas perlahan. Seandainya saja Fiko diberi waktu lebih lama lagi, aku yakin ia akan menjadi kupu-kupu cantik itu. Sebuah pikiran konyol tiba-tiba melintas di otakku. Tidak mungkin. Tapi apa salahnya aku mencoba? Mencoba untuk menjadi kupu-kupu tersebut. Senyum kecil tercetak dibibir ini. Sekarang aku tahu. “Rei… Rei… Ayo bangun! Nanti kamu terlambat!” “Iya, 5 menit lagi” Jawabku “Ayo cepat bangun!!” Dengan mata yang masih enggan untuk dibuka aku melangkah menuju kamar mandi. Dan 10 menit kemudian aku sudah menyantap nasi goreng buatan Bunda. “Rei, kamu semalam ngapain aja toh? Kok sampai tidur di meja belajar?” Tanya Bunda. “Kamu belajar sampai larut malam?” Tambah Kak Artan dengan nada terkejut. “Nggak, ada hal yang lebih penting kulakukan daripada belajar” Jawabku mantap sambil memasukkan sesuap nasi goreng ke mulut. “Heh sembrono kamu! Belajar itu yang paling penting” Balas Ayah Aku hanya membalas dengan senyuman.
*****
2023
“Ketika ulat mengepakkan sayap dan terbang tinggi dengan indahnya.” – Artan
“Ya pemirsa, dapat kita saksikan betapa ramainya suasana di sini. Semua orang tidak sabar untuk mengetahui siapa otak di balik proyek yang luar biasa ini” Ucap salah satu reporter sambil menghadap kamera. Yang dikatakan reporter tersebut memang benar. Di sini sangat ramai bahkan para polisi harus turun tangan agar tidak terjadi kemacetan. Hari ini memang hari yang bersejarah untuk kota kelahiranku ini. Tidak hanya walikota yang hadir tapi juga gubernur bahkan presiden ikut menyempatkan diri demi acara ini. “Ya semuanya harap tenang!” Ucap pemandu acara “Baiklah untuk menyingkat waktu inilah orang yang kita tunggu-tunggu!!” Tambahnya Tiba-tiba seorang wanita keluar dengan senyum lebar tercetak di bibirnya. Sangat cantik. Sontak semua orang bertepuk tangan dengan tatapan kagum. “Reina Deanessa!!!” Aku masih terpaku dengan wanita yang berdiri tepat di depan pita itu. Wanita itu Reina, adik kandungku. Ya, Reina adalah otak dari semua ini. Kulirik Ayah dan Bunda, tanpa sadar mereka meneteskan air mata. Air mata itu adalah rasa bangga mereka yang tak sanggup diungkapkan. “Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatu, selamat pagi semuannya! Sebelumnya perkenalkan saya Reina Deanessa. Sebenarnya saya tidak berperan penting dalam pembangunan FI-Green Mall ini. Dan ide ini bukanlah ide saya” Ucap Reina. Sontak semua orang terkejut, termasuk aku. “Perlu diketahui saya hanya dalang dibalik proyek pembangunan FI-Green Mall ini dan saya tidak sendiri, saya bersama banyak pihak. Tapi otak di balik ini semuanya adalah teman kecil saya, Fiko. Ia adalah anak dengan pemikiran yang sangat luar biasa. Ide ini keluar begitu saja dari mulutnya dan ini adalah cita-cita hidupnya. Hanya saja takdir berkata lain, Fiko meninggal di usia 11 tahun karena penyakit lupus yang dideritanya. Ia mengajarkan saya akan pentingnya cita-cita dan tujuan dalam hidup. Sejak saat itu saya menemukan tujuan hidup saya yaitu mewujudkan cita-cita Fiko. Ya, mewujudkan cita-cita orang lain bukan hal yang buruk bukan? Dan dari ia juga, saya memahami akan cara menghargai waktu dan makna kehidupan. Waktu memang akan terasa menyebalkan jika kita hanya melihatnya dari sebelah mata, tapi coba kita buka mata lebar-lebar. Apa patut kita menyalakan waktu? Yang salah bukanlah waktu, tapi kita sendiri. Kita yang kurang memahami waktu. Andaikan saja kita bisa merasakan betapa berharganya hembusan napas yang keluar setiap detiknya, pasti kita akan dapat menghargai waktu. Sedangkan makna kehidupan yang saya temukan adalah hidup bukanlah hal yang patut disia-siakan. Lakukan yang terbaik dalam hidup ini. Ingat! Kita bukan kucing yang mempunyai 9 nyawa. Kita hanya diberi satu kesempatan untuk hidup. Renungkanlah apa yang kalian inginkan kemudian tentukan tujuan hidup kalian. Hidup ini akan terasa lebih mudah jika kita mempunyai tujuan” Tepuk tangan terdengar dari semua sudut. Reina memang sangat membanggakan. Aku tidak menyangka adik kecilku itu telah tumbuh menjadi orang hebat. “Oh ya saya hampir lupa, kata FI dalam nama FI-Green ini adalah singkatan dari Fiko Inggada. Saya sengaja menyelipkan nama Fiko agar semua orang tahu bahwa Fiko lah yang paling berperan dalam pembangunan Mall ramah lingkungan ini” Tambah Reina “Saya atas nama Fiko meyatakan bahwa Mall ini resmi dibuka!” Teriak Reina sambil memotong bagian tengah pita.
Lagi-lagi hanya tepuk tangan yang terdengar. Sepertinya sebentar lagi adik perempuanku ini akan menjadi arsitek sukses dan terkenal. Reina membalas beberapa uluran tangan yang ditujukan padanya sebagai tanda ucapan selamat. Tak lama Reina berlari ke arahku. Tidak, lebih tepatnya ia berlari memeluk Ayah dan Bunda. “Kamu hebat!” ucap Ayah sambil menghapus buliran yang membasahi pipinya “Aku bangga sama kamu Rei” Tambahku. Kemudian Reina memelukku erat. “Terima kasih Kak” Balasnya “Reina..” Panggil seseorang tiba-tiba Adikku hanya memandang orang yang kini di depannya itu dengan tatapan bingung. “Mungkin kamu lupa, tapi aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga” Tambah orang itu lagi “Terima kasih? Untuk apa?” Balas Reina semakin bingung “Karena kamu telah merealisasikan impian adikku satu-satunya” Jawab orang itu Ekspresi Reina tiba-tiba berubah. Ia terkejut. “Ari?” Ucap Reina pelan Lelaki itu hanya tersenyum. Senyuman penuh arti.
Cerpen Karangan: Ifarifah Blog: www.ifarifah.blogspot.com