Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Chintya Aryanto menuju ke ruang kelas perkuliahan dengan langkah gontai. Ketika sampai dalam kelas, Ibu Darmayanti, dosen matakuliah Pengantar Ekonomi Makro menyambut dengan nada sinis, “selamat sore,” diikuti dengan gelak tawa mahasiswa dalam kelas tersebut. Seolah sudah terbiasa dengan perlakuan tersebut, Chintya dengan cuek langsung menuju ke tempat duduk kosong di pojok kanan belakang kelas. Hari ini adalah hari pertama perkuliahan semester genap di Universitas Merah Putih Jakarta. Namun Chintya, salah satu mahasiswi Jurusan Ekonomi-Akuntansi yang kini menjajaki semester kedua perkuliahan sudah datang terlambat selama 60 menit. Pantas saja dosen bersikap ketus padanya. Selama perkuliahan pun, Chintya nampak tidak mempedulikan kicauan Ibu Darmayanti yang menyerukan permasalahan ekonomi makro. Chintya malah asyik menggambar-gambar dengan pensil 2B yang menari-nari di atas kertas A4. Tidak terasa, jam akhirnya berputar sampai pukul 09.00 WIB. “Sekian materi saya hari ini, sampai jumpa di pertemuan berikutnya,” kata Ibu Darmayanti mengakhiri perkuliahannya. “Yes,” seru Chintya dalam hati sambil merapikan mejanya dan segera menuju perpustakaan.
Perpustakaan Universitas Merah Putih tergolong elite. Buku-bukunya lengkap, tersedia fasilitas wifi, dan ruangannya besar. Namun, bukan hal-hal tersebut yang membuat Chintya suka menghabiskan waktunya di tempat ini. Yang paling membuat Chintya betah adalah adanya kafe dalam perpustakaan ini. Selain dapat makan dan minum dengan leluasa, di kafe perpus terdapat meja yang ukurannya cukup untuk meletakkan kertas gambar berukuran A3. Chintya memang mempunyai hobi menggambar. Melukis, desain, sketsa, dan karikatur adalah dunianya. Bahkan setelah lulus SMA, Chintya sebenarnya ingin mengambil perkuliahan desain grafis namun tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya. Maklum, Chintya adalah anak tunggal sehingga kedua orang tuanya begitu protektif terhadap dirinya. Menurut kedua orang tua Chintya, menggambar atau melukis bukanlah kegiatan yang akan menjadikan masa depan anak semata wayangnya menjadi cerah. Sungguh pandangan yang kolot! Namun apa boleh buat. Chintya pun tidak mampu menentang keinginan orang tuanya yang menghendakinya menjadi pengusaha atau bussiness woman. Maka dari itu, Chintya mencemplungkan dirinya ke perkuliahan Akuntansi, dunia yang sungguh tidak dikehendakinya! Ya, itulah alasan mengapa Chintya ogah-ogahan dalam menjalani perkuliahannya. Menekuni suatu bidang yang tidak kita minati sungguh merupakan siksaan batin. Perpus kafe menjadi saksi bisu kehidupan dewasa awal Chintya.
“Self assessment system adalah sistem perhitungan pajak dalam suatu negara dimana besaran pajak di hitung sendiri sedangkan official assessment system adalah perhitungan pajak oleh pihak fiscus,” terang Pak Martin, dosen matakuliah Perpajakan yang sedang mengajar. Tiba-tiba pintu kelas terbuka dan Chintya masuk dengan kepala menunduk. “Kok jam segini baru datang?” Pak Martin bertanya sambil melihat jam tangannya yang menjelaskan bahwa mahasiswa ini sudah terlambat selama 55 menit. “Iya, maaf pak,” jawab Chintya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut dan langsung mencari tempat duduk. “Namanya juga ‘Princess of Late’ gitu lho, kalau datengnya on time, bisa-bisa matahari terbit dari barat,” celetuk salah seorang mahasiswi bernama Merry diikuti gelak tawa satu ruang kelas kecuali Pak Martin dan si subyek penderita, Chintya. Sejak semester satu, Chintya selalu datang terlambat ke kelas. Dulu, ia hanya terlambat sekitar 30 menit. Di semester ini lebih parah, keterlambatannya sampai satu jam! Hingga teman-teman sekelasnya memberikannya julukan sebagai ‘Princess of Late’ alias tuan puteri yang suka terlambat. “Sekarang kita akan mempelajari teori asas pemungutan pajak,” Pak Martin lanjut mengajar setelah suara tawa reda.
“Duh, perpajakan apa sih, bikin pusing aja,” dumel Chintya dalam hati sambil melangkah ke kafe perpus seusai kuliah Perpajakan. Sesampainya di tempat favoritnya, Chintya memesan coklat panas dan mulai melakukan ritualnya. Pensil 2B-nya bergerak di atas kertas A3 menggoreskan Doraemon dan kawan-kawannya yang sedang terbang dengan baling-baling bambu. Entah mengapa, ia tiba-tiba saja merindukan masa kanak-kanaknya sehingga dituangkannya itu lewat kartun favoritnya semasa kecil. Pak Martin adalah dosen baru di Jurusan Akuntansi Universitas Merah Putih dan kali ini beliau mencoba mengunjungi kafe perpus. Setelah memesan roti bakar keju, ia mencari tempat duduk dan dilihatnyalah sosok yang tidak asing lagi. Ia melihat seorang gadis manis berambut panjang dan rambutnya itu dimasukkan dalam lubang belakang topi berlidah. Dialah Chintya dengan gaya khasnya setiap ke kampus. “Halo. Kamu mahasiswa saya kan? Boleh saya duduk di sini?” Pak Martin menyapa Chintya sembari meminta izin duduk semeja dengannya. “Iya pak. Boleh pak. Silakan,” jawab Chintya. “Oh, ternyata kamu suka menggambar ya? Bagus ya gambar kamu,” puji Pak Martin ketika melihat sketsa gambar Chintya. “Terima kasih pak,” jawab Chintya sambil tersenyum. “Kenapa kamu gak ambil jurusan desain grafis aja? Kayaknya kamu berbakat deh,” Pak Martin lanjut bertanya. “Iya, maunya sih gitu pak. Tapi gak boleh sama orang tua saya,” jawab Chintya dengan raut wajah agak sedih. “Oh, begitu, tanggap Pak Martin singkat.
Seminggu kemudian, jurusan akuntansi semester kedua kembali mendapatkan matakuliah Perpajakan. Kedatangan Pak Martin sudah dinanti-nantikan oleh para mahasiswi. Bagaimana tidak, Pak Martin adalah sosok dosen muda berumur 31 tahun yang wajahnya tampan, perawakannya tinggi, dan masih lajang. Kriteria terakhir itulah yang membuat para mahasiswi tambah antusias. Bahkan personal genk Sweety Girls, genk terpopuler di jurusan akuntansi, yang beranggotakan Merry, Kirana, dan Santy rela berdandan habis-habisan dan membeli pakaian baru untuk menghadiri kuliah Perpajakan. Wow! “Untuk minggu depan, kalian akan saya berikan tugas untuk merangkum materi yang telah kita pelajari selama dua minggu ini. Tugasnya di buat dalam kelompok yang beranggotakan empat sampai lima orang,” jelas Pak Martin. Para mahasiswa segera membagi dirinya dalam kelompok. Kemudian Cindy, sang komti kelas segera menyerahkan kertas berisi daftar kelompok kepada Pak Martin. “Semuanya sudah dapat kelompok ya,” Pak Martin memastikan. “Palingan Chintya tuh yang belum dapet, biasaaa,” ujar Santy. “Maklum pak, anak yang gak mau bergaul, di kelas kerjaannya gambar-gambar aja, IP-nya bottom five di jurusan,” Kirana memberi penjelasan mewakili kenyataan. Pak Martin melihat ke kertas yang sedang dipegangnya dan tidak ditemukan nama Chintya. “Chintya, kamu gabung ke kelompoknya Cindy ya,” Pak Martin memutuskan.
Pada jam istirahat, Chintya dan Pak Martin bertemu kembali di kafe perpus seperti sebelumnya. Pertemuan ini tidak direncanakan, tanpa janji, namun mereka bertemu bak jodoh! “Kamu suka kemari ya?” Tanya Pak Martin. “Iya pak, ini tempat favorit saya. Kalau ada jeda kuliah, saya pasti ke sini. Bapak juga suka tempat ini?” Chintya balik bertanya. “Roti bakar di sini enak, makanya saya balik lagi, hehehe,” jawab Pak Martin. “Sori nie, kok saya liat, kamu kuliah kaya gak niat gitu? Kasian lho orang tua kamu yang udah biayain kuliah kamu mahal-mahal,” ucap Pak Martin. “Aduh… gimana yaa,” Chintya kebingungan menjawab pertanyaan Pak Martin. Ia nampak mempunyai jawaban yang kuat untuk pertanyaan tersebut namun sulit sekali dijelaskan. Pak Martin dapat membaca situasi ini maka ia berkata, “Udah gak usah di jawab kalau gak bisa di jawab. Yang jelas saya punya tawaran buat kamu.” “Tawaran apa pak?” Tanya Chintya penasaran. “Saya bisa bantu kamu supaya enjoy dalam kuliah dan mungkin ke depannya IP kamu ikut membaik. Saya dengar-dengar, IP kamu kurang baik kan?” Ujar Pak Martin. “Iya sih pak, IP saya gak bagus. Oh ya? Kita kan baru kenal pak, kok bapak baik banget sama saya sampe nawarin bantuan seperti itu?” Tanya Chintya heran. “Yaa… karena kamu cantik,” kata Pak Martin cuek. “Hahahaa… gak kok, saya bercanda tadi. Saya kan dosen kamu. Yah sebagai tanggung jawab moral aja,” sambungnya santai. “Bapak mau ajarin saya tentang matakuliah? Hmm…, boleh deh,” jawab Chintya. “Oke, kalau begitu, kita ketemuan ya setiap hari Kamis selesai kamu kuliah di tempat ini,” balas Pak Martin.
Sesuai perjanjian, Chintya dan Pak Martin bertemu di kafe perpus setiap hari Kamis seusai kuliah. Dari minggu ke minggu petemuan ini menimbulkan gosip di Jurusan Akuntansi. Banyak mahasiswa yang memergoki mereka. Mereka tampak asyik mengobrol berduaan dan kadang sampai tertawa-tawa. Apa sih yang mereka lakukan berdua? Apa sih yang mereka bicarakan? Kayaknya seru banget. Pertanyaan itulah yang muncul di benak semua orang yang melihatnya. Mereka berpacaran! Itulah prediksi paling jitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Salah satu personel sweety girl, Merry, mahasiswi yang paling tergila-gila pada Pak Martin bagaikan cacing kepanasan karena pria idamannya jatuh ke tangan mahasiswi yang baginya tidak ada apa-apanya. Merry mengakui bahwa Chintya memang lebih manis daripadanya. Namun, prestasi akademis Chintya itu hancur mina, tidak disiplin, dan kurang pergaulan. Bagaimana bisa dosen yang sempurna seperti Pak Martin dapat tertarik pada mahasiswi yang modelnya seperti itu? “Chintya, lo ngaku deh. Lo sama Pak Martin itu pacaran kan?” Tanya Merry pada Chintya. “Gue sama Pak Martin itu ya cuma mahasiswa sama dosen, Merry, gak lebihlah. Mesti berapa kali sih gue bilang? Ini tuh sudah lebih dari sepuluh kali lo nanya ke gue pertanyaan yang sama. Lo gak bosen apa? Gue aja udah bosen banget tahu. Apalagi bukan lo aja yang nanya gitu. Anak-anak yang lain juga, sama aja,” celoteh Chintya. “Ya terus lo ngapain berdua-duaan mulu sama Pak Martin di kafe perpus? Pandang-pandangan, senyum-senyum, ketawa-ketawa. Udah, lo jujur aja deh sama gue. Gue janji gak nyebarin pengakuan lo ke anak-anak lain. Soalnya gue tahu, lo takut kan kebukti pacaran sama Pak Martin? Nanti dekan bakal ngegubris hubungan kalian. Pake pelet apa sih lo? Sampe Pak Martin bisa ada hati sama lo,” oceh Merry panjang lebar. “Iyaa… gue pacaran sama Pak Martin. Peletnya ada di topi gue. Makanya tiap hari gue pake topi ke kampus. Puas lo?” Jawab Chintya yang telah kewalahan.
Semenjak kedekatannya dengan Pak Martin, Chintya mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam aktivitas perkuliahannya. Sang ‘Princess of Late’ tidak lagi datang terlambat pada waktu kuliah. Tugas mandiri yang diberikan dosen selalu dikerjakannya dan dikumpulkan tepat waktu. Pada saat matakuliah, ia tidak lagi menggambar-gambar seperti biasanya melainkan mau memfokuskan perhatian pada dosen yang sedang mengajar. Peralatan menggambar yang dibawanya hanya digunakan pada saat istirahat. Sedikit-sedikit, Chintya mulai membaurkan diri dengan teman-teman sekelasnya. Pada saat pembagian kelompok kerja, ia aktif mencari teman kelompok. Teman-temannya pun dengan mudah menerima kehadirannya karena ia sudah dapat memberikan kontribusi dalam tugas kelompok, tidak seperti dahulu yang hanya ‘menitipkan nama.’ Selain itu, di semester dua ini, Chintya berhasil meraih IP 2,9. Bila dibandingkan dengan IP-nya semester lalu yang berkisar 1,8, ini berarti peningkatan yang signifikan! “Ternyata cinta itu mempunyai kekuatan yang luar biasa ya. Cinta bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Cinta bisa menjadikan yang buruk menjadi indah. Cinta juga dapat mengubah sikap, dari malas menjadi rajin, dari ogah-ogahan menjadi semangat. Dan gue baru tau, kalau cinta itu bisa naikin IP. Liat aja Chintya. Sejak dia sering berdua-duaan sama Pak Martin di kafe perpus alias pacaran, dia mulai berubah jadi mahasiswa yang disiplin, nilainya juga lumayan. Tadinya gue pikir, cinta itu destruktif lho. Kalau kita tiap hari pacaran, SMS-an, BBM-an, terus malam minggu jalan-jalan mulu, kan buang-buang waktu. Entar jadinya gak ada waktu buat belajar sama ngerjain tugas secara maksimal. Ujung-ujungnya IP turun… Makanya sampe sekarang gue milih ngejomblo. Ngejomblo demi prestasi, hahaa…,” ujar Cindy, sang komti kelas yang IPK-nya selalu top three di Jurusan Akuntansi. “Tepatnya, cinta itu adalah sumber air yang mempunyai dua arus, yaitu prospektif dan desktruktif. Balik lagi ke sikap kita, yang bakal nentuin ke arus mana kita terbawa,” balas Bella, sahabat Cindy yang tengah mengobrol bersamanya. Seperti itulah rata-rata tanggapan mahasiswa Akuntasi mengenai progres perkuliahan Chintya.
Pada semester berikutnya, Pak Martin tidak lagi mengajar Jurusan Akuntansi angkatan Chintya karena beliau ditugaskan mengajar matakuliah semester awal. Jadwal kuliah Chintya juga berbeda dengan jadwal mengajar Pak Martin. Oleh karena itu, Chintya dan Pak Martin tidak pernah lagi bertemu di kafe perpus. Gosip mengenai kedekatan mereka kian lama kian pudar. Ada yang mengatakan bahwa mereka sudah putus, ada juga yang menerka kalau mereka bertemu di luar kampus. Namun, sikap baik Chintya yang ditunjukkannya belakangan tetap bertahan, yakni kedisiplinan dan ketekunannya. Bahkan di semester paling akhir, Chintya mampu menghasilkan prestasi yang terbaik, yaitu mendapat IP 4 di semester itu. “Chin, selamat yaa… Nilai lo bagus banget. Pasti berkat diajarin sama Pak Martin. Hoki bener lo punya cowok kaya gitu, hahahaa…,” ucap Rio, teman sekelas Chintya yang sedang melihat nilai bersamanya di papan pengumuman. “Yup, selamet juga ya buat lo, nilai lo juga memuaskan kan? Yahh… lo ada-ada aja. Gue belajar sendiri donk, hahahaa…” jawab Chintya santai.
Akhirnya, tiba juga hari ini. Hari spesial yang dinantikan oleh Chintya dan semua teman-teman kuliahnya. Anak-anak perempuan tampil anggun dengan kebaya warna-warni dan rambut yang disanggul. Chintya yang kesehariannya tampil tomboi dengan kaos, celana panjang, dan memakai topi, kini menunjukkan sisi femininnya. Ia mengenakan kebaya berwarna ungu muda berhiaskan bunga-bunga kecil. Merry, Kirana, dan Santy juga tak kalah cantik. Mereka bertiga sama-sama mengenakan kebaya berwarna merah muda untuk menunjukkan kekompakan genk mereka dan penggunaan warna merah muda ini dimaksudkan juga sebagai simbol manis dan centil, sama seperti kepribadian mereka. Cindy mengenakan kebaya warna putih dan beberapa temannya menggodainya mau menikah. Masih banyak warna lain yang bertebaran seperti hijau, oren, biru, merah, kuning, dan lain-lain. Warna-warni yang menampilkan keceriaan sama seperti hati mereka. Sementara anak-anak lelaki tampil gagah dengan celana panjang, kemeja lengan panjang, dipadukan dengan dasi kupu-kupu. Mereka semua telah berkumpul di auditorium kampus. Ya, inilah Hari Wisuda Universitas Merah Putih Jurusan Akuntansi. Acara ini berbentuk formal namun dapat diikuti dengan santai oleh semua peserta karena mereka berasal dari satu jurusan, yakni akuntansi. Jadi, wisuda mereka tidak perlu tercampur oleh mahasiswa-mahasiswa asing yang berasal dari jurusan lain. Suasana kekeluargaan begitu terasa karena semua mahasiswa telah saling mengenal, paling tidak wajahnya tidak asing lagi. 127 mahasiswa beserta orang tuanya, Rektor, Wakil Rektor, Dekan Fakultas Ekonomi, Ketua Jurusan Akuntasi, dosen-dosen akuntansi, termasuk Pak Martin hadir memenuhi ruangan itu.
Acara dimulai tepat pada waktunya. Pembawa acara mengawalinya dengan doa, dilanjutkan dengan pidato dari Rektor, Dekan, dan Ketua Jurusan. Semua mahasiswa diundang berdiri untuk menyanyikan “Himne Universitas Merah Putih.” Tibalah saatnya pelantikan wisudawan-wisudawati. Satu persatu nama mereka di panggil untuk dinobatkan secara resmi sebagai sarjana dengan gelar S.E yang disematkan di belakang nama mereka. Kemudian, Bapak Yanto, selaku Ketua Jurusan Akuntansi mengumumkan nama mahasiswa yang mendapatkan juara tiga besar berdasarkan IPK. “Juara tiga dicapai oleh… Surya Chandra. Juara kedua… Carissa Wilmona. Dan juara satu… Cindy Putri.” Para top three maju ke depan untuk menerima piala dan foto bersama. “Berdasarkan peraturan universitas yang dimandatkan oleh Bapak Rektor kepada saya, akan diberikan penghargaan kepada satu orang mahasiswa di setiap jurusan sebagai ‘Mahasiswa Teladan,’ Pak Yanto melanjutkan pembicaraannya. “Saya telah melakukan observasi dan menerima laporan mengenai perkembangan pembelajaran setiap mahasiswa selama empat tahun. Oleh karena itu, saya telah memutuskan bahwa mahasiswa yang berhak menerima predikat sebagai Mahasiswa Teladan adalah…” Semua mahasiswa saling berpandang-pandangan. “Chintya Aryanto…,” seru Pak Yanto. Semua hadirin bertepuk tangan dan Chintya diundang maju ke depan. “Predikat Mahasiswa Teladan tidak harus jatuh ke mahasiswa yang paling pintar atau paling sering mewakili universitas mengikuti perlombaan. Predikat ini sebagai wujud penghargaan bagi mahasiswa yang mau berusaha dan mengalami progres yang banyak selama perkuliahan. Bapak tahu Chintya. Di semester awal, sikap dan prestasinya tidak baik. Namun, di luar dugaan, di semester selanjutnya ia memperbaiki diri. Pihak Jurusan menghargai usaha Chintya. Maka predikat Mahasiswa Teladan layak diterima oleh Chintya. Chintya, bisa ceritakan sedikit tentang keberhasilan kamu?” Pak Yanto mempersilakan Chintya untuk berbicara. “Segala yang saya peroleh pada saat ini tidak lepas dari bantuan seseorang yang begitu menginspirasi hidup saya. Semuanya tentu sudah bisa menebak siapa dia. Iyaa, dia adalah Pak Martin. Dulu, saya kuliah ogah-ogahan karena masuk jurusan yang tidak saya inginkan. Saya minatnya ke desain grafis makanya sering gambar-gambar. Tapi orang tua saya gak setuju. Mereka mau saya belajar perekonomian. Sulit banget rasanya ngejalanin kuliah yang gak sesuai minat. Lalu, saya bertemu Pak Martin. Beliau memotivasi saya bahwa segala halangan yang menghadang ketika kita ingin mencapai kesuksesan harus dianggap sebagai batu loncatan. Semakin tinggi batu loncatan, kita belajar semakin tinggi melompat, dan di balik itu ada pemandangan yang indah. Bila di jalan kesuksesan kita bertemu tembok penghalang, tembok itu harus di panjat, bukannya berdiam diri di baliknya. Meloncati batu loncatan atau memanjat tembok penghalang tidak akan menimbulkan kelelahan atau membuat kita kehabisan tenaga melainkan akan menghasilkan kekuatan diri, maka nikmati saja prosesnya,” cerita Chintya penuh semangat. “Wah, ternyata Pak Martin selain dosen juga motivator ya? Hebat bisa kasih pencerahan seperti itu. Pak Martin, boleh diceritakan dari mana anda mendapatkan kata-kata mutiara seperti itu?” Pak Yanto turut mengundang Pak Martin maju ke depan. “Kata-kata itu bersumber dari pengalaman pribadi saya. Dulu setelah lulus SMA, saya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, bermasalah di biaya. Orang tua saya mempunyai sejumlah uang yang kira-kira cukup untuk biaya kuliah saya. Tetapi mereka meminta saya agar menggunakan uang tersebut sebagai modal membuka toko. Membuka dan menjaga toko bukan minat saya. Saya lebih menyukai dunia perkantoran. Saya dulu buka toko plastik dan jaganya ogah-ogahan. Orang yang mau belanja tidak saya layani dengan baik. Lalu, saya sadar jika saya ogah-ogahan, yang capek adalah diri saya sendiri. Saya berusaha bersemangat mengurus toko tersebut walaupun sulit rasanya. Saya mencoba melengkapi barang dagangan dan melayani pembeli dengan ramah. Toko saya jadi ramai dan untungnya banyak. Dari sana, saya dapat menabung untuk biaya kuliah saya. Jadi, tercapailah impian saya. Malahan saya bisa kuliah sampai S2,” kenang Pak Martin. “Itulah yang diceritakan Pak Martin pada saya. Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengkonfirmasi hubungan saya dengan Pak Martin, bahwa kami tidak pernah berpacaran. Kami bisa dekat karena persamaan nasib dan Pak Martin memberikan teladan pada saya. Sungguh beliau dosen yang baik. Waktu itu saya pernah bilang sama Merry kalau kami berpacaran karena saya sudah jera dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan saya. Saya dan Pak Martin adalah mahasiswa dan dosen, tidak lebih,” tegas Chintya. “Oh ya, pada kesempatan yang baik ini, saya ingin mengumumkan sesuatu. Dua minggu lagi, saya akan menikah. Mohon doa restu dari kalian agar semuanya lancar,” pinta Pak Martin. “Huaaahhh… terus nasib gue gimana dong? Huhuhuu…” jerit Merry diikuti tawa para mahasiswa sementara Kirana dan Santy berusaha menenangkannya. “Kalau begitu, berarti Pak Martin telah mendapatkan apa yang dia impikan. Dia hanya perlu meneruskannya. Chintya, apa rencana kamu selanjutnya untuk mencapai impian kamu?” Pak Yanto bertanya pada Chintya. “Selama ini saya telah berusaha memperbaiki IPK. Di samping itu, sambil kuliah saya sering mengikuti lomba gambar yang saya dapatkan lewat internet, poster, koran, majalah, atau tabloid. Ada yang menang ada yang gak. Yang penting usahanya. Dan itu semua akan saya jadikan sebagai kualifikasi saya untuk melamar beasiswa kuliah desain grafis di Inggris.”
Cerpen Karangan: Nita Setiawan Facebook: Nita Setiawan