Mungkin aku akan berhenti mengejar matahari yang selalu aku ikuti bayang-bayangnya. Berhenti sebelum aku lelah dan letih mengejarnya, sebelum aku bertemu rasa passionless. Setelah membaca buku Morning Light, aku seperti tersadar dari lamunan yang membuatku terhanyut ke dalamnya. Perlahan aku mulai sadar akan kemampuan diri ini dan atas segala keterbatasan yang aku buat sendiri. Terserah kalau lah mereka bilang aku menganggap diriku remeh. Bukan itu maksudku, aku memang bisa saja menjadi segalanya. Tapi aku tak ingin jika aku menjadi seseorang yang hebat di bawah bayang-bayang seseorang, matahariku. Aku ingin menjadi sesuatu sesuai kehendakku bukan karena ambisi semata. Inginku menjadi matahari bagi diriku sendiri. Matahari yang begitu bersinar tapi tak penah menyilaukan di hadapan orang lain. Memang dirinya merubah hidupku, merubah kebiasaanku, merubah semua tentangku ke arah positif. Aku memang lebih baik daripada kemarin, namun entah mengapa aku merasa sedikit tidak menikmati keadaan ini, merasa tidak puas dengan apa yang telah aku capai sekarang. Aku berpikir ini kulakukan untuknya, untuk matahariku. Dan aku tak mendapat balasan apa-apa dari matahariku. Bahkan akupun ragu bahwa dia menyadari keberadaanku ini.
Matahariku memang hebat, mampu merubah sosok cuek seperti aku menjadi seseorang yang sedikit lebih memperhatikan orang berbicara di depan kelas dan menyimak segala pembelajaran. Bahkan berusaha sebisa mungkin agar tidak remidi di tiap test. Mampu membuatku mengingat Sang Pancipta di kala terik begitu panas dan hawa kantuk yang seakan membayang-bayangi, belum lagi tuntutan dari perut yang terkadang merongrong ingin di isi. Tapi berkatnya, berkat matahariku aku mampu menahan itu semua untuk sejenak meluangkan sedikit waktuku. Aku berubah. Mungkin Tuhan sedikit marah, terkadang akupun malu pada-Nya. Namun rasa itu hilang seketika saat aku memandangnya dengan penuh rasa kagum, kuakui jantungku memang berdecak.
Ada rasa aneh, rasa tiap aku berjarak beberapa centi dari matahariku itu. Seperti di guyur air es di siang bolong. Tetapi aku malah enggan untuk berbuat apa-apa. Sepertinya semua yang kuperbuat akan salah di matanya. Hingga saat aku emosi sejadi-jadinya bisa redam seketika saat aku menyadari dia benar-benar ada di sampingku dengan jarak terdekat selama ini. Bahkan kalaupun waktu itu suasana bisa hening beberapa detik saja, aku sudah bisa mendengar hembusan napasnya. Saat yang telah teramat sangat kutunggu dan kuharapkan. Kukira ini hanya akan ada di mimpi. Ternyata menjadi kenyataan juga. Sayangnya aku tak dapat benar-benar menikmati waktu berharga itu. Emosiku yang menghancurkan segalanya. Emosi yang kupendam dan siap meledak hanya dengan sedikit guncangan, memaksaku untuk berbuat di luar nalar pikirku. Semoga saja ia tak menyadari gelagat anehku ketika itu. Bukankah seorang yang terlihat pendiam dan acuh biasanya akan lebih merasakan fenomena di sekitarnya menggunakan hati ketimbang menggunakan panca indranya? Harusnya aku bersyukur kalau toh akhirnya dia tahu. Walaupun aku tak boleh mengandalkan seseorang untuk menyelesaikan masalahku.
Kharismanya memang begitu kuat, bahkan padaku yang dulu sama sekali tak pernah meliriknya. Hanya dari bibir ke bibir tanpa benar-benar mengenalnya aku pun terhipnotis oleh pesonanya. Penampilan fisik bukan nomer pertama bagiku. Tapi prestasinya baik akademik maupun non akademik yang melejit bak sebuah roket yang siap menuju bulan membuatku tak enggan berkata “wow” tiap kali mendengar cerita-cerita tentang dirinya, tiap kali ku update berita tentangnya lewat jejaring sosial. Aku tak pernah canggung untuk memberi label “LIKE.” Berbagai informasi tentang matahariku ini ku dapatkan, entah dengan cara sengaja ataupun tidak. Secara tak langsung aku mengexplore tentang seonggok daging yang bagi sebagian orang mengakuinya sebagi si tampan (termasuk aku). Talk less do more, mungkin itu semboyan matahariku. Karena memang aku jarang sekali mendengarnya berbicara, di samping itu aku pun tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat dari sebuah jarak Sabang hingga Merauke. Teramat sangatlah tidak dekat.
Bak sekuntum bunga matahari yang tiap waktunya hanya dihabiskan untuk menatap matahari tanpa sedikitpun sadar akan kondisi sekitarnya. Tak pernah sadar akan kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Aku tak pernah sadar mereka yang selalu ada buat aku, di mataku hanya ada matahariku itu. He is my priority. Aku harus jadi seperti dia, bahkan kalau bisa lebih. Dan tak pernah sadar seberapa kemampuanku, ketika semua sudah aku lakukan tetapi hasilnya tak sama dengannya. Membuatku tersadar dari segala obsesi gila ini. Lelahku menapakkan langkah pada setiap bayangan matahariku. Memang ia telah sukses membawaku ke arah yang lebih positif. Menjadi panutanku. Tapi aku ya aku. Aku tak bisa terus berjalan di jalan orang lain. Aku tetap harus mencari jalanku sendiri. Mau tak mau, harus mau berhenti kemudian menyusuri jejakku sendiri mencari diriku yang sesungguhnya. Berdiri di tengah ombak dan badai yang setiap saat siap merobohkan pendirianku. Aku tak akan menghilangkan hal-hal positif yang telah menempel dalam diriku, tak akan merubahnya justru aku ingin meneruskannya. Kebiasaan-kebiasaan itu. Mempertahankan dan mengembangkannya sesuai cara beserta tujuanku.
Cerpen Karangan: Asri Nur Aisyah Facebook: http://www.facebook.com/asri.n.aisyah