“Bukankah sudah aku katakan aku dan ibu baik-baik saja di sini. Kau tak percaya padaku? Kau ini saudaraku atau bukan?” ujar seorang lelaki dari kejauhan. Ia terdiam sejenak. Ia tahu benar lelaki yang sedang berbicara dengannya tak pernah ingin membebani dirinya. Walau sesulit apapun ia pasti akan mengatasi dan berusaha untuk menyimpannya sendiri. Itu yang malah membuatnya merasa terbebani. Ia merasa, banyak hal ia yang ia rebut dari lelaki itu. “Baiklah! Aku percaya padamu. Kau jaga ibu baik-baik. Jangan sungkan, katakanlah jika kau membutuhkan sesuatu. Bukankah kau saudaraku? Sesekali repotkan aku.” ujarnya pula. “Hmmtt.. akan ku buat repot kau suatu saat.” Ia meletakkan handphonenya. Tersirat rasa bersalah di wajahnya. Ia meraih foto yang terletak di meja mungil di sudut ruang kostnya yang sempit. Memandang lekat-lekat wajah yang tersirat dalam foto itu. “Aku tak akan mengecewakan kalian.”
FlashBack. “Bagaimana? Kau diterima?” ujarnya. Lelaki di hadapannya tersenyum sambil mengangguk. Ia memeluknya. Lelaki itu sadar akan sesuatu dan segera melepas pelukkan saudara kembarnya itu. “Bagaimana denganmu?” Ia tak menjawab. Ia berhambur lagi ke dalam pelukan lelaki itu. Lelaki yang sedang dipeluknya pun merasa bingung dengan sikapnya. “Heiii.. Aku bertanya pada mu. Mengapa kau tak menjawab? Kau tak lulus? Hah.. Sudah ku katakan, jangan takabur. Bekal apa yang akan kau bawa untuk mengikuti test masuk ke universitas favorit di negeri ini, ha?” Ia tak menjawab. Ia tampak mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya kepada saudara kembarnya itu. Lelaki itu meraih sebuah amplop yang kini berada di hadapannya. Perlahan ia membuka amplop itu. Matanya seketika terbelalak, merasa tak percaya dengan apa yang ia baca pada isi amplop itu. “Fakultas kedokteran? Benarkah kau lulus di fakultas kedokteran universitas itu?” ujar lelaki itu merasa tak percaya. Ia mengangguk dan kembali memeluk lelaki itu. “Luar biasa! Kau hebat Galuh! Ayo kita pulang. Ibu dan ayah akan senang mendengar kabar baik dari kita.” Mereka berjalan bergandengan tangan. Dengan wajah sumringah, mereka tersenyum satu sama lain di sepanjang perjalanan pulang menuju kediaman mereka. Tapi senyum itu mememudar seketika, ketika mereka melihat bendera merah berkibar di depan rumah mereka. Mereka saling menatap. Apa yang sebenarnya terjadi? Hanya pertanyaan itu yang terlintas dalam pikiran mereka. Mereka berlari. Kedua tubuh itu jatuh bersamaan, ketika melihat sosok yang begitu mereka sayangi kini tengah terbujur kaku di antara kerumunan orang banyak. Terlihat seorang wanita paruh baya kini duduk tersandar di sebelah lelaki yang sedang terbujur itu. Sosok lelaki hebat yang selalu mereka banggakan kini tak ada lagi. Hanya kenanganlah yang kini tersisa.
“Aku akan batalkan kepergianku. Jika kita berdua pergi, siapa yang akan menemani ibu? Aku akan tetap di sini bersama ibu. Kau saja yang lanjut ke perguruan tinggi. Tak mungkin keduanya bisa melanjutkan ini, pensiunan ayah tak akan cukup untuk membiayai kita. Tak apa bagiku, lagian aku ini perempuan. Toh, kelak aku akan menikah dan suami ku yang akan membiayai seluruh kebutuhanku. Sementara kau? Kau lelaki. Kau kelak akan beristri dan kau adalah kepala keluarga, kau harus memberikan kehidupan yang baik untuk istri dan anak-anakmu kelak.” Ia menghampiri saudara kembarnya yang tengah duduk berdampingan dengan ibu mereka. Ia duduk di antara mereka berdua. Merangkul wanita yang kini terlihat tak memiliki semangat hidup sama sekali. Lelaki itu tampak memikirkan sesuatu, terlihat dari mimik wajahnya dan matanya yang mengabaikan saudaranya yang kini sedang berbicara padanya. Lelaki itu memeluk pundak saudara kembarnya itu. “Kau pergilah. Aku akan batalkan kuliah ku di universitas negeri itu.” “Galih! Berhentilah berkorban untuk ku. Ini demi masa depan mu. Cobalah sedikit saja pikirkan tentang dirimu. Sudah aku katakan aku tak apa-apa.” Ujarnya sedikit marah. Lelaki itu menariknya ke dalam pelukannya, membelai lembut rambut gadis itu. “Aku akan memikirkan masa depan ku. Aku ini laki-laki dan kau adalah saudara kembarku. Jika sukses itu terjadi, maka kita harus merasakannya bersama-sama. Aku akan kuliah, walau tak di universitas negeri. Aku akan kerja paruh waktu untuk membiayai kuliah dan ibu. Dan kau, kau bisa pakai uang pensiunan ayah untuk biaya kuliah dan biaya hidupmu di sana. Jadi pergilah dan buat kami bangga.” Ia melepas pelukan lelaki itu. Tampak kini air mata sedang membasahi pipi mulusnya. Wanita paruh baya yang kini sedang menyaksikan pemandangan itu pun menitikan air mata. Betapa bangganya ia, melihat kedua malaikat kecilnya kini telah tumbuh menjadi sosok yang benar-benar dewasa. Wanita itu bangkit dan merangkul kedua buah hatinya itu. “Kalian sudah benar-benar dewasa. Ibu sangat bahagia karena memiliki anak seperti kalian berdua.” flashback End.
“Galih! Sudah aku katakan, berhenti mengirimi ku uang. Aku sudah cukup mengumpulkan uang dari kerja paruh waktu ku di rumah sakit. Lagi pula aku akan segera lulus dan kembali kesana. Pikirkan kuliahmu. Apa kau tak ingin segera lulus? Kau ingin selalu berada di bengkel itu dan bergelut dengan mesin-mesin itu. Pekerjaanmu bahkan tak sesuai dengan ilmu hukum yang kau ambil?” Emosinya memuncak. Sementara lelaki yang sedang diteleponnya itu sama sekali tak bergeming dari kejauhan sana. Sesaat mereka dua terdiam. Airmata kini tak terbendung lagi dari mata indahnya. Tangannya menggenggam erat amplop yang berisikan uang dari saudaranya itu. “Setelah ini apa lagi? Bahkan handphone yang sekarang aku genggam ini juga hasil keringatmu. Aku akan kembalikan uang ini.” Ujarnya menahan tangis. “Galuh, jangan lakukan itu. Aku ingin kau cepat lulus. Bekerja dengan tetap. Aku ingin kau segera kembali. Aku begitu merindukanmu. Mungkin uang itu adalah uang terakhir yang bisa aku berikan padamu.” Ujar lelaki itu pelan. Ia tersentak begitu mendengar ucapan dari saudaranya itu. “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya tejadi? Sudah aku katakan, jangan sungkan untuk berbagi cerita padaku.” Suaranya bergetar. Lama lelaki itu terdiam. Sementara ia? Ia tak kuasa menahan rasa penasaran yang kini bersarang di benaknya. “Galih?” Ujarnya sedikit meninggikan suaranya. “Maaf Galuh! Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf baru mengatakannya sekarang. Aku kehilangan kaki kananku, ketika aku mengalami kecelakan. Waktu itu aku mengambil alih pekerjaan temanku yang seorang supir taksi. Aku mengendarainya di luar kendaliku. Maafkan aku. Aku tak melakukan yang terbaik untuk mu. Aku tak bergunakan?” Lelaki itu terisak. Tubuhnya gontai. Ia terduduk di lantai. Hatinya perih. Sungguh besar pengorbanan saudara kembarnya itu untuknya agar terus bisa maju melanjutkan kuliahnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Memukul-mukul kedua telapak tangannya ke lantai, untuk menahan sesak di dadanya. “Kau keterlaluan galih. Kau sungguh keterlaluan. Kau pikir aku ini siapa ha? Aku adikmu. Saudara kembarmu. Kenapa kau bersikap seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa untukmu. Sudah aku katakan berkali-kali berhentilah berkorban untukku. Aku hanya menjadi beban bagimu. Sekarang apa yang kau dapat dari pengorbananmu? Aku yang tak berguna bukan kau. Sadar lah Galih. Aku tak butuh apapun dari mu. Aku hanya ingin kau selalu ada di sisiku. Dengan begitu aku bisa menghadapi semuanya, walau itu sulit bagiku. Tapi berkat kau aku bisa menerjang semuanya.” “Aku tahu itu. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. Maafkan aku.” Isak tangisnya tak tertahan. Suara tangisnya begitu keras. Beberapa teman satu kostnya melongo ke ruangannya untuk melihat apa yang terjadi padanya. “Baiklah. Kali ini aku yang akan melakukan yang terbaik untukmu. Aku akan segera lulus dan aku sendiri yang akan merawatmu.”
—
Seorang lelaki tengah mengayuh kursi rodanya menuju pintu. Seseorang mengetuknya dari luar. Tampak seorang petugas POS berdiri sambil menyerahkan sebuah bingkisan. Lelaki itu meraih bingkisan itu dengan wajah bingung. Ia merasa tak memesan apapun dari siapa pun. Lelaki itu membuka amplop yang melekat pada bagian atas bingkisan. Lelaki itu terdiam, ketika membaca satu kalimat singkat yang sangat menggugah jiwanya “TERIMA KASIH UNTUK CINTAMU KAKAK”. Ia membuka bingkisan dan meraih isi dari bingkisan itu. Ia menyerngitkan dahinya, merasa tak paham dengan maksud dari isi bingkisan itu. Dua buah toga. “Aku telah membuktikannya bukan?” Terdengar suara seseorang yang sangat dikenalinya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke orang itu. Seseorang yang sangat ia rindukan kini tengah berdiri di hadapannya lengkap dengan atribut kedokteran yang telah dicapai. Saudara kembar yang terpisah dengannya sejak lima tahun yang lalu. Wanita itu berlutut dan berhambur ke dalam pelukannya. Isak tangis keduanya beradu. “Kau kembali?” Ujar lelaki itu sembari melepas pelukannya. Ia mengangguk sembari tersenyum. Kedua telapak tanganya memegang pipi lelaki itu. Ia tampak begitu merindukan sosok saudara kembarnya itu. “kenapa ada dua?” Tanya lelaki itu sambil mengangkat bingkisannya. Ia menggenggam erat tangan orang yang benar-benar dicintainya itu. “Satu milikku. Dan yang satunya milikmu Pak Pengacara.” Katanya tersenyum Lelaki itu tertunduk, ia tampak menitikkan air mata. “Heii.. Kau cengeng Galih. Kenapa begitu saja menangis. Aku kan sudah katakan aku akan melakukan yang terbaik untukmu.” Lelaki itu tetap tertunduk. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia meraih tangan lelaki itu. Menggenggamnya erat. “Aku mencintaimu Kakak. Terima kasih untuk cinta yang telah kau berikan untukku selama ini.” Ujarnya seraya mengangkat wajah lelaki itu dan mengecup lembut pipinya. Lelaki itu membalas dengan memeluknya. Mereka saling memeluk, hingga lelaki itu melepas pelukkannya. “Kau begitu kurus. Kenapa seperti ini? Kau terlihat sangat jelek. Mana ada wanita yang melirikmu, jika kau sepert ini..” Katanya tersenyum seraya memegang erat lengan lelaki itu. Airmatanya jatuh. Tak kuasa menyaksikan keadaan kakak lelakinya itu. “Aku ingin makan sesuatu yang lezat.” Balas lelaki itu. Ia melepas pegangan tangannya dari lengan lelaki itu. “Apa? Aku baru saja sampai. Kau juga tak membalas ucapan ku tadi. Kau merepotkanku saja.” Ujarnya mencibir lelaki itu. “Ucapan yang mana?” timpal lelaki itu lagi. Ia menaikkan sebelah alisnya. Menatap lekat lelaki itu. Lelaki itu tersenyum. “Kan kau yang memintaku untuk merepotkanmu. Dan sekarang aku memenuhinya. Jodoh di tangan tuhan sayang. Yang ku butuhkan saat ini adalah kau. Kaulah wanitaku.” Lelaki itu tersenyum. Ia tersenyum mendengar penuturan dari saudara kembarnya itu. Ia meraih tangan lelaki itu dan berusaha membantu lelaki itu untuk berdiri. “Baiklah. Tapi sebelumnya, kau harus membalas ucapanku terlebih dahulu.” Lelaki itu menggeleng. Ia berbalik karena merasa kesal. Tetapi lelaki itu meraih tangannya. “Kau membantuku berdiri. Tapi kau mau meninggalkanku. Bagaimana mungkin aku bisa berdiri dengan satu kaki.” “Bukankah kau bilang kau mau makan? Aku akan memasakkanya untukmu.” Ujarnya kesal. Lelaki itu memeluknya. “Aku juga mencintaimu adikku. Terima kasih untuk bingkisan cinta yang kau kirim. Asal kau tahu, aku tak membutuhkan itu. Aku hanya butuh kau, karena kau begitu berartinya untukku. Terima kasih karena telah menjadi saudara kembarku. Aku mencintaimu.” Ia tersenyum. Pelukkan itu kini terasa semakin erat, seolah mereka tak rela untuk terpisahkan lagi. Sementara dari balik jendela, seorang wanita tua tengah menatap mereka dengan senyum yang mengembang di wajahnya yang kini tampak keriput.
The End..!!!
Cerpen Karangan: Thia Mardianti Facebook: https://www.facebook.com/thiian.thiian
Nama: tia mardianti tanggal lahir: 02 agustus 1993 tempat tinggal: serdang bedagai, sumatera utara