Walaupun usia saya baru 5 tahun, saya sudah paham keadaan keluarga saya berbeda dengan keluarga yang lain. Saya hanyalah anak desa yang terlahir sebagai anak orang tidak punya. Memang dasar bocah cilik 5 tahun! Saya senang sekali kalau ada acara tasyakuran di rumah tetangga. Karena dengan begitu, saya bisa merasakan makanan yang biasa orang lain makan.
Ketika Bapak pulang dengan membawa berkat, saya yang paling cepat mengambil posisi. Tapi saya yang paling dulu memeluk piring bukan berarti saya yang mendapat jatah porsi paling banyak. Tidak. Ada Ibu yang sangat adil meski bukan seorang ahli hukum. Tugas Ibu membagi makanan. Mengupas dan memotong telur menjadi empat bagian. Tidak sama besar, tetapi sama rata. Saya anak ke empat dari empat bersaudara. Kakak pertama saya, mas Edi. Dua saudara saya yang lain, mbak Yati dan mbak Tri. Perkara Bapak dan Ibu makan apa, saya tidak tahu. Yang saya tahu, beliau makan setelah memastikan keempat anaknya sudah kenyang.
Kami menyantap makanan di ruangan kecil tempat ruang tamu sekaligus ruang makan sekaligus ruang untuk kami, anak-anak Bapak dan Ibu, tidur. Tanpa alas. Kalau ada tamu berkunjung, baru Bapak menggelar tikar satu-satunya yang kami punya. Kalau langit sudah gelap dan kami mulai mengantuk, Ibu menyiapkan kasur lantai lipat tipis untuk kami tidur.
Selain ruangan kecil itu, ada empat ruangan lagi di rumah super minimalis kami. Kamar mandi, dapur, mushalla nyambi tempat penyimpanan sandangan dan satu kamar yang sangat sangat sempit. Lebih sempit dan lebih pengap dari ruangan kecil kami. Kala kutanya Ibu kenapa tidak dibongkar saja kamar sempit itu daripada tidak ada gunanya, dengan senyum menyimpan arti Ibu memberi alasan bahwa kamar sempit itu kamar rahasia Ibu mendapat anugerah berupa empat malaikat kecil putra dan putri Ibu. Dasar bocah cilik 5 tahun. Saya tidak menaruh curiga pada jawaban Ibu dan setelah itu tak pernah menanyakannya lagi, sampai saya mengerti sendiri apa fungsi penting kamar rahasia itu.
Bahan pokok makanan kita sehari-hari ya itu itu saja. Beras, jagung dan kacang panjang hasil Bapak ke sawah yang tak seberapa. Kalau lagi ada uang, Ibu membeli satu kotak tempe atau tahu. Tapi jangan tanya bagaimana mengolahnya. Mbak Yati, siswi kelas 5 SD jagonya. Bahan makanan yang hanya itu-itu saja disulap menjadi menu yang istimewa, berlipat-lipat lebih lezat dari satu paket berkat.
Sebagai anak lelaki, tentu saya lebih suka bermain dengan kakak lelaki saya, mas Edi. Saya gemar membuntutinya kemana pun pergi, kecuali saat sekolah. Mas Edi sekolah di SMP kota. Oleh karena itu, ketika pagi saya lebih memilih ikut Bapak ke sawah. Menyusuri jalan setapak sambil menikmati sejuknya angin dengan hamparan hijau alam membentang. Di satu batu besar di bawah rimbunnya pohon belimbing wuluh, Bapak mendudukkan tubuh mungil saya. Memegangi saya dengan ketapel dan menaruh beberapa batu kecil di samping saya. Setelah mencontohkan caranya, Bapak memberi intruksi untuk melakukan hal yang sama dengannya, mengetapel burung-burung yang tanpa sungkan hinggap menghabisi biji padi yang kuning. Tentu tenaga yang dihasilkan tangan kecil saya tidak sebanding dengan Bapak. Saya tahu, Bapak menyuruh itu hanya untuk memusatkan perhatian saya saja, sementara punggung putih Bapak terpanggang teriknya mentari. Bertani.
Saat radiasi sinar matahari tepat berada di atas ubun-ubun, sebelum adzan Dzuhur berkumandang, kami bersiap pulang. Bapak membersihkan kaki yang tadinya terendam lumpur di sungai. Sambil menunggu Bapak, hobi saya adalah menjorokkan badan di atas jernihnya air sungai. Memandang pantulan diri saya sendiri. Saya jumpai bocah cilik 5 tahun memakai baju compang-camping yang tidak ketemu modelnya. Entah baju anak lelaki atau perempuan. Baju yang saya kenakan adalah warisan dari kakak pertama saya kepada kakak kedua, kemudian diturunkan lagi ke kakak ketiga dan akhirnya sampai di saya.
“Pak, kenapa keluarga kita miskin?” saya, bocah cilik 5 tahun bertanya pada Bapak setelah beliau mentas dari sungai.
Bapak menggendong saya. Bapak mungkin tahu saya sangat lelah karena seharian menemaninya di sawah. Di tepi sawah maksud saya. Meskipun saya yakin, bapak jauh lebih lelah. Apalagi setelah shalat dan istirahat sebentar di rumah, Bapak kembali lagi ke sawah sampai sore. Bapak mengelus punggung saya yang berada dalam pelukannya.
“Alhamdulillah, Nak.. Tak apa kita miskin. Alhamdulillah kita masih bisa makan, alhamdulillah mas mbakmu masih bisa sekolah, alhamdulillah kita masih punya tempat berteduh dari panas dan hujan. Alhamdulillah…” setengah sadar saya mendengar jawaban Bapak itu. Saya menutup mata saya yang sayu, tertidur dengan menenggelamkan wajah ke pundak hangatnya.
Seperti yang saya katakan, saya paling suka menjadi bayang-bayang mas Edi. Saya pasti menangis jika harus absen tak ikut dia mencari ikan di kali bersama teman-temannya. Tapi teman mas Edi ini suka iseng. Kadang mengambil singkong atau memetik jagung di kebun orang untuk dibakar dan dimakan. Mas Edi berkali-kali mengingatkan bahwa tak boleh lah kita mengambil barang milik orang lain tanpa izin, terlebih orang itu menanamnya dengan susah payah. Tapi apa mau dikata, teman-teman mas Edi tidak mau mendengarkan. Mereka menyeberangi sungai melalui jembatan bambu, mengambil hasil kebun itu dan membuat porak-poranda kebunnya. Bukan mas Edi jika menyerah begitu saja. Mas Edi menyusul mereka untuk memperingatkan lebih. Dia bergegas menyeberangi sungai. Saya yang tidak bisa lepas dari mas Edi, tak mau ketinggalan. Namun belum sampai saya menginjakkan kaki di jembatan bambu itu, mas Edi sudah mengultimatum, “tunggu disini! Jangan ikut!”
Dasar bocah cilik 5 tahun. Bandel. Saya berjingkat-jingkat mengikutinya dari belakang. Tahu itu, mas Edi langsung menarik tubuh saya menjauhi bibir sungai. Dia mengambil potongan ranting pohon lalu menggoreskan ujungnya di tanah. Membuat garis.
“Jangan berani-berani melewati garis ini,” perintah mas Edi.
Saya tidak mengindahkan himbauan itu. Saat mas Edi tidak melihat, sedikit demi sedikit kaki saya berjalan melewati garis batas yang dibuat oleh mas Edi. Alhasil, mas Edi balik badan sambil menatap marah karena saya tak mau menurut. Dia mendongakkan dagu saya, membuat wajah saya terangkat ke atas. Lalu dia menekan kedua pipi saya, memaksa mulut saya terbuka. Dan, ehm… mas Edi meludahi mulut saya. Mas Edi tersenyum melihat saya berlari pulang sambil menangis jejeritan. Caranya berhasil melepas saya dari bahaya. Melindungi saya. Saya terlalu kecil untuk bermain-main dekat sungai yang besar.
Rumah jadi membosankan jika tidak ada mas Edi. Saya enggan bermain dengan dua saudara perempuan saya yang usianya hanya terpaut satu tahun itu. Mbak Yati sibuk membantu Ibu, sedang mbak Tri asik dengan boneka yang dia buat sendiri dari batang daun pisang. Menyisir rambut boneka itu dengan sisir yang juga terbuat dari batang daun pisang dan mendandaninya. Meskipun mas Edi sudah membuat saya menangis sesenggukan, saya tidak pernah kapok. Ditemani langit berhias mega kemerahan, saya tetap menanti mas Edi pulang.
Dari depan rumah, saya melihat mas Edi dan seorang pria dewasa datang dari kejauhan.
“Pak Achmad.. Bagaimana anak bapak ini. Si Edi mencuri singkong dan jagung di kebun saya. Padahal sebentar lagi sudah mau panen. Mau makan apa anak isteri saya kalau hasil saya kerja banting tulang dirusak anak Bapak…” tetangga sesama petani berteriak-teriak menghampiri rumah kami.
Tak lama, Bapak keluar. Pria itu melepas telinga mas Edi yang sedari tadi dijewernya. Entah mengobrolkan apa, selanjutnya Bapak menyerahkan beberapa lembar uang kepada pria itu. Setelah mendapatkan yang diinginkan, pria itu meninggalkan rumah kami. Tapi masalah belum selesai. Bapak membawa mas Edi masuk ke dalam rumah. Dengan keras penjalin terbuat dari kayu rotan Bapak pukulkan ke kaki mas Edi. Saya menangis. Tapi tidak dengan mas Edi. Dia kakak saya yang paling kuat. Walaupun pahanya biru lebam, pantang baginya menangis. Saya tahu mas Edi bukan pencuri. Mas Edi tidak pernah mencuri. Saya tahu, teman mas Edi yang melakukan itu. Mas Edi sudah berusaha mencegah. Entah mengapa pria itu meminta pertanggungjawaban kepada Bapak. Apa mungkin karena mereka anak orang mampu sedangkan mas Edi anak orang miskin?
“Bapak pernah mengajarimu mencuri?” Bapak berhenti memukul dan bertanya menahan amarah.
Mas Edi diam tak menjawab. Bapak kembali memukul. Lebih keras hingga penjalin yang Bapak gunakan patah.
“Bapak pernah mengajarimu mencuri?” Bapak mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tinggi. Tangan Bapak bergetar memegang penjalin yang tinggal sebagian itu.
“Tidak, Pak. Bapak selalu mengingatkan bahwa Allah selalu mengawasi gerak-gerik kita,” mas Edi menjawab. Tak berani memandang ke arah Bapak.
Esok paginya, satu bungkus mie instan yang diberi air sepanci menjadi kuah sarapan kami. Rasanya hanya asin, tidak berisi apalagi bergizi. Mungkin Bapak tak ada uang lagi. Rupiahnya telah pindah ke kantong pria kemarin sore.
“Kenapa kita hanya makan ini? Apa karena keluarga kita miskin, Pak?” saya, bocah cilik 5 tahun kembali bertanya dengan topik yang sama.
“Alhamdulliah, Nak.. Tak apa kita miskin. Insya Allah Bapak akan terus berusaha untuk keluarga kita,” jawaban Bapak juga senada dengan sebelumnya. Bapak menggendong saya, mengambil mangkok yang saya bawa dan menyuapi saya.
Kepala mas Edi tertunduk, seperti memandangi seragam putih birunya. Tapi saya tahu, mas Edi sedang menyembunyikan matanya yang berair. Pertanyaan kecil saya mungkin menusuk perasaannya. Fisik mas Edi memang kuat, tapi hatinya begitu lembut. Pantas jika saya mengidolakannya.
Waktu berlalu. Dan siapa sangka. Putra pertama Bapak, Edi, ketika dewasa menjadi polisi yang perkasa. Tidak hanya adik-adik dan keluarganya yang dia jaga, tapi juga negara. Putri keduanya, Yati, belum puas membuka warung makan yang tersebar di berbagai kota besar, dia juga membuka restaurant di luar negeri dengan resep hasil kreasinya sendiri. Putri centilnya, Tri, terpilih menjadi ikon kecantikan tanpa meninggalkan identitasnya sebagai umat muslim. Saya si putra bungsu, kini telah berusia 27 tahun dan bisa duduk di antara Anda. Tentu ada orang istimewa di balik ini semua. Dengan bangga saya kenalkan, beliau inilah sumber kesuksesan itu, pak Iman merangkul dua orang tua di kanan-kirinya saat mengucap kalimat terakhir.
Pak Iman, ketua Badan Independen Anti Korupsi (BIAK) mengisi konferensi pers dengan bercerita panjang lebar tentang kehidupannya saat berusia 5 tahun. Di aula gedung BIAK ini, Pak Iman mengundang wartawan dari berbagai instansi untuk meliput acara konferensi pers secara live di semua televisi, radio, dan mencetaknya di berbagai media. Pak Iman ingin masyarakat penjuru negeri melihat dan mendengar seruannya.
Dia pun mengundang para mahasiswa yang peduli akan nasib negara. Pak Iman menghargai peran kami sebagai agent of change, agent of control dan egent of society yang selama ini redup dan disalah artikan. Aku adalah aktivis kampus yang bergerak di bidang jurnalistik. Aku disini mewakili rekan mahasiswa dari organisasi kampusku.
Pak Iman ingin melakukan perubahan besar-besaran di negeri yang terlanjur begini. Dimana korupsi jadi tradisi dan kejahatan sejajar dengan naiknya garis kemiskinan. Satu tahun menjabat jadi orang berpengaruh, Pak Iman berhasil mengeksekusi ratusan koruptor dengan misi membersihkan negeri dari korupsi. Tak terhitung berapa uang rakyat dikembalikan kepada rakyat. Dia bertugas tanpa tebang pilih. Jikalau terbukti bersalah, kepala negara pun dapat dia selkan di balik jeruji.
Dia sangat berani layaknya orang yang tak takut mati. Dan diam-diam aku, seorang gadis yang masih single ini mengagumi.
Pak Iman kini menghadap wanita di sisi kirinya. Betapa tubuh nan gagah itu merasa kecil ketika berhadapan dengan Sang Ibu.
“Bu, terima kasih telah mendidik Iman dengan sangat baik. Sungguh, Iman tak akan sanggup membalas setetes dari samudera kasih dan do’a Ibu,” Pak Iman mencium punggung tangan dan kening Ibunya. Air mata Ibu itu pun menetes.
Pak Iman balik badan, kekekarannya meringsuk di hadapan lelaki tua itu. Dia berlutut memegang kedua tangan di pangkuan Sang Bapak.
“Sungguh, kedua tangan ini telah berusaha keras. Di tangan inilah tersimpan keajaiban bagaimana pemakaman seorang polisi bernama Edi 10 tahun lalu diantar peziarah seperti meninggalnya seorang ulama, yang bahkan narapidana dan bajingan pun menangis kehilangan sosok yang ditakdzimi. Bagaimana siswi kelas 5 SD yang belajar memasak di dapur ringsek dengan guru seorang ibu bermetamorfosis jadi chef kelas dunia. Bagaimana gadis cantik cilik yang senang membuat boneka molek dari batang daun pisang bisa mewujudkan cita-citanya merias wanita sungguhan, mendirikan salon-salon besar khusus muslimah. Dan bagaimana bocah yang suka mempertanyakan perihal kemiskinan dipercaya menggenggam amanat menjadi pembantu rakyat dalam mengawasi uang negara, walau dia hanyalah pemuda lulusan universitas pinggiran. Iman, untuk yang kesekian kalinya bertanya pada Bapak. Bukan mempertanyakan kenapa keluarga kita miskin. Tidak lagi. Bapak mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur. Pak, jawablah pertanyaan Iman ini seperti dulu Bapak menjawab pertanyaan bocah cilik 5 tahun putra Bapak. Bagaimana tangan mulia ini membesarkan kami?”
Jemari keriput Bapak itu menyentuh kepala Pak Iman. Dua bola mata biru yang sudah lama merasakan kerasnya kehidupan itu menatap putranya dengan penuh sayang. Cairan bening matanya menyudut hendak tumpah. Tangannya bergetar memegang kedua lengan Pak Iman yang terpisah dada bidang, mengisyaratkan pemilik tubuh yang dua kali lebih besar dari tubuhnya itu supaya berdiri. Bersamaan dengan itu, bibirnya yang mengatup perlahan terbuka.
“Alhamdulillah, Nak.. Allah selalu membuka jalan untuk bapak memberi keluarga kita nafkah yang halal..” dengan nafas lemah Bapak itu bersuara.
Pak Iman memeluk lembut bapaknya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Sedang air mataku sudah tak terbendung sejak menyaksikan adegan mengharukan itu. Aku teringat Bapak yang telah berpulang 3 tahun yang lalu. Betapa Bapakku pun telah berjuang begitu keras demi mendidik dan membesarkanku. Pak Iman kembali mengarahkan pandangannya kepada hadirin di dalam gedung.
“Nafkah yang halal. Itu yang ingin saya sampaikan disini. Saya ingin membersihkan negeri ini dari korupsi. Saya tak peduli dengan banyaknya ancaman yang saya dapatkan. Saya akan tetap tegak berdiri. Akan saya hadapi.” suara lantang Pak Iman menggema memenuhi ruangan. Banyaknya kasus yang terbuka membuat dia sering dihadang bahaya. Dia tidak jengah, malah sudah terbiasa.
Dia mengambil nafas. Tangan kanannya memegang kuat dada tempat jantungnya berdetak, “siapa yang berani menghabisi darah yang mengalir dengan nafkah halal ini? Kalau pun toh detak jantung ini harus berhenti sebab orang yang tak punya hati, itu sudah jadi kehendakNya, tak bisa diri ini mengingkari. Tapi saya yakin, balasan Tuhan yang memberi nyawa terhadap perbuatan aniaya walau sekecil biji zahra, nyata adanya.”
“Saya tidak akan kuat jika melawan semua ini sendiri. Mari bersama kita berjuang membangun bangsa. Berusaha memberi nafkah halal untuk anak-anak penerus generasi, mengharap nanti mereka menjadi insan yang terpuji. Bukan hanya mereka yang duduk di atas kursi yang harus menjaga diri. Bukan hanya mereka yang bergelimang harta berlebihan. Tapi juga kita yang terbelenggu kemiskinan. Berjanjilah! Berjanjilah pada diri dengan sepenuh hati. Hanya rizki halal yang akan kita kantongi.. Berjanjilah!!” tangan kanan Pak Iman mengepal dan maju ke muka.
Aku menjadi orang pertama yang menerima janji itu. Tanganku terkepal dan maju ke muka. Jantungku berdebar-debar tak terkendali. Kata-katanya berkobar membakar gemuruh hati ini. Menggali dalam dasar emosi. Seperti air yang menguap, ribuan kepalan tangan juga terangkat ke udara. Dan mungkin, masyarakat yang melihat aksi ini pun melakukan hal yang sama. KITA BERJANJI!!
Cerpen Karangan: Miga Imaniyati Facebook: Miga Imaniyati