Segerombolan orang panik dan berjalan ke arah UGD. Aku menduga kalau sedang terjadi sesuatu di sana. “Kecelakaan,” pikirku getir. Iba.
Tak jauh dari tempatku duduk pasangan muda yang saling bertukar senyum menunggu kelahiran buah hati mereka. Pasti itu anak pertama. Membuatku ikut tersenyum mengingat masa indah itu. Di sudut ruangan, ada sebuah apotek yang antreannya bisa membuat orang berpikir untuk melarikan diri dibanding menebus obat yang sebenarnya bisa saja ditebus di luar. Aku membuang muka —tak tertarik.
“Nyonya Aulia” Namaku dipanggil oleh seorang suster yang memegang daftar antrean. Dia tersenyum ramah kemudian mempersilakanku masuk. Aku balas tersenyum seraya mengucapkan terima kasih dan menyapa dokter kandungan yang membantu persalinan Rendra tiga tahun silam. Dokter itu masih cantik. Pasti hidupnya bahagia tanpa tekanan.
Seperti kontrol bulan-bulan sebelumnya dia menanyakan kabar juga keluhan yang aku rasakan selama masa kehamilan. Tak lupa dia menanyakan keberadaan Mas Agung juga Rendra. Aku menjawab datar.
“Sedang dalam perjalanan Dok. Kebetulan dinas pagi. Putra saya sedang menginap di rumah eyangnya,” ujarku berbohong. Aku tidak mungkin curhat masalah pribadi untuk mendapatkan simpatinya. “Ibu harus makan lebih banyak. Jangan lupa minum vitamin.” Dokter menegaskan karena hasil pemeriksaannya kurang memuaskan. “Tidak boleh harus dipaksakan” Ujarnya setelah aku mengatakan bahwa di kehamilan yang kali ini aku sangat mual ketika mencium aroma susu.
Faktor tekanan juga membuatku kurang bernafsu untuk menyantap makanan. Di mana lagi aku harus mencari pengasuh untuk Rendra? Mas Agung datang tak lama setelah aku menebus obat di apotek yang pengantrenya sudah menyusut. Alhamdulillah… Dengan setelan rapi warna keabuan dia tersenyum dan melangkah mantap ke arahku. Itulah pesonanya yang berhasil mengjungkirbalikkan hatiku lima tahun lalu saat kami pertama kali bertemu. Menyapa kemudian mengelus perutku mesra. Semua orang memandang iri. Kami tidak peduli.
“Bunda!” Rendra berjingkrak gembira melihat kedatangan kami. Pasti dia sangat merindukan kedua orangtuanya.
Sepulang kerja tadi, tak sabar ingin segera bertemu dengan Rendra, namun aku juga tak bisa mengabaikan kehamilanku yang sudah menginjak bulan keenam. Aku sayang pada Rendra juga janin yang sedang kukandung.
Tak perlu menunggu lama hingga taksi pesananku datang. Taksi bergerak pelan membelah kemacetan kota, waktu terbuang sia-sia. Begitupun ketika sampai di Rumah Sakit, dokter terlambat ke ruang praktek. Dari informasi yang kuperoleh, dia sedang ada pasien melahirkan. Bukan suatu hal yang patut dibesar-besarkan karena aku pernah berada di posisi pasien tersebut. Aku harus memaafkannya.
“Kakak” Sambutku antusias dan menghambur memeluk putraku yang semakin kurus. Aku menciuminya sedih.
Suamiku melakukan hal yang sama setelahnya. Hanya saja dia tidak sampai meneteskan air mata. Rendra terlihat mengantuk, sepertinya karena lelah bermain atau jangan-jangan lelah menangisiku selama dua hari. Jarak antara rumah kami —kantorku— tempat tinggal Ibu sebenarnya tak terlalu jauh. Namun kota ini tak selengang ketika aku datang merantau tujuh tahun lalu. Semua terasa menyesakkan.
Aku malas menyetir mobil dan berjuang dengan kemacetan kota dalam kondisi hamil yang sudah terbilang tua ini. Sangat melelahkan. Jadi kuputuskan untuk menitipkan Rendra dengan Ibu yang tinggal dengan saudara perempuanku. Berkali-kali aku mendapatkan pembantu namun hanya beberapa bulan saja mereka bertahan. Beberapa orang pamit pulang dan menghilang, beberapa orang sisanya kuberhentikan karena tidak bisa membagi waktu antara mengurus rumah dan mengasuh putraku, Rendra.
Malam ini aku datang untuk menjemput Rendra karena esok sabtu dan minggu. Aku libur. Seharusnya ada pekerjaan yang harus aku selesaikan namun aku berencana berkeliling seputar perumahan untuk mencari tempat penitipan anak. Makin sedih aku membayangkan hal ini.
Setelah seminggu di tiap akhir petang aku berkeliling, akhirnya aku memutuskan memilih salah satu tempat penitipan anak yang tidak jauh dari rumah. Hari ini adalah hari ketiga yang pasti masih sulit untuk Rendra. Dia menangis terisak, menyayat hatiku. Tidak tega aku meninggalkan dia di tempat asing ini —di tengah kumpulan orang asing yang tak ia kenal. Mas Agung yang seorang aparat kepolisian dinas malam dan baru pulang jam delapan nanti.
“Aku nggak mau sekolah, Bunda” Rengeknya membuat hatiku makin perih. Dengan sabar para pengasuh di tempat ini merayu Rendra, mengajaknya bermain hingga berhasil melupakanku. Aku mengendap-endap untuk melarikan diri.
Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang jam kerjanya benar-benar mengikat. Jam tujuh sampai empat sore. Tidak kurang dan tidak lebih. Ini membuat ruang gerakku sebagai ibu rumah tangga sangat terbatas. Jarang memasak —pasti. Bersih-bersih apalagi. Ketika kutinggalkan tadi rumah dalam keadaan berantakan. Kadang aku merasa tidak enak dengan Mas Agung, apa dia memilih pasangan hidup yang tepat.
“Gimana Rendra? Sudah bisa menyesuaikan?” Tanya salah satu rekan kerjaku. Aku menggeleng sedih. “Hari ini dia masih rewel,” ujarku. Baru saja aku menelepon salah satu pengasuh dan dia mengatakan hal itu.
Berdasarkan referensi dari beberapa teman yang menyebutkan beberapa yayasan pembantu rumah tangga aku menghubunginya satu-persatu. Berharap akan mendapatkan satu yang cocok. Yang sesuai denganku. Yang bisa mengambil hati putraku. Tapi pemikiran ini membuatku semakin berduka, bagaimana mungkin aku rela ada orang lain yang mampu menggantikan posisiku? Dan berita itu tak sesuai harapan. Beberapa yayasan menetapkan peraturan yang membuat kepalaku hampir pecah, sisanya menetapkan tarif yang tinggi namun tidak sesuai dengan kriteria yang aku harapkan. Tuhan Apa ini rencanamu?
Pagi ini sangat cerah. Secerah hatiku ketika bisa mempersiapkan makan pagi untuk Mas Agung dan mengantar Rendra ke penitipan anak. Ya, aku memutuskan untuk tetap mengirimnya ke tempat itu meskipun aku sedang cuti pra melahirkan. Hanya saja, aku akan menjemputnya ketika semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kadang sebelum jam makan siang aku sudah sampai di tempat itu dan melihat keceriaan Rendra yang menyambut kedatanganku. Sesekali dia bolos, biasanya itu atas permintaannya.
“Kakak senang kalau Bunda di rumah,” ujarnya terdengar pilu. “Kakak nggak mau sekolah ah” Tambahnya membuatku iba.
Kemudian mengacuhkan pekerjaan rumah dan memilih bermain dengannya. Suamiku tersenyum tak kalah cerah -seolah keberadaanku di rumah sepanjang hari memang yang diinginkannya. Ini membuat malamku terasa panjang —tidurku tak lelap. Aku terus memikirkan kemungkinan untuk mengundurkan diri. Dan ketika pemikiran itu semakin matang, muncul pemikiran lain yang mengurangi keyakinanku untuk berani mengambil resiko tersebut.
Beberapa minggu berlalu sejak aku cuti. Dan aku menikmati hari-hari yang semakin lama semakin menyenangkan. Sangat menyenangkan. Melihat tawa Rendra yang diiringi lesung pipit —sungguh rupawan putraku. Mewarisi bentuk wajah ayahnya. Aku tahu. Aku sadar. Bahwa mereka berdua pun sangat menikmati keberadaanku. Aku bahkan merasa bahwa mereka terlalu berlebihan memperlakukanku, seolah memanfaatkan waktuku yang tersisa di rumah, yang hanya tinggal sedikit lagi.
Aku gelisah. Kutatap wajah tenang Chandra —putri cantik yang baru saja ku aqiqah. Dia terlelap. Wajahnya polos. Tanpa dosa. Tangan kecilnya kugenggam —erat. Apa aku akan menitipkannya juga ke yayasan? Aku menangis dalam hati.
“Bun?” Panggilan Mas Agung membuyarkan lamunanku. “Apa yang Bunda pikirkan?” Tanyanya sambil melangkah ke arahku. Seragamnya sangat rapi —dan dia yang melakukannya sendiri. Tanpa aku. Miris membayangkan ini.
Aku menggeleng lalu membuang napas. Menatap wajahnya yang tirus. “Yah, kalau aku kerja lagi, anak-anak gimana ya?” Tanyaku gamang.
Mas Agung terdiam. Lalu duduk di sisi tempat tidur, sama seperti yang aku lakukan. Lama aku menunggu jawabannya. Dia hanya diam, lalu membelai pipi Chandra kemudian mencolek hidung mungil bocah itu.
“Kalau menurut Bunda gimana?” Tanyanya balik. Aku mengedikkan bahu. “Kan aku minta pendapat Ayah. Kok Ayah balik bertanya?”
Mas Agung menoleh lalu menggeser tubuh. Kedua tangannya mendarat di bahuku. Lembut. Dia selalu memperlakukanku seperti itu, seolah aku benda berharga yang mudah hancur. Dia tak pernah menuntut apapun dariku. Sekalipun. Aku sungguh beruntung memilikinya.
“Bunda ingin jawaban apa?” Aku mengerutkan kening. Lalu merengut ke arahnya. “Apa saja” ujarku parau. “Janji tidak akan marah?”
Aku menggerak-gerakkan bibir. Resah. Apa yang ada dipikirannya sekarang? Aku menatapnya.
“Hanya satu orang yang bisa melakukannya. Bukan Ayah. Bukan orang lain.” Kami saling bertatapan. “Tapi Bunda” Mas Agung tersenyum penuh arti membelai pipiku.
Mataku berkedip-kedip. Berusaha membatalkan air mata yang nyaris tumpah. Aku bahagia mendengarnya. Aku bahagia atas kepercayaannya. Haru. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku terisak. “Kenapa Bunda menangis?”
Dengan cepat aku memeluk Mas Agung. Memeluknya erat. Aku bisa merasakan kalau dia tersenyum. “Apa selama ini Ayah kecewa sama Bunda?” Tanyaku tak jelas karena diiringi tangis. Mas Agung menarik tubuhku menjauh dan menuntut kejelasan atas pertanyaanku. “Bunda adalah Ibu yang baik. Sabar. Jadi tidak ada alasan bagi Ayah untuk kecewa sama Bunda. Kenapa Bunda berkata seperti itu?”
Bagaimana mungkin suami yang sebaik ini tega kusia-siakan? Surgaku adalah telapak kakinya. Aku hanya harus berbakti kepadanya. Materi memang bisa membuat hidup manusia di dunia menjadi penuh kejutan. Tapi apa itu bisa menjamin kebahagiaan? Aku baru belajar tentang ini sekarang, ketika aku bangun dan buru-buru menyiapkan sarapan. Bukannya sibuk menyiapkan diri sendiri untuk menumpuk materi yang sebenarnya sudah cukup dari penghasilan Mas Agung.
“Iya Sebentar Nak”
Aku tergesa menuju teras rumah. Baru saja Rendra berteriak bahwa bekalnya tertinggal. Dalam hitungan detik aku telah berada di hadapan pria kecilku dan menyerahkan kotak roti bakar dan segelas susu hangat. Dia tidak terbiasa sarapan di rumah. Chandra tersenyum dalam dekapanku —tangan mungilnya memainkan ujung kerah.
Di sudut garasi, Mas Agung sedang sibuk memanaskan mobil untuk mengantar Rendra sebelum menuju kantornya. Semalam dia libur. Sedangkan hari ini dia dinas pagi. Jam kerjanya tiap hari bergantian antara dinas pagi dan dinas malam.
Akhirnya bulan lalu, hari di mana aku harus kembali ke kantor untuk pertama kalinya. Pada hari itu juga aku datang dan membawa surat pengunduran diriku. Aku sudah memikirkannya berkali-kali dan hasilnya sama. Ini adalah jalan yang terbaik. Untukku. Suamiku. Dan anak-anakku. Aku tidak harus pontang-panting mencari pembantu.
Suamiku bahagia karena aku selalu berada di rumah ketika dia berangkat dan pulang kerja. Rendra pun senang karena dia tidak dititipkan ke yayasan lagi. Kami memasukkannya ke PAUD (Pendidikan anak usia dini). Dan Chandra, aku akan mengurus dan membesarkannya dengan tanganku sendiri. Dengan kasih sayangku yang tak terbatas.
Aku tersenyum. Bahagia. Bahagia karena keputusanku yang bijak. Aku yakin setiap orang pasti punya rejekinya masing-masing. Aku tidak harus khawatir karena aku yakin bahwa keputusanku ini tidak akan membuat kami kekurangan materi. Ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, yang selama ini aku belum pernah dapatkan. Aku yakin Tuhan punya rencana yang indah.
Cerpen Karangan: Ristin Fimatika Blog: http://ristin.fimantika.blogspot.com/