Kulirik jam tangan yang tertera di atas nightstand-ku. 7.00. Duh, calon pemimpin bangsa kok menolak bangun pagi? Ah, tiba-tiba teringat saja, kan, sama sindiran Kakakku. Seperti tidak terima saja kalau Adiknya sedang rehat dari rutinitas sekolah. Padahal, Kakak hari ini juga libur. Kan, hari ini.. Pemilu.
Tahun ini aku berusia 17 tahun, tetapi aku tidak dapat menikmati sensasi coblos-menyoblos di bilik dan celup-mencelup kelingking tanda sudah memberikan pilihan terbaik bagi masa depan Indonesia. Siapa suruh lahir di bulan Desember?
Aku mengangkat tubuhku dari kasur, tak mau lama-lama dibuai oleh lembutnya kasur spring bed yang tak tergantikan sejak sebelum aku lahir. Sambil berjalan menuju ke ruang tengah, aku melewati kamar Kakak yang pintunya masih digantung label ‘Fiona Tidur’. Iseng aku berseru dari luar. “Generasi calon pemimpin bangsa kok menolak bangun pagi?” seraya menyeringai penuh kemenangan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Kakak membuka pintu dan menyambutku dengan wajah kusut minta disetrika dan rambut badainya.
“Enak ya, bisa nyindir balik? Ganggu tidur suci aja, ih.” gerutunya. Aku hanya tertawa kecil. “Emang lupa hari ini Kakak nyoblos?” tanyaku, lagi-lagi iseng. Kakak memutar bola matanya. “Paling TPS baru buka jam 9. TPS RT kita di mana, sih? Di pangkalan, kan? Tidur lagi aja, aaah.” diikuti dengan menutup pintu, yang dengan segera aku tahan. “Calon pemimpin bangsa kok nggak semangat Pemilu, sih?” godaku. Kakak melengos. “Makan tuh calon pemimpin bangsa! Kamu juga, di-PHP-in tanggal lahir jadinya nggak dapet hak pilih, kasian deh nggak bisa nyoblos. Lagian, emangnya nggak males apa kalau udah lihat caleg yang seabreg bin nggak jelas gitu? Mau jadi apa bangsa kita ke depannya kalau calon pemimpinnya jual pesona semua? Udah gitu males duluan kalau udah baca propagandanya. Jungkir baliklah. Anti PHPlah. Apalah..” “Yailah. Cuma nanya gitu doang kok ujung-ujungnya diceramahin.” batinku. “Suka pesimis, loh, sama bangsa ini. Pengurus negaranya aja malah berkontribusi dalam merusak negara.” tambahnya.
Aku merenungi kata-kata Kakak sepanjang perjalananku yang malah jadi berubah haluan ke ruang makan seiring dengan perut pagiku yang segera menggelar konser tunggal. Katanya, generasi muda adalah generasi calon pemimpin bangsa. Katanya lagi, pilihan anak muda sangat menentukan jalur hidup masa depan negara kita tercinta. Lah, bagaimana mau memajukan Indonesia kalau generasi mudanya sudah pesimis duluan?
Tapi, apa kata Kakak barusan adalah benar adanya. Kalau tahun ini aku mendapat hak pilih, sudah dijamin bakal pusing duluan begitu membuka surat suara berisi daftar calon wakil rakyat. Ini siapa, itu siapa. Mana wajah-wajahnya tidak ada yang meyakinkan bagiku, lagi. Dan pada akhirnya, paku akan tertancap di foto seorang calon wakil rakyat yang wajahnya familiar, karena poster kampanyenya yang tersebar di mana-mana.
Pantes aja public figure rame-rame nyaleg, wong yang penting dikenal masyarakat, pikirku. Aku tergelak sendiri ketika menarik kursi meja makan, dan membuat Mama yang sedang membuat jus menengok.
“Fiola udah minum obat?” “Mulai nuduh-nuduh, kan, Ma.” desahku. Mama hanya tertawa. “Mau nungguin jus pisang stroberi bikinan Mama, kan? Lagi on the way diancurin pisau blender, nih.” Aku mengacungkan jempol. Heh, ngomongin caleg, jadi ingat obrolan beberapa minggu yang lalu terjadi saat pulang sekolah.
***
“Fi, lihat ini, deh.” panggil seorang temanku, Saskia, seraya mengarahkan gadget-nya agar kuambil. Ternyata, aku diperlihatkan foto selembar poster kampanye calon legislatif di sebuah daerah. Dan poster tersebut sukses membuatku tertawa geli. “Dapet dari mana, Sas? Ask Fm?” tanyaku. Saskia mengangguk sambil tergelak. “Keren, yah. Calegnya nggak omong doang. Slogannya sinkron sama posenya.”
Sebenarnya, pose calegnya tidak ada masalah. Tetapi, posisi fotonya-lah yang bermasalah. Foto portrait sang caleg diputar seratus delapan puluh derajat, bersematkan tulisan ‘Jungkir Balik Demi Rakyat’ di bawahnya. Aku mencoba sok menganalisis poster tersebut.
“Jangan-jangan sebelum diprint fotonya lupa dirotate kali, ya?” “Hahaha. Makan tuh jungkir balik. Jangan-jangan fans-nya Peterpan kali, ya, makanya sampe kebalik fotonya? Kaki di kepala, kepala di kaki.” timpal temanku yang ikut memperhatikan foto tersebut, Robi, dilanjutkan dengan karaoke nostalgia Peterpan.
Sebuah forum tak sengaja terbentuk, beranggotakan murid-murid di kelasku yang ikut melihat foto caleg terbalik tersebut. Saskia buka mulut.
“Kampanye caleg yang sekarang nilai hiburannya tinggi, ya. Sekalian pembuktian bahwa calon wakil rakyat kita memiliki kreatifitas tinggi.” “Setuju!” sahut teman sebangkuku, Marina, yang baru bergabung. “Poster caleg sekarang lucu-lucu. Dari Kung Fu Panda sampe Colonel Sanders diajak kampanye di poster mereka.”
Kami tertawa terbahak-bahak mengingat foto tersebut yang sudah tersebar di berbagai jejaring sosial.
“Tapi nggak jadi masalah, kan? Toh, kampanye mereka tidak terlalu mengganggu aktifitas masyarakat lainnya. Doakan saja pada kampanye puncak nanti berlangsung secara sehat dan baik-baik saja.” Seorang lainnya, Triya, sumbang pendapat. “Sehat-sehat saja? Tidak mengganggu? Belum lihat partai-partai kalau udah kampanye, kan? Di kampung dekat rumahku kemarin ada acara dangdutan dalam rangka kampanye. Mana berisik, lagi. Udah berisik, dangdutannya kurang etis, pula. Memangnya nanti kalau sudah jadi pengurus negara bakal ngadain dangdutan tiap hari, apa?” Sandi membantah pernyataan Triya.
Sandi terkenal di kelas sebagai siswa dangdut. Bukan, dia nggak suka dangdutan, dia hanya sering sekali mengeluhkan tentang kampung di dekat rumahnya yang hobi menggelar acara dangdutan. Seperti tadi, saja.
“Slow down, Sandi.” kata Robi. “Makin ke sini, kampanye makin semarak saja, ya. Tayangan televisi dirajai oleh iklan sampai program televisi yang berisikan kampanye. Tetapi, tetap saja tayangan-tayangan tersebut tidak terlihat natural. Terlihat bahwa caleg atau partai membayar rakyat kecil untuk meramaikan kampanye mereka dan meyakinkan mereka untuk memilih caleg atau partai tersebut pada 9 April nanti.” “Itu, sih, kita saja yang sudah bisa membedakan mana yang asli dan mana yang sintetis.” kataku, yang berbuah kernyitan di dahi Robi. “Karena apa yang dibahas Sandi dan Robi bukanlah dua hal yang berbeda jauh.”
Santi yang kebetulan sedang menyapu karena sedang dapat jadwal piket sumbang suara.
“Ada saja kan, parpol atau caleg yang kampanyenya menggelar acara dangdutan nggak jelas sambil sawer uang ke penontonnya? Mereka melakukan itu semua agar mendapatkan simpati rakyat. Selama kampanye, uang mereka dikucurkan untuk rakyat. Begitu terpilih, uang-uang yang sudah mereka kucurkan untuk rakyat diambil seperti diambil kembali.”
Tiba-tiba, Bondan berlari memasuki kelas, kemudian menghampiri kami. “Pasti lagi ngomongin kampanye dan kawan-kawan, kan?” “Memangnya kenapa, Dan?” tanya Saskia. “Dasar kalian pemerhati hukum Indonesia, bisanya komen doang. Padahal, nahan Pak Wawan biar nggak cepet-cepet ngunci gerbang tangga aja nggak sanggup.”
Buru-buru kami memeriksa gerbang tangga. Dan sesuatu yang berwarna perak berkilau bernama gembok sudah tergantung dengan elegan di antara gerbang dan sekat besi di tepi tangga.
“Tuh, kan, omong doang. Apa mungkin ada caleg kampanye ke sini dengan cara membukakan gembok gerbang lalu meminta kita untuk coblos nomor sekian?” sindir Bondan. Dalam hati aku berdoa demikian.
***
Anak muda Indonesia yang penuh ironi. Hujat sana-sini, tetapi belum bisa apa-apa. Sambil menyeruput jus pisang stroberi, aku tertawa getir, sampai tersedak. Aduh, kenapa setiap kepikiran tentang Indonesia di ruang makan selalu menghasilkan efek samping, sih?
“Tuh, kan, Fiola pasti belum minum obat. Ketawa mulu deh, dari tadi.” kata Mama. “Mama, Mama. Aku nggak sakit, juga.” bantahku sambil menempatkan punggung tangan Mama di atas dahiku. “Lagian, kalau aku sakit panas juga gejalanya bukan ketawa-ketiwi.” “Terus, ada apa, dong?” tanya Mama yang baru saja duduk di hadapanku, menopang dagunya. “Tadi, Kak Fiona bilang hari ini mau golput. Males sama calegnya, katanya. Terus jadi kepikiran waktu itu pernah ngomongin kampanye sama temen-temen,” jelasku. “Terus lucunya belah mana?” tanya Mama. “Belah sini, Ma.” jawabku sambil menunjuk wajahku, yang disambut dengan desahan ‘halah’ dari mamaku. “Bukan lucu, sih, Ma. Ironis. Nggak Kakak, nggak temen-temen, nggak aku, semuanya mengkritik habis-habisan soal caleg. Padahal, kita sendiri tidak lebih baik dari mereka yang seenggaknya sudah berbuat untuk rakyat, walaupun dalam rangka kampanye.”
Kali ini giliran Mama yang tergelak. “Mentang-mentang hari ini 9 April, nasionalismemu langsung berkobar, ya. Anak muda jaman sekarang mah nasionalis karbitan. Hari ini cinta Indonesia, besoknya langsung masukin foto bendera Inggris di header Twitter. Kapan pake foto bendera Indonesia?” “Generasi muda itu, seperti yang sering kakakmu katakan tiap kali kamu memutuskan untuk ngebo, adalah calon pemimpin bangsa. Kalau calon pemimpin bangsanya nasionalis karbitan semua, sih, optimisme negara kita akan karbitan juga,” tambahnya. Lagi-lagi, ingatanku berlari. Dua hari yang lalu, aku bertemu seorang ekspatriat di sebuah restoran cepat saji.
***
Aku sedang duduk, bertemankan segelas float dan laptop yang sudah seperti belahan jiwaku. Beli minuman segelas dapet Wi-Fi sepuasnya, hehehe. Maklum, bagian dari jiwa-jiwa oportunis atau jiwa-jiwa fakir kuota. Tiba-tiba, ada seseorang berdiri di depan mejaku. Buset, tinggi amat.. Oalah. bule, toh, ternyata. Pria tersebut berambut pirang dan bermata kelabu, tatapannya terlihat kebingungan. “Permisi, may I sit here?” tiba-tiba dia bertanya.
Keburu shock karena sang ekspatriat berbicara dua bahasa, buru-buru aku menyatakan, “have a seat,” dan dia menarik satu kursi di hadapanku.
“Namaku Jesse, originally from Vancouver, Canada.” Dia mengajakku berkenalan. Kujabat uluran tangannya. “Hello, I’m Fiola.” kataku. “How long have you been here?” “Sudah dua tahun lebih, tetapi aku belum terlalu fasih berbicara bahasa kalian.”
Penjelasannya cukup mengagetkan mengingat sesungguhnya untuk ukuran bule, Jesse sudah lancar dalam berbahasa Indonesia. Aku mengangguk-angguk.
“Kenapa tinggal di Indonesia?” “Aku cinta di sini, Fiola.” kata Jesse. “Pertama kali aku ke Indonesia adalah tiga tahun yang lalu, ketika aku sedang traveling dengan sahabatku. Setahun kemudian, aku pindah ke sini. I had no permanent job in Vancouver, makanya aku tak terlalu khawatir dengan keputusanku.” Bule ini lumayan menarik. “Seberapa cintakah kau dengan Indonesia?” “I adore this country soo, so, much. Aku banyak bertemu dengan pribumi seusiamu, dan aku bingung mengapa mereka nampak frustasi tinggal di Indonesia.” jelasnya. “Why not? Sebentar lagi kami akan memilih presiden baru dan anggota legislatif baru. Long time before the day, mereka yang ingin menjadi presiden dan anggota legislatif mempromosikan diri mereka agar dipilih. Segala cara mereka lakukan. Sebelum terpilih, mereka bantu rakyat. Tetapi setelah mereka terpilih, mereka malah merusak negara kami.”
Jesse menunjukkan ekspresi kebingungan yang jelas membuatku panik.
“Promosi? Did you mean. campaign?” “Correctly.” kataku. “But in the end, they will corrupt our money. But not at all” Jesse malah tertawa terbahak-bahak. “Jadi, karena itu kalian lebih mencintai negara lain daripada negara tempat kalian berdiri? Hanya karena pejabatnya?”
Jesse sukses menakutiku. “Aku heran.” kata Jesse. “Kalian pusing dengan calon presiden dan calon anggota legislatif kalian, and you decided not to love your country. Tak banggakah kalian dengan Indonesia?”
Aku tak mau menjawab. Ironi, ironi, ironi, ironi.. aku mengulang kata tersebut dalam hatiku.
“Indonesia is an epic country. Ada lebih dari seratus bahasa tersebar di negara kalian. Dalam satu ruangan ini, pasti berasal dari suku yang berbeda-beda. Dan yang aku tahu, satu suku tak hanya memiliki satu bahasa. See, your culture is so rich.”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Bahkan kalian seharusnya tak perlu impor apa-apa untuk memenuhi kebutuhan kalian. You already have everything! Kalian adalah negara yang kaya.” Aku memutuskan untuk menanyakan sesuatu pada Jesse. “Kau tahu tentang sejarah negara kami?” Jesse mengangguk mantap, yang semakin membuat hatiku teriris-iris oleh pisau ironi. “Kalian mengusir Belanda yang sudah menjajah kalian selama tiga ratus lima puluh tahun dengan bambu runcing? Bloody awesome!”
Belum lima belas menit aku berkenalan dengan Jesse, tetapi dia sudah menyadarkanku tentang Indonesia.
“Tidak biasanya aku mengunjungi restoran Barat macam ini. Tadi pagi, aku sarapan dengan pecel Madiun. Siang kemarin, temanku mengajakku lunch di restoran Padang. Damn, I have a huge crush on rendang! Malamnya, ada tetangga memberiku ayam bakar buatannya, extremely delicious! And you know what? Aku jatuh cinta dengan tempe, and in the US it’s so expensive.”
Sumpah nih bule. Baru dua hari udah main wisata kuliner aja, nih. Ngomong-ngomong, Jesse udah nyobain nasi goreng dekat rumahku, belum, yah?
“Kalian punya banyak orang pintar di sini. Kalian punya segalanya. Bahkan, kalian seharusnya bisa hidup sendiri tanpa meminta bantuan dari negara-negara lain di sekelilingmu.” Dia mengingatkanku pada salah satu temanku yang jagoan di empat pilar utama pelajaran jurusan IPA. Tuh, kan, keinget PR Kimia masih terbengkalai. “Aku ingin teman-temanmu tahu, Fiola.” Jesse menatapku lekat-lekat. “No matter how many governmental problems happen, it won’t be as many as the reasons to fall in love with this country.” Jesse bangkit dari kursinya. “Kalau menuju Dago naik angkot nomor berapa, ya? Yang aku tahu hanyalah angkot Aceh, nomornya dua.” Bahkan Jesse adalah orang pertama yang memberi tahuku bahwa angkutan umum di Bandung memiliki sebuah nomor!
***
Kuceritakan pertemuanku yang singkat, padat, dan jelas -udah kayak kriteria pengumuman singkat ala pelajaran Bahasa Indonesia aja- dengan ekspatriat asal Kanada, Jesse, dengan mamaku.
“Serem juga, yah, bulenya,” Mama berkomentar. “masa dia ngeceng rendang?” Aku mendengus. “Jadi, dari tadi aku bercerita panjang lebar tinggi sama dengan volume bangun ruang dan Mama cuma ndengerin bagian rendangnya?” “Iya, Fi. Gimana, dong? Maafin Mama, yah.” kata Mama pura-pura memelas, lalu menengadahkan kepalanya. “Akhirnya bangun juga, Fiona. Kirain nyoblosnya di alam mimpi.”
Aku menengok ke belakang dan mendapati Kakak yang masih setengah sadar dan sibuk menggumamkan.
“mmm..hmm..hoamm” “Fiona mau nugas aja, Ma. Baru inget ada paper seabreg. Fiona nggak ikut ke TPS, ya? Males sama calegnya, Ma. Mama nggak males?” Mama hanya tersenyum. “Fiona tahu, nggak? Barusan, Fiola cerita sama Mama, dia pernah ketemuan sama bule, asli Kanada. Terus si bule cerita kalau dia heran sama anak-anak muda Indonesia yang susah sekali bangga dengan negaranya, padahal dia sendiri dengan mudahnya jatuh cinta sama Indonesia. Dia bilang, pemerintahan yang kacau nggak bisa jadi alasan untuk tidak mencintai Indonesia.” Kakak hanya melongo. “Kata siapa aku nggak bangga sama Indonesia?” “Dengan pernyataan bahwa kamu ingin golput, Fiona sayang. Mumpung kamu dapat hak untuk menuntukan masa depan bangsa kita, manfaatkan dengan baik. Toh, di antara caleg yang seabreg gitu, pasti ada satu yang menurutmu terpercaya, kan? Dengan ikut serta dalam Pemilu, kamu menunjukkan kepada orang-orang kalau kamu bangga dengan Indonesiamu.” tutur Mama lembut. “Iya juga, yah.” Kakak tersipu. “Ngomong-ngomong, Mama dibayar berapa sama KPU, jadi nyuruh-nyuruh orang ikut Pemilu?”
Mama hanya mendengus sebal. “Dibayar cinta dan kasih sayang juga cukup, kok.” jawab Mama, baru saja ingat kalau Papa bekerja di KPU Bandung. “Kak, aku nemu quote bagus dari timeline Twitter,” kataku, menengadahkan kepalaku dari ponsel. “At least I can love my country without having to love the government.” “Anak muda positif golput, tuh.” Kakak berkomentar sambil menunjuk LCD ponselku. “Oh iya, jangan-jangan Mama ngerayu aku buat nyoblos padahal Mama nggak bakal nyoblos, lagi?” Mama memukul lengan Kakak lembut. “Emangnya Mama ini kayak kalian, apa? Nasionalis karbitan?” Kami semua tertawa, hingga membangunkan Papa.
***
Terkadang, aku meragukan kecintaan dan kebanggaanku dengan Indonesia. Ada saja hal yang membuatku kesal dengan Indonesia. Tetapi, yang mengesalkan juga tidak jauh dari kampanye sekeluarga. Di luar itu, Indonesia bikin bangga. Dari budaya sampai makanannya. Lain kali, kalau Pemilu jatuh tidak di hari Sabtu atau Minggu, aku kudu nyoblos. Karena sekolah meliburkan kita agar kita bisa mempergunakan hak pilih dengan baik dan benar. Hari apapun Pemilu jatuh, tetap saja kita harus sumbangan pilihan yang terbaik bagi Indonesia.
Aku tersadar. Aku ini, sibuk ngomentarin kampanye, sibuk ngomentarin Pemilu, padahal sekarang lagi ditinggal sendiri di rumah gara-gara serumah lagi di TPS dalam rangka nyoblos. Siapa suruh lahir pas Desember 1997. So old, yet so young.
“Kita boleh tidak menyukai politik, tetapi jangan sampai buta politik agar tidak dibodohi.” — Joko Anwar
Cerpen Karangan: Zahra Fulli Blog: http://a-late-riser.tumblr.com Untuk teman-teman se-Indonesia yang mendapat hak pilih 9 April nanti, Selamat mencoblos!