Namaku Nasha. Sekarang aku kuliah di salah satu universitas negeri di Indonesia. Hari demi hariku begitu rumit, setiap hari aku harus membuka satu persatu buku-buku tebal ini, bertatapan dengan monitor dan larut di dalam kelelahan. Terkadang aku bosan dengan hidupku, aku sering mengeluh pada Bi Marni mengapa aku dapat hidup yang seperti ini. Ayah dan Ibu jarang sekali berada di rumah mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa tidak melihat mereka sewaktu aku bangun tidur, hanya Bi Marni yang menemani hari-hariku hingga aku sebesar ini.
Beberapa hari yang lalu di lampu merah, aku tidak sengaja melihat sosok gadis, yang sangat mirip denganku dari kaca mobil, hanya saja dia memiliki lesung pipi sedangkan aku tidak. Gadis itu menjual gorengan di trotoar jalan, mataku tak berkedip melihat gadis yang bertahan di bawah terik matahari itu.
Hari ini hari minggu dan seperti biasanya kalau udah minggu aku jarang berada di rumah, setelah pulang gereja aku selalu OTW baik sendiri ataupun sama temen. Tapi kali ini aku pengen sendiri, aku pengen beli gorengan gadis yang aku lihat kemaren. Dengan baju pink dan rok mini berwarna hitam aku masuk ke dalam mobil, di jalan aku hanya ditemani dengan lagu-lagu favoritku. Sewaktu aku memesan gorengan gadis itu melihat aku seakan tak berkedip munkin dia merasa kalau wajah kami benar-benar mirip.
“kenapa? Ada yang salah sama aku?” Tanyaku sambil tersenyum. “nggak cuma…” belum sempat dia melanjutkan aku sudah memotongnya. “aku tahu pasti kamu mau bilang kalau kita mirip banget ”
Gadis itu hanya tersenyum, aku mengajak dia berkenalan, namanya Arta. Rumahnya jauh dari kota, tiap pagi dia harus bangun cepat memasak gorengan dan menjualnya di kota, dia hanya tinggal bersama Ayahnya, sudah lama Ibunya pergi merantau namun hingga kini tidak ada kabar. Semangat Arta untuk bekerja begitu besar, dia ingin membawa Ayahnya berobat, sudah 6 bulan Ayahnya terbaring lemas di rumah. Dulu Ayahnyalah yang berjualan namun karena Ayahnya sakit Arta harus menggantikan Ayahnya. Arta tidak pernah malu meski pun dia harus berjualan gorengan, yang dipikirkannya bagaimana dia bisa mencari uang untuk berobat Ayahnya.
Kedekatanku dengan Arta semakin menjadi jadi, tapi entah kenapa aku tidak malu berteman dengannya. Selama ini aku adalah orang yang sombong, memilih-milih teman, tapi kini aku merasakan kenyamanan yang tidak pernah ku dapatkan dari orang-orang terdekatku.
Hari ini aku janji sama Arta kalau aku ingin membantunya menjual gorengan, banyak orang yang menanyakan kami kembar atau tidak. Arta hanya tersenyum jika ditanya begitu, Arta adalah gadis yang tegar yang pernah ku temui. Di tengah sengatan matahari dia masih sanggup tesenyum, sedangkan aku sudah mulai lelah padahal dari tadi aku hanya duduk saja menemani dia sesekali aku yang memasuki gorengan-gorengan itu ke plastik.
Aku belajar banyak dari Arta, belajar tentang semangat hidupnya yang kuat. Aku salut sama dia, sekarang aku tidak ingin mengeluh lagi, hidup yang ku dapat selama ini tidak rumit serumit hidup yang diterima Arta. “terimakasih Arta” ini ucapan terakhirku sebelum aku berangkat ke Bandung untuk bekerja di perusahaan Ayah. Arta adalah bayangan nyataku di bumi ini. Dia cermin yang mengubahku, dan buku yang mengajariku hidup yang baru.
Cerpen Karangan: Shelly Facebook: Shelly Poerba