Rumah ini memang sudah agak tua, umurnya hampir dua kali lipat umurku. Gerbangnya hijau, tersusun dari besi yang agak renggang dan berkarat, dengan pagar bercat oranye menyala. Ranting dan dedaunan pohon mangga yang ada di halaman menghalangi pemandangan bagian depan rumah. Di sebelah kanan terdapat kebun sempit tapi lebat, isinya campuran antara tanaman bunga dan tanaman obat. Ada sebuah garasi, namun kosong dan terbengkalai, tanda sudah lama tak terpakai. Sekilas rumah ini cukup sederhana, tapi orang-orang sangat kenal dengan bangunan ini. Dulu tempat ini ramai dimasa jayanya, banyak orang dari berbagai kalangan datang silih berganti, mulai dari pengusaha sampai orang miskin. Inilah rumahku, atau lebih tepatnya milik almarhum Ayahku.
Rasanya berat meninggalkan rumah ini. Aku sudah terlanjur nyaman, walaupun sepi sejak ditinggalkan Ayah pergi, dan kesepian itu akan bertambah jika aku merantau melanjutkan studi. Yang bisa memantapkan hatiku cuma pesan Ibu, “Kamu nggak usah khawatirkan Ibu nak, tetangga di sini semuanya baik, kuliah yang pinter biar jadi orang besar” Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, dalam benakku, “Pasti bu, aku juga akan menjemput cita-cita Ayahku” Setelah memeluk dan mencium tangan Ibu, aku balik badan, mengangkat koper ke bagasi dan masuk ke dalam travel yang sudah menunggu beberapa detik yang lalu.
Kuliahku terbilang berat, sibuk, pusing. Praktikum, tugas dan laporan beranak-pinak. Banyak sekali kegiatan ini-itu, aku ikuti semua. Tahun pertamaku di sini aku habiskan untuk mencoba hal-hal baru. Kata Ayah, “Tak ada cara lain untuk menemukan jati dirimu, selain menceburkan diri ke dalam lautan yang asing bagimu.” Lautan itu aku tafsirkan sebagai kegiatan-kegiatan positif. Mulai dari kegiatan sosial, turun desa, penulisan ilmiah, pelatihan bisnis, sampai event organizer aku ikuti. Masalah manfaat adalah nomor dua, yang terpenting aku pernah mencoba semuanya.
—
“Van, tahun depan lo bakal fokus ngapain?” Tanyaku pada Evan, teman satu kostan sekaligus teman terbaikku. “Gue mah bakal ngembangin bisnis biro perjalanan ini bro, pasarnya lagi bagus.” Evan menjawab enteng, sambil membereskan semangkuk mie rebus di hadapannya, yang akhirnya hanya tersisa sedikit kuah yang mungkin terlalu asin untuk dirasakan. “Gue bingung nih bro, setelah lulus gue pengen ngembangin daerah gue. Gue harus milih aktivitas mana yang harus terus gue ikutin.” Aku memulai curhat bebas, menunggu respon Evan. Setelah berpikir sejenak, “Kata gue sih, lo harus aktif di kegiatan riil yang menyangkut langsung sama cita-cita lo, sekalian belajar dan membangun karir.” “Bener juga sih, tapi tetep aja gue bingung.” Aku tak puas dengan jawaban Evan. “Apapun pilihan lo, asal lo total, pasti nggak bakal nyesel.” Seperti biasa, Evan selalu menanggapi kegalauanku dengan kalimat singkat. Lanjut dia, “Kemampuan interpersonal lo lumayan juga, itu modal bagus. Lo mau nggak bantu gue market developing usaha gue? Tawaran khusus nih.” Lah, ini malah nambah lagi pilihan kegiatan, jadi makin bingung. Obrolan dengan Evan cukup membuat aku galau, mana yang harus aku pilih? Semuanya aku mau, semuanya aku enjoy. Dilema.
Setahun ini aku banyak mendapat kenalan baru, dari berbagai jurusan dan fakultas. Aku juga punya beberapa teman yang berasal dari daerah tertinggal, kami sering asyik berdiskusi bagaimana cara mengubah kondisi daerah kami masing-masing. Aku juga mulai belajar mengkritisi dinamika negara ini. Ternyata kalau kita tidak hati-hati menyaring informasi, akan mudah terhasut terbawa pemikiran orang-orang yang punya kepentingan terselubung. Begitu mudahnya menggiring opini di zaman ini. Belum lagi pemberitaan yang aneh-aneh dari moral pemerintah dan anggota parlemen, bukankah dulu mereka juga aktivis kampus yang sarat idealisme? Sepertinya cinta dunia menjadikan banyak orang lembek dan takut mengatakan yang benar. Di penghujung tahun, aku pun memutuskan untuk melanjutkan turun desa dan jadi partner bisnisnya Evan. Semoga ini yang terbaik, Bismillah.
Tiga tahun berlalu, aku sudah sempat melanglang buana ke berbagai pelosok desa, mengabdikan diri membantu permasalahan pertanian. Ternyata dari sekian banyak problem, ada satu kesimpulan yang mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah belum menjangkau sektor riil yang ada di daerah. Sama saja nihil kalau yang dimajukan cuma infrastruktur, karena elemen masyarakat cukup kompleks seperti budaya, motivasi dan pola pikir. Revitalisasi pertanian kalau hanya sekedar dicekoki terus, tak yakin akan kelihatan hasilnya, harus ada yang turun tangan! Ibarat seorang Rasul yang diturunkan tengah-tengah masyarakat jahiliyah, dan mampu mengubah pemikiran semua orang dengan teladannya.
Bisnis biro perjalanan memberikan sensasi tersendiri, bisa ikut jalan-jalan gratis. Sejak menjadi tangan kanan Evan, aku banyak berkunjung ke banyak kota, berinteraksi dengan masyarakat setempat, mengamati budaya dan keunikan. “Jadi gini ya enaknya hobi travelling?” Ilmu yang sangat mahal jika diuangkan. “Dari hasil terawangan mata gue, fase eksponensial bisnis kita bakal panjang, menurut lo gimana, Pak direktur marketing?” Evan sepertinya sangat puas dengan kemajuan bisnisnya. “Hahaha, mungkin kebetulan aja lagi rame Van, tergantung usaha kita aja.” Jawabku. “Gue gak nyangka kita bisa menangin beberapa tender yang sejujurnya itu impossible, subhannallah banget bro!” Evan sambil mengecek agenda touring selanjutnya. Pelanggan bisnis kami mulai dari beberapa prodi di kampusku, lembaga kemahasiswaan, sampai sekolah-sekolah di sekitar kampus.
“Eh, walaupun nanti kita udah lulus, lo tetep mau lanjut ngurusin bisinis ini kan?” pertanyaan Evan sedikit membuatku tersentak, tak siap aku menjawab pertanyaan seperti itu. Evan tampak menunggu kata-kata ke luar dari mulutku. “Insya Allah Van, sesuai jargon kita, pokoke maju terus mbuh piye carane!!” Akhirnya jawaban itulah yang terlontar, Evan tertawa puas. Aku tersenyum. Lega.
—
Ayahku punya cita-cita. Beliau sangat mencintai kota kelahirannya. Sepanjang hidupnya beliau abdikan untuk memperjuangkan kemakmuran orang-orang di sekitarnya. “Martabat kota ini perlu diangkat.” Beliau pernah mengatakan itu. Kota ini tidak ada gaungnya sama sekali, tak ada warisan budaya, wisata khas, atau ikon yang menjadikannya terkenal. Tapi kota ini sejuk, terletak di kaki gunung dan banyak bukit-bukit hijau menjulang. Tiap libur semester aku menyempatkan berkunjung ke sudut-sudut bukit, iseng-iseng biar tahu setiap jengkal kota ini. Pernah suatu ketika aku ngobrol dengan penduduk desa di sana.
“Di sini itu cuma mengandalkan alam le, turun temurun ya hidup kami gini-gini aja.” Celoteh seorang petani, umurnya sudah cukup tua, seorang juragan sawah dan kebon di kampungnya. “Pernah ada program pemerintah tentang pertanian gitu pak?” tanyaku penasaran. “Dulu banyak, cuman ya gitu. Kita pengennya yang berkuasa itu dekat dengan petani, gerak bareng-bareng. Petani sekarang kan malas dan kurang pinter le, nggak bisa kalau cuma diarahkan saja.” “Hmm gitu ya, pak.” aku manggut-manggut.
Umurku hampir 27 tahun ketika banyak koran-koran kota memasang fotoku. Orang-orang mulai mengenal namaku, tapi jauh sebelum itu aku lebih dulu terkenal di mata petani desa di lereng bukit-bukit itu. Aku mengumpulkan kelompok-kelompok tani untuk selanjutnya membentuk badan usaha milik bersama, yang aktivitas utamanya adalah memproduksi komoditas pertanian secara terpadu dan terkontrol. BUMDes kami menyebutnya, perusahaan mini yang mengatur produksi tanaman pangan di suatu kawasan dan bersifat independen. Syarat bergabungnya cuma satu: punya lahan siap garap atas kepemilikan sendiri.
Proposal-proposal investasi aku sebar ke mantan kolega-kolega Ayah, tentunya berdasarkan informasi dari Ibu. Aku pastikan petani-petani mendapatkan benih yang paling baik, pupuk yang paling baik, dan teknologi budidaya yang paling update. Sekarang tak terjadi lagi kurang stok dan harga murah. Tenaga kerja bisa dimanage dengan efisien. Baru beberapa tahun kemudian program ini mendapat banyak perhatian. Kesejahteraan mulai terlihat pada orang-orang yang terlibat dalam bisnis ini. Tentu saja semua itu bukan tanpa pengorbanan. Aku masih ingat bagaimana marahnya Evan saat aku mengingkari janjiku sendiri, untuk terus berada di bisnisnya, padahal waktu itu Evan baru saja memperbesar skala usahanya. Aku tak punya pilihan. Dari awal aku hanya ingin mewujudkan cita-cita Ayahku.
Sampai suatu hari, aku merasa ini masih sangat jauh untuk mencapai cita-cita Ayahku, perlu percepatan!! Butuh kapal yang lebih besar untuk berlayar ke pulau impian!! Dan gayung bersambut ketika ada pendaftaran calon bupati periode baru. “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Pikirku.
Saat aku menyodorkan berkas verifikasi, ketua panitia sempat bertanya. “Pak Ravi penggagas BUMDes yang terkenal itu ya. Rumah bapak di Jl. Bratayudha no. 1?” “Betul Pak.” “Itu sebelah mananya rumah Pak Syafri?” “Saya tinggal di rumah itu Pak.” “Hah?” Beberapa panitia lain membisikkan sesuatu kepada ketua panitia. “Jadi anda anaknya Pak Syafri mantan Bupati itu??!” Rumah ini sekarang ramai lagi. Garasi yang tadinya kosong akhirnya tak terbengkalai lagi. Hanya pohon mangga yang sekarang sudah tak ada, ditebang karena mengganggu pemandangan. Aktivitas dan kesibukan di rumah ini seakan mematahkan bahwa waktu tak bisa diputar kembali.
Beberapa bulan yang lalu rumah ini masih jadi Posko Pemenangan, sekarang sudah jadi Rumah Dinas Bupati. Berkat usaha dan dukungan dari mantan kolega Ayahku, aku mendapat suara paling tinggi, di samping karena prestasi BUMDes itu, masyarakat juga banyak yang masih simpatik dengan sosok Ayahku. Masa-masa kampanye adalah masa paling berat, jadwal padat, otak dipaksa berpikir keras agar bisa berkampanye dengan baik, ditambah beban utang biaya kampanye yang tidak tahu akan berhenti di digit berapa. Untuk masalah yang terakhir ini, muncul dewa penyelamat, Evan!!
“Gue nggak nyangka lo bakal dateng dan ngasih donasi sebanyak ini. Gue malu udah melanggar janji kita dulu.” “Hahaha, tenang bro, yang jago marketing itu banyak, nggak cuma lo doang, tapi orang yang konsisten mengejar mimpinya, itu yang jarang.” Akhirnya aku berhasil menciptakan satu langkah besar untuk mewujudkan cita-cita itu. Tinggal melanjutkan langkah-langkah lainnya.
Ayahku, aku berterima kasih padamu. Engkau telah memberikan teladan dan didikan yang sangat baik untuk membuatku siap. Aku membayangkan jika engkau masih hidup, pasti beliau mendidikku seperti Sultan Mehmed I mempersiapkan anaknya Muhammad Al-Fatih menjadi penakluk Konstatinopel. Engkau mewariskan dua hal yang tak ternilai harganya, didikan dan nama baik, akan ku jaga itu sampai kapanpun.
Cerpen Karangan: Moh. Achor Mardliyan Blog: achormohammad.wordpress.com Mahasiswa IPB TIN 47