Sinar mentari pagi mulai terpancar dari balik awan putih yang terus bergerak menjauhi sang surya mengikuti alunan angin. Juga terdengar seruan dan kicauan burung-burung yang terbang menyusuri langit biru. Terdengar reranting dan dedahanan pohon yang saling bertabrakan satu sama lain yang seolah-olah memberikan bisikan selamat pagi kepada manusia yang melintas di hadapannya.
Di pinggir jalan yang sunyi, tepat di bawah pohon-pohon yang rindang tampak seorang lelaki paruh baya yang sedang menggenggam sapu di tangannya. Tentu saja ia adalah seorang penyapu jalanan yang setiap harinya menyapu lalu mengumpulkan serpihan daun-daun kering yang berguguran dari rantingnya. Terlihat keriput-keriput di dahi dan pipinya yang berlipat-lipat, tapi semua keriput itu seolah hilang oleh senyum manisnya yang terus terpancar dari bibir keringnya yang mungkin tak disadari.
Setiap harinya senyumannya selalu ia berikan kepada kendaraan yang melintas lalu lalang di hadapannya. Namun apa daya kaca hitam mobil selalu menghalangi senyumannya. Pak Nanang adalah sesosok yang gigih dalam bekerja. Tidak semata untuk mencari uang, tapi ia bekerja dari dalam hatinya, ikhlas untuk membersihkan kota besar dari sampah yang ada. Suatu hari, saat terik matahari menyinari panasnya ibu kota. Tiba-tiba terlihat ada seseorang menghampiri Pak Nanang. Rapi, wangi, sopan dan ramah menyapa Pak Nanang. Entah siapakah orang itu dan apa tujuannya, lelaki paruh baya itu pun menghampirinya dan melemparkan senyuman manis kepada Sang Pria tersebut.
“Selamat Siang, Pak! Maaf saya telah mengganggu pekerjaan Anda.” sapa seseorang bernama Adri. “Selamat Siang, Nak! Tak apa, ada yang bisa saya bantu?” jawab Pak Nanang sambil terbatuk-batuk. “Perkenalkan, nama saya Adri Ferdiansyah. Saya seorang reporter di salah satu media cetak, Pak. Saya ingin mewawancarai Anda mengenai beberapa hal. Bisa?” “Tentu, Nak. Boleh-boleh.”
“Kapan Bapak mulai bekerja sebagai penyapu jalanan? Dan pukul berapa Bapak mulai bekerja?” tanya Adri. “Saya sudah mulai bekerja sebagai penyapu jalanan sejak 20 tahun yang lalu, Nak. Wah, saya bekerja dari pagi hingga sore hari. Bahkan entah terkadang lupa waktu.” sambil tertawa kecil. “Begitu ya Pak rupanya. Hm, kalau boleh saya tahu. Berapa upah yang anda terima setiap harinya? Ada tujuan lainkah Bapak bekerja selain untuk mendapatkan upah?” “Ya, terkadang saya diberi sebungkus nasi. Kalau rezeki saya lagi lancar, terkadang dapat Rp. 7.000. Dapat upah pun tak setiap hari. Terkadang 5 hari sekali baru dapat. Tapi, nasi saja pun sudah cukup bagi saya. Segala sesuatunya kan harus disyukuri. Alhamdullilah toh? Bekerja itu harus ikhlas, bukan semata untuk uang, tapi saya ridho membersihkan jalanan selama saya masih hidup.” sambil tersenyum.
Adri tercengang dalam hati, kaget, heran, semua rasa tak karuan menderu batinnya. Ia hanya terbujur kaku saat mendengarnya. “Saya salut dengan kerja keras Anda, Pak!” Pak Nanang pun hanya tersenyum ketika Adri mengatakan itu dari mulutnya. Setelah percakapan singkat itu, Adri pun pamit pulang karena hari semakin gelap. Mungkin hujan akan mengguyur ibu kota sebentar lagi.
Setelah hari itu berlalu, terbitlah sebuah koran harian yang ternyata nampak sebuah artikel di bagian halaman utama. Artikel yang dilengkapi dengan foto itu ternyata adalah seorang penyapu jalanan, Pak Nanang. Masyarakat terharu, kagum bahkan terpesona akan kerja keras dan kegigihannya dalam bekerja, juga ikhlas untuk apa yang ia kerjakan. Dan hari pun telah berganti dengan bulan, namun mengapa jalanan sepi? Bukan sepi akan kendaraan, namun kemanakah penyapu jalanan paruh baya itu? Yang bekerja dari terbit fajar hingga senja hari.
Sampah-sampah berserakan dimana-mana. Banyak mata menyorot ke sana, tapi tak ada yang menggubris. Dan akhirnya terdengar sebuah kabar berita, mengenai duka cita. Ternyata, Tuhan lebih menyayangi Pak Nanang dengan memanggilnya tinggal di surga. Ia telah pergi untuk selama-lamanya. Hanya tinggal kenangan sajalah, sosok yang telah berjasa. Tanpa mengaharap imbalan apapun. Ia adalah makhluk Tuhan yang pandai menrima dan bersyukur akan keadaan.
Tamat.
Cerpen Karangan: Pinkan Adelia Kurniawan Follow @adeliaakrnwn Nama: Pinkan Adelia Kurniawan Umur: 14 tahun Sekolah: SMP N 22 Bandar Lampung Follow @adeliaakrnwn