Buah Tempayang tanah Melayu. Hari itu di tahun 1976-an pulang kuliahku dari Malang sudah sore, perjalanan ke Batu memakan waktu 30 menitan. Mendekati magrib ketika memasuki halaman rumah yang biasanya ramai oleh 2 orang adik laki-lakiku bermain dengan kawannya tetangga. Saat itu sepi halaman rumahku. Ku jumpai mereka berdua yang lagi bermain di ruang tamu. “Mana Ibu, mbak Andi dan mbak U’ut?” “Ke Malang mas, mbak U’ut sakit. Kakinya kiri katanya sakit bila dibuat berjalan. Badannya panas,” jawab Gus Adikku yang lebih besar. Adiknya si bungsu diam saja, namun wajah sedihnya jelas kelihatan.
Sesaat setelah Isya, Ibu dan kedua adikku perempuan baru nampak, tiba dari Malang. “Tadi ke Rumah Sakit Umum. U’ut diperiksa dokter dikatakannya sakit usus buntu sudah kronis, besok pagi harus dioperasi,” kata Ibu selanjutnya. “Karena sudah lama tidak berkunjung ke eyang buyutmu di jalan Panggung, kami mampir ke sana.” “Kami baru masuk pagar Eyang Buyut sudah ke luar, mas,” Adikku si Andi mulai bercerita, “Dari mana ini kata Buyut. Ibu jawab dari rumah sakit Yang. Ini si U’ut sakit usus buntu. Kata dokter besok pagi harus dioperasi.”
“heh sakit usus buntu?” jawab Buyut, “kalau begitu besok jangan dibawa ke rumah sakit dulu ya, kata Buyut. Lalu buyut memanggil Pak Jan dan disuruhnya pergi ke pasar besar Malang.” “Jan pergi ke pasar besar, ya. Di toko jamu sebelah Timur pasar, beli buah tempayang setengah ons, ya.” Pak Jan pun pergi ke pasar menaiki sepeda ontelnya. Kira-kira satu jam kemudian, pak Jan memberikan buah tempayang yang dibelinya kepada Eyang Buyut.
“Nanti buah tempayang ini tiga biji taruh digelas. Terus dituang dengan air mendidih, setelah dingin. Dipegang gelasnya sudah tidak panas lagi, sudah dingin, suruh minum anakmu, ya. Biasanya tiga kali atau empat kali minum sudah baik usus buntumu.” “Mana yang namanya buah tempayang itu, bu.” “Ini loh maas..”Andi menunjukkan segenggam buah berwarna cokelat kehitaman yang besarnya seruas buku jari kelingking. Sementara Ibu ke dapur mengambil ketel yang berisi air separuhnya dan menjerangnya di atas kompor minyak tanah.
Kami sudah menyiapkan sebuah gelas minum kaca yang bening warnanya. Kami taruh kedalam gelas, tiga butir buah tempayang. Semua mata kami serumah tak hentinya menatap buah yang kami anggap sangat ajaib itu. Sudah kami bayangkan apa nanti buah ajaib itu dapat menggantikan biaya operasi Adik kami. Sebuah dana yang tidak sedikit bagi kami. Bapak kami sudah pensiun dari bintara angkatan darat. Ibu yang berjualan bahan keperluan sehari-hari di kedai depan rumah kami, sudah pasti telah berhitung dengan cermat untuk mempersiapkan biaya operasi Adik.
“Awas minggir ini air mendidih loh,” kata Ibu sambil membawa ketel yang mengeluarkan asap, menuju meja makan. Di mana kami mengerumuni gelas kaca berisi buah tempayang, hening tak banyak gerak tak banyak bicara. Air mendidih dituang Ibu ke dalam gelas. Sepi sekali rasanya, tak ada suara terdengar dari kami yang ada di dalam ruang makan itu. “Eeh.. Kulitnya terkelupas sedikit, ke luar agar-agarnya.” “Makin membesar dia, jadi agar-agar tapi tidak hancur ya.” “jadi penuh satu gelas minum.” teriak Gus dan Adik bungsunya bergantian.
Jam 9 malam gelas diraba Ibu sudah dingin, diminumkan ke Adik yang sakit usus buntu. Tak lama kemudian Adik kami tersebut tertidur. Satu jam kemudian kami bergantian meraba dahi U’ut. Bergantian sedikit berebut. Sudah agak mereda panas badannya. Kami saling berpandangan. Malam itu tidur kami tidak begitu nyenyak. Ada dua kali ku terbangun, meraba Adik kami yang sakit, masih panas badannya. Tidak tahu berapa kali Ibu bangun.
“Masih terasa sakit untuk berjalan?” kata Ibu setelah melihat U’ut ke luar dari kamar mandi. “Masih, tapi tidak sesakit kemarin pagi, bu.” “Ayo bikin obat lagi, Ibu mau rebus air dulu”
Tiga butir buah tempayang dalam gelas, diseduh air mendidih, setelah dingin diminum. Pagi ini sekali, nanti sore sekali. Malam hari sewaktu U’ut tidur kami memegang dahinya, sudah tidak panas lagi. Ibu dan kami berdua yang sudah besar-besar berpandangan dan tersenyum lega. Tidak jadi operasi Adik kami. U’ut besok pagi hari kedua, masih meneruskan minum air buah tempayang yang sudah dingin. Sore hari kedua diputuskan tidak meminumnya lagi. U’ut sembuh dari sakit infeksi usus buntu, tidak jadi dioperasi.
—
Di tahun 1980. Di suatu hari di Sabtu pagi, saya mendatangi seorang gadis dari Kalimantan Barat yang sekarang menjadi istriku. Gadis tersebut membukakan pintu, wajahnya pucat dan jalannya agak pincang. “Saya sakit mas, kata dokter besok pagi harus operasi,” “Kata dokter sakit apa dik?” “Usus buntu sudah parah, Sudah tiga hari ini badan panas terus tidak turun-turun. Kemarin sore ke dokter, suruh secepatnya dioperasi. Kata dokter kalau terlambat berbahaya. Sudah ku telepon Ibu di Pontianak. Tidak tahu kabar kepastian selanjutnya, nanti sore mau telepon lagi ke Pontianak.” Dilihatnya ku tersenyum mendengar ceritanya, agak marah rupanya dia. Lalu ku menceritakan kisah U’ut kepada gadis itu. Baru kemudian mereda amarahnya. “Kalau begitu, antar saya ke pasar besar ya, mas. Membeli buah tempayang itu.”
Selesai kami membeli buah tempayang di pasar, aku kembali ke tempat kost melanjutkan skripsi bersama kawan-kawan sekuliah. Hari Minggu dan Senin pun berlalu. Hari Selasa sore sang Gadis harus dijenguk. Ketuk pintu beri salam, sekali dua kali tidak ada yang ke luar.. kali yang ke luar malah Ibu kostnya, “Dari pagi jam 10 tadi sudah ke luar sama kawan-kawannya sekampus, nak. Katanya sudah nggak sakit lagi. Nggak tahu sampai sore gini, kok belum pulang dia.” Aku pun berpamitan. Sudah sembuh dia.
Setahun dan beberapa bulan telah berlalu ketika aku pergi ke Pontianak untuk melangsungkan akad nikah dengan gadis buah tempayangku. Beberapa hari setelah semua acara selesai, di teras depan rumah mertua, “Mas, kata Nenek buah tempayang itu kalau di Pontianak ini namanya buah kembang semangkok. Gunanya untuk mengobati orang sakit panas dalam. Ditambah dengan biji selasih dan gula batu.”
“Waaah.. jadi enak rasanya ya dik. Buah tempayang sendiri rasanya seperti air teh, ditambah biji selasih nanti jadi cendolnya dan manisnya gula batu. Obat dengan rasa sedap lah itu.” Kami tertawa bersama, terdengar juga suara tertawa perlahan di belakang kami. Rupanya Nenek yang sedari tadi duduk di ruang tamu di belakang kami. Beliau mengikuti pembicaraan kami berdua. “Si Nung sahabatku sejak di asrama tentara. SD sampai SMP bersamaan terus, itu mas. Sebulan lalu sakit usus buntu juga. Aku beritahu supaya diobati pakai buah kembang semangkok, sembuh juga dia.”
“Beberapa bulan pulang ke sini itu, sempat juga Adik promosikan buah tempayang?” “Ya. Tapi begitu saya sampaikan ke Nenek. Saya malah diketawain. Sambil masuk kamar ke luar lagi sambil membawa gelas isi buah tempayang campur biji selasih dan manis rasanya. Karena sudah ditambah gula batu.” “Di Pontianak sini kita nggak bisa membanggakan buah tempayang, ya dik. Kalah sama Nenek kita.”
Tahun 2002-an, kami ditelepon Ibu Pontianak bahwa Adik sepupu Ibu lagi berada di Kediri mengunjungi anaknya yang bersuamikan anggota Kepolisian dan berdomisili di kota Kediri. Ibu menganjurkan kami untuk bersilahturahmi ke paman tersebut. Siang esok harinya, sehabis makan siang kami sudah sampai di Kediri, rumah Nurida sepupu istriku, anak perempuan Om Ki sepupu Ibu Pontianak. “Assalamualaikum tante, mana Om.” “Itu aa.. Om mu sakit panas, tadi malam badannya panas. Kata dokter terkena infeksi di perutnya, ususnya melintir.” Langsung saja istriku menjawab, “Anu tante coba belikan buah tempayang di kedai jamu. Ambil tiga butir masukan dalam gelas, diseduh air mendidih setelah dingin suruh om Ki minumnya.”
Sore hari itu, kami sekeluarga kembali pulang ke Malang. Berminggu, berbulan, bertahun pun berlalu sudah. Tak ada berita dari Kediri atau Pontianak. Sampai kunjungan mudik kami per dua tahunan ke Pontianak. “Bagaimana kabar om Ki, bu.” “Baik-baik saja. Memang ada apa?” “Dulu waktu kami berkunjung ke rumah si Nung di Kediri beliau sakit usus melintir. Terus nggak ada kabarnya. Kami sempat khawatir.” “Pergilah ke rumah Om Ki mu sana. Tahu kan rumahnya yang sekarang.”
Besok paginya kami pergi ke rumah Om Ki. “Om Ki pulang ke Pontianak ngape tak bilang kami.. Om.” “Minum buah semangkok terus sembuhlah. Sudah lama kami tinggal di Jawa jadi begitu sembuh langsung pingin pulang jak, haha.” “Yaa.. om mu minum tiga hari jak. Tante ini yang bikinkan.”
Tahun 2015, aku kembali ditugaskan di Banda Aceh untuk yang kesekian kalinya. Dari pagi aku membuat air buah tempayang. Dulu di tahun 1999 pernah istri saya membeli buah tempayang di Banda Aceh yang namanya sama dengan di Medan ataupun di Pontianak, buah kembang semangkok. Sehabis makan siang air buah tempayang yang sudah dingin dan mengembang dalam gelas bening aku angkat mau ku teguk.
“Itu kembang semangkok ya pak,” kata Pak Edy rekan kerja kami. “ya betul. Dari mana pak Edy tahu?” “Nenek saya sering bikin kalau ada yang sakit panas dalam.” “Pak Edy orang Padang ya.. Apa juga dicampur biji selasih dan gula batu?” “Betul ditambah biji selasih dan gula batu. Bikinnya sore begini terus diembunkan. Baru besok paginya diminumkan. Kalau tidak begitu kata Nenek saya kurang mujarab.”
Jadi ingat kata mertua lelaki bahwa buah tempayang ini pohonnya besar, sejenis pohon meranti. Sekarang pohonnya banyak ditebang dijual sebagai bahan bangunan. Pohon ini menghasilkan buah tempayang setelah umurnya mencapai tiga puluh tahun. Pohon meranti yang berbuah tempayang hidup di tanah Sumatera dan Kalimantan. Orang Melayu yang menjadikan obat turun panas dalam. Buah tempayang untuk obat usus buntu dan infeksi organ tubuh bagian dalam lainnya, hanya ada di Indonesia.
Daun Kelindi dari Flores. Pertengahan tahun 2010 telah satu tahun aku bersama keluarga bertugas di pulau Flores tepatnya di Kabupaten baru di bagian pantai sebelah Utara dikota Mbay. Rumah tempat kami tinggal dipagari oleh pohon angsana yang masih sebesar lengan. Ada tumbuhan liar menjalar melilit mengelilingi pohon itu, batangnya kecil sebesar lidi daun kelapa, warnanya hijau seperti kabel listrik, licin dan mengkilap. Memanjat pohon dengan melilit memutar.
Buahnya kecil sebesar Ibu jari tangan kita. Rupanya mirip seperti timun yang masih hijau. Begitu buah tanaman ini sudah tua dan masak, warnanya menjadi merah menyala. Orang Flores menyebut tanaman ini dengan nama kelindi. Buah kelindi yang sudah tua sekali, berjatuhan ke bawah. Biji kelindi juga mirip dengan biji mentimun. Bentuk daunnya pun mirip mentimun. Lebar daun sekitar 5 cm. Bedanya selain lebih kecil ukuranya, permukaan daun kelindi licin tidak berbulu. Mungkin kelindi adalah masih sekeluarga dengan mentimun.
Beberapa kali kami melihat tetangga seberang jalan mengambili daun kelindi ini. “Untuk apa diambili, pak?” Tanya istri saya. “Untuk dimasak bu. Pakai kelapa enak sekali daun ini, tetapi buahnya yang merah itu sangat beracun bu. Orang akan mati bila memakannya.”
Di lain waktu, istri kami menanyakan kepada tetangga orang dari Ende yang menghuni kamar kost sebelah kamar kami. “Mengapa orang depan itu mengambil daun kelindi di malam hari ya bu Maria?” “Ya, malulah bu Sofi. Dia kan tudak punya uang untuk beli sayur. Padahal kita di sini yang punya pagar, akan senang bila pagar kita dibersihkan orang.” “Kalau ada orang yang mengambil daun kelindi di siang hari, itu tandanya daun kelindi itu mau dibuat obat.”
“Untuk mengobati sakit apa Bu Maria?” “Obat sakit cacar bu Sofi. Orang yang sakit panas tinggi begitu tampak mau timbul bintik bisul di badannya berarti kena sakit cacar. Cepat orang mencari daun kelindi, ditumbuk lalu diminumkan. Apa pernah Ibu lihat di Flores ini orang yang mukanya berbintik-bintik hitam bekas terkena sakit cacar. Tidak akan pernah Ibu lihat kan?” kata bu Maria dengan bangga.
“Untuk obat cacar air apa juga dapat disembuhkan bu Maria?” “Cacar kering saja sembuh. Bu.” Penyakit cacar yang bagi suku bangsa di lain tempat di Indonesia ini atau di dunia ini, merupakan wabah yang sangat ditakuti. Bagi orang Flores, penyakit cacar adalah penyakit biasa-biasa saja. Obatnya ada di pagar tetangga. Gratis dan berpahala.
Ginseng dari Meulaboh. Maunya untuk menambah penghasilan, di tahun 2001, membuka usaha rumah makan menjadi pilihanku dan istri. Bukan untung yang kami dapatkan. Kalah bersaing dengan rumah makan di ruko depan seberang jalan dan pedagang makanan kaki lima. Akibatnya makanan yang telah kami persiapkan untuk dijual, tidak semuanya laku. Sering berlebih. Untuk dikonsumsi sendiri adalah pemecahan masalahnya. Kesukaanku paru-paru sapi goreng kering dan usus sapi yang tidak dapat bertahan lama walau disimpan dalam lemari es, menjadi menu sehari-hariku.
Tiga bulan, empat bulan pun berlalu sudah. Tanah kavlingan sepetak, simpanan untuk masa depan juga ikut berlalu. Dijual untuk tambah modal. Kakiku mulai terasa sakit. Mungkin karena kecapaian berdiri, pikirku. Minta tolong istri pijit-pijit kaki yang sakit. Tambah membengkak. Pergi periksa ke kawan SMA yang jadi dokter, alternatif gratis. “Kena asam urat ini kamu, No. Obat penghilang asam urat tidak ada, No. Obat ini, hanya penghilang rasa sakit saja. Banyak minum air putih ya, dan banyak gerak.”
Beberapa hari kemudian, dengan kaki masih menahan sakit dan masih membengkak, aku pergi ke Batu. Membersihkan rumah kos-kosanku yang letaknya di samping rumah Ibu. Selesai membersihkan kamar yang kosong, aku beristirahat di teras rumah Ibu. Terlihat tanaman ginseng di depanku. Bibit ginseng ini dibawa Ibuku dari Palu, Sulawesi Tengah. Sewaktu beliau mengunjungi kami di Palu tahun 1983.
Sambil duduk-duduk di teras itu, teringat aku sewaktu masih di SMA dulu. Hobi sering membaca cerita silat Cina. Diceritakan dalam buku saku silat Cina, bahwa Ginseng adalah obat penambah umur, obat segala penyakit. Saya cabutlah sebuah ginseng. Umbi tercabut di tanganku. Berbentuk seperti anak kecil gendut. Teringat pada gambar yang disertakan pada botol anggur kolesom produksi salah satu pabrik anggur dari Semarang. Ginseng ku bersihkan kulit luarnya dengan mengeriknya. Cuci bersih, masukkan panci, tambah air seliter, rebus sampai mendidih, angkat dan dinginkan. Ambil satu gelas, minum. Tambah air satu gelas lagi, didihkan, angkat, dinginkan, ambil satu gelas, minum. Pagi, siang dan sore. Hari ketiga rasa sakit dan bengkak hilang.
Ibukota Kabupaten Aceh Barat, Meulaboh, menjadi tempat berikutnya sebagai tempat aku mencari nafkah di tahun 2006, mengikuti proyek pekerjaan rehabilitasi sarana dan prasarana fisik yang hancur akibat dari bencana tsunami satu tahun sebelumnya. Kami ditempatkan oleh perusahaan di daerah yang terbebas dari bencana dahsyat tersebut. Sakit akibat asam uratku kambuh. Entah akibat makanan yang mana, aku sendiri kurang memperhatikan makanan yang kami konsumsi sehari-hari.
Di waktu sore hari, kami sering pergi ke pantai tempat para nelayan pulang melaut. Dari para anak buah kapal ini, kami sering berusaha mendapatkan ikan-ikan yang menjadi sebagian dari upahnya melaut. Nelayan anak buah kapal yang membantu juragan kapal motor mencari ikan di laut. Upah bagian dari melaut selain uang ini, yang selalu kami coba untuk membelinya. Sebagian besar nelayan menjawab mau untuk makan sendiri sekeluarga. Tetapi kami selalu berhasil mendapatkannya. Lebih murah, sepertiga dari harga yang harus kita bayarkan apabila kita beli di pasar umum Meulaboh. Satu paket bagian mereka isinya beragam, kadang dapat ikan, udang, dan kepiting. Kami mendapat ikan dengan harga murah, akibatnya kakiku kaku dan bengkak.
“Wah cari obat asam urat di sini susah ya, Pak Rahmad,” aku mulai bercerita kepada team leaderku. “Kemarin cari buah sirsat di pasar tidak ketemu. Apalagi mau cari ginseng.” “Pak No mau cari ginseng. Itu di depan rumah kita. Kemarin sebagaian sudah dicabuti oleh yang mengontrak rumah depan. Coba Bapak lihat itu depan pagarnya.” “Pak Rahmad kok tahu kalau itu ginseng?” kataku sambil berjalan ke depan, ke halaman. “Di supermarket kota saya Solo kan banyak pak, di sana dijual daun ginseng. Tadi sewaktu pulang dari lapangan saya melihat setumpuk ginseng yang dibuang diluar pagar”
Betul juga kata Pak Rahmad, di tepi jalan di luar pagar rumah depan, nampak ada satu tumpukan sampah ginseng kecil-kecil yang dicabuti oleh penghuni baru rumah depan. Aku pun melongok ke halaman dalam pagar rumah depan itu. Masih banyak ginseng-ginseng yang ditanam belum dicabuti. Aku perkirakan yang dibuang di luar pagar itu adalah ginseng masih berumur muda. Aku masuk ke dalam halaman rumah depan, dan mencabut salah satu ginseng yang lebih besar dari ginseng-ginseng yang ada di sekitarnya. Berat aku menariknya. Terpaksa aku mengambil pisau di dapur. Sekeliling pokok ginseng ku gali dulu tanahnya. Lima belas sentimeter masuk ke dalam tanah.
Bentuk umbi ginsengnya agak lain dari pada yang biasa ku tanam di Malang atau di rumah Ibuku di Batu. Sudah digali masuk 15 cm, masih belum nampak umbinya membesar seperti biasanya. Hanya sedikit lebih besar dari pada pokok atasnya. Melihat umurnya dari ginseng-ginseng yang sudah dicabuti. Ginseng yang mau ku cabut ini berumur lebih dari 6 tahun. Aku coba cabut lagi masih berat. Dengan kekuatan yang ekstra lebih kuat lagi, dan hati-hati tercabut juga akhirnya. Bentuk yang lain dari ginseng biasanya lebih kecil dan langsing tidak bercabang dan panjang sampai 40 cm.
Ginseng ku kerik kulit luarnya, masuk panci almunium, tuang air satu liter. Kompor dinyalakan, begitu mendidih kompor ku matikan. Satu jam didinginkan, ambil satu gelas aku meminumnya. Begitu air masuk mulut, aku terkejut sekali. rasa pahit yang melebihi pahit butrowali yang ada dalam mulut. Langsung ku keluarkan dari mulut air ginseng tersebut. Tetapi pikiran sadar mau untuk segera sembuh, pelan-pelan aku mulai minum lagi. Habis satu gelas. Pahitnya masih terasa walaupun ditambah satu gelas air putih ku minum ekstra.
Hebat sekali besok pagi kakiku yang bengkak sudah kempes. Tidak ada terasa sakit. Seperti biasanya kalau ku terapi obat dari ginseng. Tambahkan air ke panci ginseng, didihkan, diminum lagi satu gelas. Tambahkan lagi air, didihkan, minum lagi satu gelas. Pagi siang, sore. Satu buah ginseng ku habiskan dalam tiga hari. Di Meulaboh ini aku menghabiskan dua buah ginseng yang pahit itu. Ginseng satu-satunya yang sangat pahit rasanya, hanya ku temukan di Meulaboh. Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Ginseng pemberian rekan ahliku dari Korea Selatan dalam kemasan botol kaca sebesar botol 660 ml dengan ginseng sebesar 3 Cm panjang 12 cm utuh di dalam botol, tidak pahit. Ginseng Malang yang ku tanam sendiri tidak pahit. Ginseng ku beli di kedai obat Cina tidak pahit.
Mulai dari sejak saat itu, di tahun 2006 sampai 2011, segala pantangan makanan yang biasanya membuat kakiku kesakitan akibat mengkonsumsi makanan yang banyak purin yang membuat kakiku bengkak dan sakit, seperti makan udang atau cumi-cumi agak banyak, makan kaldu ayam atau kaldu sapi yang bekas rebusan jerohannya. Tidak pernah lagi membuat kakiku bengkak dan merasa sakitnya asam urat. Kalau jerohan seperti hati sapi atau hati ayam, paru, dan usus memang tidak pernah berani aku untuk mencobanya.
Sampai di tahun 2011 di Flores, kakiku bengkak lagi karena setiap hari makan semangka dalam dosis lebih dari satu kilo setiap harinya. Di hari ke-15 bengkaklah kakiku. Yang tersembuhkan dalam tiga hari lebih, dengan mengkonsumsi buah sirsat total sebanyak kurang lebih tiga kilogram. Lumayan menderitanya. Inilah 3 buah rajanya obat di dunia yang dapat ditemukan di bumi tanah air kita, Indonesia.
Cerpen Karangan: Suyono Mardjuki Facebook: Suyono Mardjuki