Gemuruh suara guntur terdengar lirih di kejauhan menyelimuti ruang gelap kami. Hempasan angin bercampur tempias air hujan membasahi jendela kecil rumah petak persegi ini. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Emak menyalakan lilin kecil sebagai satu-satunya penerang di ruangan kami. Dan kami menghampiri Emak lalu mengelilingi lilin kecil itu bagai laron. Sudah seminggu lamanya sejak petugas listrik memutus aliran listrik di rumah kami dikarenakan tunggakan listrik 3 bulan yang tak mampu kami bayarkan. Emak mengatakan kepada kami bahwa keadaan memaksa untuk hidup dengan penerangan seadanya.
Meskipun begitu, kami harus tetap optimis dan yakin. Emak mengatakan kepada kami bahwa segelap apapun hidupmu saat ini, tetaplah melangkah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih terang. Sejak kecil, kami hidup tanpa kasih sayang sosok Bapak. Mungkin hanya aku yang tahu alasan kenapa dia meninggalkan kami. Hanya saja, saat itu aku belum memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ketika itu umurku 12 tahun, Fatimah 8 tahun, Rasyid 5 tahun, dan Zahra 1 tahun.
Malam itu, aku tengah terlelap tidur bersama ketiga Adikku. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku terjaga dari tidur dan mendengar suara lirih orang-orang dari luar rumah. Aku beranjak dari tempat tidur untuk melihat apa yang terjadi. Ketika aku melangkah ke ruang tamu, dan melihat ke luar rumah lewat jendela, aku melihat Bapak sedang berbicara dengan beberapa orang yang merupakan teman-teman Bapak. Bahkan aku mengenal salah satu dari mereka karena biasa bertamu ke rumah kami.
Dan karena suara mereka begitu lirih, aku tidak bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. Hanya beberapa kata seperti, “Militer? Aktivis? dan Reformasi? yang bisa aku dengar dan saat itu merupakan kata-kata asing bagiku namun aku masih mengingatnya hingga kini. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Bapak kaget melihat aku yang sedang berada di samping pintu. Dia tahu kalau aku mendengarkan percakapan mereka. Melihat wajah Bapak yang semula kaget berubah menjadi khawatir, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Bapak, mereka siapa? Kenapa mereka mengajak Bapak pergi? Bapak mau ke mana?” dengan polos Aku bertanya. Bapak tidak langsung menjawab semua pertanyaanku. Ia malah memelukku. Memandangku sejenak lalu pergi ke dalam kamar. Aku yang tidak mengerti apa yang terjadi hanya terdiam. Tak lama kemudian Bapak ke luar dari kamar bersama Emak. Dan yang membuatku bertambah bingung, Emak terlihat terisak dan menahan tangis.
“Tolong jaga dan rawat anak-anak kita” Hanya itu yang Bapak ucapkan kepada Emak dan mereka berpelukan. Lalu menghampiriku yang masih bingung. “Rehan, jaga Emak ya, turuti semua kata-katanya dan jangan sekali-sekali membantahnya. Semoga kalian semua tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Bapak pergi dulu, Nak” Bapak kembali memelukku. Kali ini lebih erat dan hangat. Dan aku merasa pelukan itu akan menjadi pelukan terakhir untukku.
Berbulan-bulan aku menunggu kepulangan Bapak, namun tak juga kembali. Dan setiap kali aku bertanya kepada Emak ke mana Bapak pergi, Emak hanya bisa tersenyum pahit menahan tangis. Melihat Emak seperti itu, akhirnya aku berhenti menanyakan keberadaan Bapak. Sudah bertahun-tahun kami hidup tanpa sosok Bapak. Memaksa Emak menjadi tumpuan hidup kami dan bersusah payah membesarkan kami.
—
“Jenazah sudah selesai dimandikan. Saya ingin bertanya kepada kalian apakah selama beliau hidup, beliau memiliki tanggungan hutang piutang kepada sanak saudara maupun tetangga kalian? Jika ada, mohon untuk segera diurus dan diselesaikan?” Tanya seorang ustad kepada kami bertiga. “baiklah, ustad. Kami akan coba bertanya kepada orang-orang yang mungkin memiliki urusan utang piutang dengan Emak,” Jawabku pelan.
Fatimah dan Zahra kembali ke luar menemui orang-orang yang melayat. Aku masih berdiri mematung. Sejenak aku teringat dengan apa yang pernah Emak katakan kepadaku. Mungkin, jika beliau tidak memaksaku untuk terus berusaha dan bekerja keras, keadaan kami tidak akan sebaik saat ini. Aku kembali teringat dengan kejadian saat itu.
—
“Rehan, tolong bawakan Emak seikat kayu bakar di belakang?” Pinta Emak padaku. “Iya, Mak? Aku beranjak membawakan kayu bakar ke dalam dapur. Umurku 15 tahun. Sudah 3 tahun sejak peristiwa itu. Keadaan keluarga kami bertambah buruk sepeninggal Bapak. Aku sendiri, sejak setahun setelah kepergian Bapak, berhenti menanyakan kepada Emak tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Bapak. karena aku tahu pertanyaanku hanya akan menambah kepedihan Emak karena mengingat peristiwa tersebut.
Beberapa bulan yang lalu, aku mencoba mencari informasi sendiri lewat internet. Berharap menemukan jawaban atas apa yang terjadi terhadap Bapak. Aku masukan kata yang saat itu aku dengar ke dalam situs pencarian pada internet, dan menghubungkannya dengan peristiwa besar yang terjadi di tahun tersebut. Di tambah dengan sedikit informasi yang aku terima tentang latar belakang Bapakku saat itu. Beberapa artikel dan berita aku telusuri dan aku kumpulkan semuanya. Akhirnya, aku temukan satu kesimpulan terhadap apa yang terjadi pada waktu itu dan hubungannya dengan peran Bapak saat itu.
Asap mengepul dari tungku yang terus menerus Emak tiup menggunakan sepotong bambu yang berlubang. Sesekali percikan api ke luar melalui sela-sela tungku. Ku lihat raut wajah Emak yang lebih banyak meringis menahan panas dan mata yang pedih terkena asap. Raut wajah yang mulai menua itu masih saja terlihat menyenangkan untuk dipandang. Meskipun aku tahu, banyak sekali kesedihan yang bersembunyi di balik wajah itu. “Emak, Rehan mau berhenti sekolah saja” Akhirnya aku mengatakan sesuatu yang telah lama ingin aku ungkapkan kepada Emak. “Rehan lebih baik membantu Emak dan Adik-Adik”
Sejenak aku pandang raut wajah Emak yang terlihat menunjukkan rasa kecewa. Emak menghela napas panjang lalu menatap wajahku dalam-dalam. “Emak belum membutuhkan bantuan dari anak-anak Emak. Emak masih bisa mengerjakan semuanya tanpa bantuan kalian” Jawab Emak dengan penuh kelembutan. “kalau kau ingin membantu Emak, cukup dengan rajin belajar dan raih impianmu. Jika kau ingin membantu Adik-Adikmu, cukup dengan menjadi Kakak yang baik yang bisa mereka contoh. Jika mereka melihat Kakaknya menjadi seseorang yang berguna, mereka juga akan mengikuti langkahmu, Rehan”
“Tapi Mak, Rehan sudah merasa cukup dengan hanya lulus SMP” Aku mencoba membujuk Emak. “Lebih baik Rehan membantu Emak mencari uang untuk Adik-Adik sekolah. Itu bisa meringankan Emak daripada Emak harus bersusah payah membiayai sekolah kami berempat” “Dengarkan Emak baik-baik, Rehan” Kini mata Emak terlihat berkaca-kaca.
“Emak paham maksud baikmu, tapi Emak akan jauh lebih bahagia jika semua anak-anak Emak bisa terus menuntut ilmu setinggi-tingginya. Kita boleh miskin harta, tapi tidak dengan miskin ilmu. Emak ingin anak-anak Emak memiliki masa depan yang jauh lebih baik daripada orangtuanya. Dengan ilmu, kalian akan mengangkat derajat dan martabat keluarga kita. Emak tidak pernah malu dengan keadaan kita yang miskin. Dan kalian tidak perlu malu dengan keadaan kita yang serba kekurangan. Tapi Emak akan malu jika nanti Emak meninggalkan kalian dalam keadaan bodoh dan lemah,”
Mendengarkan ucapannya, aku menjadi paham dengan semua yang Emak lakukan untuk kami. Aku menyadari betapa besarnya harapan Emak terhadap kami. Dia rela melakukan apapun demi masa depan kami. Semua kepedihannya ia balut dengan senyuman tulus. Semua kesulitannya ia tutup rapat dengan pelukan hangatnya kepada kami. Aku bersumpah, mulai hari ini tidak akan membuat Emak menangis kecuali tangisan bahagia melihat anaknya yang berhasil.
“Baiklah kalau itu yang Emak harapkan. Rehan janji akan bersungguh-sungguh dan menggapai cita-cita Rehan untuk Emak.” Ku ucapkan janjiku di depan Emak dengan sungguh-sungguh. Emak membelai lembut kepalaku lalu memelukku. Mulai saat ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bersungguh-sungguh dan menggunakan semua waktuku hanya untuk membahagiakan Emak.
—
Sebuah mobil berhenti di depan halaman rumah. Seseorang ke luar dari mobil itu dan menghampiriku seraya memelukku. Tiba-tiba ia terisak dan menangis. Aku mencoba menenangkan dirinya dengan membelai rambutnya dan menepuk-nepuk punggungnya. Sudah lama aku tidak melihat Rasyid, Adikku. Kini ia tumbuh menjadi sosok yang dewasa, gagah, dan tampan. Banyak wanita yang terpikat dengan dirinya, tapi sampai sekarang ia masih saja sendiri. Sekarang, ia lebih banyak di luar kota karena mengelola sebuah kantor penerbitan dan percetakan buku miliknya sendiri. Selain itu, ia juga merupakan salah satu penulis muda yang berhasil.
Aku bangga dengan Adikku yang satu ini. Meskipun ia telah menjadi seseorang yang berhasil, namun tak pernah sekali pun ia melupakan semua nasihat Emak terhadap dirinya. Di samping ia mengurusi usaha yang tengah digelutinya saat ini, ia juga menjadi donatur tetap pada salah satu lembaga sosial dan sedang merintis panti asuhan untuk anak yatim dan anak terlantar, bersama diriku. Semua itu berkat nasihat Emak dan pemahaman terhadap hidup yang diberikan oleh Emak kepada kami berempat.
—
“Rasyid!! keluar kamu!” teriakan itu mengagetkan Aku yang sedang beristirahat setelah lelah berdagang. “Kembalikan mangga yang sudah kamu ambil!! dasar kau pencuri!!” Aku yang mendengar teriakan tersebut segera menghampiri ke luar rumah. Ternyata di depan pintu sudah berdiri seorang laki-laki paruh baya dengan membawa sebilah bambu di tangan kanannya. Laki-laki paruh baya itu terlihat menahan emosi.
“Eergh, ada apa ya, Pak?” Aku mencoba bertanya dengan sopan. “Dimana Rasyid?!” laki-laki paruh baya itu justru membentak. Ternyata bentakan itu terdengar oleh Emak, sehingga ia juga ikut menghampiri laki-laki paruh baya yang berada di depan pintu rumah. “Ada ribut-ribut apa, Rehan?” Tanya Emak. “Ada yang mencari Rasyid, Mak” Jawabku. “Ada apa Bapak mencari anak saya?” Tanya Emak penasaran.
“oh.. jadi anda Ibunya Rasyid?” Jawabnya dengan kasar. “Tolong didik anak Ibu dengan baik. Ajari dia untuk tidak mencuri milik orang lain. Dia telah mencuri mangga milik saya. Dan saya ingin dia mengembalikkan mangga itu, atau saya laporkan dia ke polisi,” “Rasyid? Mencuri?” Emak seperti tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. “Iya.. dia mencuri buah mangga dari halaman rumah saya. Sekarang dimana dia? Bawa dia ke mari, atau saya laporkan ke polisi!” Ancam Laki-laki paruh baya itu. Emak langsung mencari Rasyid ke dalam rumah. Ia yakin Rasyid bersembunyi di dalam rumah.
“Rasyid.. dimana kamu? keluar kamu, Nak. Kembalikan mangga yang telah kamu curi!” Teriakan Emak hampir tenggelam oleh suara tangisnya. “Rasyid… keluar Nak” “Kembalikan mangga itu, Nak” “Rasyid… Emak mohon keluar” “Kembalikan mangga yang sudah kamu ambil itu, Rasyid” “Rasyid…”
Semakin lama suara Emak semakin lirih. Dan akhirnya ia tak kuasa menahan air mata yang berusaha ia tahan. Lalu ia terduduk lemas di kursi ruang tamu. Aku menghampiri Emak yang terisak. Mencoba menenangkan hati Emak yang sakit. Laki-laki paruh baya itu masih berdiri mematung di depan pintu. Tak lama kemudian, dengan tubuh gemetar Rasyid ke luar dari dalam kamar dengan membawa dua buah mangga yang telah ia ambil dari pohon milik laki-laki paruh baya itu. Aku memandangnya menghampiri laki-laki paruh baya di depan pintu.
“Ma.. maa… maafkan Rasyid, Pak” Dengan gugup Rasyid menjelaskan. “Rasyid tidak bermaksud mencuri mangga milik Bapak. Rasyid hanya ingin memberikan mangga ini kepada teman Rasyid yang sekarang masih terbaring sakit di rumahnya. Rasyid tidak mempunyai uang untuk membelinya. Jadi Rasyid terpaksa mengambil mangga dari pohon Bapak. I.. ii… ni Rasyid kembalikan buah mangga milik Bapak. Mohon jangan laporkan Rasyid ke polisi, Pak. Rasyid janji tidak akan mencuri lagi”
Meskipun telah mendengar penjelasan Rasyid, Laki-laki paruh baya itu tetap tidak terima buah mangga miliknya dicuri. Dengan nada kasar ia mengancam akan melaporkan Rasyid ke polisi jika ia kembali memergoki Rasyid tengah mencuri mangga miliknya. Lalu Laki-laki paruh baya itu pergi. Suasana menjadi hening di dalam ruang tamu. Aku masih menenangkan Emak yang begitu terpukul mengetahui perbuatan tidak terpuji yang telah dilakukan oleh anaknya. Sementara itu, Rasyid hanya tertunduk menyesali perbuatannya. Dan ketika aku memandang ke arah Rasyid, ia tahu jika ia harus meminta maaf kepada Emak.
“Mak, maafin Rasyid, Mak. Rasyid menyesal sudah berbuat demikian. Rasyid janji tidak akan lagi mengulangi perbuatan Rasyid. Tolong maafin Rasyid, Mak” Rasyid bersimpuh di bawah lutut Emak dengan berderai air mata.
Ia benar-benar menyesali perbuatannya. Dan aku yakin ia tidak berbohong untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya itu. Meskipun begitu, Emak masih saja membisu. Setengah jam lamanya kami semua hanya terdiam. Lalu Emak berlalu dari ruang tamu. Aku hanya bisa memandang Rasyid yang begitu menyesal. Mendung di luar mengakhiri hari ini dengan kepedihan. Selepas maghrib, Emak memanggil kami berempat untuk berkumpul. Di dalam ruangan gelap yang hanya di terangi satu lilin kecil dan suasana hujan deras dengan suara guntur yang kadang bergemuruh, kami berkumpul mengelilingi lilin kecil tersebut. Sejenak suasana senyap.
“Dengarkan Emak baik-baik?” Emak mulai berbicara. “Keadaan kita memang miskin, kita tidak mempunyai apapun untuk dibanggakan. Hidup kita serba kekurangan,” Emak berhenti sejenak menghela napas. Hening kembali menyelimuti.
“Tapi itu tidak membuat kita menjadi orang yang terhina. Selama kita masih bisa menjalani hidup dengan baik, menjaga kehormatan keluarga kita dengan tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, kita akan senantiasa dipandang terhormat oleh orang lain.” Emak memandang Rasyid sekilas. “Emak tidak ingin anak-anak Emak menjadi orang yang lemah. Menyerah dengan ketidakberadaan kita. Hingga memaksa untuk berbuat buruk dan mencoreng nama keluarga ini. Emak berpesan kepada kalian semua, segelap apapun hidup kalian saat ini, tetaplah melangkah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih terang.”
Kami hanya terdiam mendengarkan baik-baik semua ucapan Emak. Aku berumur 22 tahun, Fatimah 18 tahun, Rasyid 15 tahun, dan Zahra 11 tahun. Aku yakin semuanya bisa memahami dan menangkap baik-baik apa yang Emak katakan kepada kami. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Bapak. 10 tahun sudah beliau meninggalkan kami. Aku teringat pesan Bapak sebelum pergi. Beliau berpesan agar kami selalu mendengarkan dan menuruti semua perkataan Emak. Aku berjanji untuk selalu memegang teguh semua ucapan Bapak dan Emak.
Bersambung
Cerpen Karangan: Ibadi Rohman Facebook: Penilunio Ibadi Rohman