“Rehan, jenazah Emak sudah siap dibawa ke masjid untuk disalati,” Suara Ustad Rahman menyadarkan aku dari lamunan. “Iya ustad. Mari kita bawa ke masjid” Jawabku. Matahari sudah condong ke arah barat. Ketika ku tengok jam tangan sudah menunjukkan pukul 4 sore. Kami membawa Jenazah Emak ke masjid. Kebetulan jarak masjid dengan rumah kami tidak begitu jauh. Hanya berjarak 100 meter.
Di luar rumah, sudah menunggu para pelayat. Ada begitu banyak pelayat yang datang untuk mengiringi jenazah Emak. Setidaknya ada ratusan pelayat yang ingin melepas kepergian Emak. Dari semua pelayat, sebagian besar aku tidak mengenalnya. Tapi setiap aku menghampiri mereka untuk mengucapkan terima kasih karena sudah datang melayat, mereka mengatakan bahwa orangtuaku adalah sosok yang hebat. Mereka merasa sangat bangga sekaligus merasa sangat kehilangan. Aku tidak begitu memahami apa yang mereka maksudkan. Tapi tiba-tiba aku kembali teringat peristiwa saat Bapak meninggalkan rumah kami dan Emak bersusah payah membesarkan kami.
Aku tidak terlalu mempedulikan lagi soal itu. Biarlah itu menjadi rahasia yang akan selalu menjadi rahasia kami semua. Aku tidak ingin mengetahui kenyataan yang tersembunyi di dalamnya. Meskipun terkadang hidup dalam bayang-bayang rasa penasaran membuat hati terasa sakit. Tapi aku yakin, jalan inilah yang terbaik. Kami mulai membawa jenazah Emak ke pemakaman setelah keluar dari masjid. Berduyun-duyun para pelayat bergantian menggotong keranda Emak. Keranda bertutupkan kain hijau menyala itu bergerak ke depan seperti terbawa arus gelombang manusia yang berada di bawahnya. Membawa jasad Emak menuju persinggahan terakhirnya.
Jarak rumah kami dengan pemakaman sekitar 1,5 kilometer. Cukup dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Itu sebabnya kami memilih untuk membawa jenazah Emak dengan berjalan kaki ketimbang dengan menggunakan mobil jenazah. Emak pernah berkata kepada kami, bahwa manusia hidup di dunia ini hanya sementara. Dan manusia di dunia ini ibarat sedang melakukan perjalanan. Ketika tiba saatnya, ia akan menuju ke persinggahan selanjutnya menanti kehidupan yang lebih kekal. Ia tidak akan membawa apapun melainkan tiga hal. Aku masih begitu mengingat nasihat Emak kala itu.
—
“Mak, lusa adalah hari wisuda Fatimah. Fatimah ingin Emak datang di acara tersebut. Kak Rehan, Rasyid, dan Zahra juga harus datang,” Pinta Fatimah kepada kami semua yang masih berkumpul di ruang tamu. “Iya, Emak janji akan datang bersama semuanya ke acara wisudamu, Fatimah.” Jawab Emak dengan penuh kelembutan. “Oiya, aku dengar kamu dapat predikat wisudawati terbaik? Apa itu benar, Fatimah?” Aku bertanya pada Fatimah tentang prestasinya. “Iya kak, alhamdulillah. Fatimah mendapat predikat wisudawati terbaik. Itu semua berkat Emak, juga Kak Rehan,” Jawab Fatimah dengan penuh sumringah. “Kak Fatimah gak berterima kasih sama aku nih? Aku kan selalu bantu Kak Fatimah. Beli buku ini, beli buku itu. Ambilkan tanaman ini, ambilkan tanaman itu,” Celetuk Rasyid merasa tidak dianggap.
“Tentu saja, Rasyid. Kakak juga berterima kasih sama kamu. Zahra juga, sudah mau bantu Kakak mengerjakan proyek akhir Kakak,” Fatimah meralat ucapan terima kasihnya. “Ah, santai aja kak. Gak perlu berterima kasih sama Zahra. Malahan Zahra yang harusnya berterima kasih, berkat Kak Fatimah, Zahra jadi lebih tahu tentang tanaman dan ilmu botani ketimbang teman-teman Zahra di sekolah,” Jawab Zahra tersenyum dan merendah.
Fatimah menyelesaikan studi S1 di umurnya yang ke-21. Seiring berjalannya waktu, keadaan keluarga kami berangsur-angsur membaik. Aku sudah bisa membiayai sekolah Adik-Adikku dengan membuka rumah makan kecil. Setelah aku lulus dan mendapat gelar sarjana ekonomi, aku memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Hasilnya cukup untuk membantu Emak dalam menghidupi kami berlima.
“Bagaimana dengan kamu, Rasyid? Setelah kamu lulus, ke mana kamu akan mendaftar kuliah?” Tiba-tiba Emak bertanya pada Rasyid. “Eergh… Rasyid berencana mengambil jurusan bahasa, Mak,” Jawab Rasyid dengan sedikit tersipu malu. “Itu rencana yang bagus, Nak,” Emak memuji keputusan Rasyid. “Kenapa kamu memilih jurusan bahasa, Rasyid?” Aku penasaran dengan pilihan yang diambil oleh Rasyid. “Eergh.. Rasyid ingin jadi penulis buku, Kak,” Jawab Rasyid pelan. Suasana mendadak senyap. “Waah… Kak Rasyid mau jadi penulis seperti Pak Darwis?” Zahra terlihat antusias dan senang. “Tentunya menjadi penulis yang handal dan melebihi beliau,” Rasyid menjawab pertanyaan Zahra dengan mantap.
“Kalau gitu Zahra gak setuju Kak Rasyid jadi penulis.” Semua kaget dengan pernyataan Zahra. “Kenapa emangnya, Zahra?” Emak penasaran dengan jawaban Zahra. “Yaa…. karena, gak ada penulis yang lebih baik dan lebih keren dari Pak Darwis. Zahra aja punya hampir semua novel miliknya. Jadi, Zahra gak setuju kalau Kak Rasyid mau jadi penulis yang lebih hebat dari Pak Darwis,” Jawab Zahra dengan berapi-api. Seketika tawa pecah di antara kami.
“kalau Zahra, cita-citanya mau jadi apa?” Pertanyaan Emak menghentikan tawa kami. “Zahra ingin jadi guru, Mak,” Jawab Zahra dengan yakin. “Kenapa guru?” Tanya Rasyid. “karena guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dan, Zahra sudah memiliki guru terbaik buat Zahra,” Jawab Zahra dengan senyuman tulus. “Siapa guru terbaik Zahra?” Tanya Fatimah.
Suasana menjadi hening menunggu jawaban Zahra. “Emak,” Jawab Zahra sambil menatap wajah Emak yang terlihat bersinar. Mendengar jawaban Zahra, Emak langsung menghampiri Zahra dan memeluknya. Emak sangat terharu mendengar jawaban dari Zahra. Kami pun setuju dengan Zahra, lalu saling berpelukan. Setelah cukup lama kami saling berpelukan, Emak mengucapkan sesuatu kepada kami semua.
“Sekarang dengarkan Emak,” Kami menatap lamat-lamat wajah Emak. “Apa yang telah kita rasakan dan yang kita dapatkan, semuanya akan kita tinggalkan. Karena kehidupan di dunia ini hanya sementara. Dan kita akan menuju ke kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang abadi. Karena itu, jika kita memiliki sesuatu yang bisa kita bagikan, mari kita bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Harta yang kita dapatkan, tidak sepenuhnya milik kita. Karena ada hak bagi orang-orang yang masih hidup dalam kekurangan dan kesusahan. Untuk itu, jangan pernah lupa dengan apa yang kita rasakan dahulu. Bagaimana rasanya hidup serba kekurangan. Hidup serba kesulitan. Ketika kalian mempunyai kesempatan untuk menolong orang-orang seperti itu, jangan pernah kalian tunda kesempatan itu,”
“Mengenai ilmu, jangan pernah kalian menyimpan ilmu yang telah kalian dapatkan. Ajarkan apa saja yang telah kalian dapatkan dari guru-guru kalian. Karena ilmu yang tidak kalian amalkan dan kalian bagikan, bagaikan pohon tanpa buah. Dan ketika mereka mengamalkan ilmu yang kalian berikan, akan menjadi penolong kita kelak. Itulah kenapa Emak mengharapkan anak-anak Emak bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Bukan semata-mata hanya untuk memperoleh gelar. Tapi karena setiap ilmu yang bisa kalian amalkan, akan mengangkat derajat kalian di mata manusia. Sebaik-baik manusia adalah ia yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Jadi, manfaatkan ilmu yang kalian dapatkan untuk membantu orang lain,”
“Dan terakhir yang ingin Emak sampaikan kepada kalian, bahwa Emak bangga memiliki anak-anak hebat seperti kalian. Emak bersyukur bisa mendidik kalian dengan baik. Emak yakin Bapak kalian juga bangga kepada kalian. Oleh karena itu, Emak hanya ingin meminta satu hal kepada kalian, sertakan nama Emak dan Bapak dalam setiap doa-doa kalian.” Kata-kata Emak membuat kami tak kuasa menahan air mata. Kami semua kembali memeluk Emak dengan erat. Kami semua hanyut dalam tangis kebahagiaan. Semua yang Emak lakukan kepada kami tidak akan pernah kami lupakan. Akan kami simpan baik-baik dalam lubuk hati kami. Menjadi sebuah kenangan indah yang selalu kami rindukan.
—
“Kak, hari mulai gelap. Mari kita pulang” Zahra memecah lamunanku akan sosok Emak.
Para pelayat sudah mulai beranjak dari pemakaman. Kini tinggal kami berempat yang masih bediri di samping pusara Emak. Masih termangu menatap nisan putih yang baru saja tertancap. Matahari senja mulai menampakkan wujudnya. Meninggalkan warna jingga kemerahan dan perlahan memudar. Kini, kami harus menjalani hidup dengan semua yang telah Emak ajarkan kepada kami. Meski dia tak lagi berada di tengah-tengah kami, namun segala nasihatnya akan senantiasa berada di lubuk hati kami. Tak akan pernah sirna sampai kapan pun. Kami pun beranjak dari pusara Emak. Meninggalkan segala kenangan bersama Emak. Kenangan yang perlahan dapat mengubah cara pandang kami terhadap hidup yang kami jalani.
Cerpen Karangan: Ibadi Rohman Facebook: Penilunio Ibadi Rohman