Di tengah penatnya kota, banyak kesibukan yang membabi buta terlihat banyak asap kendaraan dengan seribu persoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan. Para pejuang hidup mempertaruhkan segalanya, tidak peduli dengan terik panas matahari yang seakan membakar tubuhnya. Keringat-keringat telah melebur bersama panasnya matahari, seakan telah akrab dengan panasnya. Mereka hanya ingin hidup lebih baik, tetapi belum rampung dengan masalah itu Indonesia kian diguncang dengan masalah yang lainnya.
Para wakil rakyat hanya sibuk mementingkan perutnya sendiri. Tidak memikirkan orang lain, yang sangat sulit untuk mengais barang sebiji padi. Seperti sekarang ini, aku melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di kuburan. Ya, kuburan. Tempat yang seakan ditakuti oleh sebagian besar anak-anak justru bagi mereka tempat ini adalah surga. Mereka dapat bercanda dan tertawa bersama tidak lagi memikirkan aura kuburan yang dikatakan mistis itu. Aku mencoba untuk mendekati mereka.
“Hei, lagi ngapain kalian?” “Lagi bermain, Kak.” Ujar salah satu anak yang bernama Winda. Tubuh-tubuh kecil mereka seakan tidak lagi merasakan teriknya sinar matahari. Sungguh, aku pun tidak sekuat mereka. “Kok bermainnya di kuburan?” tanyaku lagi yang masih penasaran. “Iya, Kak. Nggak ada tempat lain lagi di sini. Semuanya sudah dibangun menjadi gedung-gedung besar.” Sahut seorang anak bernama Rara. Aku mengangguk, tanda mengerti dengan yang mereka rasakan.
“Kalian nggak takut bermain di kuburan? Kan katanya kuburan itu angker.” Mereka hanya saling tersenyum dan memandang satu sama lain. Tapi memanglah, tidak ada wajah ketakutan yang mereka tunjukkan. Semua terlihat bahagia menikmati masa anak-anak yang penuh dengan kebahagiaan. “Eh, kalian lagi mainan apa?” kataku lagi. Salah satu anak yang bernama, Kamal menjawab pertanyaanku dengan logat jawanya yang khas. “Lagi dolanan dengklek.” Jujur. Aku tidak tahu apa itu dengklek. “Dengklek? Permainan apa itu?” ujarku bingung. “Dengklek itu sundamanda, Kak.” Ketus salah seorang anak yang terlihat paling putih di antara mereka, Radit. Aku mengangguk, tanda mengerti. “Ayo, Kak kita bermain.” Ujar Rara lagi.
“Hongpimpah alaiyum gambreng!”
Terlepas dari semua itu, aku bisa mengakrabkan diri dengan terik panas matahari seperti mereka. Sungguh miris, tidak ada tempat yang layak bagi mereka bermain, hanya kuburan inilah satu-satunya tempat bagi mereka untuk berkumpul dan bermain bersama.
—
“Mmm, Kakak mau tanya. Apa kalian bersekolah?”
Di antara mereka tidak ada yang mengangguk, mereka hanya menggelengkan kepala dan masih sibuk dengan permainan yang sedang mereka buat. Aku tersentak mendengarnya. “Terus, apa kalian tahu siapa Presiden Indonesia?” tanyaku lagi. Aku benar-benar merasa penasaran dengan mereka. “Heh siapa ya? Aku lupa.” “Iya, aku juga lupa. Aku pernah nonton tv, tapi lupa.” “Nyong be kelalen koh. Nek ora salah Pak Jo Jo sapa si ya?” Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka yang sama sekali tidak tahu siapa nama Presiden Indonesia sekarang.
“Kalian ngga tahu?” tanyaku lagi. Mereka menggelengkan kepala. “Nama Presiden Indonesia itu Pak Jokowi. Dan wakilnya Pak Jusuf Kalla.” Kataku memberitahu mereka. “Owalah, iya kue. Pak Jokowi. Lali aku.” Ketus Kamal. Semua tertawa melihat tingkah Kamal yang mampu mengundang senyum mereka. Begitu pula denganku. “Kak, ini buat, Kakak.” Sahut Winda seraya memberikan orang-orangan dari daun singkong padaku. Aku menerimanya sembari tersenyum. “Kak, ayo kita bermain bersama.” Ujar Rara mengajakku untuk bermain bersama. Aku pun menyetujuinya. Kami pun larut dalam kebahagiaan sederhana yang mereka buat. Inilah anak Indonesia yang dengan segala keterbatasan, tetapi tetap bisa berkreasi untuk memajukan negeri.
Di sela-sela permainan, aku kembali bertanya. “Kalian tahu lagu Indonesia Raya?” kali ini mereka mengangguk. Aku benar-benar senang mendengarnya. “Bagaimana kalau kita bernyanyi bersama?” Mereka mengangguk. Dan mulailah kami bernyanyi, memanglah suara kami tidak sebagus para penyanyi yang terkenal itu. Tapi setidaknya masih ada jiwa nasional yang masih melekat pada diri garuda muda ini.
“Kok kalian bisa tahu lagu itu?” kataku setelah kami selesai menyanyi. “Hari-hari tertentu ada seseorang seperti Kakak datang ke mari, mengajari kami banyak hal. Termasuk bernyanyi. Dan jika HUT RI, di sini ada perlombaan dan upacara, walau sederhana kami selalu mengikutinya.” Jelas Radit. “Oh ya?” kataku dengan serius. Radit mengangguk. “Kalian tahu kapan Hari Kemerdekaan Indonesia?” “17 Agustus!!” jawab mereka bebarengan. Aku tersenyum mendengarnya. Di antara sibuknya pembangunan kota, masih ada orang-orang yang hanya bisa berharap dan sangat membutuhkan perhatian. Inilah para garuda yang aku temui, jiwa nasional mereka sungguh luar biasa.
Aku kembali bertanya pada mereka, kali ini satu persatu. “Mmm, Kakak mau tanya. Kalau cita-cita Rara apa?” “Rara bercita-cita pengin jadi guru.” Katanya dengan kepolosan anak-anak. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Rara kepingin mencerdaskan anak-anak di seluruh Indonesia. Agar mereka mempunyai jiwa nasional yang tinggi, walaupun seburuk kondisi apapun mereka, mereka berhak untuk bermimpi.” Aku tersenyum seraya mengelus lembut rambutnya. Sungguh, cita-cita yang mulia. Aku berdoa semoga cita-citanya kelak akan terwujud.
“Kalau, Winda apa?” “Winda pingin menjadi seorang polisi. Terutama polisi perbatasan, karena Winda pengin wilayah Indonesia tidak diambil sama negara lain. Dan Winda pengin mengabdi pada Indonesia.” “Terus kalau Radit?” “Aku kepingin menjadi dokter, Kak. Agar masyarakat indonesia sehat semua. Dan bisa mencapai cita-citanya.” Aku mengangguk, belum sempat aku mengajukan pertanyaan pada Kamal. Dia sudah mengatakannya terlebih dahulu.
“Angger nyong. Nyong pingin dadi presiden. Supaya akeh tempat terbuka sing bisa nggo dolanan bocah, karo pendidikan gratis.” Semua tertawa mendengar perkataan Kamal dengan suara khasnya itu. Aku merasa senang, bisa melihat para garuda muda yang masih setia pada negeri ini. “Kalian bangga menjadi anak Indonesia?” Mereka saling pandang dan mengatakan, “kami bangga menjadi anak Indonesia!” kata mereka kompak disertai senyum yang merekah dari wajah polosnya.
Senja itu mulai terlihat, saat matahari kian menghilang, bersama dengan para burung yang mulai kembali dengan sarangnya. Semburat cahaya kuning kejingga-jingaan seakan menjadi lukisan alam yang indah. Aku dan para garuda muda itu tersenyum bersama, berlarian di antara pematang sawah, menikmati hamparan sawah yang menghijau, gemricik air yang seakan bernyanyi, dan bermimpi bersama senja yang tenang ini.
Quote: Apapun kondisimu jangan takut untuk bermimpi, jangan lihat latar belakangmu. Tapi lihat bagaimana caramu nanti untuk menggapai mimpimu itu. Karena sesungguhnya, seseorang yang berhasil adalah orang yang tidak hanya diam. Berlari dan terus berlari. -Laudya Dian Daiana-
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Facebook: Anna Jihan Oktiana