“Morning, Putri”
Oh sialnya dia lagi yang nongol dengan memanggilku seperti itu. Awalnya aku ingin menghindarinya sebab ia memperolokku dengan memanggilku ‘Putri’. Tidak ada salahnya memang, sebab semua orang tahu namaku ‘Putri Aurella’. Seandainya aku secantik Aurella di negeri dongeng. Mungkin mereka tak akan memanggilku ‘Put, Uput, Puput, Urel, Rella, Lela’ tapi lebih menyakitkan saat kakak kelasku memanggilku ‘Princess Aurella buruk rupa’.
Membahas namaku tak akan ada habisnya. Sebab mereka sudah tahu betul tentangku bahwasannya namaku tak sesuai dengan wajahku. Aku tak paham betul kenapa orangtuaku memberiku nama secantik itu. Ibuku bernama Titin dan bapakku bernama Dadang. Mereka tinggal di desa yang sangat terpencil. Tidak baca buku komik, dongeng, koran, majalah, ataupun nonton tv. Dari mana mereka mendapakan namaku? Entahlah.
Tapi mereka selalu mengatakan ‘nama adalah doa.’ Mereka terkesan sok tahu. Seolah mereka mengenal ‘Aurella’ yang seorang Putri dan mereka berharap aku bisa seberuntung pemilik asli nama itu. Bukan beruntung. Kenyataannya aku selalu kena sial. Misal saja saat aku masih SMP, ada anak baru yang wajahnya seperti Aliando Syarif. Aku jatuh cinta dan nekat mengirimnya surat. Pastinya atas nama ‘Putri Aurella’.
Yang memalukan adalah saat ia menyangka bahwa Putri Aurella adalah teman sebangkuku yang cantik, putih, dan langsing. Pantas saja ia tak pernah melirikku, pikirku. Dan suatu hari wali kelasku mengadakan tes lisan dan kebetulan dipanggil nama satu persatu. Saat namaku disebutkan. Gebetanku langsung tertunduk. Dan besoknya tidak sekolah hingga beberapa hari kumudian aku mendengar kabar bahwa ia pindah sekolah. Apa gara-gara aku? Oh sungguh luar biasa bukan. Seorang Putri Aurella bisa menyingkirkan pangeran tertampan di istana SMP.
Dan sejak saat itu aku tak lagi berani mengirim surat atau apa pun yang berkaitan dengan asmara. Aku pernah berencana mengganti namaku. Kemungkinan namaku menjadi ‘Siti, Yayah, Emcum, Jubaedah’ atau entahlah yang seburuk mungkin yang sesuai dengan paras dan perawakanku. Tapi ada suatu kejadian yang membuatku mempertahankan namaku. Adalah saat aku lulus SMP aku memutuskan untuk bekerja karena orangtuaku tak sanggup menyekolahkanku. Kejadian itu berawal dari perjalananku menuju ke pasar yang jauhnya sekitar 1 km dari rumahku.
Di perjalanan aku menemukan sebuah dompet. Aku mengambilnya. Dan meneruskan perjalananku menuju ke pasar. Sesampainya di pasar aku mengumumkan bahwa aku menemukan sebuah dompet tanpa menyebutkan apa pun lagi. Semua orang berdatangan dan mengaku-ngaku bahwa dompet itu miliknya. Hingga aku memutuskan untuk memberikan dompet itu hanya pada orang yang tahu semua tentang dompet itu. Kemudian seorang ibu-ibu yang usianya sekitar 45 tahun menghadapku dan menyebutkan semua tentang dompet tersebut. Dan ternyata itu memang dompetnya.
Aku memberikan dompet itu padanya kemudian ia mengucapkan terima kasih sembari mengepalkan tangannya yang berisikan uang 100 ribu ke tanganku. Namun aku tak menerimanya. Ia tersenyum dan berkata, “dek, siapa namamu?” aku menjawab perlahan. “Putri Aurella.” dia tersenyum sembari berbisik. “namamu seindah akhlakmu.” aku terharu.
Ternyata nama itu tak harus seindah paras. Nama dan paras indah tidak selalu menjadikan akhlak seseorang lebih baik. Tapi akhlak yang baik selalu cocok dengan nama seindah apa pun. Ucapan ibu-ibu itu sangat menyentuh hatiku. Inilah harapan orangtuaku. “Putri Aurella. Putri berbudi luhur dan berakhlak mulia meski buruk rupa.”
Cerpen Karangan: Fitri Saputri Facebook: Febi Putri Viryokris