“Maksud dan tujuan saya membawa anda ke mari adalah untuk memerintahkan anda mengurangi atau bahkan menghentikan sebagian kegiatan industri anda yang merusak lingkungan. Mengurangi penambangan minyak, pengolahan, dan pemakaiannya serta mencoba mencari dan mengembangkan sebuah energi alternatif yang ramah lingkungan dan membantu dalam konservasi alam sementara anda mencoba mengembangkan sebuah energi alternatif. Saya yakin anda mampu secara finansial untuk melakukan hal yang tadi saya katakan, anda juga punya kedudukan, bukan?”
“Yang benar saja! Hasil produksi perusahaanku membantu banyak orang! Semua dengan harga yang mur–” “Membantu yang ada di lingkup anda saja. Sementara negara kami yang dieksploitasi kekayaan alamnya hanya bisa gigit jari kami yang kurus kering. Keseimbangan alam terganggu oleh orang-orang yang terbantu oleh hasil perusahaan anda juga, tidakkah anda pikir bumi ini sudah terlalu terkotori olehnya? Memangnya yang hidup di dunia ini hanya ‘orang’? Orang tak akan mampu saling bantu atau bahkan membantu dirinya sendiri ketika alam sudah hancur oleh orang-orang sepertimu dan penikmat hasil perusahaanmu! Jadi, apa anda bersedia?”
“Bagaimana jika saya menolak?” “Mungkin kami akan memulai peperangan, dimulai dengan anda. Dan anda akan dikenal sebagai pembawa kiamat bagi dunia. Ternyata Tuhan tidak menyulut kiamat sendirian.” “Aku tak membawa kiamat bagi siapa pun! Pers*tan dengan perintahmu!” “Kami tak menerima penolakan. Mungkin sedikit pahitnya tanah Somalia akan mengubah iklim pola pikirmu. Kolam pasir hitam.” “Apa maksudmu?!”
Samir ditemani 2 orang koleganya mulai mendekati Bertrand. 2 orang tersebut menahan Bertrand, Samir memegang karung yang telah menyelimuti kepala Bertrand tadi. Bertrand berontak, tapi dapat ditangani dengan mereka yang bertiga. Begitu karung itu menyelimuti kepalanya, napasnya sesak. Kemudian kembali hilang kesadaran.
Entah sudah berapa lama sejak itu. Bertrand benci terhadap ketidaktahuannya akan waktu. Berbeda dengan saat pertama kali ia terbangun dengan kondisi yang tak menyenangkan. Tak ada karung dan tali yang mengurangi fungsi organ tubuhnya kali ini. Ia terbaring di atas kasur tipis di sebuah ruangan kecil. Seorang pria berkacamata dengan kemeja putih dengan lambang sabit merah duduk di pojok ruangan itu. Red Crescent? Semacam organisasi kepalang merahan tersebut? Mengapa seorang anggota organisasi relawan ada di sini? Apakah Bertrand ada di tempat yang aman sekarang?
“Kau sudah bangun?” tanya pria itu. “Di mana aku?” “Desa Al-Amin.” Al-Amin? Desa terpercaya? “Bagaimana aku bisa ada di sini? Kau bukan salah satu dari mereka, bukan?” “Mereka?” ia benar-benar bingung. “G.E.O.”
“Tidak mungkin. Aku menemukanmu terkapar di jalanan dengan kondisi yang miris. Desa ini adalah tujuanku, makanya sekalian saja aku membawamu ke sini.” “Bagaimana caranya aku bisa ke pusat kota?” “Di Desa ini sedang tak ada kendaraan yang mangkal. Tak ada yang lewat sini pula. Kau boleh ikut kendaraan milik Red Crescent, tapi itu 5 hari lagi. Atau mungkin kau lebih suka jalan kaki ke sana.” “Berapa lama aku bisa mencapainya dengan berjalan kaki?” “7 hari mungkin. Itu pun kalau kau masih bertahan hidup selama itu.”
“Sialan. Mana mungkin aku ke sana dengan berjalan kaki.” Tapi pertama-tama perutnya menuntut hak-nya untuk diisi. “Kau pasti lapar.” Pria itu pengertian. “Ikutlah denganku.” Mereka mulai ke luar dari ruangan itu dan menuruni tangga. Begitu sampai di luar, terik matahari menghantam mereka berdua. Sontak Bertrand menyipitkan pandangannya. Tapi seberapa sipit pun matanya, ia tak bisa menyembunyikan fakta bahwa di depannya terdapat tenda Red Crescent, terkerumun orang-orang yang sedang memperebutkan sesuatu.
“Bergabunglah dengan mereka. Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Yahya.” “Senang bertemu denganmu Yahya, tapi mengapa aku harus bergabung dengan mereka?” “Kau lapar kan?” “Oh. Ya. Tentu saja. Jadi begitu ya. Baiklah.”
Bertrand paham. Posisinya sekarang tidak lebih baik dari mereka yang berebut makanan di sana. Tubuh mereka kurus-kurus kering. Pria, wanita, anak-anak, semua jenis manusia ada di kerumunan itu, seperti kolam pasir hitam yang dikatakan Soran. Tubuh mereka yang kurus kering memudahkan Bertrand menyingkirkan mereka. Nilai-nilai masyarakat hilang darinya saat naluri alamiah mengambil alih. Setelan rapi Bertrand menjadi pusat perhatian.
Tapi yang lebih menarik perhatian adalah perilakunya yang mirip hewan. “Menyingkirlah!” ia bahkan tak memerhatikan orang-orang yang ia enyahkan dari hadapannya. Didapatlah semangkuk mie yang tersaji di meja Red Crescent. Ia mencari tempat duduk untuk segera melahap mie itu. Seorang anak melemparkan tatapan dingin kepadanya.
“Apa hah? Kau tak ada bedanya denganku!” Bertrand menyebalkan saat sedang lapar. Berbeda dengan Bertrand, bocah itu mulai melahap mienya dengan satu orang bocah lainnya. Tampaknya ibunyalah yang memberikan semangkuk mie tersebut. Bertrand tidak begitu peduli walaupun itu terlihat jelas, tapi nafsu makannya mulai berkurang.
“Mie itu tidak terlalu enak. Tapi lahap juga kau.” Yahya menghampiri Bertrand. “Ada yang harus ku beritahukan. Pukul 5 sore nanti pergilah ke utara, menuju Masjid Al-Ikhlas.” “Memangnya kenapa?” “Air.” “Apa tak ada sumber air di dekat sini?” “Ada.” Yahya terdiam sejenak, “Tapi, apakah kau sudi minum air yang tercemar?” Bertrand hanya terdiam. Kemudian mengangguk menandakan bahwa ia mengerti. “Satu lagi. Air bersih yang nanti akan dibawakan oleh Red Crescent seharusnya tahan untuk 3 hari jika hanya dipakai olehmu.”
“Dan aku harus di sini selama 5 hari.” Kemudian mereka terdiam sejenak. Bertrand berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan dalam 5 hari di desa serba tidak berada ini. “Yahya, apa yang bisa dilakukan di sini untuk mengisi hariku yang kosong melompong?” “Entahlah. Jika kau suka menulis mungkin kau bisa mulai menulis jurnal tentang apa yang ada di sini.” Tapi Bertrand sama sekali tidak tertarik dengan tulis-menulis. “Ada hal lain?” “Mungkin menjamur di atas ranjang. Atau bagusnya, bantu saja kami.” “Kami?”
“Red Crescent selalu butuh tangan lebih. Tapi tak perlu buru-buru. Istirahatlah dulu. Jangan lupa pukul 5 di Masjid Al-Ikhlas.” Ia menambahkan. “Pakailah dulu arlojiku ini.” Ia menyerahkan arloji Rolexnya. Seleranya cukup bagus. “Aku pinjam ya.” Bertrand menerimanya. Sebelum memisahkan diri dari Yahya, ia teringat sesuatu. “Yang membawa air itu mobil, kan?” “Ya. Tapi mobil itu dibawa penduduk sini. Ia seorang relawan. Tapi ia punya urusannya sendiri.” Balas Yahya. “Hmm, begitu ya.”
Bertrand setuju untuk membantu Red Crescent. Tapi untuk sekarang ia kembali ke kamarnya yang tadi. Tidurlah dia. Sudah 2 jam setengah sejak ‘perjamuan’ tadi. Bertrand terbangun dan segera menengok arlojinya. 4.30. Sepasang kakinya dengan tangkas membawanya ke utara. Untung ia tidak buta arah. Sesampainya di sana sudah ada sebagian orang yang mendahuluinya. Tapi entah di mana air-air tersebut akan menepi.
Pukul 5 sudah sampai. Mobil itu terlambat 5 menit. Antreannya tidak begitu panjang dan lebih tertib. Bertrand membawa air untuk 3 hari hanya untuk dirinya sendiri. Sudah 3 hari sejak itu. Persediaan air milik Bertrand mungkin masih cukup untuk esok, air itu hanya ia gunakan untuk minum, baru sekali ia mandi dalam 3 hari ini. Tenaganya untuk Red Crescent juga termanfaatkan dengan baik. Tapi air bersih yang tinggal sedikit lagi merupakan masalah bagi Bertrand sendiri. Hingga seorang anak menghampiri kamar Bertrand.
“Tuan, maukah anda membagi sedikit air?” pinta anak itu dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya kering pecah-pecah. Mungkin tenggorokannya sekering Sahara. “Yang benar saja.” “Aku mohon tuan. Kami sangat kehausan. Segelas pun tak apa.” Air mata mulai menggenangi kantung mata anak itu.
Bertrand teringat ketika ia pulang dari masjid Al-Amin, ketika seorang wanita tua memohon dan menunduk kepada seorang pria yang nampak sehat demi segalon air yang ia bawa. Pria itu menendangnya hingga terkapar dan pergi mengabaikannya. Keesokan harinya Bertrand melihat nenek itu meminum racun dari sumber air yang tercemar. 10 Menit kemudian wanita tua itu tewas. Wajahnya terus menghantui Bertrand. Suara isak tangisnya terngiang di tengkorak Bertrand. Sudah tidak ada ruang lagi di tengkoraknya untuk wajah dan isak tangis selanjutnya.
“Bawa aku ke tempatmu.” Ia membawa air yang kira-kira kurang dari 1,5 liter. “Terima kasih tuan. Tolong ikuti aku.” Ia pun mulai mengikuti anak itu. Ia berlari-lari kecil. “Hei, pelanlah sedikit Nak.” Bertrand tak mau membuang energi. Jalannya lumayan jauh. “Siapa namamu Nak?” “Hasyim.” ia tak menambahkan kata-kata lain.
Sampailah mereka di sebuah gubuk kecil. Seorang wanita tua dengan anak perempuannya menanti. “Silahkan ambil seperlunya anda.” Bertrand menyerahkan galon itu kepada si wanita. Tangannya bergetar, kemudian ia mulai menuangkannya, tak lebih dari 2 gelas. Wanita itu bicara sesuatu yang tak dimengerti Bertrand dan menyerahkan airnya kepada 2 anaknya. Tapi wanita itu tidak menunjukkan ketertarikan kepada air yang diberikan Bertrand.
“Tidakkah kau membutuhkan sedikit untuk dirimu sendiri?” Bertrand terheran. Wanita itu kembali berbicara dengan bahasa yang tak dikenali Bertrand. “Barangkali tuan memerlukan air itu untuk beberapa hari ke depan.” Hasyim menerjemahkannya untuk Bertrand.
“Dalam beberapa hari ke depan mungkin kalian tak memiliki air bersih.” “Jangan khawatir. Tuhan menyertai kami. Penduduk blok barat berbeda dengan blok timur, kami menopang hidup satu sama lain.” Hasyim kembali menerjemahkan perkataan ibunya. Bertrand hanya terdiam dan tersenyum. Wanita itu memilih untuk tak mengambil setetes air pun dari Bertrand. Lantas Bertrand mengambil kembali apa yang menjadi haknya dan ke luar tanpa sepatah kata apa pun. Tak perlu berkata apa pun lagi.
2 hari lagi ia lewati dengan blusukan ke orang-orang sekitar blok barat. Air bersih miliknya habis saat hari keeempat. Tapi orang blok barat menopang hidup satu sama lain, walaupun tetap harus berebut makanan, karena hukum alam berlaku di mana pun. Saat warga blok barat berkumpul untuk sosialisasi, sebagai penerjemah Hasyim bilang blok timur berisi perompak, bahkan milisi yang ingin mengambil alih pemerintahan Somalia.
Mereka seenaknya mengambil stok pangan yang didaratkan oleh helikopter di desa tetangga karena memiliki persenjataan. Orang asing akan mendapati lubang di sekujur tubuhnya. Terlepas dari topik yang dibicarakan mereka, Bertrand merasakan kehangatan. Bertrand berhasil melewati 5 hari ‘terbaik’ dalam hidupnya. Syukur-syukur ia tak perlu merasakan tenggorokannya segersang Sahara atau perut yang menggedor-gedor minta dipenuhi haknya sebagai perut. Ia hanya merasakan setengah dari derita yang dirasakan warga desa Al-Amin.
Apakah ada yang lebih menderita dari mereka? Saat yang dinantinya pun tiba. Konvoi Red Crescent dari pusat kota sudah tiba. Yahya memastikan Bertrand mendapat tumpangan ke pusat kota. Setelah terlibat perbincangan yang cukup lama, Yahya mendatangi kamar Bertrand untuk mengabari kabar gembira. Dimulai dari 3 kali ketukan pintu. Terbukalah ia. Cemerlangnya wajah Bertrand menyambut.
“Selamat Sir Bertrand. Kau mendapat 1 tumpangan gratis kembali ke surga!” surga apa yang ia maksud? “Tak terasa juga. Tidak. Sangat terasa. Aku tak menyangka akan akrab dengan warga blok barat.” Haru Bertrand. “Kau pintar juga beradaptasi. Konvoi akan kembali ke pusat kota 1 jam lagi. Ucapkanlah beberapa patah kata perpisahan ke orang yang sudah menopang 5 harimu” “Tak perlu kau suruh.” Ia tepuk bahu Yahya. Lalu mulai menuju ke luar menuju rumah Hasyim. Ia berbincang-bincang cukup lama di sana, sampai ia tahu kalau Hasyim bercita-cita menjadi Presiden untuk menghapuskan, atau setidaknya mengurangi derita rakyat Somalia.
“Mengapa kau tidak ikut denganku ke Jerman? Kau butuh pendidikan tinggi untuk posisi itu!” “J-Jerman?” Hasyim kaget, ini terlalu mendadak baginya. Ia ingin. Kemudian mulai menengok ibunya, mengatakan sesuatu yang tidak Bertrand mengerti. Ibu Hasyim membelai rambut Hasyim, menitikkan air mata dan memeluknya, disusul adik perempuannya. “Sebentar lagi kita harus pergi. Bersiap-siaplah Hasyim.” Hasyim mulai membereskan barang-barangnya. Tapi ia tak membawa lebih dari 1 kantung plastik berisi pakaian. “Mari.” Setelah sekitar setengah jam berkeliling untuk pamitan, sudah waktunya Bertrand dan Hasyim angkat kaki dari sana. Saat itu pukul 3 Sore.
“Akhirnya kau akan pergi juga. Ngomong-ngomong, apa-apaan bocah itu?” Yahya sudah menunggu di dekat konvoi. Ia tak menduga kehadiran Hasyim. “Ia ikut denganku. Terima kasih untuk pertolongannya sampai saat ini!” Bertrand menjabat tangan Yahya erat-erat. “Selamat jalan sobat. Oh iya, ambil ini.” Yahya menyerahkan sebuah map cokelat yang ditali rapi. “Apa ini?” “Lihatlah nanti di dalam mobil. Kau pasti membutuhkannya.” Bertrand mengambilnya. “Kalau begitu sampai nanti.” Bertrand dan Hasyim mulai memasuki mobil jeep milik Red Crescent yang berada di paling depan konvoi tersebut. Kemudian mulai jalan, menjauhi Yahya dan desa Al-Amin.
“Selamat jalan!” teriak Yahya sambil melambaikan tangan.
Mulailah lagi perjalanan Bertrand dan mulailah perjalanan pertama Hasyim. Bertrand memperhatikan kiri kanannya. Di mana pun tampak sama. Penasaran dengan isi map itu, ia mulai membuka talinya dan menggali isinya, sampai akhirnya menyentuh sesuatu yang padat, tipis, dan dingin. Ponselnya. Sialan! Aku tahu dia… Sebelum selesai monolog itu, ia menjernihkan pikirannya. Ia pria baik-baik kok. Ada selembar surat di dalamnya. Isi surat itu hanyalah:
“Selamat! Semoga panjang umur dan makin baik ke depannya!” –Kau Tahu Siapa.
Hanya satu orang yang mungkin menuliskan surat itu: Soran. Bertrand merobek habis surat itu. Begitu sampai di pusat kota pukul 9 malam, ia menyewa sebuah kamar losmen. Perjalanan tadi melelahkan, ia juga harus memperbaiki kondisinya yang tak karuan sejak dari Desa Al-Amin. Esok siangnya ia menelepon koleganya untuk menjemput dirinya dan Hasyim di lokasi. Mereka sampai sekitar pukul 4 sore. Kemudia Bertrand segera mengambil penerbangan malam untuk segera kembali ke Müenchen.
Sampailah Bertrand dan Hasyim. Begitu ke luar dari bandara, sopirnya menyambut. Tapi bukan Helena. Perjalanan terasa hambar tanpanya. Begitu sampai di kediaman Bertrand, ia dan Hasyim mengambil istirahat selama beberapa hari. Bertrand mulai menyusun rencana apa saja dan aksinya yang akan dilakukannya untuk memenuhi tuntutan G.E.O dan hati kecilnya, sementara Hasyim bersiap-siap untuk mengemban pendidikan.
8 Hari berlalu sejak saat itu. Bertrand akan menghadiri rapat akbar untuk menyatakan terobosan apa saja yang akan dilakukannya untuk masa depan. Ia akan diantar sopir barunya menuju kantornya. Bukan Helena. Rapat itu berlangsung selama 3 jam. Tak perlu waktu lama hingga semua pemikiran Bertrand tercurahkan. Banyak yang kontra, tapi Bertrand mengatasi mereka semua. Kemudian ia ke luar dari ruang rapat dan bersiap untuk perjalanan hambar lainnya untuk kembali ke rumahnya. Sampailah ia di luar gedung kantor. Seseorang yang berbeda dari sopir sebelumnya menanti dia di pintu belakang sang limo. Samar-samar Bertrand memerhatikan. Helena. Mata Bertrand berkaca-kaca, ia bahagia.
“Ku kira kau sudah mati!” “Siapa bilang aku mati?” Helena menyeringai. “Bodoh amat. Kemarilah!” Bertrand memeluk Helena. Helena juga balas memeluk. “Sekarang kau main jadi pahlawan ya. From zero to hero.” “Salah Helena.” “Eh?” “From hero to superhero.” Tentu saja. Sebelumnya ia pengusaha dan aktivis sosial. Wajahnya makin cemerlang saja.
Ia menikahi Helena 1 tahun kemudian. 4 tahun berlalu sejak saat itu. Perusahaannya kini masih bekerja keras untuk mengembangkan energi alternatif yang ramah lingkungan dan terjangkau, bermitra dengan perusahaan lain. Bertrand membatasi eksploitasi di tanah Somalia dan negara-negara lainnya, ia janjikan saat energi alternatif yang dikembangkan perusahaannya sudah rampung maka negara-negara ini akan mendapat hak khusus dalam upaya mendapatkannya.
Ia juga gencar-gencarnya mengkampanyekan tentang konservasi alam, ikut serta dalam aksi pelestarian dan penyelamatan lingkungan. Ia juga donatur garda depan dalam penyelamatan bumi. Kegiatan pencemaran dan perusakan lingkungan berangsur-angsur berkurang. Nama G.E.O mulai jarang terpampang di Breaking News pukul 6 pagi. Di samping itu, ia juga membantu mendanai pembangunan negara-negara yang sedang kesusahan. Dimulai dari desa Al-Amin.
Cerpen Karangan: Reza Hamdani C