Aku pernah melihat orang itu. Tidak hanya satu kali. Bahkan berkali-kali. Tapi aku belum mengetahui siapa namanya. Aku hanya mengenal wajahnya saja. Melihat dia seperti melihat ayah. Wajahnya menumbuhkan kerinduanku pada sosok ayah. Sejak kecil aku memang belum mengetahui sosok ayah yang aku dambakan selama ini. Tapi biarlah. Biarlah hidupku tanpa kehadiran seorang ayah. Aku sudah bersyukur dengan keadaan sekarang. Hidup diselimuti kasih sayang seorang ibu.
Malam nanti dikenal oleh umat islam sedunia sebagai hari maulud nabi. Artinya hari kelahiran nabi besar umat islam. Nabi Muhammad SAW. Untuk merayakan maulud nabi, masjid di kampungku menggelar acara pengajian kecil-kecilan. Walaupun acara kecil, tapi jika kita mau menyerapi isi dari ceramahnya, kita pasti akan mendapatkan hasil yang besar. Seperti biasanya. Dalam acara pengajian itu, aku mendapat tugas sebagai seksi konsumsi. Alias anggota yang bertugas membagikan puluran untuk hadirin yang menyaksikan pengajian. Puluran sendiri mirip seperti nasi bungkus. Hanya saja biasanya dengan lauk yang khas.
Malam perayaan maulud yang ku nantikan tiba juga. Sekitar habis isya’, hadirin yang ingin menyaksikan acara pengajian berbondong-bondong datang ke masjid Baiturrohman. Satu persatu mereka yang datang aku berikan puluran dari sedekah para ibu-ibu. Mereka pasti senang dengan puluran tersebut. Paling tidak bisa untuk mengganjal kepenatan perut saat menyaksikan siraman rohani dari sang kyai.
Sekitar 300 orang sudah memenuhi serambi masjid Baiturrohman. Sepertinya mereka sudah tidak sabar lagi menyaksikan pengajian dari sang kyai yang sangat arif. Waktu berlalu dengan cepat. Pak Kyai sudah datang. Dengan berwibawa tapi juga tidak sombong, Pak Kyai mulai melantunkan sholawat terlebih dahulu sebelum masuk ke acara inti. Yaitu pencerahan dari sudut pandang islam. Atau istilah mudahnya ceramah.
“Sedekah itu sangat mulia. Sedekah bagai permata. Permata indah yang membinarkan cahaya. Dimana cahaya itu akan menjadi pelita saat gulita. Akan menjadi pelita ketika naungan sirna kelak di hari kiamat yang ketentuannya telah dipastikan Allah ta’ala. Tapi ada satu macam sedekah yang menjadikan seorang hamba begitu sangat mulia di sisi Allah ta’ala. Macam sedekah yang sedikit hamba yang mau melakukannya. Yaitu sedekah…”
Begitu sedikit lantunan ceramah yang aku dengar. Sambil mendengar cermah Pak Kyai, aku melihat ke arah puluran yang aku jaga bersama teman-teman yang bersedia membantuku. Aku ambil puluran tersebut dan ku berikan pada teman yang belum mendapatkannya. Termasuk juga aku. Sisanya aku buang ke tempat sampah. Sontak seorang teman membentakku.
“Kenapa kau buang puluran itu?” hardikku dengan geram. “Bukankah membuang makanan itu dosa? Bukankah itu menjadikannya mubazir?” “Iya, aku tahu. Tapi aku tidak membuangnya.” jawabku dengan santai dan sedikit senyuman.
Tapi nampaknya senyuman tipisku justru membuat teman-temanku semakin marah. Sebab, aku membuang sisa puluran yang tersisa lima bungkus ke tempat sampah. “Kau buang ke tempat sampah dan kau masih mau bilang kalau kau tidak membuangnya?” hardiknya bertambah geram. Seluruh wajahnya merah dan dipenuhi amarah. Satu lagi yang mau menghardikku. Bahkan juga melontarkan hinaan padaku.
“Kamu ini seorang ustadz. Tidak selayaknya kau membuang makanan. Apa itu contoh yang akan kau ajarkan pada santrimu? Apa moral bejat itu yang menjadi kebanggaanmu?” Cetus perkataannya menyisakan duri di hatiku.
Hatiku sedikit tercabik oleh kata-kata pahitnya. Tapi tak apalah. Aku coba tabahkan hatiku. Mereka memang belum mengerti maksudku. Tak ku sangka, kemarahan temanku tidak putus sampai itu saja. Salah seorang temanku melaporkan hal yang aku lakukan pada ketua takmir masjid. Ketua takmir masjid mendatangiku dan juga memarahi aku. Mungkin bagi kebanyakan orang tindakanku memang amat salah.
“Kenapa kau buang puluran itu?” Tanya ketua takmir. “Yang membuang tanganku, bukan mulutku. Jadi biarkan tanganku yang menjawabnya.” begitu aku jawab pertanyaan sang ketua takmir masjid. “Dasar ustadz bej*t.” begitu ia maki aku.
Siapa pun tak bisa berbohong kalau siapa pun yang dimaki seperti itu hatinya pasti akan merasakan sakit. Tapi aku diam dan masih bersama senyum tipisku. Meskipun senyumku berada di balik rasa sakit yang menderu. Sang takmir masjid benar-benar marah padaku. Ia acuhkan aku. Ia tinggalkan aku begitu saja. Begitu pula dengan teman-temanku. Tak satu pun dari mereka yang mau mendekat padaku setelah mereka melihat hal buruk yang tadi aku lakukan. Aku sedikit menunduk. Hatiku sakit sekali rasanya. Aku dihina, dicaci, dimaki, dihardik bahkan ku diacuhkan serta dijauhkan. Sakit di hatiku begitu menderu bagai disayat sembilu. Tapi rasa tabah selalu aku tambah di dalam jiwa. Agar semua yang ku lakukan mendatangkan berkah.
Keesokkan harinya, lelaki yang mengingatkan aku pada sesosok ayah berjalan mengelilingi jalan setapak. Setiap tempat sampah yang dia jumpai ia geledah apa yang ada di dalamnya. Jika ia temukan barang bekas yang masih laku dijual ia ambil. Ia pulung barang yang bisa untuk menyambung kehidupannya. Memulung memang terlihat pekerjaan yang menjijikkan. Tapi di mataku memulung adalah pekerjaan yang mulia. Memulung memang tidak menghasilkan uang yang melimpah. Tapi dengan sendirinya, memulung bisa membersihkan lingkungan dari sampah. Bukankah itu hal mulia? dengan memulung kita secara otomatis telah menyayangi makhluk Allah tercinta. Makhluk Allah tempat kehidupan itu hidup. Makhluk Allah yang disebut dengan alam.
Tempat sampah demi tempat sampah ia hampiri. Sampai akhirnya ia sampai di tempat sampah tempat aku membuang 5 puluran yang masih utuh dan bagus. 5 puluran yang sengaja aku pilih. 5 puluran yang berlauk awet. Paling tidak bisa bertahan sampai satu hari. Dari kejauhan aku lihat lelaki tua itu. Ia geledahi apa yang ada di tempat sampah itu. Aku tidak sabar melihat wajahnya ketika ia menemukan puluran yang aku buang. Ia terkejut dengan apa yang ia temukan. Ia temukan 5 puluran yang membuat bibirnya menguntai senyuman.
Ia bahagia bisa menemukan 5 puluran berlauk daging. 5 puluran yang telah aku pilih. Senyum bahagia nampak jelas aku lihat. Aku pun bahagia lelaki itu bisa menemukan puluran yang aku buang. Aku sangat bahagia. Bahagia yang bersambut dengan air mata. Aku bahagia bisa memberi. Aku bahagia menjadikan sesuatu yang tersisa menjadi sesuatu yang sangat bahagia. Aku tak bisa berhenti menangis karena rasa sangat bahagia di jiwa.
Aku memang belum mengetahui bagaimana wajah ayahku. Tapi melihat lelaki itu serasa melihat ayahku sendiri. “Selamat makan Ayah.. selamat makan.” Begitu gumam hatiku. Aku menganggap lelaki itu sebagai ayahku sendiri. Teman-temanku terharu melihat air mataku karena kebahagiaanku. Aku tak sadar kalau di belakangku telah berdiri teman-teman yang pernah memakiku. Salah satu temanku menghampiriku. Ia usap air mataku.
“Sedekah yang lebih mulia ialah apabila tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya.” begitu sahabatku berkata padaku.
Cerpen Karangan: Yudi Rahayu Pratama Facebook: Yudi Ahmad