Dalam pekat gelap dan gemerlap cahaya rembulan yang membaur di malam itu. Di masa ketika tubuhku yang mungil masih muat berendam dalam sebuah ember. Sembari mencoba memejamkan mata, tetap jelas terlihat cahaya kerlip bintang disapu cahaya rembulan yang cukup menjadi penerang. Purnama hampir mengalahkan lampu bohlam 5 watt kekuningan di ruang tamu. Jarak antaranya dengan kamarku hanya dibatasi sehelai sekat kain batik truntum.
Konon kain truntum itu peninggalan almarhum kakek, yang dibeli ketika pernikahan bapak dan emak dulu. Memang terawat cukup lama, namun waktu membuatnya sedikit terkoyak. Ada bagian yang menerobos atap rumah, sehingga aku bisa memandangi pemandangan indah. Kadang cipratan air hujan menghiasi lubang itu. Ember-ember yang berada di kamar mandi, tempat biasa aku membersihkan diri, migrasi ke kamarku. Bapak tak banyak bicara, dia membiarkan lubang itu menganga di sana, berdalih bahwa dunia ini sangat sempit.
“Lihatlah dari sebuah celah, lihatlah lebih jeli! Kau akan melihat luasnya semesta ini. Tunjuk satu bintang itu dan terbanglah ke sana!” Bualan bapakku ketika aku merengek kedingininan meratapi bocornya atap. Bapakku pelit, baju baru di hari raya kadang hanya sebuah mimpi bagiku, sepeser pun uang jajan tak pernah dia berikan untukku, jangankan memberiku mainan, sekedar beberapa genting baru untuk atap rumah pun dia tak bergeming.
—
Aku masih tak mengerti bapak yang pendiam, sekian menit ini menjadi sosok yang tak berhenti berkata. Aku hanya mendengarkannya sebagai angin lalu. Hembusan napas bapakku ketika berbicara meluncurkan semerbak baunya. Sesekali aku menutup hidung, telinga aku biarkan terbuka karena sudah kebal dari bentakan suara, masuk telinga kanan ke luar telinga kiri.
“Bapak, aku lapar!”
Aku sudah bosan dengan lauk yang hanya sejumput garam itu, monoton tak ada perubahan rasa. Ketika Mak Ijah masuk jamban umum kampung, aku mengambil beberapa gorengannya yang diletakkan sementara di pos ronda. Mak Ijah yang kurus keriput berdagang keliling kampung, di atas kepalanya menenteng satu tampah besar yang terbuat dari anyaman bambu. Orang sini menyebut tampah itu “nyiru”. Diatas nyiru itu terserak rupa-rupa gorengan tertutup daun pisang lusuh yang sudah dipanaskan di atas “hawu”, kompor yang dibentuk dari tanah liat berbahan bakar kayu dan reranting kering.
Bapak mengrenyitkan dahi dan mengayunkan beberapa buah lidi, yang dia cabut dari sapu pekarangan. “Plak, Plak, Plak!” Tanganku memerah dan lebam, perih menjalar di kulit dengan cepat. Gerak refleksku menciutkan posisi lengan yang kesakitan, menempelkannya erat ke dada, menutupi wajah dengan isak tangis air mata yang ke luar. Seketika aku berlari ke belakang rumah, menembus kebun singkong milik pak RT yang di tengahnya terdapat pohon pala. Di situlah tempat persembunyianku, tempat merenung sembari bergelayut di sepertiga ujung puncaknya. Aku memanjat di sana, sesenggukan. Aku benci Bapak! Bapak pelit! Bapak jahat!
Semilir angin sepoi mengeringkan air mata, aku terlelap di dahan pohon pala. Beberapa jam dalam buaian, hujan rintik kini membangunkan. Aku perlahan menuruni licinnya batang dan reranting pohon pala, hampir terjatuh. Lalu berlari menembus cipratan air yang menetesi dedaunan. Di depan rumah, bapak berkacak pinggang dengan sorotan mata menyala. Aku tertunduk masuk perlahan ke dalam rumah, takut. Sorot matanya lebih menakutkan dari kilatan halilintar.
—
Di pagi hari ini ternyata bapak masih terlelap, di bagian belakang bajunya yang lusuh masih tampak sedikit cipratan lumpur. Di dapur tampak kepulan asap, terlihat emak sedang memasak, harumnya tercium nikmat. “Belut dari pasar yak Mak?” Emak hanya tersenyum, menggelengkan kepala. “Belut ini hasil tangkapan Bapak semalam, khusus untukmu.”
Belut memang hidup alami di sekitar pesawahan, hanya beberapa meter dari rumah, namun kini sudah sedikit langka di kampung kami, penduduk terlalu ramai mengeksploitasinya. Dengan belut goreng, menu kali ini cukup mewah karena biasanya bapak hanya memberi makan kami nasi dan garam bersama beberapa lalap yang diambil dari pucuk daun singkong, kacang-kacangan, katuk, dan bayam yang tumbuh di sisi kanan rumah.
Di petakan tanah 2×4 meter itulah bapak menanamnya. Terkadang dari situ ada menu tambahan buah labu siam, sulurnya ikut merambat ke dinding rumah yang terbuat dari bilik anyaman bambu. Tak lama, hidangan emak sudah matang. Emak membawakan nasi dan lauk pauk itu dari dapur, menyusunnya dengan rapi di atas teras bambu depan rumah. Emak menyuruhku membangunkan bapak, tapi ternyata bapak sudah terbangun. Dia sedang mengganti bajunya dengan yang lebih baru. Baju itu masih tampak lusuh, tetapi tampil lebih bersih dan wangi dari yang sebelumnya.
Kami duduk di sekeliling hidangan, bapak mengangkat ke dua tangannya bersyukur mendoakan makanan yang tampak di hadapan kami, emak mengamini. “Selamat ulang tahun Riza, semoga menjadi anak yang saleh…” Emak mencium keningku namun bapak hanya menyantap hidangannya dengan khusyuk tanpa berkata sepatah kata pun seolah tak peduli.
Tak ku sangka pula, hari itu adalah satu minggu sebelum emak yang mencintaiku hanyut disapu banjir bandang ketika mencuci pakaian di kali. Kenangan tentang emak menjadi bagian gunung kesedihan karena beliau kini telah tiada. Tubuhku lunglai pilu, sungguh aku sangat merindukanmu emak. Kenapa tidak bapak saja yang hanyut! Pikiranku masih belum mampu menerima kenyataan menyakitkan ini.
—
“Aku ingin robot-robotan!”
Wayang-wayangan dari batang daun singkong terjerembab ke tanah. Kali ini aku marah, bapak tak pernah memberiku mainan sebagus teman-temanku. Di antara semuanya, mainanku selalu yang paling jelek. Bapak tidak pernah membelikan mainan dari toko, bahkan dari Mang Ajat tukang mainan keliling yang mangkal di sekolah setiap hari Jumat. Bapak menatap aku dengan tajam, diraihnya sapu lidi, dia acungnkan ke atas. Aku ketakutan, tapi kali ini kekesalanku sudah memuncak sehingga aku memberanikan diri memandang wajahnya yang tak memiliki ekspresi, datar. Semenjak kepergian emak, bapak memang selalu seperti itu.
“Jika kamu ingin robot-robotan, jadi ranking pertama dulu di kelasmu!”
Sapu lidi itu bapak lempar ke pojokan, serta merta dia mengendong aku di punggungnya. Lalu menaikan aku ke sepeda ontelnya dengan kayuhan cepat ke jalanan penuh turunan dan tanjakan yang berbatu. Dua puluh menit berlalu, setibanya di sekolah dia menurunkan tubuhku dan kembali mengayuh cepat, pergi bergegas meninggalkanku tanpa sepatah kata. Membiarkanku masuk ke kelas dengan binar mata menahan tangis berkaca-kaca.
—
Bapak tampak bergegas menuju sawah milik pak mandor. Sepuluh petak sawah mesti bapak urusi segera. Musim panen telah tiba, bapak biasanya mendapat jatah setengah dari hasil panen padi, kerja kerasnya selama 4 bulan mengurusi sawah. Hasil panen kali ini sepertinya cukup melimpah, tapi bapak masih saja pelit. Terbukti dari sarapan dengan menu yang tak berubah sejak dulu, bahkan dia hanya mengganti genting kamarku yang rusak dengan tambalan terbuat dari kantung plastik.
Padahal aku tahu hasil panen bapak selalu bertambah. Akhirnya sesuai janji, bapak membelikanku robot-robotan. Walau sebenarnya aku masih sedikit kecewa karena bapak membelikan mainan yang sudah ketinggalan zaman. Temanku memiliki robot-robotan yang bisa berjalan, menyala dan berbunyi sendiri. Sedangkan robot-robotan milikku hanya seonggok plastik yang tak dapat digerak-gerakkan.
Bapak memang pelit, padahal aku sudah menjadi yang terbaik di sekolah. Dia hanya berujar sembari mengajari aku membuat pola dan memotong papan bekas dengan gergaji, membentuknya seperti robot lainnya yang bisa digerakkan. “Jika kamu anggap mainannya jelek, coba saja kamu buat yang lebih bagus dari ini!”
Dia tahu, aku memang tak bisa membuat robot-robotan yang lebih bagus, bahkan yang setara pun dengan pemberiannya mungkin tak sanggup. Bapak memang selalu mengajariku menyelesaikan sesuatu. Terkadang dia begadang membaca buku pelajaran dalam remang hanya untuk mengajarkan pelajaran yang belum aku kuasai. Tapi dia tetap jahat, ketika aku malas mengerjakan PR, beberapa lidi telah siap menempel dengan kecepatan tinggi ke tangan dan kaki.
—
Tubuhku lemas, panas, dan sekujurnya seperti remuk. Lima hari aku terkulai di sini terkena penyakit tipus, lima hari pula setiap aku selesai memejamkan mata, di pandanganku bapak selalu berada di sana menjadi yang pertama terlihat. Dia bahkan tak segan menggendong tubuhku, seberat 61 kilogram ketika ingin ke jamban. Aku terbaring tak berdaya di dipan, bapak berada di sampingku menyuapi bubur dan telur rebus buatannya. Di usiaku yang remaja ini, bapak menjadi sebaik almarhum emak. Pun begitu masih sedikit jahat, karena selalu memaksaku menelan pahitnya obat dengan kasar, tanpa ampun.
—
Ini adalah hari yang bersejarah, aku tengah diwisuda. Tak tanggung-tanggung menjadi lulusan universitas ternama. Tapi bapak tak menghadiri prosesi bersejarah ini, tak seperti temanku yang lain yang ramai bersama keluarganya. Dalam momen ini aku hanya seorang diri walaupun menerima sepucuk ijazah dengan predikat “Suma Cum Laude” dan mewakili seluruh mahasiswa untuk memberi beberapa kata sambutan di podium. Riuh tepuk tangan mengakhiri pidatoku yang sempurna. Kebahagiaanku tak sempurna, karena bapak tak hadir bersama. Sudah belasan tahun berlalu. Bapak mungkin tak mencintaiku, tak bangga anaknya kini menjadi sarjana.
—
Seekor anjing cerdas buatan manusia berlari menuju sebuah pusara, anak-anak yang ikut orangtuanya berziarah di sana terpaut mengikuti gerakan anjing itu. Anjing itu adalah AIBO, hasil kecerdasan buatan dengan sensor canggih dan algoritma yang membuatnya seperti hidup. Robot itu ku miliki cuma-cuma karena merupakan bagian dari tim yang membuatnya. Menjadi salah satu lulusan Osaka University memudahkanku untuk bergabung bersama perusahaan besar di Jepang.
Aku tak menyangka bapak meninggal dunia. Padahal beberapa bulan yang lalu, aku dan bapak baru saja merenovasi rumah, bagian genting kamarku kami buat transparan. Di malam yang cerah dengan bintang dan purnama bapak menunjuk sebuah bintang, lalu mengarahkan telunjuknya ke dadaku. Tak ku sangka itulah senyuman terakhir bersamanya. “Lihatlah dari sebuah celah, lihatlah lebih jeli! Kau akan melihat luasnya semesta ini. Tunjuk satu bintang itu dan terbanglah ke sana!” Tentu itu hanya kiasan, kini aku mengerti bahwa akulah bintang itu.
Bapak adalah orang paling dermawan, karena mengumpulkan seluruh hartanya selama ini hanya untuk melihat kebanggaannya dapat menyelesaikan studi di tempat yang tinggi. Bayangkan seorang buruh tani mampu menerbangkan anaknya di universitas ternama, sampai melanglang ke luar negeri.
Bapak, lihatlah! Berkat dirimu aku berhasil membuat mainan yang lebih baik dari mainanku dulu. Mainan darimu yang masih terpajang dengan baik di lemari, tersimpan tinggi berjajar dengan puluhan tropi. Selama ini bapak ternyata mencintaiku tanpa cela, meski tak ku sadari, meski cinta itu tak terucap, tetapi nyata mendekap. Terima kasih bapak, teriring doa untukmu, semoga diampuni dari dosa, bahagia ditempatkan Allah di surga.
Cerpen Karangan: Yoga P. Wijaya Blog: http://www.yogapermanawijaya.wordpress.com Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen bertema ayah, berjudul “Pak Den dan Bu Wi” (2015) yang diterbitkan oleh penerbit Genom, Yogyakarta.