“Dasar bocah b*ngsat!!” Teriak pria bertubuh besar itu. Matanya yang sangat tajam dan terkesan sangar mampu membuat bulu romaku merinding ketika sekilas ditatapnya. Tak bisa ku bayangkan seperti apa kengerian yang saat ini dirasakan Fajar. Dari mukanya siapa pun tahu ia sedang tertekan. Fajar tetap berdiri di hadapan pria tempramen itu dengan wajah tegar yang dibuat-buat. “Dan kau!” Pria itu menuding-nuding mataku. “Jangan pernah datang kemari lagi!” Bentaknya.
Aku membalasnya dengan anggukan pelan. Aku ingin segera pergi, namun mendadak seluruh uratku mati rasa. Fajar dan aku terdiam menunduk di tempat sampai pria itu masuk kembali ke rumahnya. Barulah hatiku bisa bernapas lega. “Dia atasanku. Sepulang sekolah aku bekerja di tokonya,” Fajar menatap langit. Suaranya masih bergetar menahan tangis. “Kau anak rajin, masih banyak orang baik-baik yang mau menerimamu di tokonya!” Kataku. Fajar mengangkat jari telunjuknya ke mulut dengan ekspresi takut. “Jangan sembarang bicara di sini!” Kata Fajar sebelum masuk ke dalam toko perlengkapan olahraga itu.
Aku hanya terdiam memandang etalase toko itu. Berbagai bentuk piala dengan harga beragam dipajang di sana. Mengingatkanku pada final pertandingan sepak bola yang akan segera diadakan. Aku membayangkan timku memegang piala itu ditemani piagam dan sejumlah uang sebagai penghargaan. Namun sekarang tinggal angan-angan belaka. Cita-cita yang tidak bisa diraih meski sudah di dekat kepala. Misiku hari ini telah gagal total. Bahkan karena ulahku, Fajar hampir dipecat. Aku berjalan menuju tengah lapangan. Teman-temanku dengan masih menggunakan kaos olahraga menungguku di depan gawang.
“Apa kapten bersedia?” Tanya Ardi. Aku hanya menggeleng. Teman-temanku terdiam, menunjukkan kekecewaan mereka. “Kita sudah berjuang sejauh ini! Babak final sudah di depan mata, lawannya pun tangguh dan berkali-kali menjuarai pertandingan. Kalau kapten sampai tak hadir, tim kita akan..” Razak menghentikan ucapannya. Semua temannya mendengarkan dengan pasrah. Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara nyanyian burung di pinggir lapangan. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing.
Fajar sering sekali melamun menatap langit. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya terbang bersama awan. Orangtua Fajar terbelit hutang pada Parto, saudagar tengik yang tengah menguasai desaku. Sehingga Fajar harus bekerja pada salah satu toko milik Parto tanpa digaji sepeser pun. Fajar termasuk pandai di kelas. Belum ada siswa yang mampu mengalahkan strategi bermain caturnya. Namun sayang nasibnya malang. Dengan keadaan ekonomi keluarganya, Fajar tidak akan melanjutkan ke SMA. Dia sendiri pernah berkata begitu padaku. Dan sekarang sahabatku yang cerdas itu tengah dimanfaatkan oleh seorang saudagar picik yang lebih akrab dipanggil Parto.
Sebagai warga asli desaku, Parto pernah merasakan pahitnya hidup di perantauan. Menurutku tak akan pernah ada perusahaan yang sudi menerima karyawan dengan sikap semacam itu. Tapi dugaanku ternyata salah! Parto pulang dengan kehormatan sebagai seorang “Juragan”. Ke mana pun, ia selalu ditemani mobil mulus dan berkoper-koper uang. Dalam dua tahun, jalan menuju rumahnya sudah penuh deretan toko miliknya sendiri. Tanpa modal bantuan dari pihak luar. Mungkin hal inilah yang membuatku merasa ada yang ganjil dengan usahanya. Aku berjalan pulang dari lapangan. Awan kelabu perlahan-lahan menutupi langit. Di depan toko peralatan olahraga, langkahku terhenti.
“Pokoknya kalau sehari saja kau tidak bekerja, awas!!” Bentaknya sambil membanting sebuah piala dari etalase. “Ini penting! Acara sekolah! Kenapa aku tidak boleh cuti barang sehari?!” “Apa peduliku?! Aku bisa menyita rumahmu kapan pun ku mau. Camkan itu dalam otakmu, G*blok!” Darahku mendidih sampai kepala mendengarnya. Tanpa sadar ku dobrak pintu yang setengah terbuka itu dan sebuah kalimat terlontar begitu saja dari mulutku.
“Dasar saudagar k*parat!!!” Teriakku pada Parto. Saudagar itu tampak kaget dengan kehadiranku. Tapi ekspresi kaget dari wajah itu segera lenyap. Kemarahannya pun meledak-ledak seperti orang kesetanan. Saat itu juga, Parto langsung memecat Fajar di depanku. Aku kaget setengah mati mendengarnya. Fajar terlihat lebih terguncang. Menatap langit-langit toko dengan tatapan kosong. Aku merasa bersalah. Sejak saat itu Fajar tidak mau bicara lagi padaku.
“Untuk apa aku ikut pertandingan sialan itu? Untuk apa aku berjuang mati-matian demi sebuah piala yang diciptakan oleh tanganku sendiri?! Sudah setahun aku bekerja di toko perlengkapan ini dan baru kali ini ku temukan masalah. Kaulah penyebabnya!!” Katanya saat itu. Aku begitu syok sampai malu berhadapan dengannya. Aku sudah tak peduli pada tim, piala, hadiah uang atau semacamnya. Yang terpenting Fajar bisa memaafkanku.
Sore ini merupakan latihan terakhir sebelum bertanding besok. Cuacanya sedang buruk. Hujan deras disertai angin kencang. Teman-teman tetap nekat latihan meski sudah dilarang pelatih dan guru olahragaku. Aku tidak bisa fokus saat latihan. Berkali-kali aku terpeleset rerumputan licin dan tersandung batu di pinggir lapangan. Lebih parah lagi tiba-tiba kakiku terkilir saat mengejar bola. Aku meraung kesakitan hingga akhirnya teman-teman membawaku ke dokter. Kakiku tak begitu parah dan akan sembuh dalam dua atau tiga hari. Tapi yang pasti besok aku dilarang bertanding!
Pertandingan sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Aku duduk di kursi cadangan bersama pemain cadangan lainnya. Pelatih duduk di sampingku dengan raut muka tegang dan was-was. Saat ini kapten tim dipegang oleh Ardi. Aku tidak begitu memperhatikan jalannya pertandingan. Sosok seorang penonton menyita perhatianku. Penonton itu menatap lapangan dengan penuh perhatian. Ekspresinya tak jauh berbeda dari pelatihku, Pak Anwar.
Pertandingan pertama berakhir seri, 0-0. Teman-temanku sudah berjuang mati-matian. Tampak dari raut muka mereka yang memamerkan kelelahan luar biasa, berbeda jauh dengan keadaan lawan. Seolah-olah lawan masih sanggup bila harus bertanding terus hari ini tanpa henti. Teman-temanku duduk melingkar di pinggir lapangan mendengar arahan pelatih. Aku tidak bisa banyak membantu. Kalau boleh jujur, sebenarnya ini pertama kalinya aku duduk di bangku cadangan.
Aku, Ardi, Razak, dan Fajar adalah pemain andalan di tim ini. Aku dan Wisnu mengambilkan mereka sebotol air putih. Mungkin hanya hal ini yang bisa ku lakukan sekarang. Pertandingan babak kedua dimulai. Awal-awal pertandingan berjalan lancar. Strategi yang dibuat pelatih benar-benar ampuh. Tetapi keadaan ini tak bertahan lama. Razak, ditubruk dan dijatuhkan lawan. Lututnya cedera parah, tetapi tidak dianggap pelanggaran sebab wasit kebetulan tidak melihatnya. Razak langsung dibawa ke luar lapangan.
Dari garis wajahnya aku tahu. Pak Anwar, pelatih timku, tampak bimbang. Sesekali dia menatapku tanpa berkata sepatah kata pun. Aku tahu isi pikirannya. Seandainya kakiku tidak diperban seperti ini, ia pasti menyuruhku menggantikan posisi Razak. Seharusnya saat ini aku tengah berlari mengejar bola di lapangan hijau itu. Andai saja aku tidak terkilir. Andai saja Fajar ikut bertanding. Aku mulai berandai-andai tidak pasti. Sedangkan sosok penonton yang dari awal tadi ku perhatikan tiba-tiba hilang dari barisan. Wisnu berlari ke tengah lapangan menggantikan Razak.
Pertandingan pun dilanjutkan. Keadaan timku begitu terdesak hingga akhirnya lawan berhasil memasukkan bola ke gawang. Lawan unggul 1-0. Keadaan berangsur buruk. Lawan berkali-kali menyerang dan timku hampir kewalahan menghadapinya. “Panggil Wisnu kembali! Biar aku yang menggantikannya!” Aku tersentak kaget. Tiba-tiba Fajar tengah berdiri di belakangku dengan napas terengah-engah. Mendadak kami semua terdiam. Hanya terdengar suara riuh penonton menggema di setiap sudut lapangan. “Ya. Kalau itu maumu!” Kata Pak Anwar sambil tersenyum. Wisnu pun ke luar dari lapangan digantikan Fajar.
Ekspresi lawan agak kaget melihat kehadiran Fajar. Meski kini Fajar tidak memegang jabatan kapten, teman-teman tetap menyambutnya dengan suka cita dan penuh hormat. Entah mantra seperti apa yang dibawa Fajar. Kehadirannya di tengah lapangan mampu mengembalikkan semangat teman-temanku yang sedang bertanding. Kini kami membalik keadaan. Fajar menyeimbangkan skor menjadi satu sama. Tiga menit lagi pertandingan usai. Di menit-menit terakhir ini, Fajar masih mampu memamerkan kehebatannya. Ia memasukkan bola ke gawang lawan. Sehingga kini skor menjadi 1-2. Kami unggul. Lawan tidak bisa menyeimbangkan keadaan. Pihak lawan maupun pihak timku sama-sama sudah kehabisan tenaga. Kini tinggal menunggu waktu usai dan kami akan ke luar sebagai juara. Semua ini berkat pertolonganmu, Fajar.
—
Piala itu kini terpajang di lemari kaca kantor. Siapa pun yang lewat pasti bisa melihatnya. Dua minggu yang lalu Parto ditangkap karena pernah melakukan penggelapan uang. Semua lahan tokonya disita pemerintah. Kini warga desaku telah bebas dari cengkeraman saudagar itu. Begitu juga Fajar. Meski rumahnya juga ikut disita. Tetapi keadaan tak selamanya membaik. Beberapa hari setelahnya, Fajar pindah entah ke provinsi mana. Aku mencari-cari informasi tentangnya. Namun tak ada warga yang tahu. Yang pasti sekarang Fajar bukan teman sekelasku lagi. Aku tetap berharap. Suatu saat aku dan Fajar bertatap muka di sebuah stadion megah. Bukan sebagai penonton, melainkan sebagai pemain. Entah sebagai kawan maupun lawan. Dan aku tahu pasti, harapanku ini nantinya akan terkabul suatu hari nanti.
Cerpen Karangan: Arizqa Shafa Salsabila Facebook: Arizqa Shafa Salsabila