Laki-laki itu kini berusia 17 tahun. Ia dilahirkan dari pasangan Kolman dan Fatimah. Ia hidup dalam kesederhanaan bersama 2 kakak kandung dan 1 kakak ipar. Ia adalah seorang siswa di SMA N 1 Sedapat. Kini dia sudah kelas 12. Dalam hidupnya, kejujuran dan kebaktian pada orangtua adalah yang utama. Apa pun yang terjadi, ia lebih memilih mendapat sesuatu yang kurang baik asal jujur, daripada harus curang.
Suatu hari, sinar matahari mulai menembus genting kaca, ia menyibakkan sarungnya dan mulai melihat jam dinding yang terpasang di atas pintu. Jam yang ia lihat telah menunjukkan pukul 05.00 WIB. Ia melangkahkan kaki menuju sumber air, yang kira-kira sejauh 100 m dari kediamannya. Di pinggir sumber mata air nan asri tampak pria itu sedang bersuci. Seluruh tubuhnya merasa segar terkena air suci yang konon telah ada sejak desa tempat tinggalnya belum terbentuk. Ia melanjutkan langkahnya menuju gubuk kecil di pinggir desa, penduduk sekitar menyebutnya musala.
Kekhusyukan sangat terasa, bacaan indah menusuk kalbu terucap dari mulutnya. Tangannya menengadah dan terdengar ia berucap, “Ya Allah, Tuhan yang Maha Memberi, terima kasih atas apa yang telah Kau anugerahkan, bila saya boleh memohon saya ingin lulus SMA dengan ilmu yang bermanfaat serta dengan peringkat yang terbaik, supaya saya bisa menjadi GAMADA di tahun 2016 ini.” Tampak ada sebuah keraguan dan kesedihan di hatinya, mungkin karena ia sadar bahwa sebentar lagi berbagai ujian akan datang, tapi kenyataannya belum terlalu banyak materi yang ia kuasai.
Selesai dari surau itu, ditemani sandal lusuh yang sudah hampir 1 tahun ia gunakan, ia bergegas menuju rumah. “Assalamualaikum,” ucapnya sembari mendorong daun pintu di sebuah gubuk kecil. “Waalaikumsalam,” Sahut Fatimah. Fatimah kemudian menyodorkan piring berisi nasi yang baru matang dan menyuruhnya mengambil lauk di meja makan.
Setiap hari sambal dan tempe menjadi peneman nasi panas yang Ibunya berikan. Kesederhanaan itulah yang ia sukai, dia paham betul bahwa hidup mewah karena harta orangtua itu hanya akan merusak masa depannya. Ia lebih suka berjuang untuk meraih masa depannya sendiri daripada hanya menerima keringat orangtuanya. “Ibu, saya berangkat dulu, mohon doanya supaya saya bisa menjadi siswa yang cerdas,” ucapnya sambil menyium tangan ibunya. “Jadilah siswa yang cerdas dan berakhlak Nak karena hal itu akan sangat berguna,” jawab Fatimah. “Insya Allah, Bu. Anakmu ini adalah cerminan harapanmu, Bu.” jawabnya menenangkan hati Ibunya.
Sepeda ontel menjadi transportasi termewah baginya untuk sampai ke sekolahan. Pedal yang sudah goyang, menimbulkan bunyi setiap ia kayuh. Memang tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga dia tidak harus tergesa-gesa menuju sekolah. Sembari mengayuh pedal, ia melihat hamparan sawah dan pegunungan yang terbentang indah menghias di sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. Ribuan pujian pada sang pencipta menjadi hal yang memenuhi pikirannya.
Tak butuh waktu lama, pria itu kini sudah duduk di kelasnya. Dari sekian banyak siswa, ia kelihatan yang paling tegang. Tadi malam ia lembur mengerjakan tugas mengarang hingga membuatnya lupa bahwa hari ini ada ulangan bahasa Inggris, mungkin itulah alasan mengapa ia tegang. Dia termasuk orang yang lemah dalam pelajaran bahasa inggris, hari ini ulangannya listening, reading saja dia tak mampu apalagi listening.
“Nanti ulangannya listening, kelas sebelah kemarin sudah ulangan, ini aku kasih jawabannya.” Ucap teman sebangkunya sambil menyodorkan kertas. “Tidak, terima kasih.” Dia menolak kunci jawaban yang diberikan temannya, padahal dia tahu bahwa dia nanti tidak akan bisa mengerjakan ulangan karena tadi malam tidak belajar. “Sok banget sih kamu.” Ucap teman semejanya dengan nada mengejek.
Dia hanucap teman semejanya dengan nada mengejek. Dia hanya tersenyum sopan, dia tak menanggapi perkataan temannya. Kejujuran seakan sudah menjadi satu dengannya. Tibalah waktu pengumuman hasil ulangan, dari dua puluh siswa, ia adalah satu-satunya yang tidak lulus ulangan. Semua temannya meledeknya. Tapi, dia tidak kelihatan sedih ataupun malu, hal itu membuat guru bahasa Inggrisnya heran.
“Nak kamu remidi Loh. Kenapa tak terlihat sedikit kesedihan di wajahmu?” tanya pak guru penuh keheranan. Bagaimana tidak heran, siswa yang remidi itu pasti sedih dan malu, tapi mengapa dia malah bersikap tenang. “Iya, Pak. Saya remidi berarti saya belum menguasai materi Pak, hal itu terlihat dari hasil ulangan saya. Tapi bisakah Bapak meyakinkan saya bahwa teman saya yang tidak remidi sudah benar-benar paham?” seketika Pak Guru itu diam termenung. Sejak saat itu pak guru itu menyayangi dia, memberikan perhatian lebih padanya, dengan harapan dia bisa lulus UN dengan nilai bahasa inggris yang bagus.
Tanggal 6 April 2015, materi Ujian Nasional adalah Bahasa Inggris. Semua materi yang ia pelajari, baik secara mandiri maupun bersama Pak Guru, menjadi bekal ia menghadapi ujian. Selain itu, doa dari ibunya lah yang membuat ia sangat yakin bahwa ia akan diberi kemudahan. Seperti biasanya, teman-temannya tengok kanan tengok kiri saat mengerjakan. Tak terlintas di hatinya untuk ikut-ikutan, padahal terlihat 20 soal yang belum ia jawab. Ia hanya menalar-nalar jawaban, sambil terdengar ucapan bismillah dari mulutnya. 120 menit berlalu, ia meninggalkan ruangan dengar perasaan yang kurang meyakinkan.
“Bagaimana tadi ujiannya, Nak?” tanya pak guru. “Susah Pak, dua puluh soal hanya saya nalar.” “Tidak apa-apa, Nak. Apa pun hasilnya insya Allah akan amanah.” Ucap pak guru dengan tujuan menenangkannya.
UJIAN Nasional berakhir setelah selesai mata pelajaran Bahasa Inggris, ia hanya bisa berdoa semoga hasilnya memuaskan sehingga tahun ini ia bisa menjadi GAMADA. Beberapa minggu kemudian hasil Ujian Nasional diumumkan, syukurlah ia lulus. Namun malangnya, Ia mendapat nila bahasa Inggria yang kurang memuaskan, teman-temannya mendapat nilai 90, sedangkan ia hanya mendapat nila 75. Kesedihan sangat terpancar dari mukanya, ia tahu bahwa ia tidak akan lolos SNMPTN. Meskipun begitu, waktu pendaftaran SNMPTN ia tetap berpartisipasi, ia mengisikan pada pilihan pertama Pendidikan Dokter UGM.
Kesedihan terulang lagi, ia tidak lolos dalam SNMPTN, hal itu memaksanya untuk ikut SBMPTN. Ibunya dan Pak Guru memotivasinya, mereka yakin bahwa dia akan menjadi GAMADA di tahun 2016 ini. Pria itu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk SBMPTN, salat tahajud seakan-akan menjadi sebuah kewajiban baginya. Waktu pelaksanaan SBMPTN ia mengerjakan soal dengan penuh semangat. Ia berdoa supaya hasilnya nanti sesemangat dirinya saat mengerjakan. Tibalah waktu pengumuman SBMPTN, ia bergegas menuju warung ajaib yang menyediakan layanan internet.
“Pak, boleh minta bantuan?” ucapnya pada penjaga warnet. “Ada apa, Nak?” “Saya ingin membuka alamat ini Pak tapi saya tidak tahu caranya.” Bapak itu malah tersenyum aneh, mengisyaratkan suatu ejekan, mungkin bapak itu heran, mengapa di era moderen ini masih ada yang tidak bisa menggunakan komputer. “Sini Nak, biar saya lihat.” Ia memberikan secarik kertas yang berisikan alamat pengumuman hasil SBMPTN.
“Siapa nama lengkapmu, Nak.” “Arjuna Restu Dananjaya, Pak.” Bapak penjaga warnet itu menulis namanya dan mengetahui hasilnya. “Selamat ya, Nak” ucap bapak itu dengan penuh kekaguman, padahal semula sempat agak meremehkannya. “Apa saya lolos?” “Iya, kamu diterima di Fakultas Pendidikan Dokter UGM, Nak.”
Pria itu seketika bersujud syukur, apa yang ia harapkan bisa menjadi kenyataan. Langkahnya sangat mantap menuju gubuk kecil tempat tinggalnya. Sejuta kegembiraan menghias wajahnya. Sesampainya di rumah, ibunya telah menyambut di depan pintu. Tanpa bertanya ibunya langsung mengucapkan selamat padanya. Ibu itu tahu arti senyuman di mukanya meski belum dia bercerita sepatah kata pun. “Nak, ketika kau berani jujur, kau berikhtiar, dan berdoa, maka tidak ada satu halangan pun yang mampu menghancurkan niatmu. Mengapa kau tahu? Karena Tuhan berada di sisimu dan selalu memberkahimu.”
Cerpen Karangan: Totok Blog: totoknugrohosmanta.blogspot.com