Senyap menyelimuti kota kecil itu di pagi hari. Sesekali terdengar gonggongan anjing yang saling bersahutan. Seorang pemuda dengan cekatan berlari melintasi jalanan kota yang masih basah sisa hujan semalam. 35 menit berselang, sampailah ia ke tempat tujuannya, rumah tua dengan halaman yang tidak terurus. Pemuda itu menghela napas panjang. Peluh keringat membanjiri di sekitar dahi, pelipis, leher, dan tengkuknya.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu yang memang tidak terkunci. Ia sekarang berada di sebuah ruangan berbentuk kotak yang sepertinya merupakan ruang tamu rumah tua tersebut. Matanya menjelajahi setiap sudut ruang tamu hingga sampai ke suatu pintu di pojok kiri ruang tamu tersebut. Dilangkahkan kakinya menuju pintu tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya tertutup. Suara menderit terdengar ketika ia mendorong pintu. 4 pemuda yang duduk melingkar di ruangan itu seketika menoleh melihat dirinya.
“Kau terlambat lagi Sam.” ujar pemuda berambut pirang yang tampak paling tua. “Kau terlambat 3 kali dalam bulan ini, apa saja yang kau lakukan semalam Sam?” pemuda berkulit hitam yang duduk persis di depannya menimpali. “Maafkan aku.” pemuda yang ternyata bernama Sam tersebut menjawab pelan. “Duduklah Sam.” ujar si pirang.
Sam memilih duduk di sebelah kanan si kulit hitam. Di sebelah kanan Sam duduklah seorang bermuka bermuka baby face yang kelihatannya merupakan pemuda termuda di ruangan tersebut. Sekarang, di dalam ruangan tersebut terdapat 5 orang pemuda. Si pirang bernama Andy, ia adalah pemuda tertua dan merupakan pemimpin mereka usianya 17 tahun. Di sebelah kiri Andy ada si baby face, ia bernama Max ia berusia 14 tahun. Si kulit hitam bernama Paul ia terpaut setahun umurnya dengan Andy. Dan yang terakhir, yang duduk di sebelah kiri Paul, seorang pemuda bermuka tirus ia bernama Jack, usianya sama dengan Paul. Sam sendiri baru akan menginjak usia 15 tahun pada pekan depan.
“Oke lupakan soal tadi, sekarang kita fokus terhadap proyek kita.” Andy memulai pembicaraan. “Aku sudah menyelesaikan bagianku di timur kota Andy.” seru Max, suaranya cempreng, terlihat sesuai dengan wajahnya. “Kau sudah mengaturnya dengan baik, Max?” tanya Andy. “Tentu saja Andy, sesuai dengan ketentuan.” jawab Max. Senyumnya terlihat mengembang ketika mengucapkan kalimat yang terakhir. “Aku percaya padamu, bagaimana dengan yang lain?” Andy mengedarkan pandangannya ke arah 3 pemuda yang lain. “Aku punya sedikit masalah dengan orang-orang dewasa di selatan, tapi aku janji akan segera menyelesaikannya.” ungkap Paul. “Oke aku yakin kau dapat menanganinya.” Paul menanggapi.
“Aku sedang memasuki tahap akhir, tinggal sedikit lagi.” Jack memberikan laporannya. Ia bertugas di utara kota ini. Andy mengangguk pelan mendengar laporan dari Jack. “Sam, bagaimana denganmu?” Andy mengalihkan pandangannya ke arah Sam. “Yah, seperti yang kau tahu, aku sedang berusaha meyakinkan penduduk di sebelah barat kota tentang rencana mereka dan sampai saat ini tanggapan mereka positif, Andy.” “Oke, aku cukup senang dengan perkembangan proyek kita, tetapi kita tidak punya banyak waktu, kawan-kawan. Kita harus menyelesaikan proyek ini sebelum tenggang waktu yang kita tentukan habis, kalau tidak proyek-proyek lain akan semakin mundur waktunya.” Andy menjelaskan.
“Apakah kau yakin semua ini akan berjalan lancar Andy?” Max bertanya. “Aku yakin sekali, Max. Proyek ini sangat dibutuhkan oleh penduduk kota ini, mereka tidak akan mampu jika selamanya bergantung pada preman-preman itu.” jawab Andy. “Bukan itu, yang ku tanyakan adalah urusan dengan preman-preman tersebut, mereka tidak akan terima dengan proyek yang kita buat.” ujar Max. “Nah, itu adalah urusan kita. Kita harus terus melanjutkan proyek kita, apa pun yang terjadi. Aku yakin, penduduk kota pasti akan mendukung kita.” ujar Andy dengan bijak. Pernyataan terakhir Andy menjadi penutup pertemuan mereka berlima di rumah tua dengan halaman yang tidak terurus itu.
—
Sam melangkahkan kakinya dengan lunglai. Tadi adalah pertemuan kelima mereka bulan ini. 9 bulan berlalu sejak Andy mengumpulkan mereka dan membentuk sebuah kelompok. Mereka semua berasal dari kota ini, tetapi dengan latar sosial yang berbeda-beda. Andy sejak usia 12 tahun bekerja sebagai seorang kuli bangunan. Ia tinggal bersama para kuli bangunan lainnya di barat kota. Max sebelum bergabung dengan kelompok ini adalah seorang pencopet cilik yang biasa melakukan aksinya di tempat-tempat umum.
Kemudian Paul, ia hingga saat ini bekerja sebagai seorang kuli panggul di pasar kota yang terletak persis di jantung kota tersebut, ia bersedia membawakan hasil belanja para pembeli yang kebanyakan ibu-ibu ke rumah mereka. Ia tinggal sendirian di sebuah gubuk di selatan kota. Sedangkan Jack bekerja di pelabuhan kota yang terletak di utara kota. Ia dan Max biasanya ikut melaut mencari ikan dengan menumpang perahu seorang nelayan. Di rumah nelayan tersebut mereka berdua tinggal.
Sam? Ia bekerja apa saja alias serabutan. Ia bersedia membantu penduduk yang memang membutuhkan dirinya, seperti memperbaiki atap yang rusak ataupun membantu panen para penduduk di barat kota. Sam tinggal di rumah seorang nenek renta yang usianya hampir mencapai 80. Ia memanggilnya Nenek Paula. Ia juga yang setiap hari mengurus keperluan nenek itu. Nenek Paula memiliki 2 orang anak laki-laki yang bekerja di Ibukota, mereka pulang setahun sekali untuk menjenguk ibu mereka di kota kecil ini.
Sam adalah pemuda yang paling pintar di kelompok mereka. Itu adalah pendapat Andy. Andy memang tidak salah, Sam adalah pemegang nilai tertinggi ujian akhir sekolah dasar di kota kecil mereka. Rekor yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan oleh siapa pun. Jika ia mampu dan mau, ia bisa saja melanjutkan sekolahnya di kota tetangga. Tetapi, ia tidak mempunyai bekal apa pun. Akhirnya Sam memutuskan untuk tetap tinggal di kota kecil mereka dan bekerja.
Mereka berbeda latar sosial tetapi mempunyai sebuah persamaan. Mereka semua adalah yatim piatu. Mereka sempat tinggal bersama di panti asuhan di kota tersebut. Mereka juga sempat mengenyam pendidikan dasar di salah satu sekolah dasar. Tetapi situasi berubah setelah sepasang suami istri paruh baya bernama tuan dan nyonya Werner yang rumahnya menjadi panti asuhan, meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan mobil. Menurut Andy, itu bukanlah kecelakaan, tetapi sebuah konspirasi terhadap panti asuhan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa banyak dari preman-preman di kota tersebut tidak suka dengan panti asuhan itu. Mereka kesal karena anak-anak yang biasanya mereka suruh bekerja sebagai pencopet, pemulung ataupun pengemis dibawa ke panti asuhan tersebut dan disekolahkan dengan layak. Pemerintah dan aparat keamanan juga seakan tutup mata terhadap peristiwa tersebut. Pemerintah memang sudah lama mengincar tanah tempat panti asuhan tersebut untuk dijadikan gedung pemerintahan yang baru dan megah. Dan akhirnya dirancanglah sebuah skenario itu. Membuat seolah-olah kematian tuan dan nyonya Werner tersebut adalah murni sebuah kecelakaan.
Benar saja, sebulan setelah itu, pengadilan memberikan hak tanah kepada pemerintah, padahal pasangan paruh baya tersebut memiliki seorang putra yang masih remaja. Mau tidak mau seluruh anak-anak di panti asuhan tersebur terusir dari tempat mereka termasuk anak dari pasangan Werner. Sebagian anak-anak dipaksa ikut oleh preman-preman untuk bekerja termasuk Max. Sedangkan anak yang lebih tua memilih mencari pekerjaan sendiri seperti Andy, Paul, Jack, dan Sam. 2 bulan kemudian proyek pembangunan gedung pemerintahan baru dimulai. Tanpa memedulikan fakta bahwa masih ada orang yang berhak mewarisi tanah tersebut. Peristiwa itu terjadi 2 tahun yang lalu, ketika Sam baru saja lulus dari sekolah dasar.
Sebenarnya kota kecil yang mereka tinggali amatlah indah. Dalam bahasa setempat, kota kecil mereka berarti surga. Bagaimana tidak? kota kecil mereka mempunyai laut di utara dan sebuah danau di timur yang mempunyai satu spesies ikan yang tidak dapat dijumpai di daerah mana pun di dunia selain di kota kecil mereka. Ikan tersebut menjadi simbol bagi kota kecil mereka. Tapi sayang, akibat perburuan secara ilegal dan besar-besaran, ikan tersebut terancam punah. Kota kecil mereka juga menjadi salah satu pusat dari produksi bahan pangan pokok negara tersebut. Lahan pertanian di barat kota kecil tersebut kualitasnya merupakan yang terbaik di negara mereka.
Pertanyaannya, kenapa hingga saat ini masih banyak orang miskin dan pengangguran dan bahkan angka kriminalitas kota kecil mereka merupakan yang tertinggi di negara itu? Jawabannya adalah karena mulai dari pemimpin di tingkat pemerintahan kota hingga desa, seperti gelap mata terhadap uang dan kekuasaan. Mereka mengorbankan para penduduk demi kepentingan pribadi. Mereka lupa dengan penduduk yang harusnya mereka layani dengan baik. Dan pemerintahan yang korup itu sudah berlangsung selama belasan tahun. Penduduk sempat berharap dengan walikota baru yang dipilih 3 tahun lalu. Tapi nasibnya sama dengan pendahulunya, hanya sebagai boneka pemerintah.
Dan Andy berkata kepada mereka ketika pertama kali kelompok itu dibentuk, bahwa mereka harus menumpas habis penyakit yang menderita kota kecil mereka. Lupakan tentang usia mereka yang baru belasan, tetapi yang jauh lebih besar adalah tentang harapan kota kecil mereka. Jika dibiarkan seperti ini, bukan tidak mungkin suatu saat kota kecil mereka akan dicap sebagai sarang penjahat. Dan yang ditekankan Andy adalah perjuangan memulihkan kota mereka tidak akan diraih dengan mudah, mereka harus mengorbankan waktu, tenaga, keringat, darah bahkan nyawa mereka demi tujuan ini. Dan Andy selalu mengingatkan mereka tentang hal ini.
Akhirnya selesai juga proyek yang digarap Sam. Butuh 3 hari untuk kembali meyakinkan penduduk dan memulai proyek tersebut. Ia akan melaporkan hal ini kepada Andy pada pertemuan mereka hari ini. Setengah jam kemudian ia sudah sampai di depan rumah tua dengan halaman yang tidak terurus. Ia masuk ke rumah itu dan langsung menuju ruang tempat biasanya mereka berkumpul. Tetapi, ketika sudah masuk ke dalam ruangan tersebut, ia heran karena hanya ada Andy seorang di sana.
“Andy, aku sudah meyakinkan penduduk sekali lagi dan akhirnya proyek kita sudah mulai berjalan.” Sam membuka pembicaraan. Andy hanya tersenyum tipis mendengar kalimat tersebut. “Sam, ke mari.” Andy memanggilnya. “Ada apa, di mana kawan-kawan yang lain?” “Aku sengaja menyuruh mereka untuk tidak datang hari ini, aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Kemudian Andy mengambil sebuah kertas dari kantong celananya.
“Bacalah, Sam.” ujar Andy sambil menyerahkan surat tersebut. Sam mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya. Itu adalah surat tawaran beasiswa di Ibukota untuk Sam. “Maafkan aku, selama ini aku menyembunyikannya. 2 bulan setelah kau lulus dari sekolah dasar dan tepat sehari sebelum kita diusir dari panti asuhan, surat ini sampai di panti asuhan. Itu tawaran beasiswa dari pemerintah pusat Sam. Tahun ini adalah tahun terakhir sebelum tawaran tersebut kadaluarsa. Kau harus pergi.” Andy berkata.
“Aku.. aku tidak akan pergi Andy, aku ingin berjuang di sini bersama kalian. Aku ingin membantu untuk membuat kota ini menjadi lebih baik.” ujar Sam dengan suara bergetar. “Tidak Sam. Kau punya jalan yang lebih baik. Kau tidak akan bisa merubah kota ini jika kota ini masih dipimpin oleh orang seperti sekarang. Yang harus kau lakukan adalah belajar dengan tekun. Jadilah seorang hakim yang bijaksana. Dan jika tiba saatnya, kau pasti akan kembali ke kota ini. Merubah kota ini menjadi lebih baik.” jelas Andy, “Jika aku yang mempunyai kesempatan ini, aku pasti akan mengambilnya. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini. Ku mohon Sam pergilah.” Andy melanjutkan. Takdir membawa Sam pergi dari kota kecil tersebut.
—
30 tahun kemudian.. Andy benar. Ia harus mengorbankan sesuatu yang berharga untuk sebuah tujuan yang ingin dicapainya. Harga yang teramat mahal. Tapi itu sebanding dengan apa yang ia dapatkan. Sam harus rela melihat kedua orangtuanya meninggal dengan cara yang amat janggal. Ia harus mendengar satu per satu temannya pergi dengan cara yang tidak wajar. Paul harus rela meregang nyawa karena membantu seorang nenek yang dicopet oleh salah seorang preman. Jack hilang ketika sedang ikut melaut bersama para nelayan di utara kota. Andy dipenjara oleh aparat keamanan dan sejak saat itu tidak terdengar lagi kabarnya. Max? sebulan setelah Sam pergi, ia diculik oleh preman-preman kota.
25 tahun lamanya Sam meninggalkan kota kecil tersebut. Ketika kembali, ia bisa sedikit merasa lega. Usaha ia dan teman-temannya membuahkan hasil. Anak-anak muda kembali bersemangat menuntut ilmu. Kriminalitas kota itu menurun tajam. Proyek-proyek yang ia dan teman-temannya garap sukses besar. Sekolah gratis, penampungan air penduduk, pasar penduduk, semuanya masih berjalan. Tugasnya akan menjadi lebih mudah.
Sesuai janjinya, Sam belajar dengan tekun. Hasilnya, setelah menyelesaikan pendidikan wajibnya, ia berkuliah di luar negeri. Sam adalah lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di dunia. Jika ia mau, ia bisa saja menjadi seorang hakim agung di negaranya. Tapi ia sudah berjanji untuk kembali ke kota kecil tersebut. Ia menjadi hakim di pengadilan kota. Hakim yang adil yang tidak mempan disuap sepeser pun. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecerdasan dan keberanian Sam. Ia membantah semua alibi dengan bukti, ia melawan kesaksian lupa dengan logika. Ia telah melunasi janjinya pada Andy. Pada kota kecil tersebut.
“Baiklah, kita sambut walikota baru kita, seorang putra asli kota ini yang mempunyai cita-cita untuk membuat kota ini menjadi lebih baik. Seorang mantan hakim yang telah pensiun. Pada pemilihan kemarin, ia meraih suara mutlak untuk mengungguli walikota yang lama. Kita sambut yang terhormat walikota kita, Sam Werner.” seru sang moderator yang suaranya tenggelam di antara keriuhan penduduk kota di alun-alun kota kecil tersebut. Akhirnya Sam mengerti arti sebuah pengorbanan yang sesungguhnya.
—
Di sebuah tempat di negara tersebut.
“Dan itulah cerita kita sore ini, anak-anak.” seorang kakek berkata kepada kumpulan anak kecil di depannya. “Jadi, mantan presiden Sam Werner dulunya adalah seorang walikota kota kecil yang indah itu, kek?” Seorang anak bertanya. “Benar, ia juga mantan hakim yang sangat adil. Baru 2 tahun menjadi hakim, ia sudah diminta untuk menjadi walikota.” sang kakek menjelaskan. “Suatu saat aku ingin menjadi seperti dia, kek.” seorang anak berseru. “Aku juga, aku juga.” anak-anak yang lain menimpali.
“Kalian harus menjadi seperti dia, anak-anak. Jadilah pemimpin yang adil seperti Sam Werner.” sang kakek kembali berkata. “Baik, kek.” anak-anak tersebut menjawab serempak. “Hari sudah sore, sebaiknya kalian pulang ke rumah kalian. Ibu kalian pasti sudah menunggu. Bergegaslah anak-anak.” kakek tersebut menyudahi perbincangan sore itu. Anak-anak pun bergegas ke luar dari pondok kakek tersebut. Menyisakan sang kakek yang kembali sendiri. Angin berhembus kencang di halaman depan pondok kakek tersebut. Pondok Penginapan Kakek Max.
Cerpen Karangan: Mushlih Khalwani Facebook: Mushlih Khalwani