Ende, saat ini… Mendung yang menggantung sejak siang tadi kini mulai menghasilkan rintik. Dengan langkah pelan tapi pasti Tatiana menelusuri jalan setapak kecil yang membentang membelah taman kota kecil ini, seolah tidak merasa terganggu akan tetesan-tetesan bening yang jatuh dari langit. Ia malah menengadahkan wajahnya dan menikmati sensasi nyaman yang ditimbulkan saat rintik itu mengenai wajahnya. Ia tersenyum. Hujan di kota kecil ini membawa kembali kenangan yang pernah ada. Semua mimpi, harapan, dan cita. Semua menguar jadi satu. Di kota kecil ini ia lahir, ia tumbuh, ia belajar, dan akhirnya ia menghasilkan suatu karya. Penulis dari timur negeri. Semua orang memanggilnya seperti itu, dan ia suka. Penulis dari timur negeri. Tatiana.
Ende, 3 mei 1996… “Tatiana, kalau sudah besar mau jadi apa?” “Tatiana mau jadi astronot, biar bisa tinggal di bulan!”
Astronot, cita-cita pertama yang ia punya. Sebenarnya Tatiana tidak tahu pasti apa itu astronot. Yang ia tahu hanyalah astronot itu bisa pergi ke bulan. Bukan ke luar angkasa, tidak ke mars ataupun venus, hanya ke bulan. Tatiana percaya bahwa di bulan tinggal seorang dewi. Karena itulah bulan bisa bercahaya saat malam. Meskipun begitu, cita-cita untuk menjadi seorang astronot sudah merupakan cita-cita luar biasa yang bisa dipikirkan oleh seorang gadis kecil berumur 4 tahun.
“Kalau Ibu dulu mau jadi apa?” Tatiana balik bertanya pada ibunya yang sedang menanak nasi. “Kalau Ibu, dulunya mau jadi guru.” “Guru? Terus kenapa Ibu tidak mau jadi guru? Kenapa Ibu malah jadi Ibu?” tanya Tatiana lagi dengan polosnya. Ibunya tertawa mendengar pertanyaan polos yang ke luar dari mulut gadis kecilnya itu. Sambil tersenyum ibunya menjawab, “jadi Ibu itu bukan pilihan Tatiana. Bukan cita-cita. Ibu menjadi seorang Ibu karena Tatiana.”
“Jadi karena Tatiana Ibu tidak bisa jadi guru?” “Tidak sayang, Ibu tidak bisa menjadi guru karena memang Ibu tidak bisa, bukan karena Tatiana.” Tatiana mengangguk-angguk, berpura-pura paham dengan penjelasan ibunya. Padahal ia sama sekali tidak paham. Daripada pusing memikirkan perkataan ibunya, Tatiana berlari ke luar rumah, menuju halaman depan di mana ayahnya sedang memandikan ayam jagonya. Ayah Tatiana punya belasan ekor ayam jago, tapi yang menjadi kesukaannya adalah si jagur. Tatiana juga menyukai si jagur, karena kokokannya benar-benar keras, melebihi kokokan ayam jago mana pun.
“Ayah, cita-cita Ayah dulu apa?” tanya Tatiana begitu ia sampai di sebelah ayahnya yang sedang berjongkok memandikan si jagur. “Cita-cita Ayah? Kenapa?” “Tatiana cuma mau tahu. Cita-cita Ayah dulu apa?” “Cita-cita Ayah… Ayah mau menjadi seorang penulis.” “Penulis? Kenapa?” “Karena penulis itu hebat. Bisa menceritakan apa saja lewat tulisannya, bisa membagi kisahnya dengan orang lain, bisa merangkai kalimat yang indah. Dan pastinya seorang penulis bisa terkenal.”
“Lebih hebat mana? Penulis atau astronot?” “Kalau menurut ayah sih lebih hebat penulis.” “Tapi penulis kan tidak bisa pergi ke bulan, ayah.” “Dan seorang astronot tidak bisa pergi ke negeri peri.” “Memangnya penulis bisa pergi ke negeri peri?” “Bisa dong. Penulis bisa pergi ke mana saja yang ia mau lewat tulisannya.”
Saat itu Tatiana membayangkan jika saja ia bisa menjadi seorang penulis, maka ia bisa pergi ke dunia kurcaci, mengunjugi istana bawah air dan bahkan membuat si jagur jadi ayam jago raksasa. Dengan berbekal kekuatan imajinasi dan pikiran polosnya, saat itu juga Tatiana berganti cita-cita. Ia ingin menjadi seorang penulis.
Ende, saat ini… Pohon sukun itu masih di sana. Berdiri gagah di samping patung ir. Soekarno yang baru saja dipugar beberapa waktu lalu. Di bawah pohon itulah biasanya ia duduk untuk menghabiskan senja, untuk mencari inspirasi, bahkan ketika ia ada masalah. Di bawah pohon sukun yang juga menjadi tempat ir. Soekarno menemukan lima sila yang begitu penting untuk negaranya. Tatiana akhirnya memilih berteduh dari rintik hujan di bawah pohon sukun itu. Sekali lagi semua kenangan kembali muncul. Semua khayalan masa lalunya kembali membekas. Tatiana benar-benar mencintai kota ini. Mencintai semua bagian di dalamnya. Bahkan ketika ia harus merantau ke ibukota dulu, rasanya berat untuk meninggalkan kota penuh kenangan ini. Rasanya berat untuk pergi dari tanah kelahirannya walaupun hanya untuk sementara. Dan kini ia kembali, dengan sejuta rindu dan ratusan cerita. Ia kembali, ia pulang.
—
Ende, 7 oktober 2005 Lomba menulis yang ia ikuti pertama kali adalah saat ia duduk di kelas 2 smp. Lomba yang diadakan pihak sekolah dalam rangka menyambut bulan bahasa itu diikuti dengan antusias oleh seluruh siswa. Ternyata banyak siswa yang suka menulis, bukan hanya dirinya. Tatiana mengikuti lomba menulis cerpen. Sebelum lomba dimulai semua adegan cerita bermunculan di kepalanya. Ia optimis bisa menang dengan mudah. Tapi anehnya begitu ia memegang pensil dan menghadap lembaran kertas kosong, pikirannya pun tiba-tiba kosong.
Semua adegan yang sejak tadi bermain di kepalanya hilang, kosong bagaikan lembaran kertas di atas meja. Tatiana menghela napas frustasi. Bagaimana ini bisa terjadi? Tatiana akhirnya menuliskan apa pun yang masih tersisa dari pikirannya. Ia mencoba menuliskan cerita yang bisa memukau setiap orang yang membaca cerpennya nanti, tapi ternyata hal itu sama susahnya dengan mengerjakan soal fisika. Dalam sekejap rangkaian kata tak lagi bisa muncul di kepalanya. Ia seolah-olah kehilangan kemampuan menulisnya.
Ayolah Tatiana, kau pasti bisa menyelesaikan cerpen ini, batinnya untuk menyemangati diri sendiri. Dan ia memang bisa menyelesaikan cerpen itu, tapi tidak mendapat juara apa pun. Kesal, malu, putus asa. Tatiana berpikir bahwa ia benar-benar tidak cocok untuk menjadi seorang penulis. Bagaimana bisa ia bermimpi untuk menjadi seorang penulis hebat kalau hanya untuk mengarang sebuah cerita sederhana saja ia tidak mampu? Bagaimana mungkin ia bisa memukai orang dengan tulisannya kalau hanya untuk merangkai sebuah kalimat saja ia tak bisa? Tapi ada satu hal yang Tatiana tak pernah tahu. Seorang pemenang tak mungkin menjadi pemenang jika ia tak pernah gagal. Yang ia tahu saat itu adalah ia telah gagal.
Ende, saat ini… Sudah hampir pukul lima sore. Itu artinya hampir dua jam sudah Tatiana duduk termenung di bawah pohon sukun ini. Rintik mereda, dan mendung juga sudah tak lagi menggelayuti langit. Rasanya menenangkan bisa menghabiskan waktu seperti ini. Tidak melakukan apa-apa, hanya duduk melamun. Taman ini ternyata ramai pada sore hari. Banyak keluarga yang datang walaupun hanya untuk duduk bercerita. Taman kota kecil ini adalah saksi bisu dari semua kisah yang ada. Kota kecil dengan buaiannya sendiri, kota sejarah dengan masa lalunya sendiri, kota pelajar dengan cetakan penerus bangsanya.
Terlalu banyak hal luar biasa yang ada di sini. Mulai dari rumah tempat ir. Soekarno tinggal selama pengasingan hingga danau tiga warna yang sudah banyak mengundang rasa ingin tahu. Tanpa sadar Tatiana tersenyum. Bangga atas kota kecilnya ini. Bangga atas hal-hal luar biasa yang telah terjadi di kota ini, dan hal-hal luar biasa lainnya yang akan terjadi. Tatiana kembali memandang sekeliling. Melihat anak-anak kecil yang sedang berlarian keliling taman.
Melihat orang tua yang sedang duduk memperhatikan anak mereka. Melihat muda-mudi yang sedang berduaan. Tanpa sadar ia kembali tersenyum. Sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Senja yang ia tunggu sejak tadi, saat dimana langit berubah jingga ditambah dengan semburat keunguan. Sudah bertahun-tahun yang lalu sejak terakhir kali ini menikmati senja di kota ini, tapi senja kali ini sama indahnya. Matahari tetap menawarkan kemegahan, dan Tatiana menikmati saat-saat dimana ia mengiringi matahari untuk pergi ke belahan bumi yang lain.
Ende, 26 juli 2008 “Tatiana, kenapa kau tidak pernah mengirimkan karyamu ke penerbit? Siapa tahu mereka tertarik untuk menerbitkannya.” kata Meri, teman sekelas Tatiana waktu ia duduk di kelas 2 sma. “Penerbit? Penerbit mana yang mau menerima tulisan-tulisan saya?” “Tulisanmu kan bagus Tatiana. Pasti akan ada penerbit yang mau menerbitkannya.” “Sudahlah Meri, ini hanya hobi. Hanya untuk dinikmati pribadi, bukan untuk dipublikasikan.” “Om saya bekerja di percetakan nusa bangsa. Kalau kau mau, saya bisa memberikan karyamu padanya. Siapa tahu dia tertarik.” Tatiana terdiam mendengar kata-kata Meri.
Sebenarnya ia sangat ingin agar karyanya diterbitkan, tapi ia tidak punya cukup keberanian untuk itu. Tatiana masih takut gagal. Ia masih takut untuk mencoba. Tapi tawaran Meri menggodanya. Ada baiknya jika ia mencoba, mungkin ini adalah kesempatan pertama seumur hidup. Lagi pula jika ia gagal ia jadi bisa mengukur sejauh mana kemampuan menulisnya. Jadi dengan berbekal tekad ia memberikan naskahnya pada Meri untuk diteruskan pada Omnya yang bekerja di percetakan itu.
Tatiana menunggu dengan cemas. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan, dua bulan. Hingga akhirnya setelah hampir tiga bulan ia menunggu, kabar bahagia itu datang. Pihak percetakan tertarik untuk menerbitkan naskahnya. Dengan rasa tidak percaya, Tatiana datang ke percetakan nusa bangsa. Masih dengan rasa tidak percaya juga ia menandatangani kontrak kerja pertamanya. Oh tuhan, ia seorang penulis sekarang!
Ende, saat ini. Tatiana mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Di bawah naungan senja. Itu adalah judul novel pertamanya. Tatiana yang saat itu hanyalah seorang gadis remaja biasa masih tidak percaya kalau ia akhirnya bisa menerbitkan novelnya sendiri. Ia masih bisa mengingat dengan jelas raut wajah bangga orangtuanya saat ia memberitahukan kabar bahagia itu. Saat ia membawa cetakan pertama novelnya, ayahnya bahkan memeluknya hangat dan menangis haru. Ayahnya bangga padanya. Bangga pada gadis kecilnya.
“Tatiana, jangan hanya puas pada satu pencapaian. Kejarlah hal hebat lainnya. Teruslah menulis, teruslah berkarya.” kata-kata ayahnya saat itu benar-benar seperti suntikan tenaga yang membuatnya terus menjadi lebih baik dari sebelumnya. Senyum bangga orangtuanya menjadi motivasinya saat itu. Jangan hanya puas pada satu pencapaian. Jangan pernah puas pada diri sendiri. Dan saat itu juga Tatiana berjanji untuk tak penah berhenti hingga ia berhasil.
Seiring berjalannya waktu pembaca novelnya semakin bertambah, dan permintaan untuk novel selanjutnya juga semakin membajir. Akhirnya novel kedua, ketiga, dan novel-novel lainnya mulai menyusul. Tatiana menepati janjinya. Ia tidak hanya mempunyai satu novel, tapi belasan novel karangan sendiri. Ia akhirnya pindah ke jakarta untuk menunjang karir menulisnya. Dengan cepat namanya dikenal luas oleh orang banyak. Ia diminta untuk menjadi motivator dalam berbagai kegiatan. Ia memberikan pelatihan menulis untuk anak-anak kurang mampu. Ia mendirikan bengkel sastra, tempat untuk calon para penulis muda menuangkan ide dan tulisannya.
Siapa yang menyangka bahwa Tatiana, seorang gadis kecil dari NTT yang dulunya bercita-cita menjadi seorang astronot bisa menjadi seorang penulis terkenal seperti sekarang? Dengan nama pena ‘Tatiana ENT’, ia mengukir namanya dalam sejarah sastra indonesia sebagai penulis best seller termuda di indonesia. Tatiana ENT, singkatan dari kota kecilnya, Ende-NTT. Nama yang terlihat sederhana namun kuat mengakar dalam tubuhnya. Beberapa minggu yang lalu, surat kabar online kembali mengulas tentang dirinya. Artikel dengan judul ‘Tatiana ENT: Penulis Dari Timur Negeri’ menghiasi setiap surat online yang ada. Novel terbarunya yang berjudul lantunan senja kembali menjadi novel yang paling dicari.
Sekali lagi Tatiana tersenyum bangga. Kini ia tahu bahwa kegagalanlah yang membuatnya bisa menjadi seperti sekarang. Kini ia tahu jika dulu ia tak pernah mencoba maka ia tak akan bisa menjadi seperti sekarang ini. Dan kini ia tahu bahwa ia hanya butuh dorongan kecil sebagai penyemangat agar bisa menjadi seorang penulis. Tatiana mengambil pensil dan buku notes usang dari dalam tasnya. Otaknya sedang dipenuhi oleh berbagai macam inspirasi saat ini. Ia tersenyum dan mulai menggoreskan pensilnya di atas kertas. Ia mulai membuat sebuah kisah baru. Ia memulai sebuah tulisan baru. Penulis dari timur negeri.
Selesai
Cerpen karangan: Ria Ratoe Oedjoe Facebook: Ria Ratoe Oedjoe