Menjadi seorang vegetarian kadang membuatku repot. Ya, begitulah menjadi spesies unik di tengah mayoritas manusia yang menjadi omnivora. Entah aku menjadi salah satu orang yang ditugaskan menjadi penyeimbang dunia, atau hanya menjadi orang aneh yang ‘takut’ dengan daging. Aku tak mengerti. Hampir 23 tahun aku menjadi vegetarian. Bukan karena aku mengagumi Adolf Hitler, seorang pemimpin nazi yang agung itu, atau Robert Einstein yang super genius itu, bukan juga karena aku mengikuti Leonardo Da Vinci seorang pelukis legendaris itu. Aku pun bukan seorang biarawan yang diwajibkan menjadi vegetarian. Bahkan jauh sebelum akrab dengan buku, sehingga tahu jika orang-orang hebat seperti mereka adalah vegetarian, aku sudah menjadi vegetarian.
Tantangan menjadi vegetarian adalah saat makan bersama para sahabat. Ketika memilih tempat makan pun sudah membuat dilema, karena kebanyakan warung makan menyajikan menu andalan adalah daging, sedangkan dari sekumpulan omnivora ada seorang herbivora yang juga punya hak untuk berdemokrasi. Sebagai akhir yang sebenarnya tidak berakhir, selalu ditentukan dengan voting. Ya, aku selalu kalah. Dan sebagai seorang herbivora yang terkurung dalam presepsi ‘jinak’, aku pun menyetujuinya. Benar, seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Untuk para vegetarian yang masih pemula, akan tiba pada sebuah cobaan. Ya, melihat para sahabatnya melahap daging. Cobaannya adalah bagaimana ia bisa merubah mainset agar tetap hidup dengan etika manusia vegetarian dan merubah presepsi bahwa cobaan itu adalah bagian dari tanggung jawab pilihannya. Tapi, paradigma itu tak pernah ku temukan dalam tatanan pemikiranku, karena bagiku daging tetaplah menakutkan. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, mengapa manusia menyukai daging? Membunuh ayam, kambing, kerbau, sapi, ‘hanya’ untuk dimakan? Pertanyaanku memang terkesan lucu, mungkin karena aku bukan bagian dari kalian.
Banyak diskusi kecil yang sering aku buat untuk menjawab pertanyaan yang sedikit absurd, mulai dari jawaban “daging itu enak”, “hakikat hewan adalah untuk dimakan manusia,” atau “karena daging itu halal,” Ya, Semua jawaban mampu ku cerna, tapi yang aku lihat manusia omnivora memang menunjukkan eksistensinya dan kesempurnaannya dengan membunuh. Memang vegetarian juga membunuh tumbuhan. Tapi setiap kali aku membunuh, aku tidak melihat mimik wajahnya, matanya, gerak tubuhnya, dan tidak mendengar ratapannya. Berbeda dengan membunuh hewan. Melihat pun aku iba, benar-benar tidak tega. Ataukah aku terlalu perasa?
Jauh di dasar hati, aku memendam sebuah kontradiksi. Aku tahu jika agama membolehkan membunuh hewan yang halal. Akan tetapi, jika melihat proses membunuhnya membuatku sedikit berpikir, belum juga saat kebanyakan orang terkesan jijik dengan kandang ayam, kandang sapi, kambing, juga enggan terjebak macet di belakang truk ayam. Tapi akhirnya hewan-hewan itu mereka makan, dengan alasan, “Kan udah dicuci bersih,” Jujur saja, sebersih apa pun itu, aku masih ingat prosesnya dan selalu terbayang, “Ada darah dan kotoran di dalam tubuh hewan,” Sebenarnya logika seperti apa yang bisa membuatku paham? Atau karena ingatanku tercipta untuk selalu mengenang masa lalu?
Terkadang sahabat-sahabatku mengatakan, “Ah, kasihan ya, cuma bisa makan sayur,” Jujur saja, aku tak pernah mengerti arti kalimat itu. Jika itu sebuah simpati, aku tak keberatan. Jika itu sebuah empati pun sesungguhnya aku tetap tidak keberatan. Tapi, setiap kali melirik piring orang lain yang berisi sederet daging, aku melihat sorot mata kebanggaan. Lalu apa arti kalimat itu?
Tak jarang juga yang bicara, “Jadi vegatarian itu kan kurang gizi, protein, hingga kurang sehat,” Jika masalahnya adalah mengenai protein, bukankah sayur juga menyimpan protein nabati? Meskipun tak bisa aku pungkiri, bahwa daging menyimpan protein B12 yang tinggi, tapi itu tidak menjadi penghambat bagiku. Karena telur, susu atau bahkan di apotek pun banyak menyediakan vitamin B12, aku masih lebih memilih itu daripada membunuh. Berbagai penelitian pun menyatakan bahwa vegetarian memperkecil kemungkinan terkena kanker, obesitas, tekanan darah tinggi dan juga diabetes. Menjadi vegetarian juga membantu menekan pemanasan global, Karena produksi daging menghasilkan tambahan karbondioksida, metana, dan gas rumah kaca.
Aku sadar, hidup adalah sebuah pilihan. Bagiku menjadi vegetarian tak hanya menjadi pilihan, tapi juga jalan hidup. Menjadi omnivora pun adalah sebuah pilihan. Keduanya adalah pengisi keseimbangan di dunia. Dan apa pun pilihan itu, harusnya kita tahu bahwa hakikat makan adalah butuh, bukan nafsu. Jika kita terjebak dalam bingkai nafsu, semua yang ada tidak akan membuat kita cukup.
Cerpen Karangan: M. Ubayyu Rikza Blog: bayrikza.blogspot.com Facebook: Bayu (Muhammad Ubayyu Rikza)