Dunia ini adalah rangkaian benang takdir yang membentuk bola kehidupan. Di mana setiap benang mengikat manusia satu sama lain, memaparkan ribuan warna berbeda tiap helainya. Termasuk di dalamnya ada benangku dan benangmu. Benangmu, yang menjuntai indah, membentuk ikatan takdir dengan banyak orang, bak tunas kelapa yang tumbuh di penjuru pesisir. Begitu hebat, begitu berkilau, mampu mengarung jauh.
Benangku yang sedang ku usahakan untuk mengikat orang lain, memberi mereka pencerahan jalan. Tak seperti benangmu yang berkilauan, aku yakin suatu saat nanti benangku akan semenakjubkan benangmu. Aku masih berusaha mengasahnya, meskipun jalan kita sekarang berbeda, meskipun sekarang aku tak tahu apakah benang kita masih tersambung atau sudah terputus. Yang ku percaya, sejauh apa pun kau di sana, akan ada banyak cara Tuhan untuk mempertemukan, mendekatkan tali kehidupan kita.
—
Suara gesekan pensil, karet penghapus yang beradu di atas kertas buram, irama ketukan bolpen, wajah bingung anak-anak. Semua itu terangkum menjadi satu sejak ulangan matematika dimulai setengah jam yang lalu. Raut wajahku tidak ada bedanya dengan raut wajah mereka apalagi guru matematika kami memasang tampang killer di depan kelas. Jadi deh tidak ada yang berani menengok kanan-kiri. Pakai trik apa pun, pasti akan terbongkar dengan segera. Tidak ada yang berani berbuat curang sekarang. Mau pengawasnya se-killer apa pun, tak akan berdampak padaku.
Aku sudah berjanji tidak akan menyontek di ulangan apa pun. Janji yang dibuat tiga tahun lalu olehku karena dia -lelaki yang berada dua bangku di depanku, yang sedang serius mengerjakan soal integral. Aku tertawa dalam hati. Ku rasa janji itu adalah janji terbodoh seumur hidupku. Dia pintar, selalu juara kelas sementara aku… masuk lima belas besar adalah keajaiban. Hah, ku rasa saat menjanjikan hal itu aku sedang dalam keadaan terhipnotis, bukan terhipnotis oleh ketampanannya atau apa, tetapi oleh kata-katanya.
“Lebih baik kau percaya dengan kemampuanmu sendiri. Orang yang selalu bergantung pada orang lain tak akan pernah maju, apalagi bergantung pada kertas seperti itu. Orangtuamu pasti kecewa. Dan Allah sudah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang berbuat curang.” Tepat sehari sebelum Ujian Nasional SMP, hatiku tertohok. Kunci jawaban yang ku beli dengan uang jajanku segera ku bakar. Begitu aku pulang ke rumah, ku lihat wajah Ibu yang sedang menggoreng mendoan. Ku ceritakan tentang aku yang membeli kunci jawaban untuk ujian. Yah, meskipun akhirnya beliau menyemburku karena kunci itu aku beli dengan uang.
“Emang Ibu pernah ngajarin kamu buat lihat kunci kalau ujian? Kalau kamu ndak bisa, jawabannya cuma satu. Itu karena kamu kurang berusaha,” beliau terdiam beberapa saat lalu tersenyum lembut. “…Kurang berusaha itu tidak apa-apa. Yang penting kamu jangan lupa berdoa.” Dan sekarang pun sepertinya tidak jauh berbeda. Seolah-olah, neuron-neuron dalam otakku banyak yang terputus. Atau mereka jadi mengecil karena aku tidak memaksimalkan usahaku dalam belajar?
“Ah… Soal macam apa ini?” keluh Bilqis begitu Pak Wardono -guru matematikaku ke luar kelas. Aku tahu bagaimana frustasinya dirimu, Bilqis. Tadi aja aku cuma bisa ngerjain dua soal, sisanya aku tulis diketahui dan ditanya aja. Sebelum kelas benar-benar bubar, aku segera menghampiri Noval -lelaki yang ku ceritakan tadi, si pintar yang baik hatinya. “Val, boleh minta tolong?” tanyaku dengan senyum mengembang. Lelaki dengan tinggi 175 cm itu seakan bisa membaca pikiranku, dia hanya tersenyum simpul. “Iya, besok ya, Ok!” “Makasih,” aku mengangguk senang lalu kembali ke bangkuku.
Kebiasaanku sejak masuk SMA, setiap selesai ulangan, aku selalu minta jawabannya untuk ku pelajari di rumah. Aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Dan dia dengan berbaik hati memberikannya. Ups! Aku lupa cerita. Aku dan Noval sudah sekelas selama dua belas tahun. Kita berada di SD, SMP, dan SMA yang sama. Entah ini jodoh atau apa, meskipun setahun sekali kelasnya diacak, aku selalu satu kelas dengannya. Aku senang bisa mengenalnya. Dia… lelaki paling baik hati yang pernah ku kenal -setelah Bapakku pastinya.
“Nov, besok luang nggak? Ajari matematika dong!” itu suara Andi, mantan ketua eskul futsal yang digandrungi banyak cewek. “Insyaallah bisa. Pulang sekolah, ya!” Noval memberikan senyum simpulnya. “Oke!” Andi nyengir gaje lalu pulang bersama kawan-kawannya.
Bukan rahasia lagi kalau Noval suka ngajarin temen-temen yang kurang bisa. Apalagi Andi selalu booking Noval tiga kali seminggu. Entah belajar di sekolah, di rumahnya Andi, ataupun belajar di mall sambil wifi-an. Dan… yang paling bikin aku salut sama dia, ternyata Noval ngajar anak-anak secara sukarela di pelosok Semarang. Yang aku tidak tahu nama tempatnya apa. Aku tahu hal itu pun gara-gara dia keceplosan waktu ngobrol sama aku. Udah pinter, baik, anak rohis, dari kalangan elit lagi! Ya Allah.. terima kasih sudah mempertemukan hamba dengan orang sepertinya, yang mau mengajari hamba walaupun hamba selalu dapat nilai pas-pasan.
—
“Jadi, kalau kita udah paham rumusnya, tinggal masukin angkanya aja ke rumus.” Aku menggaruk kepalaku yang dibalut kerudung paris tipis. Andi yang duduk di sebelahku memasang wajah masam. Aduh… kemungkinan satu jam lagi aku juga lupa… Kenapa sih harus ada yang namanya matematika? “Aku ke kantin dulu, ya!” Andi bergegas berdiri, meregangkan otot-otot kekarnya. Padahal kita baru belajar tiga puluh menit tapi rasanya udah kayak semedi tujuh hari tujuh malam.
Aku meregangkan kakiku, melihat sekeliling. Lapangan sepi dan agak panas lalu perhatianku kembali pada Noval. “Ah… Kamu kok bisa pinter sih, Val? Nggak paham, nggak paham, kepalaku udah pusing!” keluhku sambil memegangi kepala yang sepertinya jika dia ngelanjutin ke soal berikutnya bisa tambah nyut-nyutan. Noval terkekeh geli. “Banyak orang sering ngeluh begitu. Tapi, Ok, nilai matematikamu lumayan kok!” “Lumayan gimana?! Selalu dapet jeblok gitu!” “Ada peningkatan maksudnya.”
“Kamu merhatiin nilaiku, Val?” tanyaku terperangah. Perasaan aku cuek-cuek aja sama nilai matematikaku. Kenapa dia tahu aku mengalami peningkatan? Dia tersenyum simpul bak ustadz-ustadz di televisi. “Dari SMP kan kamu sering minta aku ngajarin kamu. Jadi, aku tahu kamu ada peningkatan apa nggak.” Aku ber-oh ria. “Eh, Val, kamu kok mau sih ngajarin kita-kita?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Salah satu hal yang membuatku penasaran adalah alasannya mau ngajarin kita-kita yang nilainya selalu pas-pasan. “Padahal kan daripada buat ngajarin kita-kita yang nggak mudhengan ini, mending buat apa.. gitu.”
“Jadi, maksudmu kalau aku ngajarin kalian itu buang-buang waktu?” “Bu-Bukan gitu.. Kan jarang Val ada orang baik kayak kamu. Toh, nilai jelek kan udah urusan masing-masing individu. Kalau kamu mau, kamu bisa nyaranin kita buat les.” Noval tersenyum geli. “Ok, apa yang ada di pikiranmu kayak gitu?” “Iya. Soalnya kamu baik sih.. Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran orang baik. Nggak ada untungnya juga kan ngajarin kita?” “Secara materi sih nggak ada. Kalau untungnya pahala gimana?” “Tapi kan pahala bisa didapat bukan cuma dari ngajarin kita.”
Noval terkekeh geli. “Ok, ada yang pernah bilang gini ke aku, ‘Jika kamu tidak menyibukkan dirimu dalam kebaikan maka kamu akan disibukkan dengan keburukan’. Kita punya waktu 24 jam, Ok. Apa susahnya jika aku meluangkan waktu untuk mengajari kalian? Paling nggak ada dua jam kalian udah minta berhenti. Biasanya begitu, kan? Aku nggak suka buang-buang waktuku. Apalagi kalau cuma buat tidur, nonton TV. Kita udah gede, tidur lima jam itu cukup. Dan… jika kita membagikan ilmu kita, ilmu itu akan bertambah. Tahu kan ya tiga perkara yang akan dibawa ketika kita mati? Salah satunya ilmu yang bermanfaat. Makanya guru-guru itu, amalannya yang dibawa ke akhirat pasti banyak. Karena mereka sudah memberikan ilmu pada murid-murid mereka.”
Noval tersenyum lebar. Aku masih terpaku setelah mendengar penuturannya. “Kamu mau jadi guru, Val?” Noval mengangguk. “Tapi jadi guru apa, aku nggak tahu. Guru kan nggak harus yang ngajar kita di sekolah. Asal aku bisa membagikan ilmuku, hidupku pasti akan bernilai. Kalau kamu, Ok, mau lanjut ke mana?” “Eh?” aku mengerjap. Ah, aku sampai lupa masa depanku yang satu itu. Lanjut… ke mana, ya? Sepertinya sulit bagiku diterima jalur SNMPTN. Ah… belum mikirin. Apa jadi guru aja ya? “Kalau Noval mau lanjut ke mana?” alihku.
“Teknologi Pangan IPB.” “Wow!” seruku histeris. “IPB? Pasti diterima! Noval kan pinter!” “Aamiin.. Kalau kamu, Ok?” dia bertanya lagi dan kujawab dengan cengiran. “Nggak tahu,” jawabku spontan. “Kayaknya mau jadi guru.” Aku nyengir gaje. Begitu mendengar penuturannya, entah kenapa aku jadi terinspirasi. “Aamiin.. Semoga tercapai impiannya.”
Bersambung
Cerpen Karangan: Hikari Inka Facebook: facebook.com/atika.nurs