“Noval juga. Tapi kok teknologi pangan? Mau jadi dosen?” Dia terkekeh geli lagi. “Soalnya, aku benci sama negara ini yang nggak bisa manfaatin sumber dayanya.” “Nggak bo-leh ben-ci,” aku memainkan jari telunjukku ke kanan-kiri. Lalu kami berdua tertawa bersama. “Ini kok Andi lama banget sih?” seruku karena mantan kapten futsal itu tidak segera kembali ke sini, meninggalkan kami berdua -ya hanya berdua karena kanan kiri tidak ada orang.
“Dia lagi makan mungkin,” jawab Noval santai. Dia terlihat biasa saja dengan kelakuan Andi. Padahal jika seandainya aku tidak ada di sini, mungkin Noval sedang menunggu Andi sendirian. Dan dia masih akan memasang senyum ketika Andi kembali dari kantin. “Ceramahin lagi, Val!” seruku. Setiap kali aku bersamanya, entah kenapa aku merasa tenteram. Kata-kata yang ke luar dari mulutnya adalah kebaikan. Dan aku nyaman mendengarnya berbicara. Apa yang dia bicarakan bisa menge-charge rohaniku yang tertutup banyak noda hitam. “Ceramah apa?” tanyanya bingung. “Terserah. Mm.. Apa ya? Cara menyebarkan ilmu buat orang yang nggak terlalu pintar kayak aku. Kamu tahu sendiri kan…” sekali lagi aku nyengir gaje.
“Mm..” Dia berpikir sambil menyentuh dagunya. “Kamu bisa ngajarin tetanggamu,” dia menatapku, “Di sekitar rumahmu ada banyak anak-anak kecil, kan? Kamu bisa buka bimbingan belajar gratis. Kalau pelajaran anak SD pasti kamu bisa. Cuma butuh kesabaran ekstra buat menghadapi tingkah mereka. Bisa buka BTQ juga.” “Mm.. Bisa sih. Tapi… aku malu kalau tiba-tiba buka les gratis kayak gitu.. Gimana kalau nggak ada peminatnya? Terus jadi malu-maluin orangtuaku. Bimbingan gratisnya nggak laku. Gurunya nggak pinter. Aaaah…” rengekku membayangkan yang tidak-tidak.
“Kenapa harus malu? Kamu mau berbuat baik, kan? Insyaallah kalau niatmu baik, karena Allah, Allah akan melancarkan jalannya. Mau pinter atau nggak, kamu lebih paham dari mereka. Kamu kan udah lulus SD.” Dia menatapku, mencoba meyakinkanku dengan tatapannya yang tangguh. Namun aku masih ragu. “Ok, takut itu diciptakan oleh lingkungan dan prasangka buruk kita. Jangan takut kalau itu memang benar. Kalau nggak, kamu diskusiin dulu aja sama orangtuamu. Ridho Allah kan menyertai ridho orangtua.” Aku mengangguk.
Sepertinya aku memang harus berkonsultasi pada orangtuaku. Apa mereka mengizinkan ya? Aku kan juga mau ujian. Tapi bukankah kalau kita selalu berbuat baik, Allah akan membukakan jalan bagi kita? “Iya,” aku tersenyum riang. “Aku bilang ke orangtuaku dulu.” Dia ikut tersenyum. “Dan satu lagi, Ok, nggak ada yang namanya sia-sia ketika kita berbuat baik. Meskipun kita ngajarin teman kita dan dia yang diterima di PTN, nggak ada yang namanya sia-sia. Dunia ini adalah rentetan sebab akibat. Allah sudah mengatur segalanya. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha sebaik mungkin dan percaya pemberian Allah itu yang terbaik untuk kita. Kamu tahu, hasil tak akan pernah mengkhianati usaha.”
Sekali lagi. Aku takjub dengan kata-katanya. Aku takjub yang melihatnya menggebu-gebu mengucapkan hal itu seolah dia sedang mempertahankan sesuatu yang penting baginya. Dia terlihat… keren. Menyedot seluruh perhatianku. Anak-anak ekskul voli yang sedang main di lapangan pun kalah bersinar dari sinar yang dipancarkannya. Semua yang ada pada dirinya berkilau saat itu juga. Kecuali kalau tiba-tiba ada bola voli yang mengenai kepalanya.
“Kalau kamu ingin terus meningkatkan kebaikanmu, carilah rival,” katanya kemudian. “Eh? Rival? Musuh maksudnya?” tanyaku tak mengerti. “Bukan..” dia terkekeh geli. “Rival. Orang yang kamu rasa lebih hebat dari kamu dan kamu termotivasi untuk mengalahkannya.” “Kamu punya rival?” tanyaku penasaran. Dia mengangguk.
“Ada. Kakakku. Kakakku itu kerennya bukan main. Kakakku itu pintar. Selalu dapat IP cumlaude. Dalam organisasi pun beliau jadi orang penting. Beliau juga udah ngisi kajian di mana-mana. Beliau orang yang terlalu baik menurutku. Beliau bisa mengendalikan emosinya. Kadang tegas, kadang pula lemah lembut. Bisa diajak bercanda…” “Kamu juga bisa kok jadi kayak dia!” seruku tiba-tiba. Entah kenapa perasaanku ini membuncah. Noval tidak seperti dirinya sendiri. Seolah dari apa yang dia bicarakan, aku merasa dia menganggap dirinya semut dan kakaknya adalah elang. “Mungkin bukan sekarang kamu bisa jadi kayak dia. Tetapi suatu hari nanti, aku yakin kamu bakal lebih baik dari Kakakmu. Kalian hanya beda tahun. Kamu pasti bisa!”
Tawa Noval pecah. Dia tertawa terbahak-bahak. Aku langsung membuang muka, malu. Apa tadi aku salah ngomong? Aduh… aku kan nggak biasa menasihati. “Kamu… kayak di anime-anime,” katanya di sela-sela tawa. “Hah? Apa? Anime?” tanyaku yang masih dihantui rasa malu. “Kebanyakan nonton anime!” Aku menggembungkan pipi. “Lah gimana lagi, Abdul ngasih anime mulu sih!” Dia menghembuskan napas panjang, menghentikan tertawanya. “Makasih, ya!”
Aku terpaku di tempat. Ini bukan adegan di komik-komik. Tapi.. jika ini adegan komik, pasti ada banyak bunga-bunga di sekitarku sekarang dan wajahku pasti akan jadi kayak kepiting rebus. “Ya, sama-sama,” aku mencoba bersikap biasa saja. “Kalau gitu.. aku punya rival sekarang. Naufal Hasanudin adalah rivalku! Aku juga mau jadi guru. Aku bakal terus menyebarkan ilmu karena aku nggak mau kalah sama kamu.”
“Kok nggak mau kalah sama aku? Harusnya aku berbuat baik karena Allah. Untuk mendapat ridho Allah. Dan dengan menjadi guru, aku bisa berdakwah di jalan Allah.” “Oh, gitu ya?” tanyaku polos. “Iya!” “Sorry lama,” Andi tiba-tiba balik sambil membawa dua bungkus mendoan mayo. “Nih buat kalian. Tadi aku diajakin makan Chelsea. Sorry ya!” Si Andi nyengir kuda lagi. Ah, kalau masalah Chelsea -pacarnya, Andi apa bisa nolak? “Lanjut besok lagi aja ya, Nov? Chelsea ngajakin pulang bareng.”
“Ok!” Noval tersenyum kalem. “Kalau tahu gitu bilang dong dari tadi!” seruku kesal. “Kasih mendoannya baru kamu makan sama Chelsea!” “Sorry, sorry…” serunya tanpa rasa bersalah. Dasar! Kalau sama aku pasti dia akan memasang wajah jahil. “Tapi kamu seneng kan, Ok bisa berduaan sama Noval? Kanan-kiri nggak ada orang lagi!” Aku terdiam mendengar ucapannya barusan. “Duluan ya, Val! Makasih buat hari ini,” lelaki eksotis itu menjabat tangan Noval lalu melengos begitu saja melewatiku. Menyebalkan! Dasar!
“Ok, duluan ya?” Noval tiba-tiba sudah memasukkan bukunya ke dalam tas dan bersiap untuk pergi. Aku mengangguk kikuk. Dia pergi. Berlalu. Melewatiku. Aku hanya bisa menatap punggungnya. Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan, kita akan berpisah. Berjalan di jalan masing-masing. Dengan efisiensi bertemu yang sangat jarang. Aku, kamu, dan jarak akan menjadi keseharian kita, dihitung dari sekarang.
—
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa masa-masa SMA sudah di ujung tanduk. Banyak yang terjadi di sini dan semua sudah terlewati bak laju angin. Aku dan Bilqis sedang berjalan menuju parkir karena Ibu Bilqis sudah menunggu di sana. Dan Ibuku pasti sudah ke luar aula dan menerima raporku. Hah… mungkin ini yang dinamakan raga di sini tetapi hati di tempat lain. Benar-benar perbedaan yang sangat jauh. Noval dipanggil oleh wali kelasku untuk menerima penghargaan sebagai peraih NEM tertinggi di sekolah. Sementara aku…
“Ok, sebelum kita berpisah, aku mau tanya sesuatu,” Bilqis menampakkan wajah serius, membuatku menautkan alis. “Tanya apa?” aku terkekeh. Tidak biasanya Bilqis berwajah serius kayak gini. “Kamu suka ya sama Noval?” bisiknya. “Ha? Nggaklah!” jawabku spontan. Suka Noval? Karena kami sering bersama? Kita kan teman sejak kecil! Kalau kagum, pasti ada. “Emang kenapa?” tanyaku penasaran. “Kalian kan teman dari kecil. Kalian juga nggak pernah punya pacar. Mungkin kalian saling menunggu satu sama lain.” “Haaaa?” seruku shock. Bilqis, aku tak menyangka pikiranmu seperti itu. Apa kami terlihat seperti itu?
Kerudung parisku berkibar. Aku memegangnya agar tak menampakkan rambut. Itu Ibuku di sana, sedang berbincang dengan Ibunya Noval dan juga ada Noval. Bilqis melangkah duluan ke parkiran karena Ibunya sudah menunggu di sana. Aku menghampiri mereka. Dari raut wajah Ibu aku sudah tahu apa yang mereka perbincangkan. Noval yang hebat, akan melanjutkan ke mana Noval, dan kata-kata pujian bahwa Noval pasti akan diterima di universitas itu.
Aku memberikan senyum manis pada Ibu Noval lalu mencium tangan beliau. Tangan putih yang mulai keriput -mirip Ibuku. Kami berbincang mengenai universitas apa yang ku ambil. Aku memilih menjadi seorang guru matematika -pelajaran yang paling ku benci seumur hidup. Tetapi karena matematika adalah dasar dari sains, aku memilihnya. Akan ku cerdaskan otak anak-anak Indonesia. Kami melangkah bersama menuju parkiran lalu saling jabat tangan, mengucap salam perpisahan karena mobil dan motor diparkir secara terpisah.
Dia… selain keren dan baik, dia bisa menyetir mobil sejak kelas 9 SMP. Salah satu hal yang membuatku terkagum. Beda sih, ya? Aku hanya gadis sederhana yang ke mana-mana naik motor. Sedang dia? Kadang motor, kadang mobil, sepeda pun juga pernah. Kita saling melambaikan tangan, berpisah. Apa yang terjadi jika aku dan dia berpisah sementara kita selalu bertemu selama dua belas tahun? Aku tak tahu bagaimana masa depanku. Namun aku percaya, kita memiliki benang yang saling mengikat satu sama lain dan aku juga percaya bahwa takdir pasti berpihak kepada kita asalkan kita menjadikan Allah satu-satunya tempat berharap. Selamat tinggal, rival.. See you again..
—
Tak terasa sudah setahun sejak hari itu, hari kelulusan di mana sebuah perasaan yang tak ku mengerti telah tertinggal. Aku -Oktavia Sarah mengembangkan senyum begitu kertas bertabel itu sudah ku tempel di mading kos. Kertas ini adalah amalan harian penghuni kos. Kita berlomba-lomba, mulai dari tilawah terbanyak, terajin salat jamaah, tahajud, dhuha, dan lain sebagainya. Mereka yang kos di sini adalah rivalku. Dan aku tidak mau sampai kalah. Bulan lalu, aku masih kalah tilawahnya dengan Mbak Umi. Bulan ini, aku nggak mau kalah. Tetapi meskipun sudah berusaha, entah kenapa kakak-kakak tingkat memiliki amalan yang lebih wow dibanding aku. Yosh! Bisa! Selalu berusaha untuk lebih, lebih, dan lebih baik lagi.
Hei, kau rivalku yang ada di sana, rival nomor satuku, kau tahu, aku sudah berubah. Aku tidak lagi memakai kerudung paris tipis. Kerudungku sudah bertransformasi menjadi lebar. Seluruh celana jeans-ku sudah ku jual, berganti menjadi rok warna-warni. Aku sekarang tahu, tak seharusnya dulu kita bisa sedekat itu -tanpa pembatas, tertawa bersama seenaknya, saling memandang tanpa peduli sekitar. Yang pasti, aku tak akan seperti dulu lagi. Aku akan menjaga izzah-ku, baik denganmu maupun dengan lelaki lain. Bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa. Manusia yang ber-hijrah dan sedang memperbaiki diri. Hei, kau rivalku, bimbingan belajar yang kau sarankan cukup sukses. Aku bahkan merekrut sukarelawan untuk menggantikanku selama aku kuliah dan aku akan kembali mengajar ketika liburan semester.
Hei kau yang berada di sana, setelah kita bertemu nanti kau harus bercerita banyak. Tentang kebaikan apa saja yang telah kau lakukan, pengalaman menakjubkanmu, apakah kau sudah bisa mencapai kakakmu? Kau harus cerita semuanya. Dan… kita tidak akan bercerita berhadap-hadapan seperti dulu. Kita akan membuat jarak untuk menjaga izzah kita masing-masing. Aku tak akan pernah lupa segala ucapanmu. Terima kasih atas dua belas tahun yang sudah kita lalui bersama. Terima kasih ya, Allah sudah mempertemukanku dengannya. Karena Engkau aku sekarang menjadi seperti ini. Karena segala aktivitasku akan ku curahkan untuk Engkau. Karena dengan berharap padaMu, ya Allah, Engkau akan memberikan yang terbaik untukku. Karena lillah, maka aku tak akan lelah.
SELESAI
Cerpen Karangan: Hikari Inka Facebook: facebook.com/atika.nurs