Senin pagi seperti biasa Indah berangkat sekolah dengan tergesa-gesa. Karena, lagi-lagi dia harus mengalami suatu kejadian yang membuatnya gelisah, Terpepet Waktu! “Pukul 06.45,” desis Indah sambil mempercepat langkah setengah berlari. Di perjalanan Indah melihat Angga, teman sekelasnya. Angga membawa motor dan Indah pun berteriak “ANGGA!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan memberi isyarat untuk berhenti. Dengan refleksnya Angga pun mendekat ke arah Indah dan dan berhenti.
“Kamu lagi ngapain di sini, Ndah?” tanya Angga polos. DUAR!! (Ini Angga belum sarapan apa belum mandi apa belum bayar cicilan motor ya? dia nanya, “Kamu lagi ngapain di sini?” ih jelas-jelas aku mau on the way sekolah! Haduh dasar Angga!)
“Ng… ng… Lagi-lari pagi Ga, biar sehat gitu hehe,” jawab Indah asal menahan tawa karena melihat ekspresi muka Angga yang polos. “Oh ya udah lanjutin aja Ndah, semangat ya,” Jawab Angga yang kemudian menancapkan gas meninggalkan Indah sendirian. Lagi-lagi Indah mendengus kesal. Bagaimana tidak? Pertama, dia telat! Kedua, Angga nanya yang gak jelas! Ketiga, Gak dapat tumpangan gratis! “Argghh! Maraton ajalah, 10 menit lagi bel sekolah bunyi,” Ucap Indah kemudian berlari bagaikan seekor kancil tertangkap petani karena mencuri mentimun.
Tett… Tett… Tett… Bel masuk sekolah pun terdengar jelas di telinga Indah. Namun sialnya Indah belum masuk kelas! Jangankan masuk kelas, masuk gerbang sekolah juga lagi proses. Karena ya.. Dia dan gerombolan teman-temannya harus melakukan aksi mainstream, LONCAT PAGAR!! Setinggi 2 meter! Sedangkan Indah tingginya hanya 160 cm, kebayang kan gimana perjuangannya?
“Sssstttt,” Indah setengah berteriak memberi kode rahasia yang biasa dipake kalau lagi LONPAG (Loncat Pagar) ke arah Gembul, teman seperjuangannya loncat pagar. Namanya sih Rio, tapi karena dia gendut dan tukang makan, jadi dia pun mempunyai panggilan kesayangan, Gembul. “Ayo lempar tasmu, Ndah,” ucap Gembul sambil menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada Indah untuk melemparkan tasnya. Satu per satu anak-anak itu pun mulai meloncat dan berhasil sangat mulus. Sama halnya dengan Indah, dia mendapat giliran terakhir meloncat. Namun, karena kelihaiannya dalam hal loncat meloncat, Indah pun berhasil.
“Selamat pagi Pak Husni,” Sapa Indah yang kini sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Kelas XI-II Bahasa. “Melakukan ritual seperti biasa, Indah?” tanya Pak Husni ketus dan membuat suasana kelas hening yang awalnya ramai. “Ng.. Ng… Anu Pak, tadi saya. Saya .. Ng,” Indah bingung harus menjawab apa, karena tidak mungkin kalau dia menceritakan kejadian yang sebenarnya. “Sudah, kamu duduk! Bapak juga tahu setiap pagi kamu itu loncat pagar, bersama teman-teman yang sama sepertimu kan? Indah! Padahal kamu itu bisa menjadi murid teladan, kamu sudah hampir memenuhi syarat murid teladan, nilai-nilai di rapotmu bagus semua, kamu sopan kepada guru! Hanya saja kamu selalu terlambat. Kenapa kamu melakukan hal itu? Loncat pagar atau apalah semacamnya!” ketus Pak Husni setengah berteriak yang membuat Indah harus mati-matian menahan air mata yang sebentar lagi akan meluncur di pipinya.
Hening. Suasana kelas kini seperti ada ulangan matematika.
“Bapak sangat mengharapkan kamu, Indah,” sambung Pak Husni yang 180 derajat berubah menjadi lirih, yang kini benar-benar membuat Indah mengeluarkan air mata. “Pak, maaf sebelumnya saya juga gak mau setiap harus loncat pagar, berangkat sekolah dengan tergesa-gesa, tapi asal Pak Husni tahu! Sebelum saya berangkat sekolah, saya harus membuat kue untuk dijajakkan di warung-warung. Kemudian merawat Ibu saya dulu, Ibu saya sedang sakit parah Pak, saya gak punya uang untuk membawa beliau ke rumah sakit. Apa Bapak pernah merasakan bagaimana rasanya berada di posisi saya?”
“Pak, lebih baik saya menjadi murid Telatan tetapi saya menjalankan kewajiban saya terlebih dahulu, merawat Ibu yang sedang sakit, daripada saya menjadi murid Teladan tapi meninggalkan Ibu, mencampakkan Ibu yang sedang sakit terbaring lemah di kasur. Lebih baik saya kehilangan barang berharga, jabatan tinggi, daripada saya harus kehilangan Ibu yang saya cintai. Karena saya yakin rezeki itu sudah ada yang mengatur dari Allah SWT,” ucap Indah terbata-bata menahan tangisan yang berkelanjutan. Lantas membuat Pak Husni diam tidak bisa berbicara apa-apa.
Cerpen Karangan: Vina Ayuni Facebook: Vina Ayuni Twitter: @vinaayunii IG: v_ayuni Makasih ^_^