Namaku Deasy. Sebelum memulai kisahku, aku ingin mengajakmu kembali ke tahun 2003, saat aku masih berusia 27 tahun. Kehidupanku berjalan normal dan menyenangkan. Ketika itu, aku bekerja sebagai sekretaris di sekolah nasional plus dan banyak menggunakan komputer untuk menunjang aktivitas kerjaku. Mulai dari mengetik surat, membaca dan merespon surat elektronik, membuat laporan kerja, menyusun notulen rapat, membuat bahan presentasi, dan tugas-tugas administratif lainnya. Aku menikmati pekerjaanku dan tidak mengalami kesulitan dalam melakukan semua tugas-tugas yang diberikan kepadaku.
“Hai Des, kamu kok belum pulang?” Tanya bu Shanti, koordinator IT yang juga satu ruangan denganku. “Belum Bu, tanggung nih. Soalnya dead line-nya besok Bu,” sahutku sambil terus mengerjakan tugas di komputerku. “Oh, oke. Kalau begitu, saya duluan ya. Takut macet kalau ngak buru-buru jalan,” tukasnya sambil bergegas berjalan menuju pintu. “Oke Bu. TTDJ ya Bu,” sahutku tanpa memalingkan pandanganku dari layar komputer.
Beberapa bulan belakangan itu aku mendapat tugas tambahan sebagai juru ketik dan editor dalam proyek pembuatan lembar kerja siswa SD kelas 1 dan 2. Aku kebagian tugas untuk mengumpulkan semua bahan dari guru kelas, lalu mengetik dan mengedit semua tulisan tersebut. Selain itu, aku juga harus menambahkan gambar yang sesuai dengan isi cerita yang sudah terkumpul itu. Aku tidak keberatan dengan tugas tambahan tersebut. Tapi mungkin aku tidak menyadari bahwa semua pekerjaan itu ternyata memberikan dampak negatif terhadap kesehatanku. Hingga pada suatu hari di bulan April, semuanya berubah.
“Aduh, kok penglihatanku burem ya Gun?” Ada bintik hitam seperti laba-laba yang melayang-layang di mata kiriku.” Kataku kepada Gunawan, salah seorang staf IT yang sering membantuku jika aku mengalami masalah dengan komputerku. “Mungkin kamu kecapean Des. Coba dikompres aja pakai handuk dingin,” jawabnya sambil terus mengotak-atik komputerku.
Aku pun mengikuti sarannya itu. Tapi anehnya, kabut dan bintik hitam yang seperti laba-laba itu tidak kunjung hilang dari mata kiriku. Akhirnya ku putuskan untuk memeriksakan mataku ke dokter spesialis mata di JEC. Aku pun meminta Wina, sahabatku sejak di bangku kuliah untuk menemaniku. Setelah melakukan pemeriksaan awal, dokter memintaku untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Mataku diberi obat tetes yang berfungsi untuk melebarkan pupil mata. Lalu aku pun diminta untuk menunggu sampai obat itu bereaksi secara maksimal.
“Dokter matanya ganteng ya Win,” kataku kepada Wina. “Iya Des, lumayan,” sahutnya sambil cengar-cengir. Tak lama kemudian obat tetes itu pun bereaksi dan penglihatanku jadi semakin buram. Untunglah aku meminta Wina untuk menemaniku, kalau tidak, aku pasti akan kesulitan untuk berjalan. “Ayo Des, kita masuk ke ruangan periksa lagi,” tukas Wina sambil menuntunku berjalan menuju sebuah ruangan kecil untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya.
Di dalam ruangan itu terdapat sebuah alat untuk mengukur luas pandang. Alatnya berupa sebuah layar yang menampilkan lingkaran seperti radar dan aku diminta untuk menatap lurus ke depan tanpa boleh menggerakkan mataku ke kiri, kanan, atas, atau bawah. Aku hanya boleh melihat ke pusat lingkaran tersebut lalu menekan sebuah tombol setiap kali ku lihat ada titik-titik yang mendekati pusat lingkaran tersebut. Menurutku tes ini cukup seru, seperti main tembak-tembakan. Setelah itu aku diminta untuk masuk ke sebuah ruangan gelap dan aku diminta untuk mengikuti gerakan dari cahaya yang diarahkan oleh perawat. Lalu perawat itu memotret bagian dalam mataku. Setelah semua tes itu selesai, akhirnya aku pun bertemu kembali dengan dokter ganteng itu.
“Hmm, kamu terkena retinitis pigmentosa,” kata dokter ganteng itu sambil mengarahkan lampu senter ke pupil mataku dengan wajah datar tanpa ekspresi. “Wah, apaan tuh dok? Saya belum pernah dengar nama penyakit mata itu,” tanyaku sambil tersenyum. “Well, penglihatanmu akan menurun secara bertahap dan pada akhirnya kamu akan buta. Ini merupakan penyakit keturunan, tidak ada obatnya, dan tidak bisa disembuhkan,” lanjutnya.
What?! aku benar-benar syok mendengarnya.
“Apakah mata saya bisa dioperasi, dok?” tanyaku penuh harap setengah tidak percaya pada diagnosanya itu. “Tidak,” jawabnya singkat, jelas dan padat. “Lalu, apa yang harus saya lakukan, dok?” “Yang bisa saya sarankan adalah, kalau kamu mau penglihatanmu tidak mengalami penurunan secara drastis, sebaiknya kamu jangan menggunakan komputer terlalu banyak. Selain itu, saya tidak mendalami penyakit ini, jadi kalau kamu mau tahu lebih banyak, coba kamu browsing di internet, ketik saja ‘retinitis pigmentosa’ di Google. Nanti kamu bisa baca semua informasi yang kamu butuhkan di sana. Kamu masih bisa lihat kan?” tanyanya sambil menuliskannya di secarik kertas dan memberikannya kepadaku tetap dengan wajah dan ekspresi yang datar.
“Ganteng sih ganteng, tapi jutek amat sih tuh dokter!” seruku pada Wina sesaat setelah kami berdua meninggalkan ruangan dokter ‘jutek’ itu. “Tenang Des, dokter itu bisa saja salah diagnosa kan? Mungkin sebaiknya kamu periksa ke dokter mata lain untuk lebih meyakinkan penyakitmu yang sebenarnya,” tukas Wina berusaha menghiburku. “Ya, kamu benar Win,” sehutku sambil mengepalkan telapak tanganku, dokter itu pasti salah!
Aku tidak langsung memercayai diagnosa dokter ‘jutek’ itu. Aku pun mengunjungi beberapa dokter lainnya untuk memastikan kondisi mataku, juga berobat alternatif. Namun semua cara tersebut sepertinya tidak memberikan hasil. Perasaan takut, khawatir, marah, sedih sedikit demi sedikit menggerogoti hatiku. Aku tak mau menerima kenyataan ini dan tidak berani memberitahukan kondisi ini kepada siapa pun. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana dengan pekerjaanku? Aku sangat menyukainya dan sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk menopang hidupku! Biar bagaimanapun, aku tidak mau menjadi beban bagi keluarga.
Di tengah keputusasaan ini, tadinya aku memilih untuk diam dan tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun. Tetapi aku sadar, aku tidak bisa bersembunyi terus-menerus. Apalagi perlahan-lahan penglihatanku menurun secara signifikan. Aku tidak bisa membaca tulisan yang tertera di layar ponsel sehingga aku membutuhkan bantuan orang lain untuk membacakannya. Privasiku hilang dan aku tidak menyukainya! Aku tidak bisa melihat tulisan di layar komputer meskipun sudah diperbesar sampai ukuran terbesar sekalipun, ada banyak pekerjaan yang tidak bisa lagi ku kerjakan dengan maksimal. Suatu hari pihak HRD memanggilku.
“Selamat siang Bu Deasy. Gimana kabarnya? Bagaimana penglihatan Ibu?” Tanya kepala HRD itu kepadaku. “Baik Bu. Ada apa ibu memanggil saya tiba-tiba?” tanyaku tanpa perasaan atau pikiran negatif sedikit pun. “Begini Bu, saya diminta pihak management sekolah untuk menyampaikan bahwa kami tidak bisa memperpanjang masa kerja Ibu. Sebaiknya ibu lebih fokus untuk mengobati mata Ibu. Ini sedikit tanda kasih kami atas sumbangsih Ibu selama ini,” jawabnya sambil menyodorkan selembar kertas cek yang sudah bertuliskan beberapa digit angka.
Ya ampun, apalagi ini? Aku dipecat? Ya Tuhan, apa salahku? Duniaku terasa runtuh, sudah jatuh, tertimpa tangga! Ku coba berbesar hati dan menerima pemecatan itu. Aku tidak tahu harus berkata apa, hanya ucapan terima kasih yang sempat terlontar dari bibirku, tenggorokanku tercekat. Ku coba untuk menahan air mataku, dadaku terasa sesak.. sakit sekali rasanya! Ku tinggalkan ruangan HRD itu segera. Aku tidak mau menunjukkan kesedihanku. Aku tidak mau menangis di depan mereka. Aku tidak mau dikasihani! Aku semakin terpuruk ke dalam jurang kesedihan, aku tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. Stres, depresi dan putus asa menghantuiku. Aku merasa hidup ini tidak ada artinya lagi. Hatiku hancur, aku tidak tahu apa yang bisa ku lakukan, masa depanku sesuram penglihatanku yang semakin kabur dan gelap.
Berbagai pikiran buruk berkecamuk di kepala. Ada begitu banyak pertanyaan dalam diriku yang tidak bisa ku temukan jawabannya. Apa salahku sehingga aku jadi buta? apa yang bisa ku lakukan bila aku buta? Pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh orang buta? Bagaimana aku harus menjalani hidupku bila aku buta? Bagaimana dengan masa depanku? Apakah aku harus terus menggantungkan hidupku kepada keluargaku? Tidak! Aku tidak mau jadi orang buta! Ya Tuhan tolonglah aku. Aku mohon.. Seiring berjalannya waktu, dukungan dan perhatian dari keluarga, teman, dan sahabat mengalir deras untukku. Perlahan-lahan aku mulai dapat beradaptasi dan menerima keadaanku ini. Aku mulai belajar menjadi seorang tunanetra, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Hmm, wangi telur goreng. “Mama lagi menggoreng telur ya?” tanyaku sambil mengendus-endus wangi telur yang semerbak memenuhi dapur. “Iya Des, kok kamu tahu?” Tanya mamaku heran. “Dari wanginya Ma,” sahutku girang. “Wah, kamu hebat ya bisa tahu Mama lagi goreng telur,” sahut mamaku takjub.
Suatu ketika saat aku sedang duduk termenung di kamarku, ku dengar pintu kamarku dibuka. “Hayo, Kakak mau membuatku kaget ya?” “Loh, kamu kok bisa tahu aku di sini sih Des. Padahal aku kan nggak bersuara?” Tanya kakakku terkejut. “Hehehe.. aku kan dengar langkah kakimu dan mencium wangi parfum CK 1-mu itu,” sahutku. “Wow! Adikku ini memang canggih!” seru kakakku terkagum-kagum sambil mengusap kepalaku dengan sayang.
“Eh, sepertinya mau hujan ya Mbak?” tanyaku pada si mbak. “Iya non. Kok non tahu sih? Maaf, non kan nggak bisa lihat?” Tanya si mbak keheranan. “Hehehe, saya bisa merasakan kalau udaranya agak dingin dan cahaya yang saya tangkap tidak seterang biasanya Mbak,” jelasku. “Oh, begitu ya non,” timpalnya dengan polos.
“Mbak, tolong ambilkan sandal saya ya,” seru papaku dari dalam kamar. “Mbak, biar saya aja yang ambilkan sandal papa, Mbak angkatin baju aja, soalnya nanti keburu hujan,” seruku pada si mbak. “Eh, iya non.” Sahut mbak dengan nada ragu. “Yang ini pasti sandal Papa kan?” tanyaku pada papa sambil menyodorkan sandal yang ku pegang kepadanya. “Hei, dari mana kamu tahu itu sandal Papa, Des?” Tanya papaku penasaran. “Dari bentuk dan ukurannya yang besar. Sendal Papa kan ada kancingnya,” tukasku sambil meraba dan menunjukkan kancingnya. “Wah, anakku ini memang hebat!” sahut papaku girang.
Sejak penglihatanku semakin buram, mau tak mau aku mengandalkan indera yang lain. Dan lama kelamaan aku jadi terbiasa. Aku pun mencari tahu komunitas tunanetra yang ada di Jakarta, dan dari situlah aku berkenalan dengan sesama tunanetra. Inilah awal perkenalanku dengan segala hal yang bisa mendukungku sebagai tunanetra. Aku mengenal huruf braile. Aku belajar orientasi mobilitas menggunakan tongkat, dan dari mereka pula, aku tahu bahwa walaupun tunanetra, mereka bisa menggunakan ponsel sebagai alat komunikasi, bahkan mengirim dan ‘membaca’ SMS!
“Bagaimana caranya membaca dan menulis SMS? Apakah harus menggunakan Ponsel khusus?” tanyaku kepada seorang tunanetra yang sedang asyik menggunakan ponselnya. “Tidak perlu menggunakan ponsel khusus kok. Tetapi memang hanya ponsel merek dan tipe tertentu yang bisa diinstal program ini. Di komputer juga bisa diinstall program pembaca layar, namanya JAWS. Tapi saat ini sudah banyak ponsel canggih berlayar sentuh yang memiliki fitur pembaca layarnya masing-masing, jadi para tunanetra tidak perlu repot-repot menginstal TALKS,” ujar tunanetra itu bersemangat. “Wow, keren!” sahutku antusias.
Aku pun menggali informasi lebih lanjut mengenai program yang sangat bersahabat untuk kaum tunanetra ini. Ternyata pada beberapa ponsel terdapat aplikasi yang memungkinkan tunanetra untuk mengetahui gambar, warna, dan uang! Aku juga baru tahu bahwa program JAWS itu sebenarnya program berbayar yang sangat mahal. Tak mengherankan bila masih banyak tunanetra yang tidak bisa memanfaatkan teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai alternatifnya, ada beberapa program pembaca layar yang bisa didapatkan secara gratis, yaitu NVDA, Damayanti, dan Narator. Walaupun tak sesempurna JAWS, keberadaannya cukup mampu mengakomodasi kebutuhan bahkan bisa meningkatkan kesejahteraan hidup tunanetra. Aku pun bertekad untuk menggunakan program tersebut di ponsel dan komputer. Jika mereka bisa, berarti aku pun pasti bisa!
“Aduh, ngomong apaan sih? Kok suara pembaca layar ini seperti robot sih? Pusing aku dengarnya,” Itulah kesan pertamaku mempelajari program pembaca layar, aku sempat bingung. Suaranya terdengar sangat aneh dan asing. Aku mencoba mengetik kata-kata yang mudah seperti ‘Kamu sedang apa,” dan terdengar ajaib. Bayangkan seperti orang asing yang berbicara bahasa Indonesia. Ala-ala artis Cinta Laura yang terkenal dengan ungkapan, “Nggak ada ojek, becek..,” itu loh. Walaupun sempat terbersit keinginan untuk menyerah, aku mengingat kembali teman-teman tunanetra yang mampu melakukannya. Mengapa aku tidak? Mungkin hanya membutuhkan waktu dan pembiasaan.
“Ayo Deasy, kamu pasti bisa. Bisa karena biasa.” Itulah yang aku terus tanamkan dalam pikiranku. Setelah beberapa bulan aku menggunakan ponsel yang sudah diinstall program tersebut, aku sudah bisa membaca dan mengetik SMS sendiri. Duh, senangnya hatiku. Setidaknya aku tidak perlu meminta bantuan orang lain untuk membacakan SMS untukku. Hore.. privasiku telah kembali. Lolos menggunakan ponsel, aku pun semakin bersemangat belajar menggunakan komputer bersuara.
Aku sadar betul. Kemampuan dalam menggunakan teknologi, seperti penggunaan komputer mempunyai banyak manfaat, di antaranya di dunia kerja. Aku sungguh merasakan manfaatnya. Sejak aku memiliki kemampuan untuk menggunakan komputer bersuara ini kesempatan kerja jadi lebih terbuka. Aku pernah mendapatkan kesempatan kerja di beberapa tempat, antara lain bekerja sebagai front officer di sebuah perusahaan multi nasional di daerah Sudirman. Perusahaan ini merupakan sponsor dari program persiapan kerja bagi tunanetra yang diadakan oleh Yayasan Mitra Netra. Berkat komputer bersuara, aku bisa mencatat dan mencari nomor telepon, nomor ekstension dan jadwal rapat dengan cepat.
Aku juga pernah mendapat kesempatan menjadi trainer mengenai disabilitas di sebuah lembaga kecacatan yang tugasnya antara lain adalah menyiapkan materi training menggunakan power point lalu membawakan materi tersebut di beberapa tempat umum seperti sekolah, universitas, pesantren, dan perkantoran. Pengalaman kerjaku berikutnya adalah bekerja di sebuah biro pelayanan penyandang cacat sebagai pekerja sosial yang melayani penyandang disabilitas selama 2 tahun. Selain menjadi konselor dan pengajar braile, aku juga kebagian tugas administratif seperti membuat notulen, merekap laporan kerja bulanan, membuat daftar absen, mengetik surat dan membuat program kerja.
Lalu aku juga pernah bekerja sebagai penerjemah harian yang bertugas menerjemahkan surat elektronik atau materi lainnya dari bahasa Inggris ke Indonesia dan sebaliknya. Belakangan ini ku dengar teman-teman tunanetra yang bisa mengoperasikan komputer ini banyak yang bekerja di sektor formal antara lain sebagai operator di hotel, telemarketing di bank, penerjemah dan pekerjaan lain yang tidak membutuhkan banyak penglihatan, melainkan lebih fokus pada pendengaran atau suara. Mungkin awalnya belum banyak perusahaan yang berani mempekerjakan tunanetra karena mereka belum tahu bahwa tunanetra itu bisa menggunakan komputer. Selain itu kesempatan kerja ini juga sekarang jadi lebih terbuka karena ada dukungan dari pemerintah melalui peraturan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas.
Selain bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan, teknologi juga memungkinkan aku untuk mengisi keseharianku dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat misalnya seperti membaca buku-buku elektronik yang bisa diunduh secara gratis dari internet, menulis surat elektronik, mengikuti lomba menulis, mengikuti pelatihan jurnalistik, browsing internet, mengikuti perkembangan dunia melalui koran online, melakukan transaksi jual beli online, dan sebagainya. Aku juga bisa bepergian secara mandiri dengan adanya transportasi yang dilengkapi dengan teknologi, misalnya saat naik busway, ada suara GPS yang menyebutkan destinasi yang akan dilalui jadi aku bisa tahu dan mempersiapkan diri untuk turun di halte tujuanku.
Ditambah lagi dengan maraknya jasa ojek online beberapa bulan belakangan ini yang cara pemesanannya dilakukan melalui aplikasi di smart phone yang sudah sangat akses bagi tunanetra, tentu saja semakin memudahkan aku untuk bepergian secara mandiri. Kini setelah mengetahui lebih banyak mengenai teknologi untuk tunanetra, sebagian besar kegalauanku sudah teratasi. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat titik cerah bagi masa depanku. Teknologi tak lagi membuatku seperti katak dalam tempurung. Berkat kehadiran teknologi, kehidupanku sebagai tunanetra jadi lebih berarti. Ya, mataku memang buta, tetapi aku tidak buta teknologi.. dan meskipun aku sudah tidak lagi bisa melihat dunia ini, namun ku harap dunia bisa melihatku melalui tulisan-tulisanku.
Cerpen Karangan: Deasy Junaedi Facebook: Deasy Junaedi Cheers 🙂 Nama pena, Dey J. Seorang tunanetra dewasa yang sedang belajar jadi penulis. Semoga tulisanku ini bisa memberi manfaat bagi siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Mohon saran dan komentarnya ya. 🙂 Terima kasih.