Ketika aku memasuki kamarnya. Mataku seakan menerawang setiap sudut kamar ini. Aku seperti merasakan ada sosoknya di sini. Ada kesedihan yang perlahan terasa perih di dada. Aku mulai berjalan mendekat, mendekati meja belajar yang dulu sering digunakannya. Aku ambil satu foto dirinya. Tanganku meraba foto itu, aku rindu akan senyum ini. Dan sekarang, senyum ini tak akan pernah ada lagi untukku, dan untuk semua. Saat aku akan menaruh kembali foto itu, tanganku seolah membawaku ke suatu arah. Aku mencoba untuk membuka laci meja dan aku ambil buku berwarna merah yang mulai memudar. Aku menarik kursi dan membuka isi dari buku itu. Lembar demi lembar aku baca. Halaman pertama hanya berisi kata-kata biasa yang dia tulis. Hingga pada suatu halaman, yang ada bekas seperti basah ini. Entahlah, apakah ini air matanya atau apa. Aku mencoba untuk membacanya.
Cerita itu dimulai saat …
—
Juli. Kilauan cahaya seolah memasuki kamarku, dan seperti ada sesuatu yang memegangku dengan lembut, memintaku untuk segera terbangun dari tidurku. Aku mulai terbangun, ternyata ibu yang sedari tadi membangunkanku. Saat aku akan mengubah posisiku, kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit, aku langsung berteriak histeris. Ketika itu aku melihat ibu seperti berbicara padaku. Tapi sungguh, aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Saat aku mencoba untuk menjelaskannya, mulutku serasa kelu. Ibu tidak mengerti apa maksudku. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku. Rasa sakit kepala ini sangat menyiksaku. Hingga akhirnya ibu langsung membawaku ke rumah sakit bersama ayahku. Di sana, seusai diperiksa dokter. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Aku hanya bisa melihat tiba-tiba ibu menitikkan air matanya, sementara ayah seperti menguatkan ibu.
Kemudian, ibu mendekatiku, aku mencoba untuk bertanya. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Tapi ibuku tidak mengerti. Air mata itu masih menetes dari matanya. Ibu menarikku ke dalam pelukannya. Ibu terisak. Begitu juga dengan ayah. Aku tidak tinggal diam. Aku pun merasa penasaran, aku mencoba untuk menemui ibu dan bertanya padanya. Aku tuliskan pertanyaanku pada selembar kertas, kemudian aku tunjukkan pada ibu. Ibu membacanya, lalu ibu memandangiku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Namun aku terus merajuk, agar ibu mau menuliskan sebuah jawaban dariku. Setelah menuliskan sesuatu, dengan tidak yakin ibu memberikannya padaku. Betapa terkejutnya diriku, setelah aku tahu, “Radang Selaput Otak,” Sungguh, aku tidak bisa mempercayainya. Tapi inilah kenyataannya. Ibu langsung memelukku. Aku terisak dalam pelukannya.
—
Tanpa aku sadari, air mata telah lahir dari mataku. Membaca semua tulisannya yang sungguh membuatku sadar. Onie, kau sungguh hebat. Dengan kondisimu, kau masih peduli dengan lingkungan. Aku menyeka sedikit air mata yang menetes ini. Lalu aku melanjutkan kembali untuk membaca tulisannya.
—
Semenjak aku tahu tentang penyakitku itu, aku jadi kesulitan dalam belajar. Tapi ayah dan ibuku tidak kehilangan akal untuk bagaimana caranya aku bisa tetap belajar. Dengan kesabaran dan keikhlasannya, ibu senantiasa mengajariku banyak hal. Karena aku pun tahu, sakit bukanlah akhir dari segalanya. Selagi kita masih mampu untuk berdiri, maka melangkahlah, dan berikan manfaat untuk orang lain di saat sedang sakit. Sakit tidak selamanya merepotkan. Ada kalanya sakit membawa kita untuk selalu dikenang.
—
Setelah aku membaca bukunya, anganku kembali menelisik masuk ke masa beberapa waktu lalu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya saat ada acara seminar dan dia menjadi juru bicaranya, seakan dia adalah motivator bagiku. Yang telah menyadarkan diriku. Ketika itu, aku dibuat terpaku dengan kata-katanya yang sederhana. Ada perkataannya yang sampai sekarang aku masih mengingatnya.
“Jangan pernah mengeluh dan merasa menjadi orang paling menderita di dunia. Karena tidak semua penyakit Tuhan yang memberinya. Ada kalanya dimana penyakit itu kita buat sendiri. Lihatlah, asap kendaraan yang seolah memenuhi ruang kecil kita sebagai pejalan kaki. Lalu asap rok*k yang seumpama menggantikan oksigen dan senantiasa kita hirup. Dan satu yang aku merasa heran, banjir datang karena kita membuang sampah sembarangan dan penebangan hutan. Bukankah kita yang telah melakukannya? Lantas kenapa kita mengeluh?”
Mendengar kata-katanya membuatku sadar. Betapa pedulinya dia di saat harus melawan rasa sakitnya. Setelah acara ini usai, aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku sungguh penasaran dengan dia. Siapa dia? Selepas acara itu, aku benar-benar menemuinya. Dia orangnya sangat baik, murah senyum, dan mudah bergaul. Onie, ya aku mengenalnya. Itulah awal pertemananku dengannya. Hari berganti menjadi minggu. Dan minggu melanjutkan ke peraduan bulan. Seiring berjalannya waktu, aku sering mengikuti kegiatannya. Seperti sekarang ini, Onie akan mendatangi beberapa tempat yang ramai dikunjungi. Dan anehnya, dia membawa banyak permen dan bunga di dalam tasnya.
“Itu semua buat apa, Onie?” tanyaku yang merasa penasaran. “Ikut saja. Dan bagikan ini nanti. Kau pasti tahu,” Jawabnya dengan senyum khasnya. Aku tidak bertanya lagi. Aku mengikutinya, berjalan di setiap sudut jalanan kota. Asap-asap kendaraan seakan menyambut kedatangan kami.
Aku masih berjalan mengikutinya, tapi langkahnya cukup lincah dariku. Hatiku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang akan dia lakukan? Dan ketika itu aku baru tahu. Onie membagikan bunga-bunga yang dibawanya pada orang-orang yang mau membuang sampah di tempatnya. Dan mencoba untuk menasihati pada para perok*k agar tidak merok*k lagi. Lalu Onie akan mengganti rok*k itu dengan permen. Itu juga tidak semua orang mau mendengar nasihatnya.
“Untuk apa kau lakukan ini, Onie?” ujarku padanya. “Coba kamu berikan permen-permen ini pada perok*k itu, dan katakan untuk berhenti merok*k. Nanti kamu pasti tahu apa maksudku,” Ucapnya sembari memberikan beberapa permen padaku. Aku menerimanya dan mencoba untuk melakukan apa yang dikatakannya tadi.
Selebihnya, aku dan Onie selalu membagikan permen dan bunga di tengah keramaian kota. Benar, aku merasakan dampaknya. Sekarang sebagian orang mulai tersadar, mereka berhenti merok*k dan menggantinya dengan permen. Kemudian sampah-sampah permen itu, Onie punguti. Entah untuk apa. “Onie, aku melihat kau selalu memunguti bungkus permen itu? Memangnya untuk apa?” “Ayo ikut aku. Dan kau akan tahu nanti,” Ucapnya. Ya itulah, Onie. Yang tidak langsung menjawab pertanyaanku. Setibanya di rumah Onie, aku melihat banyak orang sedang sibuk dengan bungkus permen yang seperti kami bawa ini. Aku mulai tahu, ternyata mereka adalah warga sekitar yang ikut bekerja dengan keluarga Onie. Mereka membuat macam-macam kerajinan dari bungkus permen, kemudian dijual, dan hasilnya akan mereka rasakan.
“Onie, kenapa kau lakukan ini semua? Apa kau tidak ingin sekolah saja?” kataku padanya. “Ingin sih sekolah. Tapi, untuk belajar pun aku susah. Dan hanya dengan cara ini aku bisa belajar,” Ujarnya yang sedang sibuk dengan laptopnya. Aku mengangguk, “Lantas kenapa kau bisa terinspirasi untuk menyadarkan banyak orang tentang lingkungan?” “Aku hanya ingin agar semua orang dapat hidup sehat dan nyaman. Kau bisa melihatnya, sekarang semakin banyak orang yang sakit hanya gara-gara tidak peduli dengan lingkungannya,”
Aku benar-benar terpaku denganmu, Onie. “Onie, sungguh kau telah menyadarkanku. Padahal aku pun tahu, kau juga sedang sakit, tapi kau tetap peduli dengan orang lain,” “Bukankah hidup sudah semestinya saling peduli?” katanya padaku. Aku mengangguk, kemudian dia tersenyum padaku. Selepasnya, aku melihat kesibukan Onie kali ini. Dia sedang membuat buku untuk anak tentang kepentingan menjaga lingkungan dan kesehatan.
Hari demi hari aku lalui bersamanya. Setiap kali aku mengikuti kesehariannya, sungguh membuatku merasa malu. Betapa tidak, aku yang sehat ini malah acuh begitu saja dengan lingkungan. Sementara dia? Oh sungguh, terima kasih atas kepedulianmu itu, Onie. Ada rutinitas yang setiap kalinya, Onie lakukan. Onie akan pergi ke peternakan kambing, sapi, atau ayam untuk membeli atau jika dibolehkan untuk mengambil kotorannya. Dan kotoran itu akan digunakannya untuk membuat pupuk, dan pupuk itu ada yang dijual dan juga ada yang digunakan untuk menyuburkan taman.
Ya, di lahan yang tidak luas ini. Onie dan keluarganya menyulap tempat ini menjadi taman yang asri, indah, bersih, sekaligus sejuk. Oh, Onie tidaklah ada orang yang sepertimu di dunia ini. Hatimu sungguh mulia, Onie. Aku tak pernah berhenti untuk takjub dengannya. Pernah suatu ketika, setelah Onie mengajakku membeli benih pohon. Dan saat di jalan dia berkata padaku, “Hidup itu seperti pohon di jalan. Mereka selalu dilempari batu dan diacuhkan begitu saja. Tapi balaslah mereka dengan buahmu, teduhkan hati mereka di bawah kesejukan daun-daunmu,”
Langkahku terhenti, aku memandangi pohon yang ada di sampingku. Mengingat semua perkataan bijaknya. “Hei, kenapa berhenti? Ayo,” Katanya yang telah berada cukup jauh dariku. Aku tersadar, dan langsung berlari untuk menghampiri Onie. Sebenarnya Onie tidak bisa mendengar apa yang aku dan orang lain katakan. Tapi dengan bantuan alat pendengaran, kini Onie merasa lebih baik. Meski terkadang dia merasa kepalanya sangat sakit.
“Onie, pohon itu untuk apa?” kataku yang masih mengikutinya. “Kita akan menanamnya,” Jawabnya dengan penuh senyum. Ya, senyum itu seakan menandakan jika dirinya tidak apa-apa, walau nyatanya malah sebaliknya. Sesampainya kami di tempat di mana Onie berhenti melangkah, mataku terbelakak, aku setengah melongo dibuatnya. Hutan ini sebagian sudah gersang bahkan banyak bekas penebangan oleh para penebang liar. Dan ada satu sisi dimana mulai ada pohon-pohon baru yang tumbuh.
“Apa yang terjadi dengan hutan ini, Onie?” “Mereka yang tidak bertanggung jawab merusaknya,” Ujar Onie yang merasa kesal dengan para penebang liar itu. “Lalu, apakah pohon-pohon itu kau yang menanamnya?” tanyaku lagi. Onie mengangguk. “Kenapa kau lakukan ini semua?” timpalku yang kembali bertanya. “Apa kau tahu? Hutan ini menangis, meminta kita untuk menjaganya. Lagi pula, hutan telah baik pada kita. Kau pun tahu, hutan telah menjadi paru-paru bumi dan menyediakan banyak oksigen, sehingga kau dan aku masih hidup sekarang,”
Aku kembali tersentak. Terdiam. Onie menggenggam tanganku dan mengajakku untuk ikut menanam pohon. Aku hanya mengikutinya. Aku tidak menanyakan apa pun lagi padanya. Cukuplah banyak kebaikannya yang telah menyadarkan bukan hanya diriku, tapi banyak orang.
“Kau tahu?” ketusnya seraya melirik ke arahku. Aku menggelengkan kepala. “I’m always in the greenish forest. Jadi, jagalah hutan ini. Karena aku ada bersamanya,” Sambungnya. Aku tidak berkata dan masih melanjutkan untuk menanam pohon. Tiba-tiba, Onie terjatuh dan berteriak histeris sembari memegang kepalanya. Beberapa kali aku menanyainya, apa yang terjadi? Tapi rasa sakit itu telah membuatnya bungkam, tidak bisa menjawab perkataanku. Aku segera menelepon ayah dan ibunya.
Setelah beberapa menit, ayah dan ibunya datang diselimuti rasa sedih. Onie pun segera dilarikan ke rumah sakit. Oh, Onie semoga kau tidak apa-apa. Hatiku berdoa. Hari terus berputar, karena bukan waktunya untuk berhenti. Hari-hariku serasa sepi tanpanya. Biasanya aku selalu mengikutinya, mendengar kata-kata bijaknya. Tapi kini, dia sedang berjuang melawan penyakitnya. Sungguh, pilu aku membayangkannya. Aku tidak pernah menyangka, jika Tuhan akan berkehendak lain padanya. Onie harus pergi dari dunia ini. Meninggalkan semua apa yang telah dilakukannya. Aku pun tahu, mungkin inilah yang terbaik untuknya. Onie tidak akan merasakan rasa sakit yang selama ini bergelayut di dalam tubuhnya. Onie, terima kasih atas semua jasamu.
—
Aku tersadar dari lamunanku, tak ku tahu, ternyata air mata telah lahir dari mataku. Aku menyekanya dan menutup buku berwarna merah pudar itu. Lalu aku menaruhnya kembali di dalam lacinya. Aku beranjak dari kamarnya, aku tersenyum saat mengingat kamar ini. Seakan ada kehadirannya di sini. Aku mencoba untuk mengulang kembali tempat-tempat yang disukainya dulu. Taman belakang rumahnya, ya terlihat berkembang. Pohon-pohon itu mulai berbuah, bunga-bunga itu pun mulai merekah. Warga sekitar masih tetap membuat kerajinan dari bungkus permen, meski Onie sudah tidak ada lagi.
Aku teringat akan hutan yang pernah ditolongnya. Aku segera bergegas untuk ke sana. Saat aku melewati jalanan kota, langkahku terhenti saat melihat pohon yang beberapa waktu lalu pernah aku pandangi saat mendengar kata-kata bijaknya. Kemudian, aku melanjutkan langkah kaki ini. Meninggalkan pohon itu. Aku bisa merasakan sedikit perubahan di kota ini. Banyak orang yang mulai sadar, dan berhenti merok*k serta tidak membuang sampah sembarangan. Oh Onie, lihatlah ini. Ini semua karenamu. Sesampainya di hutan. Mataku berkeliling, melihat pohon-pohon yang telah tumbuh dengan daun-daun lebatnya. Hijau. Aku tersenyum. Tiba-tiba mataku seperti melihat benda kecil yang tidak asing lagi. Aku mencoba untuk mendekatinya dan mengambilnya.
“Inikan alat bantu pendengaran milik Onie?” pekikku. Pikiranku kembali terbesit akan perkataannya, “I’m always in the greenish forest,” Aku tersenyum, menutup mata dan mencoba merasakan kesejukan udara memasuki relung hatiku. Onie, terima kasih atas hijau yang telah kau berikan. Aku sangat merindukanmu.
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Facebook: Anna Jihan Oktiana