Kriiiing!!!
Semua murid bersorak dengan gembira. Bel telah berbunyi, tanda jam istirahat dimulai. Mereka tidak peduli lagi dengan guru yang belum juga ke luar dari kelas. Mereka segera bergegas untuk ke luar. Sementara sang guru pun turut keluar karena kelas sudah tidak bisa dikendalikan. Tinggalah beberapa orang murid yang masih di kelas. Salah satunya adalah Udin. “Eh, kamu bawa bekal apa, Na?” salah seorang murid berceletuk dengan nada sedikit mengejek sembari melirik ke arah Udin. “Yang jelas bukan singkong.” murid yang lain menjawab dengan nada tak kalah mengejek. Mereka pun tergelak. “Sudah-sudah, kita makan bekal di kantin saja daripada di sini. Nanti bekal kita kalah sama singkong si Udin. Hahaha.” Mereka berlalu dengan tawa mengejek yang sama. Udin yang sudah terbiasa dengan perlakuan itu diam saja tidak menghiraukan.
Setelah dua orang murid itu ke luar, tersisa Udin dan satu murid perempuan, Sekar namanya. Sekar berbeda dengan murid-murid lain yang suka mengejek si Udin. Sekar prihatin dengan perlakuan murid-murid lain terhadap Udin. Sekar menghampiri Udin, “Din, sudah makan? Makan bareng yuk.” Udin menoleh melihat sesosok gadis bernama Sekar. Gadis manis bertubuh mungil dengan kulit kuning langsat yang mulus. Matanya lebar dan berbinar. Rambutnya tergerai sebahu. Dan yang tak pernah Udin lupakan dari gadis ini adalah parfum beraroma bunga mawar yang selalu tercium ketika Sekar berlalu.
“Din?” Sekar menggerakkan telapak tangannya di depan muka Udin. “Eh, anu, ehm.” Udin tersadar dan salah tingkah. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kamu ini diajak makan siang bareng kok malah melamun.” Sekar tersenyum melihat tingkah konyol Udin.
Senyum Sekar, membuat Udin merasa melayang. Bibir tipis berwarna merah muda, lesung pipit samar yang muncul ketika dia tersenyum benar-benar membuat Udin terpesona. Tapi kali ini Udin segera tersadar dan menjawab dengan lembut, “Eh, tidak usah Sekar, kamu makan siang di kantin saja bersama teman-temanmu. Biarkan aku di sini menikmati bekalku sendiri.” Udin tersenyum ramah ke arah Sekar. Sekar tidak peduli dan duduk begitu saja di samping Udin. “Aku mau makan siang di sini, sama kamu titik.”
Udin menghela napas panjang dan mengeluarkan sesuatu dari dalam laci meja. Sesuatu yang dibungkus dengan daun pisang. Singkong. Ya, Udin memang selalu membawa singkong sebagai bekal makannya. Beras terasa sangat mahal dan berharga bagi keluarga Udin. Udin bukanlah anak dari keluarga berada. Sehari bisa makan saja sudah sangat Udin syukuri. Singkong ini pun adalah sarapan Udin, tapi dia memilih memakannya kala siang di sekolah. Udin menabung rasa laparnya. Tidak banyak memang, hanya dua potong dan memang hanya itu yang disiapkan Ibunya pagi tadi.
Sekar mengeluarkan sekotak nasi dalam wadah berwarna merah jambu. Ketika ia membuka kotak itu, aroma rendang menyeruak menggoda siapa pun untuk mencicipinya tidak terkecuali Udin. Namun Udin tahu diri, dia menatap penuh syukur atas dua potong singkong di hadapannya kemudian dilahapnya penuh syukur. “Din, kamu mau mencoba ini? Ini masakan spesial Ibuku loh.” Sekar menyodorkan kotak itu di hadapan Udin. Udin menggeleng, “Tidak, itu makan siang kamu. Ibumu pasti sudah menyiapkan itu spesial untuk kamu. Begitu juga singkong ini, sudah disiapkan Ibuku dengan penuh cinta untukku.” Sekar tersenyum dan mulai melahap bekalnya.
Setelah selesai makan, mereka tetap duduk berdampingan. “Din, apa kamu tidak bosan makan singkong terus?” Sekar membuka pembicaraan. Udin menggeleng, “Tidak, itu rezeki dari Allah untukku dan keluargaku Sekar. Toh singkong juga tak kalah gizinya dengan nasi. Beras terlalu mahal untuk keluargaku.” Sekar menatap wajah polos Udin dengan seksama. Menelisik sorot mata Udin yang diam-diam selalu diperhatikannya. Sorot mata yang teduh, penuh semangat walaupun dari sorot mata itu juga tersirat kesedihan yang mendalam.
“Din.” Udin menoleh, “Iya, Sekar ada apa?” “Pernahkah kamu berpikir tentang singkong yang kamu makan?” Udin menatap Sekar dengan heran, sesekali dia melirik sorot mata Sekar. Mata itu, yang selalu menyiratkan semangat. Sorot mata yang kritis dalam menilai sesuatu. Namun dari sanalah, timbul ide-ide cemerlang yang terkadang sulit diterima nalar. “Berpikir apa, Sekar? Aku hanya berpikir sehari bisa makan dengan dua potong singkong adalah anugerah luar biasa dari Allah.” Udin terkekeh.
“Tidak. Bukan itu.” Sekar terdiam sejenak. “Apa kamu tidak berpikir dari singkongmu itu kamu bisa menghasilkan uang?” “Hah?” “Iya, Udin. Apa kamu tidak berpikir mengolah singkong-singkong itu menjadi makanan yang lebih enak mungkin, yang bisa menarik orang untuk membelinya.” “Apa Sekar? Singkong ya cuma bisa digoreng, direbus, dibuat jemblem, ya itu-itu saja. Banyak yang sudah tidak tertarik dengan itu. Mereka bilang itu makanan ndeso.”
“Nah.” Sekar menjentikkan jemarinya membuat Udin sedikit kaget. Ekspresi yang sama yang selalu dilihat Udin ketika ide-ide itu mulai membanjiri kepala Sekar. “Kamu harus membuat inovasi, Din.” Sekar diam sejenak. “Besok, aku tunggu di rumahku jam 3 sore. Jangan telat.” Sekar beranjak meninggalkan Udin dengan tatapan kebingungan. Sekar hanya mengedipkan matanya kemudian berlalu. Aroma bunga mawar menguap di udara.
Sekar berjalan menghampiri seorang laki-laki yang usianya mungkin sudah tiga per empat abad. Sekar biasa memanggilnya Abah. Beliau adalah Ayah dari Ibunya. Abah memang tinggal bersama keluarga Sekar setelah istrinya meninggal. Abah masih saja asik membolak-balikkan koran di hadapannya. Kacamata tebal menghiasi wajahnya. Walaupun kemampuan penglihatan Abah sudah menurun, tapi Abah tidak pernah mau menghilangkan hobinya membaca. Abah selalu berkata, dengan membaca kamu akan tahu apa yang terjadi di dunia, kamu akan tahu apa yang tidak diketahui orang lain, kamu tidak akan bisa ditipu orang karena kamu tidak hanya berilmu tapi juga berwawasan.
“Abah.” Sekar menyentuh pundak Abahnya. Abah menoleh, “Ada apa, Nduk?” Sekar tersenyum dan berdiri di samping kursi Abah. Sekar tidak bisa jauh-jauh dari Abah bila sedang mengajak beliau berbincang karena kemampuan pendengaran Abah juga mulai menurun. “Abah, apa Sekar boleh meminjam sekarung singkong di gudang?” “Meminjam, nduk? Buat apa? Ambil saja seperlumu tidak usah meminjam.” “Bukan, Bah, buka untuk Sekar.” “Lantas untuk siapa?” “Untuk teman Sekar, Bah. Sekar ingin meminjaminya modal.” “Modal?”
“Iya, Bah. Sekar ingin membantu teman Sekar, Bah. Sekar tahu, dia tidak akan mau bila Sekar begitu saja memberinya uang. Oleh karena itu, Sekar berpikir untuk membantunya dengan memberinya modal. Supaya dia bisa membuat usaha yang nantinya bisa meringankan perekonomian keluarganya.” “Usaha apa, nduk?” “Sekar ingin dia berjualan olahan singkong, Bah.” “Siapa memangnya temanmu itu?” “Udin, Bah. Anaknya Pak Yono.” Abah meletakkan koran yang tadi dibacanya. Sekar menahan napas. “Tidak usah meminjam, Sekar. Abah dengar Udin itu anak yang rajin. Berikan saja singkong itu, sebagai gantinya biarkan dia mengurus dan mengawasi kebun singkong Abah,” “Benar, Bah?” Abahnya mengangguk, Sekar menghela mengembuskan napas panjang dan memeluk Abahnya dari belakang. “Terima kasih, Abah.”
—
Setelah selesai membabat rumput untuk makanan kambing tetangganya, Udin bergegas ke rumah Sekar. Udin mengendarai sepeda butut berwarna cokelat kemerahan. Warna merah yang dihasilkan karat dari besi yang teroksidasi. Karat itu yang menjadi saksi bisu perjuangan hidup Udin. Hujan, panas, sepeda tua itulah yang menemani Udin menerjangnya. Beberapa saat Udin sudah bisa melihat rumah Sekar. Udin juga melihat Sekar tengah duduk di teras rumah. Udin membelokkan sepedanya memasuki halaman rumah Sekar yang luas. Sekar segera berlari menghampiri Udin. Udin turun dari sepedanya dan menegakkan besi untuk menjaga sepedanya agar tetap berdiri tegak. Udin mengambil rantang yang mulanya tergantung di stang sepedanya.
“Selamat sore, Sekar. Kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku bawa.” “Dan kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Mari masuk, Din.” Udin diam. “Loh, Din. Ayooo!” Udin menggeleng. “Bagaimana kalau di sana saja Sekar? Tidak enak masuk rumahmu, aku baru pulang ngarit.” Udin menunjuk kursi kayu panjang yang ada di bawah pohon mangga di halaman rumah Sekar. “Baiklah.” Sekar berjalan ke bawah pohon mangga diikuti Udin. Mereka duduk bersebelahan. Udin membuka rantang yang dibawanya. Sekar mencium aroma gurih yang menggoda selera. Sekar pun melirik ke arah rantang itu.
“Kamu membawa apa, Din?” “Kamu pasti tidak percaya Sekar. Ini singkong goreng spesial.” “Spesial?” Sekar bertanya dengan tatapan ingin tahu. “Iya.” Udin mengangguk bersemangat. Udin menyodorkan rantang itu pada Sekar. “Cicipilah.” Sekar segera mencuil sedikit singkong goreng itu. Sekar menghirup aromanya. Menasukkan secuil singkong itu ke dalam mulutnya. Mengunyahnya. Menikmati sensasi gurih dan lembut dari singkong goreng yang tidak seperti singkong goreng pada umumnya. Mata Sekar terpejam.
“Sekar, bagaimana rasanya?” Udin menatap Sekar dengan ragu. “Luar biasa.” Sekar tersenyum lebar menimbulkan kelegaan dan perasaan hangat yang memenuhi hati Udin. “Alhamdulillah.” Udin tersenyum puas. “Apa yang kamu tambahkan dalam singkong goreng ini sampai teksturnya lembut dan rasanya begitu gurih?” Sekar ingin tahu bumbu rahasia apa yang dibubuhkan Udin pada singkong gorengnya. “Mentega. Tadi aku melihat mentega cair sisa yang digunakan Ibu untuk membuat kue pesanan tetangga. Mentega yang dicairkan terlalu banyak dan menyisakan sisa. Daripada terbuang sia-sia, aku mencoba mencelupkan singkongku ke dalamnya dan mendiamkannya beberapa menit baru aku goreng. Seperti yang kamu katakan, ternyata rasanya luar biasa.”
Sekar terdiam sejenak. “Singkong mentega!” Sekar berseru. “Bagaimana kalau kamu mencoba membuat singkong mentega dan menjualnya, pasti laku keras, Din.” Sekar tampak antusias. Pada keadaan ini, bola mata Sekar semakin berbinar penuh semangat membuat Udin luluh menatapnya. “Hah? Boro-boro dijual Sekar, untuk makan saja susah kok.” Sekar menepuk pelan keningnya. “Aduh, aku sampai lupa.”
Sekar menatap Udin, meyakinkan, “Kalau masalah itu kamu tenang saja, aku akan memberimu modal.” Udin hendak menolak namun Sekar lebih cepat menyambar melanjutkan kata-katanya, “Tidak cuma-cuma kok modalnya. Kamu harus mengurus kebun singkong Abah dan mengawasinya, nanti aku akan memberimu sekarung singkong. Bagaimana?” Udin ternganga. “Kamu tidak bercanda kan Sekar?” Sekar menggeleng pelan.
“Alhamdulillah….” Udin mengusapkan telapak tangannya pada wajahnya. “Terima kasih, Sekar.” “Semangat ya, Udin.” Sekar meremas pundak Udin pelan. Udin mengangguk dan tersenyum. Udin dan Sekar tetap duduk di sana sampai jingga menggelayuti angkasa.
Bersambung
Cerpen Karangan: Warastri Rezka Hardini Blog: rezkahardini.blogspot.com