“Dasar kau anak miskin, pergilah menjauh dari pandangan ku” kata bibinya. Semua orang memandang dirinya rendah, tidak berpendidikan dan yang jelas tidak mempunyai masa depan yang terang. Menganggapnya hanya seorang perempuan berusia 11 tahun yang hidup sendirian tanpa orangtua, akibat kedunya bercerai dan ayahnya yang sudah meninggal akibat kecelakaan. Dan ibunya sudah menikah dengan orang lain sehingga tinggal menyisakannya seorang diri. Dimana orang beranggapan hal ini hanya menyusahkan orang lain saja. Karena ia harus tinggal di tempat bibinya. Dialah Maya, gadis berusia 11 tahun yang sangat miris nasibnya. Ia harus menumpang ditempat bibinya dan diperlakukan layaknya pembantu. Siapa peduli dengan gadis tersebut.
Perawakannya yang kecil sehingga apabila disentil dengan jari mungkin sudah jatuh tumbang. Karena tidak ada cukup tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri. Tubuhnya yang ringkih akibat jarang mendapat asupan makan. Hingga tulang belulangnya tampak sangat tergambar. Kantung matanya yang cukup tebal akibat ia harus bekerja hingga larut malam dan tangannya yang selalu bau dapur. Tidak ada yang menganggapnya ada. Namun di balik itu semua, ia mempunyai kekuatan hati dan daya pikir yang luar biasa. Berbeda dengan orang lain. Walaupun ia harus berjalan kaki sejauh 20 km setiap hari untuk sekolah. Tanpa ada uang saku ataupun bekal seperti temannya yang lain.
Namun tak ada kata mengeluh dan menyerah dalam kamus hidupnya. Yang ada hanya berjuang hingga akhir hayat untuk memperbaiki nasib dan keadaan. Seragam lusuh bekas lungsuran dari bibinya, sudah biasa ia kenakan. Tas dari kantong plastik yang biasa ia gunakan untuk belanja, dan sepatu yang sudah menganga seperti mulut buaya. Hal itu tak pernah menyurutkan niatnya untuk terus sekolah. Dengan penampilannya yang sedemikian rupa. Siapa kiranya yang mau berteman dengannya. Seorang gadis biasa dari kampung, dengan pakaian lusuh, wajah seperti tak pernah mandi, dan bau badannya yang menyengat hidung.
“Kau dapat nilai berapa?” kata salah satu teman. “Tidak tahu, kau berapa?” “Hahaha.. akulah yang mendapat nilai tertinggi di kelas ini, bahkan seangkatan!” “Sombong sekali kau! Berapa memang nilai kau?” “92! Mengapa kau ingin iri? Jangan harap dapat mengalahkanku ya,” “Dari mana kau tahu nilaimu?” Selidiknya. “Aku diam-diam melihat buku nilai Bu Peni! Mengapa, kau iri kan?” Tiba-tiba Ibu Peni masuk kelas. Ibu Peni masuk kelas dan membacakan siapa yang akan mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran matematika. Dan dengan bangganya anak-anak lain mengangkat dagu mereka layaknya merekalah yang pantas. Namun hal itu ternyata di luar dugaan.
“Baik, Ibu akan membacakan nilai terbaik untuk kelas ini,” Kelas terlihat sedikit tegang. “Dan yang beruntung kali ini adalah..” Terangkatlah dagu mereka yang semakin menjadi. “Selamat untuk Maya, atas nilai sempurnamu yaitu 100.” Kata Bu Peni seraya tersenyum pada Maya.
Sontak kelas langsung gaduh. Seperti hal yang mustahil, bagaimana bisa anak kampung, miskin, dan bau dapat nilai sesempurna itu. Dan ketahuilah bahwa ibu Peni adalah guru yang cukup pelit dalam memberi nilai. Semua anak sontak melihat ke arah maya. Yang terpaku sendirian di pojok hanya dapat tertunduk tidak percaya seraya mengucapkan Alhamdulillah dalam hati. Tak disangka bukan, anak dekil macam dia, dapat mendapat nilai sempurna. Semua anak tidak percaya bukan main. Merasa sia-sia sudah perjuangan mereka mati-matian belajar hingga larut malam. Ikut les mahal yang setahun dapat menghabiskan hingga berjuta-juta. Sejak itu banyak anak yang ingin diajarkan matematika oleh Maya. Namun tak sedikit pula yang menggunjing Maya. Dengan menganggap Maya menyontek pada saat ulangan. Namun hal itu tidak terlalu digubris oleh Maya, ia hanya ingin berbagi ilmu ke teman-temannya yang mau saja.
Seiring berjalannya waktu, Maya tumbuh menjadi gadis yang tangguh, kuat, cerdas, dan cantik. Ia dapat tangguh dan kuat akibat semua lika-liku perjalanannya dalam memperjuangkan sesuatu. Berjuang untuk sekolah, berjuang untuk memperbaiki nasibnya, dan yang pasti perjuangan untuk hidup dan masa depannya. Ia tidak ingin hanya berlarut-larut dalam kehidupannya yang pahit, ia harus ke luar dari lingkaran menyedihkan tersebut. Hingga pada saat ia SMA, ia memutuskan untuk merantau. Pergi ke tanah orang untuk mencari ilmu dan pengalaman. Ia merantau ke Yogya. Tempat di mana orang berkata, tempat inilah kotanya pelajar. Ia berangkat dengan uang seadanya dan masuk ke sekolah favorit, berkat beasiswa dan kecerdasannya. Awal perjalanannya, ia merasa tidak akan sanggup. Ia harus hidup sendiri dengan cara kost. Berusaha mempertahankan uang saku. Belum makian orang yang selalu membuntutinya.
Namun inilah awal perjalanannya dimulai. Dengan segala keterbatasan dan bermodal kemauan yang kuat. Ia pun dapat mengikuti segala sesuatunya dengan baik. Mengalir saja seperti air di sungai yang mengikuti lika-liku air tersebut mengalir. “Bukankah hidup itu seperti air. Berjalan mengalir mengikuti arus. Dimana terkadang perjalanan mulus dengan bebatuan yang tumpul. Namun terkadang perjalanan tersendat ketika harus melewati bebatuan yang tajam. Ikuti semua itu secara alami dan senatural mungkin.” kata Maya dalam hati. Gadis biasa dari kampung yang tidak mengerti dunia luar dapat berpikir sedewasa itu. Memikirkan segala sesuatunya hingga detailnya dengan segala keterbatasannya.
Hebat! Bukan main memang! Tempaan dahsyat yang ia alami ketika masih kecil. Telah melahirkan sosok baru yang dahsyat pula. Tiga tahun sekolah. Dengan prestasi luar biasa, dengan predikat murid berprestasi sehingga mendapat ranking satu. Siapa sangka, hal ini dapat terjadi. Memang Tuhan maha adil, luar biasa maha adil dengan segala kesemputnaanNya. Di balik hidup Maya yang susah, Tuhan memberikan otak anak kampung tersebut dengan daya pikir dan daya olah yang luar biasa hebat pula. Berkat prestasinya yang gemilang. Ada lembaga beasiswa yang meliriknya. Dan ia pun berhasil mendapat beasiswa ke Eropa tepatnya Perancis dengan biaya gratis sepenuhnya.
Itulah perjalanan panjang gadis biasa dengan bermodal kemauan dan hati tulus yang berhasil meraih impiannya. Apa yang membuatnya berhasil. Banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor dimana orang terkadang menganggap sepele hal tersebut. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, karena Tuhan tidak pernah tidur dan tidak pernah mengecewakan hambanya yang senantiasa selalu berdoa dan berusaha. Dan hal ini sudah tercantum dalam kitab suci-Nya yang maha agung atas segala kemukjizatannya.
Tamat
Cerpen Karangan: Sekar Jatiningrum Blog: sekarjatiningrum.blogspot.com