Dalam hidup, aku selalu memikirkan akan bagaimana masa depanku nanti. Apakah setelah tamat dari kampus ini, aku akan segera mendapatkan pekerjaan? Di manakah aku akan bekerja? Dan untuk siapakah aku akan bekerja? Dan berapakah gajiku pada saat aku bekerja? Apakah orang-orang akan menghargai pekerjaanku dan mendapatkan pujian dari atasan? Seorang guru. Itulah yang akan menjadi gelarku setelah tamat dari kampus ini. 4 tahun sudah aku menamatkan pendidikan di salah satu Universitas di Jogja. Dan sekarang, bagaimanakah dan dimanakah aku akan bekerja?
Namaku Rani Haryani. Aku mempunyai seorang sahabat. Namanya Sarah Kandelia. Dia merupakan sahabat saya yang paling disegani. Selain mata yang sangat indah dan berseri, raut wajahnya juga sangat ramah. Tentu saja, dia pun menamatkan pendidikan di Universitas yang sama, namun ia mendapatkan gelar yang berbeda denganku. Yaitu Psikolog anak. sosok Sarah tidak diragukan lagi, jika ada permasalahan anak yang terjadi di sekitar dia, maka ia tidak segan-segan untuk mendekati anak tersebut dan menyelesaikan pada hari itu juga.
3 bulan sudah, kami berdua belum mendapatkan sebuah pekerjaan yang kami inginkan. Dan pada suatu ketika, Sarah mengajakku ke kampung halamannya di pulau Rote. Sebuah pulau paling selatan di Republik Indonesia ini. Katanya, kami akan berlibur selama 1 minggu. Aku pun sangat antusias dengan ajakan sahabatku itu dan segera menyiapkan diri untuk berangkat. Dia meminta agar dalam 2 hari ini aku harus mempersiapkan barang-barang untuk berangkat ke Rote. Selama 2 hari, aku menyiapkan diri untuk berangkat, bersama-sama dengan Sarah. Waktu itu, aku sempat dilarang oleh orangtuaku untuk ke sana. Mereka pikir, aku ini adalah anak tunggal. Jadi, tentu saja mereka merasa khawatir akan keberadaanku nanti. Tapi, setelah aku membujuk mereka bahwa aku hanya pergi selama 1 minggu, akhirnya mereka pun menyetujuinya dengan syarat bahwa selama di sana, handphone ku harus tetap aktif bagaimanapun caranya.
Akhirnya aku dan Sarah sampai ke kampung halamannya. Suasana di pulau Rote ini sangat berbeda daripada daerah asalku. Lalu, kami pun melanjutkan perjalanannya dan sampai ke rumahnya yang hampir memakan waktu 1 jam. Wow, sangat jauh dan jalannya pun hampir semua berbatu-batu. Tapi, semua pun terbayarkan dengan secangkir teh hangat dengan suasana yang sangat sejuk.
Rumahnya sangat sederhana. Temboknya yang masih terlihat batu-batanya, dan lantai rumah yang masih terlihat sangat sederhana. Aku sempat menganggumi akan sosok Sarah. Dia sangat mengetahui akan susah orangtuanya, dan selama ia bersekolah di Jogja, ia banyak mendapatkan beasiswa setiap tahunnya dan prestasi akademiknya juga sangat luar biasa. Itulah mengapa saya mengatakan bahwa ia adalah orang yang saya segani.
Keesokan paginya di hari Senin, aku melihat beberapa kelompok siswa dengan berseragam merah putih, dan sekelompoknya lagi memakai pakaian bebas yang memegang sebuah buku sedang melewati di depan rumah Sarah. Saya melihat, ada senyuman, canda dan tawa yang menghiasi raut wajah mereka. Seakan-akan, dipikiran mereka tidak ada kata bosan untuk bersekolah. Berbeda denganku dulu, sewaktu masih SD aku selalu malas untuk bersekolah dan bahkan sampai kuliah pun aku masih memiliki sifat itu.
Ketika aku sedang duduk di bawah sebuah pohon rindang, Sarah datang dan mengejutkanku, “Woe… apa yang kamu lihat hah?” Aku pun sangat kaget dan berkata, “Sarah? Hah.. jantungku hampir lepas tau.” “Hmm.. aku melihat dari tadi, kamu sedang bengong. Ada apa?” tanya Sarah. “Oh iya.. aku mau tanya kepadamu sesuatu. Jarak dari rumahmu ke SD di dekat sini berapa yah?” tanyaku dengan penuh penasaran. “Tidak terlalu jauh sih.. kamu bisa berjalan kaki kok. Emangnya ada apa?” tanya Sarah. “Tidak.. aku hanya bertanya saja” kataku. “Ooo.. eh Rani, kita masuk makan dulu yuk. Ayahku sebentar lagi akan pergi mengajar di sekolah. Paling tidak, kita bisa makan bersama-sama walaupun hanya sekali. Yuk..” ajak Sarah. “eh.. tunggu.. tunggu.. tadi kamu bilang ayahmu akan mengajar sebentar lagi. Apakah ayahmu itu seorang guru?” tanyaku. “Iya, bukankah aku sudah memberitahukan kamu sewaktu di Jogja? Ayahku kan seorang kepala sekolah. Apakah kamu lupa?” jelas Sarah. “Oh iya aku lupa. Ayo kita masuk makan. Perutku sudah keroncongan” ajakku.
Aku, Sarah dan kedua adiknya serta orangtuanya pun makan bersama. Pada saat makan, Ayah Sarah bertanya kepadaku, “Sani, anakku banyak bercerita tentangmu. Apakah kamu adalah seorang guru?” “Benar om. Tapi, aku masih menganggur di rumah” jawabku. “Kalau mau, sebentar sehabis makan, saya mau ajak kamu dan juga Sarah untuk ikut ke sekolah bersama-sama. Lagipula, di sekolah saya, kekurangan guru pelajaran matematika. Mereka yang sempat mengajar di sini, kebanyakan meminta pindah ke sekolah yang lebih bagus lagi. Kamu mau kan? Atau, jika kamu tidak mau mengajar, saya tidak memaksa” kata ayah Sarah. “Oh tidak om. Saya ingin dan sangat ingin untuk mengajar” ujarku. “Baiklah.. setelah ini, kamu dan Sarah harus bersiap-siap. Saya akan tunggu kalian di sekolah” kata ayah Sarah. “Baik” kataku dengan penuh semangat.
Aku dan Sarah pun bersiap-siap dan berpamitan. Kami pun berjalan ke sekolah yang agak lumayan jauh dan sampai di salah satu sekolah dasar yang ada di Rote. 10 ruangan kelas yang ditata dengan cukup rapi, dihiasi dengan rumput-rumput kecil di sekitar halaman sekolah membuatku merasakan bahwa ini sangat-sangat berbeda dengan yang ada di Jogja. Sangat sederhana namun banyak siswa-siswi yang sangat senang berada di sekolah ini. Sarah juga pernah bersekolah di sini. Aku belum memiliki pengalaman untuk mengajar, namun aku memiliki tekad untuk bisa dan harus penuh keyakinan.
Aku dan Sarah disuruh masuk bersama-sama di salah satu ruangan kelas untuk mengajar matematika. Di ruangan kelas itu, aku menemui 15 murid yang dengan semangat untuk belajar. Melihat mereka semangat, aku pun juga turut bersemangat mengajar mereka. Salam dan hormat pun telah mereka berikan. Lalu apakah yang harus aku berikan kepada mereka? Salam mereka seperti salam kepada seorang penguasa yang datang kepada hamba-hambanya. Oleh karena itu, aku harus memberikan kepada mereka sebuah pengetahuan yang nantinya akan sangat bermanfaat bagi mereka semua. Mungkin, hanya inilah yang bisa saya berikan untuk mereka.
Dalam kelas itu, aku mendapatkan tugas untuk mengajar, dan Sarah pun membantu saya untuk dapat mengerti akan bahasa mereka. Karena, sebagian kecil dari mereka masih terikat akan bahasa daerah. Maka Sarah pun menjadi seorang penterjemahan bagi saya.
Keesokan paginya, masih dengan semangat lagi aku bersiap-siap untuk mengajar. Aku sadar, bahwa aku hanyalah seorang yang dapat membantu di sekolah ini. Dan aku berpikir bahwa, ternyata masih banyak anak-anak desa yang ingin mendapatkan pengetahuan dari orang-orang yang telah bersekolah tinggi. Tapi, bagi sebagian banyak orang, pekerjaan di kota membuat hidup mereka sangat meyakinkan daripada pekerjaan di desa terkhususnya guru. Melihat siswa-siswi yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri walaupun hanya sehari saja, aku tidak mengharapkan balasan dari siapa-siapa lagi. Tugasku di sini hanyalah membantu untuk mengajar dan memberikan kepada mereka walaupun hanya serpihan saja pengetahuan kepada mereka.
Pada waktu aku dengan Sarah berangkat ke sekolah, ibuku menelepon. “Hallo Sani, bagaimana kabarmu? 5 hari lagi kamu akan pulang kan?” tanya ibuku penuh cemas. “Ibu, aku baik-baik saja. Ibu tidak usah khawatir, Sarah dan keluarganya menjagaku kok. Tapi, bolehkah aku meminta satu hal dari ibu?” pintaku. “Apa itu sayang?” tanya ibuku. “Aku ingin lebih lama lagi di sini. Aku sangat ingin mengajar. Aku diminta oleh ayah Sarah untuk mengajar anak-anak sekolah dasar pelajaran matematika. Boleh yah ibu? Ku mohon” kataku penuh harap. “Sayang, apakah tidak ada tempat lagi di Jogja yang cocok dengan profesi kamu menjadi guru? Di sini banyak sekali sekolah-sekolah berstandar internasional yang masih membutuhkanmu. Berapa gaji di sekolah yang kamu ajarkan itu? Itu tidak akan cukup untuk keseharianmu” jawab ibu dengan nada meninggi. “Ibu, aku tidak perduli tentang sekolah-sekolah elit di sana. Ibu, di sini banyak sekali anak-anak yang ingin mendapatkan pengetahuan dari sosok guru sepertiku ini. Namun, berapa banyak orang yang mengajar di desa-desa seperti ini? Hanya hitungan jari saja. Dan jika demikian, bagaimana dengan masa depan mereka? Bagaimana dengan hidup mereka selanjutnya? Soal gaji, aku tidak peduli bu. Senyuman dan kecerdasan mereka, itulah yang akan menjadi gaji terbesar yang tidak semua orang dapatkan. Ku mohon. Berikan aku waktu lagi cukup lama di sini. Aku janji, aku akan pulang menemui ibu dan juga ayah di rumah” tegasku. “Baik sayang. Kalau memang itu yang kamu mau. Ibu akan kasih kamu waktu selama 2 bulan. Kurasa itu sudah cukup bagi kamu” kata ibu. “Trimakasih ibu, salam ayah” kataku bergembira. “Baik sayang. Jaga dirimu baik-baik. Salam semua keluarga Sarah juga yang ada di Rote” pinta ibu. Aku akhirnya diberikan 2 bulan untuk tetap di Rote dan juga mengajar.
Selama 2 minggu aku mengajar anak-anak di semua kelas dengan penuh semangat. Lalu, aku mendapatkan sms dari Roy teman saya yang sudah mendapatkan pekerjaan di dinas pendidikan Jogja yang bunyinya seperti ini, “Selamat siang Sani, apa kabarmu hari ini? Oh ya, aku dengar kamu sedang mengajar di salah satu sekolah dasar di Rote kan? Aku mendapatkan satu tugas untuk mencari 20 orang anak untuk mengikuti olimpiade Matematika tingkat sekolah dasar di Singapura. Nanti dari 20 orang anak itu, akan di seleksi lagi dan hanya tersisa 10 orang saja yang nantinya akan mengikuti olimpiade tersebut. Namun, aku kekurangan 3 orang. Aku harap, kamu bisa membantuku.” Yah, cukup singkat dan aku sangat terkejut. Di waktu yang sama, kepala sekolah yakni ayahnya Sarah membawakan sebuah surat pemberitahuan dari dinas pendidikan Jogja. Isi suratnya itu sama dengan isi sms yang aku terima dari Roy. Penyelenggaraan seleksi olimpiade itu akan berlangsung kurang dari 3 minggu lagi. Hal itu membuatku sangat bersemangat dan antusias untuk memilih 3 orang anak tersebut di sekolah ini.
Akhirnya aku dan Sarah mendapatkan ketiga orang tersebut untuk mengikuti seleksi olimpiade di Jogja. Yakni, Rudi, Helen, dan Adel. Selama 2 minggu penuh, aku dan Sarah mengajarkan mereka mengenai pelajaran matematika agar mereka bisa menjawab soal dengan baik. Kemampaun intelektual mereka bertiga tidak diragukan lagi. Aku sangat optimis bahwa mereka semua akan lolos dalam seleksi olimpiade matematika ini.
Keesokan harinya, Aku pun membawa mereka bertiga ke Jogja dengan uangku dan tentunya bersama-sama dengan Sarah. Aku melihat wajah mereka ketika baru pertama kalinya untuk naik pesawat terbang. Rasa kagum dan heran terpancar dari raut wajah mereka yang lucu.
Akhirnya kami sampai di Jogja. Aku memberitahukan mereka bahwa kota ini adalah tempat tinggalku dan Jogja dijuluki sebagai kota pelajar.
Aku membawa mereka ke rumahku. Kebetulan, rumahku cukup besar yang memiliki 2 kamar tidur yang masih kosong. Biasanya keluargaku yang dari jauh akan datang dan menginap di kamar itu. Aku pun segera mendapati orangtuaku. Sebelumnya, aku sudah berbicara kepada orangtuaku tentang ketiga orang anak dan Sarah yang akan menempati rumah ini. Mereka sangat senang. Belum pernah ada anak-anak yang menginap di rumah ini. Kecuali keluargaku yang dari jauh.
Waktu seleksi pun dimulai. Aku dan Sarah membawa ketiga anak dari Rote ini menuju ke salah satu sekolah dasar bertingkat yang ada di Jogja. Aku sempat melihat di raut wajah mereka bertiga yang sempat gugup dalam menghadapi seleksi ini. Aku juga sempat menanyakan kepada Sarah, apakah sekolah mereka pernah mengikuti kegiatan seperti ini. Tapi, Sarah menjawab belum pernah. Lalu, aku pun menguatkan mereka dan berkata, “Jangan takut. Santai saja. Anggap saja, orang yang akan mengikuti seleksi bersama-sama dengan kalian ini adalah teman. Kalian harus yakin, kalian pasti bisa. Bukankah kalian ini sangat hebat dalam pelajaran matematika? Setiap kali ulangan harian, kalian selalu mendapatkan nilai 100. Ayo semangat!” Dan akhirnya mereka bertiga kembali tersenyum dan semangat untuk mengikuti seleksi. Mereka pun berdoa kepada Tuhan agar mereka diberikan kekuatan untuk bisa mengikuti seleksi ini.
Seleksi pun dimulai. Keduapuluh anak sedang mengikuti seleksi. Selama 2 jam penuh, aku dan Sarah hanya menunggu di luar sambil berdoa agar mereka tidak pernah lupa dengan apa yang diajarkan dan mereka bisa menjawab dengan benar serta kami berdoa juga agar mereka jangan gugup dalam mengerjakan soal olimpiade.
Waktu seleksi pun berakhir. Selama 2 jam mereka di dalam kelas. Seakan-akan mereka sedang berburu untuk mendapatkan 10 tiket ke Singapura untuk mengikuti lomba olimpiade internasional tingkat SD. Mereka pun langsung memeriksa hasil seleksi dan langsung diumumkan. Hasil seleksi dan nama-nama yang masuk 10 besar pun dibacakan. Aku melihat Roy yang memegang sebuah map berwarna coklat yang akan membacakan. “Kami akan mengumumkan kesepuluh anak yang akan mewakili Indonesia ke Singapura.”
Mendengar nama dari kesepuluh orang itu, aku dan Sarah sangat terkejut sekali ketika Adel masuk dalam seleksi itu. Namun, Rudi dan Helen tidak bisa masuk, karena hasil yang tidak maksimal. Sudah menjadi tugas aku seorang guru untuk menguatkan hati Rudi dan Helen dan dibantu oleh Sarah. Tangisan mereka seakan-akan mengundangku juga untuk menangis. Namun, aku berkata kepada mereka berdua, “Tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti kalian bertiga. Menang dan kalah sudah merupakan tradisi dari dulu dalam perlombaan. Aku tahu akan perasaan kalian, namun aku mau agar kalian tidak usah bersedih lagi. Mari kita dukung Adel agar ia bisa menjadi juara olimpiade di Singapura. Ayo tersenyumlah. Senyuman kalian sangat berharga buatku.” Mereka pun tersenyum dan kembali tertawa serta menepuk bahu Adel dengan keyakinan bahwa ia pasti bisa.
Aku dan Adel pun diberangkatkan ke Singapura bersama kesembilan anak-anak beserta para pendamping. Sarah tidak ikut karena dia harus menjaga Rudi dan Helen di Jogja sambil menunggu kami untuk pulang.
Tibalah kami di Singapura. Kami pun mengunjungi berbagai tempat wisata di Singapura. Aku melihat sosok Adel yang sangat beruntung bisa lolos seleksi olimpiade. Sekarang, ia akan menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Dari kelima negara, hanya dipilih 4 pemenang saja dalam olimpiade ini. Aku yakin, Adel akan sangat menikmati perlombaan ini.
Tibalah harinya untuk memulai lomba olimpiade matematika. Aku sangat gembira ketika aku melihat Adel dan kesembilan anak yang lainnya memasuki sebuah ruangan olimpiade matematika. Sebelumnya, Adel sudah terbiasa belajar bahasa Inggris sewaktu di kelas-kelas sebelumnya. Dan dia sangat menyukai bahasa Inggris. Jadi, aku tidak mengkhawatirkan ketika ia mengerjakan soal matematika dalam bahasa Inggris.
Akhirnya perlombaan pun selesai dan tibalah saatnya untuk pengumuman. Nama-nama dari ke-50 anak ditampilkan di layar sesuai negara mereka. Lalu mereka mengacak nama itu dan hanya tersisa sepuluh nama. Aku sangat bergembira bahwa 3 nama anak dari Indonesia tertulis di layar itu dan salah satunya adalah Adel. Aku sempat terkejut ketika Adel langsung menyambar tangan saya. Kurasakan tangannya yang sangat dingin akibat gugup. Mukanya memerah bagaikan seseorang yang sedang jatuh cinta dan tatapannya seakan-akan rasa gugupnya hampir menguasai dirinya. Aku pun menguatkannya dan mengatakannya bahwa semua akan baik-baik saja.
Pengumuman pun diberitahukan secara lisan oleh penyelenggara lomba. Katanya, “Inilah saat yang ditunggu-tunggu bagi seluruh murid. Saya akan membacakan dari juara keempat. Juara keempat diberikan kepada Gwen dari Malaysia. Juara ketiga diberikan kepada Paul dari Filipina. Juara kedua diberikan kepada Loisa dari Singapura. Dan juara pertama diberikan kepada Adel dari Indonesia.”
Tepuk tangan dari tangisan bahagia pun saya berikan untuk anak muridku Adel. Aku sangat bangga padanya. Dan yang membuatku terharu dan sangat terharu ketika dia memberikan ucapan terimakasih di atas panggung menggunakan bahasa Indonesia dan di terjemahkan oleh Roy yang memakai bahasa Inggris. Katanya, “Terimakasih untuk Tuhan yang telah memberikan kepada saya piala ini. Aku sangat senang sekali karena ini merupakan pengalaman pertamaku dalam mengikuti kegiatan olimpiade matematika ini. Aku bisa jalan-jalan ke Singapura yang hanya sebatas melihat gambar di televisi. Terimakasih kepada sekolahku yang ada di Rote yang sudah menyediakan tempat buatku untuk bersekolah. Terimakasih untuk ibu Sarah dan kedua temanku yang gagal untuk seleksi yakni Rudy dan Helen tapi sudah mendukungku. Dan yang paling terutama dan utama buat ibu ku yang paling saya kagumi. Walaupun sudah 2 bulan, engkau mengajarkan kepadaku tentang berbagai pengetahuan matematika ini, namun aku sangat bangga bahwa ternyata masih ada orang yang ingin mengajarkan kepada kami yakni anak-anak desa sepertiku ini. Terimakasih ibu Sani Haryani. Aku tidak bisa membalas jasamu. Terimakasih buat serpihan pengetahuan ini. Akan ku sambungkan serpihan-serpihan pengetahuan ini menjadi satu keutuhan. Mungkin, hanya itu yang dapat kulakukan dan yang dapat kubalas kepadamu. Engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Terimakasih ibu Sani.” Tepuk tangan dan wajah yang bangga di berikan kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya. Adel, murid yang sudah memberikanku inspirasi bahwa seorang guru ternyata bukan saja mengajar, melainkan membimbing mereka dan harus tetap berada di samping mereka untuk berjalan bersama-sama ke masa depan. Seorang guru harus mengantarkan mereka ke gerbang masa depan. Terimakasih Adel. Terimakasih Tuhan. Ternyata hanya serpihan pengetahuan yang aku berikan, itu akan berbekas di dalam hati murid-muridku selama-lamanya. Inilah hadiah terbesar yang aku dapatkan dari Adel. Pertanyaan terakhirku akhirnya dijawab. Adel telah menghargai dan telah memberikan pujian kepadaku. Kurasa semua kekhawatiran dalam hidupku, kini sudah dihapuskan oleh senyuman yang indah di wajah Adel di atas panggung olimpiade di depan semua orang dari keempat negara dan Indonesia.
Pertanyaan saya kepada kalian, apakah kalian sudah bisa disebut pahlawan tanpa tanda jasa? Dan apakah kalian sudah membuat sesuatu yang berguna bagi banyak orang? Dan yang terakhir, apakah yang sudah kalian lakukan bagi anak-anak yang membutuhkan sekolah dan pengetahuan dari kalian? Jawablah dan lakukanlah.
Cerpen Karangan: Agriyan Reksy Manafe Facebook: Agriyan Reksy Manafe Agriyan Reksy Manafe lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 18 Agustus 1997. Ia menyelesaikan study di Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2014. Ia merupakan anak ketiga dari Ayah Defris Manafe dan Ibu Horiana Ndoen ini merupakan seorang Duta Anak Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013. Dan saat ini ia akan melanjutkan perkuliahan pada Fakultas Teologi di Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Hoby menulis sudah terbentuk sejak duduk di kelas X. Selain menulis, juga melayani sebagai pengajar anak-anak sekolah minggu dari tanggal 05 Mei 2014 sampai sekarang.