Sudah lebih tiga tahun aku tidak menghirup udara segar kota ini. Setelah baru saja menyelesaikan pendidikan jenjang magister di luar negeri, kini aku pulang kembali. Aku memang telah berencana untuk pulang setelah menyelesaikan kuliah, di samping salah satu syarat beasiswa yang kuperoleh yang mengharuskanku untuk kembali ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikan.
Aku pulang bersama dengan kedua orangtuaku yang terlebih dahulu mengunjungiku untuk menghadiri wisuda. Sesampai di bandara, Sheila, adik perempuanku satu-satunya telah menunggu untuk menjemput kami semua. “Abaaaang! Udah lama nggak ketemuuu!” sambutnya girang seraya memelukku. “Padahal hampir setiap minggu kita video call tapi kamu tetap sekangen ini ya,” ledekku. Sheila hanya tertawa menanggapi ledekanku. Setelah melepas kangen sesaat di bandara, kami pun pulang ke rumah.
Tiga tahun kutinggalkan, banyak hal yang berubah dari kotaku ini. Mulai dari kafe-kafe yang semakin menjamur, pusat perbelanjaan yang semakin bertambah, sampai destinasi wisata yang baru dikembangkan. Aku merasa sangat ketinggalan akan perkembangan kotaku sendiri. Karena itu, keesokan harinya aku meminta Sheila untuk menemaniku jalan-jalan di kota ini. Dia langsung menyetujui permintaanku itu. Mungkin dia benar-benar sudah rindu pergi bersamaku.
“Abang, aku mau mengajak Abang ke komunitas yang sedang aku ikuti sekarang. Abang pasti tertarik,” ajak Sheila. “Oh ya? Komunitas apa, Sheila?” tanyaku. “Nama komunitasnya adalah Komunitas Pelita Kecil, atau disingkat Kopcil. Sederhananya komunitas ini adalah tempat kita berinteraksi dengan anak-anak kecil untuk belajar bersama mereka dan juga membantu mereka mengembangkan diri mereka,” jawab Sheila. “Sounds interesting,” komentarku.
Kami akhirnya sampai di sebuah rumah yang menjadi sekretariat Kopcil. Ketika baru datang, beberapa orang anak langsung menghampiri Sheila. Mereka terlihat sangat akrab dengan sesamanya. Sheila memperkenalkanku kepada anak-anak itu. Mereka begitu antusias dengan kehadiranku, apalagi setelah mereka mengetahui aku baru saja pulang dari luar negeri. Ah, aku benar-benar merindukan keramahan khas kota kelahiranku ini.
Aku masuk ke dalam rumah itu untuk melihat-lihat kegiatan di dalamnya. Ada anak-anak yang sedang belajar ditemani seorang kakak. Ada juga yang asyik mewarnai buku gambar. Di sudut rumah, ada anak-anak yang bernyanyi bersama seorang kakak lainnya yang mengiringi lagu dengan gitar. Aku merasa salut dengan orang yang berada di balik adanya komunitas ini. Aku yakin dia adalah orang yang sangat hebat.
Sheila kemudian mengajakku ke lapangan yang ada di belakang rumah. Aku memperhatikan beberapa orang anak sedang bermain sepak bola di halaman itu. Di pinggir lapangan, ada seorang lelaki yang duduk di kursi rodanya. Kedua kakinya hanya sebatas lutut. Usianya kira-kira sebaya dengan Sheila. Dia terlihat begitu bersemangat menonton dan menyoraki anak-anak yang sedang bermain bola. “Halo Cakra!” Sheila menyapa lelaki itu. Lelaki yang bernama Cakra itu menoleh ke arah kami. “Halo Sheila! Oh, ini ya abang kamu itu?” tanya Cakra sembari bertanya. “Iya benar, ini abangku. Ayo, kenalan dulu!” seru Sheila.
Aku pun berkenalan dengan Cakra. Ternyata Cakra inilah pendiri Kopcil yang juga teman seangkatan adikku di kampus. Orangnya ramah, rendah hati, namun sangat bersemangat. Aku tertarik untuk menanyakan banyak hal kepadanya, terutama tentang komunitas yang ia bangun ini. Sheila yang mengetahui keinginanku pun meninggalkan kami untuk memberikanku waktu mengobrol secara empat mata dengan Cakra. “Kalau boleh tahu, kapan komunitas ini didirikan, Cakra? tanyaku. “Kurang lebih dua tahun yang lalu, Bang,“ jawab Cakra. Ternyata Kopcil berdiri saat aku sudah di luar negeri. Pantas saja aku belum pernah komunitas ini sebelumnya. Sheila juga tidak pernah cerita kepadaku tentang komunitas ini. “Apa yang mendorong kamu untuk mendirikan Kopcil?” tanyaku lagi. Cakra menghela nafas sejenak. Kemudian dia menunjuk kedua kakinya yang tidak sempurna. “Ceritanya dimulai dari sini, Bang.”
Aku terdiam sejenak. Suasana obrolan yang tadi ceria, mendadak menjadi terkesan datar dan serius. Aku mengangguk kecil, memberikan isyarat bahwa aku siap mendengarkan ceritanya. “Dulu kedua kakiku normal seperti orang kebanyakan. Sejak kecil, aku menekuni sepak bola. Bahkan aku bercita-cita untuk menjadi pemain sepak bola profesional,” kata Cakra memulai ceritanya. Dia berhenti sejenak. Aku tetap mendengarkan dengan saksama. “Hingga suatu hari, aku mengalami kecelakaan sepeda motor. Saat itu aku sedang membonceng adikku satu-satunya yang masih berusia dua belas tahun. Kecelakaannya begitu parah hingga kedua kakiku harus diamputasi. Aku kehilangan kedua kakiku, kehilangan mimpiku untuk menjadi pemain sepak bola. Tapi lebih dari itu semua, aku kehilangan adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi,” lanjutnya dengan nada yang semakin pelan.
Kembali aku terdiam mendengarkan ceritanya. Ada sesuatu yang sesak di dalam dadaku setelah mengetahui kenyataan memilukan itu. “Maaf, Cakra. Abang tidak bermaksud mengingatkan kamu dengan hal itu,” ucapku kepadanya. “Tidak apa-apa, Bang. Aku selalu menceritakan ini kepada semua orang yang ingin tahu latar belakang berdirinya Kopcil. Jadi aku sudah biasa dengan hal ini,” katanya menenangkanku. Dia melanjutkan ceritanya sembari memperhatikan anak-anak yang tengah asyik bermain sepak bola. “Awalnya tentu aku sulit untuk menerima itu. Aku harus merelakan mimpi besarku. Aku juga merasa bersalah karena lalai menjaga adikku dan juga diriku sendiri, sekalipun kedua orangtuaku mengatakan itu adalah musibah yang tidak bisa kita hindari. Pada akhirnya, aku menyadari pasti ada maksud Tuhan mengizinkanku untuk tetap hidup meskipun dalam kondisi cacat. Aku sadar, jatah hidupku yang masih ada ini harus kugunakan untuk berbagi manfaat dengan orang lain. Karena itulah, aku membentuk Kopcil.” “Jadi karena itukah kamu mendirikan komunitas untuk membina anak-anak?” tanyaku. “Benar, Bang. Sebagai persembahan rasa cintaku kepada adikku. Semua anak-anak disini adalah adik-adikku,” jawabnya mantap sembari menunjukkan senyuman terbaiknya.
Sebuah gol tercipta dari permainan sepak bola yang menemani obrolanku dengan Cakra. Dia bersorak gembira dari pinggir lapangan, seolah-olah dialah yang mencetak gol itu. Kekagumanku dengan pemuda ini semakin bertambah besar. Dia memang kurang secara fisik, tapi jiwa dan hatinya jauh lebih besar dari orang lain, termasuk aku. Aku menjadi malu kepada diriku sendiri. Aku tidak memiliki kekurangan fisik seperti dia. Aku lebih lama hidup daripada dia. Aku juga sudah melihat dunia lebih luas daripada dia. Tapi aku belum pernah memberikan kontribusi sebesar yang diberikannya.
Setelah puas mengobrol, aku pamit untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Sheila penasaran akan isi pembicaraanku dengan Cakra. “Abang, tadi ngobrol apa aja?” Aku tersenyum mendengarkan pertanyaan itu. “Tidak banyak kok. Intinya, Abang bergabung dengan Kopcil mulai hari ini,” jawabku mantap.
Cerpen Karangan: Vino Tri Mulia Blog: vinotm.tumblr.com