Ketika senyuman mentari menyambut datangnya hari dan suara kokokan ayam telah mengakhiri malam yang kelam, nampak seorang pemuda berseragam putih abu-abu memulai hari dengan sepeda butut peninggalan ayahnya. Hanya sepeda itulah yang dapat dipakainya untuk pergi ke sekolah. Jarak demi jarak ia lewati dengan kayuhan kakinya. Remaja itu sama sekali tak terlihat mengeluh oleh keadaan yang dialaminya. Terkadang ia sering diejek temannya. Sedih itu sudah pasti tertanam di hatinya, namun ia tahu posisi sang ibu kini sangatlah tak memungkinkan dirinya untuk meminta sesuatu. Ia lebih memilih untuk menahan rasa sedihnya sendiri dibanding harus melihat kesengsaraan ibunya bertambah lagi.
Setiap bel pulang terdengar, Bagas bergegas mengayuh sepeda tua kesayangannya untuk menemui sang ibu di sawah. Sesampainya di sawah, ia langsung menggantikan posisi ibunya membajak sawah. Sembari menunggu pekerjaannya diselesaikan oleh anaknya, beliau duduk di bawah pohon rindang. Terkadang sang ibu kasihan kepada anaknya, namun harus bagaimana lagi. Jika Bagas tahu bahwa ibunya sedang bekerja di sawah, ia tidak akan membiarkan ibunya tersebut kewalahan.
Tak lama kemudian, setelah Bagas selesai membantu sang ibu, ibu memanggil untuk menyuruhnya makan. Walau hanya ditemani oleh lauk tahu, tempe dan kecap pun mereka masih dapat bersenda gurau bersama. Setelah makanan yang dibawa habis, ibu mengajak Bagas pulang, dengan mengendarai sepeda, sang ibu duduk di belakang sambil membawa cangkul dan rantang nasi.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya mereka tiba. Bagas membantu ibunya membereskan alat bertani milik ibu yang penuh lumpur. Dengan tidak sengaja, Bagas melihat kaki ibunya yang terluka. Sontak saja Bagas terkejut dan terlihat khawatir, walau luka di kaki sang ibu hanyalah luka kecil. “Kaki emak kenapa?” tanya Bagas sambil meraba kaki ibunya. “Ini cuma luka kecil kok” jawab ibunya sambil menutupi lukanya. “Tunggu sebentar mak, Bagas ambil obat dulu” ucap Bagas. Ia berlari kesana-kemari mencari obat yang dimaksud. Setelah obat telah ditemukan, ia segera menghampiri sang ibu dan menyuruh beliau untuk duduk di kursi. Diusapnya kaki sang ibu dengan perlahan. Sembari mengobati kaki sang ibu, Bagas memberitahukan bahwa ia ingin sekali mengikuti tes robotik di sekolahnya. Siswa dengan robot yang terbaik itulah yang akan mewakili sekolahnya. Sang ibu mengizinkan anaknya. Bagas menampilkan ekspresi raut wajah gembira.
Ketika hari tes tiba, semua bahan-bahan dengan cepat disulapnya menjadi sebuah mahakarya yang jarang terpikirkan di otak teman-temannya. Sebuah tangan robot pemetik buah telah diciptakannya. Guru-guru sangat memuji hasil karya Bagas dan memutuskan untuk mengirimnya menjadi salah satu peserta yang akan mewakili sekolahnya. Dengan ekspresi muka gembira, ia mengucapkan terimakasih kepada guru-gurunya. Saat bel pulang yang ditunggu-tunggunya telah tiba, dengan gesit ia menemui sang ibu dan menceritakan apa yang dialaminya tadi. “Emak, Bagas terpilih sebagai peserta lomba untuk mewakili sekolah. Do’akan saja ya mak, semoga Bagas dapat memenangkan lomba” teriak Bagas sambil berlari menuju ibunya. Sang ibu hanya tersenyum sembari menepuk pundak anaknya. Dengan giat ia berlatih dan mencoba segala sesuatu yang belum diketahuinya.
Satu minggu kemudian, kini saatnya ia membuktikan kemampuannya pada dewan juri. Dirancangnya sekian banyak bahan dan dirakit menjadi satu. Ia harus teliti dan cermat, apabila ia ingin menyabet juara satu. Setelah sekian lama Bagas menguras waktu, akhirnya karyanya dapat diselesaikan. Saat mendengar komentar juri, Bagas terkejut sekali, lantaran hasil karya tersebut tidak memenuhi kriteria. Juri berkata padanya bahwa hasil karya yang Bagas hasilkan sudah sangat umum. Mendengar komentar pedas dari para juri telah membuatnya kecewa.
Selepas mengikuti lomba, ia pulang dengan raut wajah kecewa. Melihat mimik muka yang tak wajar dimiliki oleh anaknya, sang ibu bertanya keheranan “Bagas, kenapa? Bagaimana lomba kamu?”. Bagas menjelaskannya perlahan “Bagas tadi didiskualifikasi. Juri menyangka bahwa hasil karyaku ialah hasil menyontek. Karena sebelum aku mengumpulkan karyaku, ada siswa dari sekolah lain yang telah mengumpulkan karyanya terlebih dahulu sebelum aku. Sudahlah mak, mungkin ini semua sudah takdir Bagas. Selepas ini, mungkin Bagas harus lebih giat lagi untuk berlatih”. Sang ibu merangkul tubuh Bagas dan mengusap kepalanya untuk menenangkan hati anaknya yang terlanjur kecewa.
Hari demi hari kejadian itu masih saja teringat dalam memori Bagas. Sampai akhirnya ia mulai menciptakan hal yang terpikir dalam otaknya. Sebuah mobil pengangkut bertenaga surya telah dibuatnya. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuatnya. Sebuah mobil ciptaannya akan diberikan untuk petani di desa. Dengan harapan bahwa mobil tersebut dapat membantu mengangkut hasil panen para petani di desa itu. Namun apa yang terjadi tidak sesuai keinginan. Ada beberapa warga yang beranggapan bahwa mobil tersebut dapat mematikan mata pencaharian sebagian warga di desa tersebut. Bagas bingung harus menjelaskan bagaimana lagi kepada warga bahwa ia menciptakan mobil pengangkut itu hanya sekedar untuk membantu saja. Sebagian warga tetap menolak penjelasan yang diberikan Bagas. Kali ini, Bagas benar-benar bingung. Ia menceritakan tentang musibah yang dialaminya kepada sang ibu. Yah, hanya ibunyalah satu-satunya orang yang dapat menjadi tempat curahan hatinya.
Dengan saran sang ibu, kini Bagas telah mengetahui apa yang harus ia katakan pada warga desa yang menolak penjelasannya. Dengan bantuan perangkat desa, ia mengumpulkan semua warga desa dan menjelaskan cara memakai mobil pengangkut yang benar. “Bapak/Ibu saya mohon perhatiannya. Saya menciptakan mobil pengangkut ini memang sengaja untuk meringankan pekerjaan Anda sekalian. Saya tahu bahwa sebagian dari kalian menolak alat tersebut dengan beralasan memutus mata pencaharian anda semua sebagai petani pengangkut beras. Saya akan memberitahukan pada kalian bahwa alat ini dapat digunakan seperlunya saja. Alat ini bisa digunakan apabila ada salah satu dari kita yang tidak dapat mencari nafkah setiap waktu. Saya berharap bahwa Bapak/Ibu dapat mengerti penjelasan saya”. Dengan penjelasan yang cukup panjang itulah yang dapat membuat warga desa mengerti.
Suatu sore, saat cahaya senja mulai memudar, ada seorang laki-laki yang mendatangi rumah Bagas. Laki-laki itu berkata bahwa saat ini, Bagas sedang ditunggu oleh orang penting di rumah kepala desa. Dengan penuh rasa penasaran, ia meminta izin kepada ibunya dan segera menuju rumah kepala desa. Saat Bagas baru saja memasuki rumah kepala desa sambil mengucapkan salam, ia dikejutkan oleh kedatangan Bupati. Ia duduk tepat di samping Pak Bupati. Bupati itu berkata bahwa beliau datang ke desa lantaran akan memberi penghargaan, beasiswa kuliah dan uang tunai untuk Bagas atas mahakaryanya. Kali ini Bagas benar-benar bahagia sekali.
Cukup lama Bagas berada di rumah kepala desa, akhirnya ia mohon pamit pamit menuju rumah. Dengan mudahnya Bagas membuka pintu rumah yang tak terkunci. Ia mencari-cari sang ibu, karena ia ingin memberikan kabar gembira. Ekspresi wajah yang mulanya tersenyum lebar, kini berubah menjadi rasa kekhawatiran. Dari tadi ia mencari-cari ibunya, namun tak ditemukan. “Dimana emak?” pikirnya dalam hati. Dengan tak sengaja, Bagas melihat sang ibu terjatuh pingsan di dapur. Bagas berteriak keras sambil mencari pertolongan. Banyak warga datang dan membantunya untuk membawa sang ibu menuju rumah sakit.
Dengan lemas sang ibu tergeletak di atas peraduan. Sedih yang dialami Bagas tak kunjung sirna. Ia terus menampakkan mimik muka kekhawatiran. Bagas melangkah menuju kamar ibunya. Seakan-akan sang ibu mendengar suara jejak kaki anaknya, ia tersadar. Dengan penuh rasa khawatir ia bertanya “Emak, kenapa?”. “Mungkin Emak hanya kecapaian. Maklum, Emak sudah tua” jawab ibunya dengan nada yang terbata-bata. “Emak jangan bilang begitu. Mau muda atau tua, Emak tetap malaikat Bagas” ucap Bagas. “Subhanallah, Emak bahagia punya anak seperti kamu” balasnya. Air mata haru mulai menetes di pipi sang ibu.
Setiap hari, dengan sabar Bagas menemani sang ibu di rumah sakit. Ia menyuapi ibunya seperti ibunya menyuapinya ketika kecil. Seketik itu, dokter dan perawat masuk ke kamar sang ibu untuk mengecek keadaan beliau. Saat dokter akan pergi, beliau meminta Bagas untuk ikut bersamanya. Dokter mengajak Bagas ke ruangannya. Di dalam ruangan itu, dokter menjelaskan tentang penyakit yang diidap sang ibu selama ini “Nak Bagas, mohon maaf sekali, kami telah berusaha sekuat tenaga. Namun saat ini anda harus banyak berdoa karena keadaan ibu anda tidak memunginkan dirinya untuk sembuh total”. “Maksud anda dok? Penyakit ibu saya sudah tidak bisa disembuhkan?” tanya Bagas dengan panik. “Ibu anda menderita penyakit Leukimia. Dan penyakit yang diidap beliau telah sampai stadium akhir” jelas dokter. “Kenapa dokter baru katakan sekarang?” tanya Bagas. “Sebenarnya saya ingin memberitahu anda, namun sebelum itu, ibu anda telah berkata pada saya bahwa beliau melarang saya untuk memberitahu anda tentang penyakitnya. Saya rasa ibu anda tidak ingin melihat anaknya sedih. Maafkan saya” jawab dokter. “Lalu ibu saya bisa bertahan berapa lama kira-kira dok?” tanya Bagas kembali. “Mungkin sekitar seminggu” jawab dokter. Mendengar semua penjelasan yang dilontarkan dokter kepadanya, Bagas merasa sedih sekali. Mulai saat itu, ia semakin rajin merawat sang ibu, walau akhirnya ia tahu bahwa sang ibu akan pergi tuk selama-lamanya.
Saat malam tiba, sang ibu mengucapkan selamat malam untuk Bagas. Bagas menjawab perkataan ibu. Ia memeluk sang ibu dengan erat seakan-akan ia tak merelakan ibunya pergi kemana-mana. Sang ibu berkata dalam pelukan anaknya “Jika kamu sukses nanti, kamu tidak boleh sombong dan lupa diri. Ingat, kamu dulu seperti mereka. Kamu juga jangan tinggalkan ibadahmu. Karena ibadahmulah yang dapat membawamu dan ibu ke surga” ucap ibunya. Bagas hanya membalas dengan raut wajah kesedihan. Seketika itu pula tubuh sang ibu mulai lemah. Bagas cepat-cepat memanggil dokter. Setelah dokter memeriksa ibunya, ia berkata “Mungkin ini sudah waktunya”. Bagas membantah perkataan dokter “Tidak dok, ibu saya pasti kuat”. Sang ibu merintih kesakitan sambil berkata “Kamu harus ingat dengan pesan yang disampaikan ibu tadi. Emak pamit”. “Emak ikutin kata Bagas ya. Laa ilaaha illallah”. Dengan nada yang sangat kecil sambil merintih kesakitan dan akhirnya ibunya pun pergi. Bagas mengusap semua air matanya. Ia memeluk jasad sang ibu dengan genggaman erat. Mau tak mau, ia harus merelakan ibunya pergi. Bagas mencoba mengikhlaskan kepergian sang ibu walau terasa sedih di hati. Ia sangat meyakini bahwa memang raga ibu kini tak bersamanya, namun kenangan sang ibu masih terekam jelas dalam memorinya.
Dulu, setiap hari Bagas lalui bersama ibunya. Namun kini, ia harus bisa hidup tanpa sang ibu. Setelah lulus dari SMA dengan nilai yang tinggi, ia meneruskan pendidikannya di Universitas. Karena beasiswa dari Bupati, akhirnya ia dapat melanjutkan pendidikan sampai menjadi sarjana. Walaupun di acara wisudanya sang ibu tak ada, tetapi ia tetap bahagia, karena ia yakin bahwa kini ibunya sedang memperhatikannya dari surga.
Cerpen Karangan: Nurlaili Zahra Facebook: Nurlaili Zahra