Kuawali catatan ini dengan sebuah kata Tanya yang bagi sebagian besar kaum memerlukan jawaban yang berbelit dan memusingkan. Mengapa?. Sebuah kata tanya yang sangat sederhana. Tersusun dari tujuh huruf yang antar satu huruf dengan yang lainnya tidak berdekatan sama sekali. Sebuah kata tanya yang mengacu pada suatu definisi dan penjabaran mengenai suatu hal. Diceritakan berdasarkan kronologi. Dan memiliki dasar peletakkan jawaban. Tapi, barulah kali ini. Aku mendengar sebuah kata tanya “Mengapa” dapat diselesaikan dengan juga hanya satu kata saja. Sebuah kata yang kemudian harinya merubah segalanya dalam hidup. Hidupku? Kurasa begitu…
Mengapa?. Terdengar sempurna saat diucapkan oleh seorang tuna netra yang duduk di sebuah bangku panjang yang diperutukan sebagai tempat istirahat bagi mereka yang telah kelelahan berjalan hilir-mudik dari rumah ke sekolah. Dari rumah ke kantor. Atau dari arah sebaliknya. Sekilas aku berpikir dia bermaksud meminta iba kepada orang yang lalu lalang di depannya. Saat itu, aku yang merasa lelah atas kakiku karena sudah berjalan selama sepuluh menit dari sekolah hendak pulang ke rumah, duduk. Tepat di sebelah kanannya. Aku sedikit terkejut tatkala melihat dia langsung menolehkan kepalanya ke arahku. Namun, rasa kagetku itu langsung hilang karena aku menyadari bahwa… Seorang tuna netra, tidak dapat melihat kemilau dunia. Hanya dapat merasakan denyut nadi serta detak jantungnya saja. Seorang buta tidak dapat melihat keindahan ciptaan yang-Mulia. Tapi, pastilah dibekali dengan perasa dan peraba yang lebih baik jika dibanding dengan seorang lainnya. Aku tidak berkata apa-apa, tidak juga membuat suara yang dapat menarik perhatian seorang tuna netra itu. Sekilas kupandangi, terlihat olehku sepertinya dia masih muda. Mungkin 20 tahun. Atau bahkan seumuran denganku. Aku tak bisa menebak dengan pasti berapa usianya. Sehingga itu membuatku sedikit lebih canggung untuk berinteraksi lebih jauh dengannya.
Cukup istirahatnya. Time to go!. Saatnya untuk pulang. Aku berdiri meninggalkan laki-laki tuna netra itu tanpa mengucapkan sepatah-kata perpisahan pun padanya. Toh.. sedari tadi aku hanya duduk diam. Dan sesekali memandanginya saat dia kembali mengulangi pertanyaan yang sama kepada angin lalu. Pikirku. Aku kembali berjalan menyusuri luasnya Bengkulu. Setapak demi setapak aku lewati hingga sekarang aku sudah berada di sebuah rumah gaya vintage. Ya.. rumahku. Lebih tepatnya, rumah peninggalan almarhum ayahku. Aku tinggal sendiri di sini. Ayahku meninggal 5 tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku kelas sepuluh. Dan saat itu pun aku masih bersekolah di salah satu SMA di desa. Ibuku.. Ohh.. pantaskah ia disebut sebagai seorang ibu?. Itulah pertanyaan yang selalu terngiang di kepalaku saat aku mengigat sosok perempuan yang hanya melahirkan, tidak membesarkanku itu. Dia pergi sejak aku masih bayi. Dia pergi tanpa alasan. Begitulah yang aku ketahui dari almarhum ayahku dulu saat aku menanyaainya tentang sosok ibu. Tapi, itu adalah pemikiran ketika aku masih duduk di bangku SMP dan SMA. Sekarang, persepsi itu perlahan berubah. Walau bagaimanapun ; rupa, bentuk, sifat, kelakuan seorang ibu. Dia tetaplah Ibu. Orang dengan penghormatan tertinggi bagi seorang anak. Itulah pendapatku yang sekarang ini, jika ditanyai akan sosok seorang ibu. Meskipun aku hanya sendiri. Biaya hidup ; makan, sekolah, pakaian, dan sebagainya. Semuanya dibiayai oleh keluarga terdekat ayahku. Ayahku merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Berasal dari keluarga golongan menengah atas membuat aku terbiasa hidup berkecukupan. Bahkan saat ditinggal ibu. Dan sampai ditinggal oleh satu-satunya orang yang senantiasa mendidik dan membesarkanku. Ayah. Saat hari dimana ayah dinyatakan meniggal oleh salah seorang dokter rumah sakit tempat ayahku dirawat. Aku tidak henti-hentinya menangis. Menjerit hanya kulakukan dalam hati. Karena aku tak ingin berlarut dalam keterpurukan. Let It Go. Hanya itu satu-satunya kalimat motivasi yang aku punya. Dan saat itu, meskipun usiaku baru menginjak 15 tahun. Tapi, pikiranku sudah menuntunku untuk bersikap dewasa. Meratap hanya akan menambah luka. Bersedih hanya akan menambah duka. Satu hal yang hanya bisa dilakukan sekarang adalah berdo’a. Begitulah isi dari kepalaku seterusnya. Aku selalu menyempatkan diri untuk berdo’a. Sesekali aku menyunggingkan senyum, mengingat kerja keras ayahku selama ini berhasil. Ia telah mendidik seorang bocah kecil. Menjadi seorang anak yang berbakti, dan taat beribadah. Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikah guru terbaik sepanjang masa kepada hamba. Terimalah ia disisi-Mu Tuhan. Jagalah dia. Amin.
Kuselesaikan do’aku untuk hari ini. Dan kembali menghadap meja untuk menyelesaikan tugas membuat karangan cerita yang diberikan dosen Bahasa tadi siang. Tidak lupa aku menyetel alarm terlebih dahulu di handphoneku untuk berjaga-jaga siapa tahu aku terlelap sebelum menyelesaikan tugas ini. Setelah alarm terpasang, aku mulai mengetik sebuah kalimat yang aku dapat siang tadi. Tepatnya saat aku duduk di samping seorang tuna netra yang bertanya-tanya sendiri tanpa mengharapkan jawaban dari orang yang lewat di depannya.
—
Hari ini aku pulang cepat. Dosen yang seharusnya masuk. Tiba-tiba menunda kelas dikarenakan ada urusan mendadak. Tidak bisa dipungkiri. Aku merasa senang karena mendapat libur gratis seharian ini. Semua teman-teman satu kelasku pulang ke rumah masing-masing setelah mendapat pemberitahuan dari pak dosen. Dan aku, tentunya aku pergi ke tempat dimana terakhir kali aku bertemu dengan seseorang yang telah memberiku inspirasi untuk memulai menulis sebuah cerita sebagai pemenuhan tugasku –meskipun tugas itu belum selesai sepenuhnya-.
Aku tiba di tempat kemarin aku bertemu dia. Seorang laki-laki tuna netra. Aku berpikir. Aku memikirkan sebuah tempat bagi seorang tuna netra untuk menghabiskan jam-jam sepi harinya. Jembatan? Taman? Kebun Binatang?. ataukah laki-laki itu bekerja?. Tidak. Sepertinya laki-laki itu tidak memiliki pekerjaan. Buktinya saja kemarin dia menggerutu atas keadaannya. Aku penasaran apakah dia sekarang berada di salah satu tempat yang aku sebutkan. Segera aku pergi ke salah satu taman di Kota Bengkulu. Namun nihil. Entah atas dasar apa, aku lalu beranjak melaju ke sebuah kebun binatang terbesar di kota Bengkulu. Sebuah lahan seluas kurang lebih 20 hektare. Ditanami dengan berbagai jenis pohon beringin dan pinus. Membuat udara dan suasana di sini sejuk dan nyaman. Aku berkeliling memeriksa satu persatu bangku panjang yang berada di bawah pohon dan di depan kandang hewan di sekitar kebun binatang ini. Hingga setelah pencarianku selama kurang lebih lima belas menit. Aku menemukan seorang laki-laki tengah duduk santai di sebuah bangku di depan kandang seekor reptile berbisa terbesar di kebun binatang ini. Ahh.. itu pasti orangnya.. terkaku dalam hati. Aku lalu mendekati orang itu. Dan memang benar. Itu dia. Kali ini, aku sengaja mendatangi dia untuk mengucapkan terima kasih. “Selamat siang. Pak. ” Sapa ku lebih dulu. Laki-laki itu langsung menoleh ke arahku. Sekarang aku tak lagi terkejut. Dan tampaknya dia yang terkejut. “Apa kamu berbicara dengan saya?” Tanyanya sejurus kemudian untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Bahwa ada orang lain yang mengajaknya berbicara. “Iya, aku yang berbicara. Namaku El pak.” Jawabku dengan nada datar. “Tidak.. tidak.. jangan panggil aku pak. Aku berusia 19 tahun. Hanya mataku saja yang tidak seperti mata kebanyakan anak muda lain.” Jawabnya. Sedikit mengagetkanku memang. “Oh, jangan bicara seperti itu. Semua orang memiliki kekurangan pada diri mereka masing-masing. Termasuk aku sendiri. Aku sangat sulit mendapatkan inspirasi ataupun ide untuk menulis. Entah itu sebuah karangan, makalah, dan lain sebagainya. Sampai hari kemarin, aku bertemu dengan anda.” Jawabku sedikit demi sedikit membocorkan tujuanku mendatanginya. “Lalu, ada apa kamu kemari?” Tanya nya. “Sebelumnya, ma’af jika aku lancang. Tapi, boleh aku tahu namamu?” Tanyaku balik. Bermaksud lebih mengakrabkan diri. “Aku Sin. Beritahu aku usiamu?” Tanyanya lagi. “Aku masih kuliah semester empat. Usiaku 19 tahun.” Jawabku. “Lalu, ada apa kamu Kamari?” Dia mengulangi pertanyaannya yang tadi. Yang kuingat memang belum aku jawab. “Aku ingin mengucapkan terima kasih.” Jawabku singkat. “Untuk apa?” Tanyanya penasaran. Dia tampak tidak mengerti. Aku mengerti, bagaimana mungkin seorang tuna netra dapat membantu orang lain yang bahkan belum dikenalnya. “Untuk inspirasi yang kamu kasih. Saat aku mendengar pertanyaan kamu kemarin di sebuah bangku di pinggir jalan.” Jawabku mengingatkannya. “Ah, pertanyaan konyol itu? Iya.. aku ingat pertanyaan itu. Bahkan bagiku itu tidak berguna. Mankanya aku mengulangnya berkali-kali.” Jawab Sin. “Mengapa aku tidak bisa melakukan apa-apa?” kataku. Tidak bermaksud bertanya. Hanya mengingat. Tapi, aku tidak habis pikir. Sin lantas menjawab kata-kataku yang dikiranya pertanyaan itu. “Omong kosong. Kamu bisa melakukan apa saja. Sekolah, bekerja, kamu bahkan bisa pergi ke manapun yang kamu mau. Dan tentunya melakukan apapun yang kamu inginkan.” Katanya. “Apa bedanya dengamu?”. Jawabku. “Aku buta. Berjalan saja aku terbatas. Aku buta. Mustahil hidup kujalani.” Jelas Sin dengan nada sedikit tinggi. Aku hanya termenung mendengarnya. Entah apa aku mendatangi sosok yang sama dengan yang kutemui hari kemarin?. Entahlah. Sulit dipercaya. Aku hanya bisa berpamit untuk pulang setelah mendengar kata frustasi laki-laki itu. Mengapa bisa, sebuah harapan patah hanya dengan satu kata?. Mustahil. Mengapa?. Pertanyaan itu terngiang di kepalaku bahkan sampai aku tiba di rumah.
—
Menit berlalu begitu cepat, dua hari telah lalu. Dan dua hari pula aku tidak berjumpa dengannya. Sin. Aku penasaran apa yang sedang dia lakukan sekarang. Ohh.. duduk. Ya.. hanya itu yang ia lakukan. Pikiran liar itu muncul begitu saja dan berlalu begitu saja. Aku kembali mencoba fokus ke tulisanku. Seolah inspirasi itu lenyap begitu saja. Hilang. Aku bergegas pergi ke tempat awal pertemuanku dengannya. Tempat awal ide menulis itu muncul. Sebuah bangku panjang di sisi jalan raya. Tepatnya dari orang yang duduk di bangku itu. Aku sampai, dan beruntungnya aku kali ini. Aku tidak perlu bersusah payah mencari orang yang kumaksud. Dia tengah duduk menatap kosong ke arah jalanan yang ramai penuh sesak kendaraan roda empat. Ya.. pastinya kosong. Buta. lagi-lagi pikiran tak bermoral itu muncul, dan untungnya cepat hilang. Ada yang aneh, dia tidak sendiri. Ada seorang pemuda lagi di sampingnya. Begitu sehat, berbanding terbalik dengan Sin. Setelah kuperhatikan cukup lama. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Kujabat tangan pemuda itu. Hangat. Saat kusebut kata hangat dalam hatiku, itu berarti tubuhnya lebih hangat dari manusia normal. Sontak aku berpikir bahwa pemuda itu tidak sebugar yang terlihat.
Aku berkenalan dengan dengan pemuda itu, dia memperkenalkan namanya padaku. Dengan nada datar namun tegas. Pemuda itu memberitahukan namanya. “Zu,.” Asing?. Ya, dia adalah anak pendeta china yang sudah lama tinggal di Indonesia. Dan baru satu tahun tinggal di Bengkulu. Jumpa pertama, dia sudah menceritakan semua kehidupannya padaku. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku hanya mendengarkan ceritanya. Toh.. aku juga sedang mencari inspirasi. Untungnya aku datang ke tempat ini. Bak memang sudah digariskan bahwa tempat ini sebagai media penumbuh inspirasi bagiku. Entahlah. setelah lima belas menit lebih telah berlalu. Zu menghentikan ceritanya. Lalu, hal yang sama sekali tak kuterka. Dia mengajukan pertanyaan kepadaku dan Sin. “Mengapa, mengapa aku tidak bisa melakukan apa-apa?” Tanyanya. Tanpa tujuan. Dia menanyakan kepadaku dan Sin. Aku sedikit histeris mendengar pertanyaan itu. Mengapa?. Mengapa menanyakan pertanyaan yang sama dengan Sin?. Seolah dia memiliki kekurangan yang jauh lebih banyak dari Sin. “Apa maksdumu? Kau terlihat sangat sehat. Postur tubuhmu ideal.” Jawabku. Meyakinkan bahwa penglihatanku tidak salah. Terlihat Zu menyunggingkan senyum. Lalu dengan suara lirih menjawab perkataanku. “Sehat?. Terima kasih. Tidak ada yang mengatakan aku sekarat ketika pertama kali bertemu.” Jawabnya. Aku begitu kebingungan. Berusaha mencerna perkataan Zu barusan. Sekarat?. Apa yang dia maksud, dengan sekarat?. Seolah dia akan mati besok saja. Padahal, lihatlah dia. Badannya pun lebih berisi dariku. Entahlah. “Apa yang kau maksud dengan kondisimu yang saat ini?” tanyaku penuh penasaran. “Aku memiliki tiga dari 27 penyakit mematikan dalam tubuhku. Leukimia, gagal ginjal, dan kanker pankreas. Sehingga massa hidupku hanya tinggal enam bulan. Sekedar memberitahu, jika itu benar. Maka hidupku hanya hari ini dan besok.” Tutur Zu datar. Sepertinya Sin sama terkejut denganku. Dia reflex menatap Zu. Meskipun matanya kosong. Aku menerka, andai dia normal, sekarang dia pasti sudah meneteskan air mata. Aku terkaku. Setengah percaya. Setengah hatiku merasa tidak percaya atas apa yang menimpanya. Karena, lihatlah dia. Begitu bersemangat. Penuh percaya diri. Bagaimana bisa penyakit itu bersembunyi di balik tubuh yang hangat itu. Entahlah.
“I’m sorry to hear that. Lalu, bagaimana keadaan temanku ini?. Jika dilihat dari sudut pandangmu. Yang penuh dengan kepercayaan untuk terus bertahan hidup. Dan siap menerima apa pun yang terjadi.” Kataku. Sedikit menyelipkan pertanyaan jebakan. Sebagai wise untuk Sin, dari orang yang memiliki bahkan kekurangan yang lebih banyak darinya. “Hidup adalah jalan Tuhan. Tetapi menjalankannya, itu tergantung diri masing-masing orang. Jika kita memikirkan sebuah langkah yang sulit dalam hidup, kita akan mendapatkannya. Pun sebaliknya. So, Cara terbaik untuk mendapatkan awalan dan akhir hidup yang baik adalah dengan memikirkan langkah yang mudah, langkah yang enteng. Bukan langkah yang sulit dan berat. Dalam menjalankan kehidupan. Dan Sin, dengan keterbatasanmu. Itu seharusnya memacu kamu untuk tidak mengambil langkah sulit dalam menjalankan kehidupan. Karena kamu sadar kalau kamu tidak mampu. Oleh karena itu, pikirkan selalu langkah mudah untuk menjalani kehidupan setiap kali kamu dalam keadaan yang sulit. Bahkan daun yang jatuh, tidak pernah membenci angin. Maksudku, apa pun yang terjadi padamu, jangan pernah membenci pemberian Tuhan. Sekecil apapun. Sedikit apapun. Seburuk apapun. Itu akan ada manfaatnya. Karena Tuhan tidak pernah menciptakan suatu yang sia-sia.” Zu menghentikan perkataannya. Dan menarik nafas dalam-dalam. Lalu memandang langit. Aku tidak pernah merasa sedamai ini sebelumnya. Entah atas dasar apa.
Pikiranku berbalik ke masa lalu. Tepat saat aku berusia 6 tahun. Kuingat, saat itu aku berada di ruang tamu. Menonton televisi bersama ayah. Aku bertanya ke ayah, di mana ibuku berada?. Ayah yang dengan datarnya menjawab kalau ibuku pergi meninggalkanku saat aku masih bayi. Kubalas dengan bentakan keras serta makian yang tak pantas diucapkan kepada orang yang lebih tua, dan sejak saat itu aku membenci sosok ibu. Lalu aku ingat perkataan Zu tadi. Kehidupan kita yang menjalankan. Langkah ringan atau berat. Itu merupakan pilihan. Ya.. Zu benar. Mungkin sejak saat itu aku telah salah karena memilih jalan sulit menjalankan hidup.
Aku bersyukur karena takdir telah mempertemukanku dengan dua sosok paling istimewa dalam hidupku. Tentunya setelah ayah. Sin. Zu. Mengapa?. Mengapa Tuhan menyuruhku untuk kemari dulu?. Mengapa Tuhan menyuruhku ke kebun binatang kemarin lusa?. Dan mengapa Tuhan menyuruhku kemari hari ini?. Itulah yang dinamakan takdir. Begitulah yang aku pelajari dari Zu.
“Ehh.. ma’af aku harus segera pulang. Besok aku ada jadwal check-up. Bye guys. Nice to meet you all. Terutama kamu El, terima kasih sudah menjadi teman terbaik yang pernah ada.” Kata-kata Zu barusan memecah suasana hening yang sesaat tercipta setelah Zu menceritakan buah pikirannya terhadap Sin, yang aku tanyakan padanya tadi. Zu berdiri setelah mengucapkan salam perpisahan dan berjalan santai pulang ke rumahnya. Sin masih diam di tempat. Aku sedikit mendekat padanya. Bermaksud hendak memulai percakapan, ternyata Sin memulai duluan. “Mengapa?. Ada orang setegar dia di dunia ini?.” Tanya Sin padaku. “Untuk meneguhkan jiwa kita orang yang lemah.” Jawabku singkat. “Selain itu?” Tanyanya lagi. “Sebagai symbol yang membedakan, yang mana makhluk Tuhan yang asli. Yang mana yang bukan.” Entah kalimat itu datang dari mana. Aku bahkan tidak pernah memikirkan kalimat serupa itu dalam otakku. “Kamu tahu? Dia benar. Aku selama ini selalu memilih jalan sulit. Aku berusaha untuk menjadi orang normal. Kupikir aku bisa. Ternyata tidak. Dan sekarang, aku akan mencoba untuk memikirkan jalan mudah. Contohnya, aku akan kembali meneruskan mimpiku yang sempat tertunda…” Sin tampak sengaja memutus perkataannya. “Mimpi? Mimpi apa?.” Tanyaku sejurus kemudian. Dan disusul oleh teriakan penuh antusian dari Sin. “Menjadi penulis..!!.” Jawabnya. Aku terpana mendengar jawaban Sin. Tak kusangka dia ternyata penuh ambisi untuk menjadi penuli. Meskipun dengan keterbatasan. Aku yakin dia bisa. Dan aku juga pasti bisa. Itulah yang kutahu selalu diinginkan oleh ayahku. Aku bisa melakukan segalanya sendiri. Dan membuktikannya. “Mustahil” adalah kata yang aku dapat setelah aku dengan sempurna mencerna perkataan Zu tadi. “Mustahil” dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan “Mengapa” yang memerlukan jawaban yang panjang. Mengapa aku tidak bisa melakukan apa-apa? Jawabannya Mustahil. Dan, bagi yang meragukan Sin. Yang di dalam otaknya tersimpan pertanyaan. Mengapa bisa, orang buta menjadi penulis? jawabannya mustahil. Mustahil Sin tidak bisa menulis. Karena yang dia gunakan untuk menulis adalah tangan bukan mata. -itu adalah jawaban asli dari Sin, saat aku menanyakan tentang keraguanku padanya-
Terima kasih Tuhan, lewat perantara-Mu, Zu, Engkau telah membuka pintu semangat yang menyimpan beribu mimpi dalam hati kami. Dan Engkau membangkitkannya. Dan Zu, terima kasih sobat. Kau telah menjadi pemimpin jalan kami. Aku dan Sin. Selamanya kita adalah sahabat.
Cerpen Karangan: Ahmad Redho Blog / Facebook: edho16.blogspot.com / OfficialEdho