Tiada hari tanpa aroma pisang goreng di dapur emak. Itu yang Ana rasakan ketika terbangun dari tidurnya. Dan aroma teh panas menyapa pagi Ana dengan kehangatan. Ia mengunyah pisang sembari sesekali meneguk teh hangat buatan emak. Ana hanya tinggal berdua dengan ibunya yang biasa ia sebut dengan sebutan emak sebab tahun lalu ayahnya meninggal dunia karena sakit. Untuk itu Ana harus menjual pisang goreng buatan emak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolahnya.
Seperti biasa Ana harus menitipkan sebagian barang dagangannya di kantin dan sebagiannya lagi ia jual kepada teman-teman kelasnya. Ana adalah murid yang pandai di sekolah, predikat juara umum masih ada pada genggamannya. Tidak hanya prestasi akademiknya yang menonjol prestasi non akademik pun ikut muncul berdampingan mengiringi harinya. Ia sangat pandai membuat puisi dan cerpen karena itu menulis adalah hobinya sejak kecil. Tiap tahunnya ia selalu mewakili sekolah mengikuti ajang lomba cipta puisi hingga ke tingkat Nasional.
Tetapi walau begitu tidak ada yang ingin berteman dengannya. Mereka semua malu berteman dengan Ana hanya karena Ana seorang penjual pisang goreng keliling. Tiap hari cacian dan cibiran datang menghampiri tetapi semangatnya mengalahkan emosinya. Kini Ana menyadari ia sudah duduk di bangku kelas XII SMA karena itu Ana tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan tentangnya. Sikapnya memang cuek.. tetapi sebenarnya dia memiliki hati nan lembut. Ibunya selalu mengajarkan untuk bersabar dan memaafkan kesalahan orang lain.
“dasar anak tukang jual pisang!! Pergi lo.. dari kelas ini.. lo enggak pantes berada di sekolah ini. Sekolah ini hanya untuk orang-orang high class kaya kita.” Cibir tasya. Walau begitu Ana tetap tidak peduli ia tetap membaca bukunya walau ribuan mulut memcaci. “heh.. anak pisang!! Lo denger enggak sih? Enggak punya telinga?” bentak Tasya sembari melempar buku tebal ke arah muka Ana. Yap!! Hampir saja buku itu mengenai muka Ana, untung saja seorang pria bertubuh tinggi menangkap buku yang hampir mengenai muka Ana. “Apakah hanya orang-orang high class yang boleh berada di sini?” matanya menatap tajam mata Tasya dengan penuh emosi. Mulut tasya mulai bergumam sembari memainkan pulpen. “jawab!! Setidaknya dia berada di sekolah ini karena otaknya bukan uangnya.” Ujar pria jangkung dengan sinis. Tasya hanya terdiam saat mendengar perkataan pria itu. “terimakasih” ucap Ana singkat sembari memegang buku dan meninggalkan ruang kelas. Ia berjalan menuju kantin untuk mengambil hasil penjualan pisang hari ini. “pisangmu laku terjual dan kalau bisa besok bawa yang lebih banyak lagi Ana, ini uang penjualan pisang hari ini.” Ujar ibu kantin “terima kasih banyak, bu.” Ucap Ana.
Sepulang sekolah Ana di rumahnya sudah ada selembar surat yang menyatakan bahwa pihak penerbit tertarik dengan naskah yang ia kirim tahun lalu. Dan akan menerbitkan novel Ana berjudul “Tawa Mentari Pagi” esok lusa.
Beberapa hari setelah penerbitan bukunya ia mendapat kabar bahwa novel ciptaannya laku terjual hingga ribuan. Sore ini ia pergi ke kantor pos untuk mengambil uang hasil penjualan novelnya sebesar Rp. 35.000.000. “emak… emak.. lihat ini mak.” Teriak Ana dari ruang tamu. “iya ada apa Ana? Uang sebanyak ini milik siapa Ana?” tanya emak dengan muka terkejut. “ini hasil dari novel yang diterbitkan minggu lalu, Mak. Uangnya Ana akan gunain untuk modal dagangan emak.” Emak merasa sangat bahagia dan memeluk Ana dengan erat. Ana adalah anak semata wayang hal itu tidak membuatnya menjadi anak yang manja. Ia juga pandai memanfaatkan kesempatan luang yang ada.
Keesokan paginya di sekolah anak-anak ramai membicarakan novel terbitan terbaru. Mereka terkejut ternyata penulis novel tersebut adalah Ana. Berbeda dengan Tasya ia tetap saja berlagak sombong. “apaan sih.. baru juga jadi penulis novel. Nih ya kalian liat nanti seorang Tasya akan menjadi artis besar. Dan kalian pasti akan mohon-mohon minta foto. Kalo penulis doang sih.. ya lama-lama juga meredup.” Ujar Tasya dengan nada sinisnya. Mendengar ucapan Tasya, Ana hanya tersenyum. Rupanya buku tidak dapat terlepas dari tangannya. Bahkan ketika teman-temannya makan di kantin ia lebih memilih pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Bagi Ana pisang yang emak buat pagi hari itu sudah cukup mengisi perutnya yang kosong. Uang sakunya ia tabung untuk kebutuhan lainnya.
“Ana selamat ya kamu sudah berhasil menerbitkan novelmu, ibu suka sama karya satramu itu. Terus berkarya Ana, tetapi ingat lusa sudah mulai UN jadi kamu harus terus belajar.” Kata Bu Berta dengan penuh motivasi. “siap bu!!” berlari ke ruang kelas. “nih ya guys.. papah aku udah siapin guru privat terbaik di kota ini. Jadi kemungkinan juara umum UN tahun ini akan Tasya genggam.” sembari tertawa kegirangan. “wah papah kamu hebat juga ya, Sya.” Puji Lina dan teman-teman yang lainnya. “heh anak pisang!! Jangan harap predikat juara umum akan jatuh ke tangan lo. Urusin aja tuh pisang lo.. biar gak basi.” Ujar tasya, “mau lo apa sih, Sya?” ujar Raka. “udah Raka enggak ada gunanya ngeladenin orang kaya Tasya. Mending abaikan udah biasa juga kan dia ngomong gitu. Dan itu enggak berpengaruh sama sekali.” Jelas Ana
Di rumah ibunya membuka warung aneka pisang. Dan siang ini Ana menggantikan ibunya berjualan di warung karena ibunya mendadak sakit. Sesibuk apapun Ana ia masih menyempatkan diri untuk belajar sambil berjualan. Tidak ada rasa malu dalam dirinya karena ia tahu apa yang ia lakukan itu sangat bermanfaat. Malam harinya ia tetap belajar karena Ujian Nasional akan berlangsung lusa. Ia tidak ingin mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran yang diujikan.
Saat ujian berlangsung Ana mengerjakan semua soal dengan tenang. Yang ada di pikirannya hanya lulus dengan nilai yang memuaskan dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan penidikannya. Ternyata mimpi tidak hanya sekedar mimpi ketika kita berusaha mendapatkan dengan diiringi do’a apapun bisa terjadi. Seperti yang terjadi pada Ana pada saat kelulusan semua terjadi lebih dari mimpinya. Ia lulus dengan nilai tertinggi dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di London. Semua terbukti ketika kita mampu melawan rasa gengsi dalam diri. dan logika yang berhasil mengalahkan emosi mampu membantu mewujudkan.
Cerpen Karangan: Ratih Rusmiyati