“Gak ngerti Bahasa Indonesia, ya?”, kata Cia marah kepada Riko yang dari tadi terus saja memaksanya untuk menyolder timah pada papan kerja elektronika mereka. “Ayo dong. Kamu kan pinter. Gampang kok. Gak bakal kena tangan deh. Aku deh pegel nih.”, kata Riko memohon yang dari tadi memegang PCB dan timah. “Aku tuh gak bakat yang kayak gituan. Tapi kalo kamu suruh aku gambar PCB nya, aku bisa deh.”, kata Cia melipat tangannya di depan dada. “Yah… Tapi, kan sekarang gak disuruh gambar PCB, Cia.”, suara Riko mulai meninggi. “Ya, bodo amat lah.”, kata Cia tetap cuek.
Jadilah Riko mengerjakan tugas elektronika tersebut sendirian. Harusnya setiap kelompok beranggotakan 3 orang. Akan tetapi, ketidakhadiran Tiara, membuat Cia dan Riko harus bekerja sama dalam melaksanakan tugas tersebut. Adanya aturan dan tugas bahwa, tugas tersebut harus dikerjakan di jam pelajaran itu juga, menyebabkan Riko bersikukuh untuk menyelesaikan tugas tersebut apapun yang terjadi.
Selesailah tugas tersebut dalam waktu terhitung 15 menit. Selama 15 menit itu pula, Cia mendengar erangan kesakitan Riko, akibat tangannya yang terkena panasnya solder. Tak main-main, panasnya solder tersebut, menimbulkan bekas luka di tangan Riko.
“Riko, nanti laporan kerjanya siapa yang ngerjain?”, tanya Cia. “Yah kamu lah. Enak banget kamu dapat nilai gratisan. Dari tadi kan kamu cuman ngeliatin aku kerja doang. Apa, mau bilang gak bakat lagi?”, kata Riko judes sambil menahan rasa sakitnya. Cia diam. Tak berani menjawab. Takut membuat Riko semakin marah. Cia mengerti itu memang seharusnya menjadi tugasnya. Cia menyesal bertanya pada Riko.
Tak perlu waktu lama bagi Cia untuk menyesal. Sebab, Cia harus segera mengganti seragamnya menjadi pakaian olahraga, ketika bel pergantian pelajaran berbunyi. Sebenarnya, Cia sama sekali tidak memiliki semangat dalam hatinya untuk mengikuti pelajaran olahraga. Aku gak bakat, begitu pikirnya. Cia takut harus dihadapkan pada serangkaian kegiatan seperti lari, lempar lembing, renang, sepak takraw dan voli, yang terbukti mengakibatkan nilai merah di rapornya semeseter yang lalu, dan berakibat gagalnya Cia masuk 3 besar. Satu lagi yang mengerikan dari pelajaran olahraga, kata Cia, gurunya adalah wali kelasnya sendiri. Padahal Cia terbilang jenius dalam menggambar, berhitung dan membuat laporan.
Cukuplah waktu bagi Cia untuk merenungi serangakaian nasibnya itu. Ia harus cepat-cepat sampai di lapangan. Terlambat sampai, bisa semakin memperburuk nilai olahraganya. Benar saja, Cia datang terlambat, yang mengundang tatapan tajam dari Bu Ester, sang wali kelas. Cia segera masuk ke barisan. “Oke… Sudah ada di lapangan semuanya?” Bu Ester tetap mengunci pandangannya pada Cia. “Sudah bu..” jawab semua murid termasuk Cia yang mengalihkan matanya dari pandangan Bu Ester. “Baiklah hari ini kita belajar memanah ke titik hitam pada sasaran di sana.” Bu Ester berkata sambil mengambil busur dan anak panahnya, setelah sebelumnya menunjuk ke arah titik sasaran berjarak 10 meter di kejauhan. “Hari ini kita akan latihan untuk pengambilan nilai ujian praktek minggu depan..” kata Bu Ester lagi. “Bu kalo ada orang yang gak bakat?” kata Riko mengangkat tangan kanannya untuk menyindir Cia. “Siapapun yang gak berhasil memanah di ujian minggu depan, selamat!! gak hanya nilai merah di rapor.. Melainkan juga tidak akan naik kelas..” kata Bu Ester balik menyindir Cia. Semua murid menelan ludah. Memanah bukan perkara mudah. Sedikit saja meleset dari sasar tembak, akan berpengaruh besar pada nilai mereka. Adapun Cia yang mungkin menelan ludah paling banyak, meyakinkan dirinya bahwa ia bisa. Sebenarnya sih kalo gak bakat ya gak bisa, mau digimanain juga, ya hasilnya sama aja, begitu katanya dalam hati.
Latihan memanah dimulai. Sesuai dugaan, Cia lah satu-satunya yang tak bisa berhasil. Cia juga lah yang satu-satunya memulai panahan dengan memegang busurnya miring. Bahkan di kesempatan terakhir, panahnya hanya melesat tipis dari kepala temannya.
Bu Ester menutup latihan memanah.. “Ini adalah laihan memanah pertama dan terakhir yang ibu berikan. Hari ini, sebenarnya ibu hanya ingin mengenalkan kalian, apa itu seni memanah dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Semoga kalian bisa berhasil melaksanakan tantangan yang ibu berikan di minggu depan. Nah untuk PR minggu lalu yang di LKS, bisa kalian berikan sekarang pada Cia.”
Semua murid satu-persatu mengumpulkan LKS nya pada Cia. Ada 39 LKS yang yang terkumpul. Harusnya 40. Hingga Cia tahu seorang murid dan sebuah nama yang belum mengumpul. R I K O. “LKS kamu mana?” tanya Cia Riko hanya diam. “Lho kamu bakat ngumpulin LKS?” “Kok diem. Sadar kan semua gak tergantung bakat?” kata Riko “Yah tapi nyolder kayak tadi itu aku emang gak bakat. Kamu biasa aja dong ngomongnya.” Volume suara Cia mulai meninggi. “Yah terus kalau kamu di pojok jalan, dikelilingi ular besar, kamu mau apa? Berusaha? Emangnya kamu punya bakat ngejinakin ular? Kapan mau berubah?” Riko memberikan bukunya dengan kasar pada Cia, lalu pergi.
Suasana lapangan sejenak sunyi. Cia pun lalu pergi pulang, setelah memberikan semua kumpulan buku pada Bu Ester. Di depan gerbang sekolah, Cia tak sengaja berpapasan dengan Riko yang juga ingin pulang. Cia memberikan senyuman terbaiknya, yang dibalas dengan tatapan muka masam dari Riko. Jelas hati dan pikirannya masih panas. Sepanas solderan timah yang mengenai tangannya akibat “ketidakbakatan” Cia tadi. Lalu Cia pulang ke rumah dengan muka semasam yang tadi juga diberikan Riko, hingga semua berlalu tanpa arti. Hingga hari ke empat, Cia tak sedikit pun melirik busur, anak panah dan kertas yang akan menjadi sasaran, yang waktu itu diberikan Bu Ester agar setiap anak bisa berlatih sendiri di rumah
Cia makan malam seperti biasa dengan keluarganya. Diawali dengan doa, canda, ya semua berjalan seperti biasanya. Tapi malam ini ada sesuatu yang tak seperti biasanya. “Mamil”, panggilan Cia untuk ibunya, menyuruh Cia mencuci piring. Jreeenggg… Jreeennggg… Jreeennnggg… “Mamil… Cia itu gak bakat yang kayak gituan.” kata Cia berusaha menolak “Apaan sih.. Kayak gituan? Emangnya kamu mamil suruh ngapain? Kan cuman MENCUCI PIRING.” Deeerrrr… Karena memang diniati untuk “Tidak Bakat”, dan tidak meniati dirinya untuk melakukan segala sesuatunya, dari 7 piring, 3 gelas, yang dicuci, hanya tinggal 1 piring yang lolos dari kepecahan setelah 5 menit berlalu. 1 piring yang tepatnya belum disentuhnya. Endingnya bisa diduga. Cia mendapat sepatah dua patah dan patahan-patahan kata dari mamil.
Ke luar dari dapur sudah cukup menyebabkan telinga kanan dan kiri Cia panas. Ternyata tak sampai di situ. Setelahnya, Kak Ray, meminta Cia membantunya untuk menulis laporan berdasarkan bahan dan inti pokok yang telah diberikan oleh Kak Ray. Tak perlu waktu dan debatan yang cukup lama, sebab Cia merasa dirinya cukup “Bakat” membuat laporan. Hal itu juga yang membuatnya tak menolak “Perintah” Riko waktu itu.
Cia, kembali ke halaman belakang. Sebuah pohon besar sudah ditempeli kertas sasaran sebenarnya. Sudah sejak hari pertama diberikan tugas tersebut. Halaman belakang cukup luas. Sangat memungkinkan sebenarnya melakukan panahan dengan jarak 6 meter, seperti yang ditentukan. Apalagi, sejak 4 hari yang lalu, cuaca cerah, bintang terlihat begitu terang berserakan di langit biru yang gelap. Dan jam tangan Cia masih menunjukkan pukul 19.30. Sangat meyakinkan untuk memulai latihan itu sekarang.
Cia mengangkat anak panah dan busurnya ogah-ogahan. Sekali tarikan, malah menancap di batang pohon yang lain. Sekali lagi, malah menancap ke udara, alias nyasar. Semakin lama memang semakin dekat ke arah titik tengah. Hingga di percobaan ke-10, anak panah Cia menempatkan ujungnya tepat di titik hitam berwarna tengah. Cia merasa angin yang menggesernya. Hanya sebuah kebetulan. Lagipula di hari ujian dilangsungkan, hanya diberi 3 kali percobaan, bukan 10 kali. Ketika akan membuat percobaan ke-11, Cia mendengar nada dari piano di ruang tengah. Paling juga ayah, pikir Cia. Tapi semakin lama didengar jelas bukan ayah. Nada piano dimainkan satu-satu, dan terkesan berantakan.
Cia segera menaruh anak panah dan busurnya, berlari ke ruang tengah. Sampainya di ruang musik, Cia melihat Kevin belajar piano. “Eh Kak Cia. Ada apa kak?” tanya Kevin melihat kedatangan Cia “Kamu ngapain? Dah izin sama ayah?” tanya Cia balik “Ini kak. Dari sekolah ditugasin harus bisa mainin satu alat musik dan satu lagu dengan alat musik tersebut.” Jelas Kevin tanpa menjelaskan apakah ayah sudah mengizinkannya atau belum. “Tugasnya dikasih kapan? Untuk kapan?” tanya Cia lagi “Dikasihnya tadi untuk minggu depan.” Jawab Kevin. “Kok latihan sekarang? Kan masih lama lagi.” Cia semakin penasaran. “Kak ada peribahasa mengatakan, Don’t wait until tomorrow, what you can do now.” Jelas Kevin lagi “Satu lagi mau kakak tanya. Kenapa milih piano? Kenapa gak pianika aja? Kamu main pianika aja ribetnya luar biasa. Emang mau bawa lagu apa?” tanya Cia bertubi-tubi “Ih kakak udah kepo, kata-katanya menyakitkan jiwa lagi. Aku milih piano karena pianika itu udah terlalu “MAINSTREAM”. Aku kan “EKSTREM”. Aku bukan mau bawa lagu tapi alunan musik “Leau Vive”. Kak, segala sesuatunya kan harus dicoba. Emang kayak Kak Cia, pake istilah “Bakat-Bakatan”?” jawab Kevin “Udahlah pasti kamu gak bisa..” kata Cia “Belum dicoba mana tahu..” kata Kevin balik
Cia kembali ke kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sudah waktunya tidur. Selain itu, hatinya juga sedikit tersenggol dikritik Kevin seperti itu.
1 jam berlalu, Cia tersentak bangun, mendengarkan bunyi alunan piano begitu indah. Cia mendengarkan hingga selesai. Sungguh membuat tenang. Lalu pintunya diketok kasar oleh Kevin.
“Kak bangun. Liat aku main piano. Aku udah bisa.” Kata Kevin dari luar kamar Cia “Iya-iya besok kakak lihat. Kakak udah ngantuk nih.” Jawab Cia dari dalam
Cia sebenarnya berbohong. Cia memang mengantuk. Tapi bukan itu alasan Cia tidak melihat Kevin bermain piano. Cia malu pada dirinya sendiri dan pada Kevin.
Setengah jam berlalu, Cia benar-benar ke luar dari kamar. Bukan untuk melihat Kevin latihan. Sebab Kevin juga sudah tidur. Cia kembali ke halaman belakang.
Suasana sudah semakin gelap menandakan hari sudah semakin larut malam. Cia mengangkat busur dan panahannya dan mulai menarik. Panahannya mengenai titik hitam kertas panahannya. Kali ini Cia yakin bukan sebuah kebetulan. Sekarang Cia tahu tak perlu bakat untuk memanah. Semua berasal dari keinginan terdalam dirinya. Hatinya. Wah… Besok Cia harus bereterimakasih pada Kevin. Pada Riko juga.
Cerpen Karangan: Fanny Yolan Tamba Facebook: Fanny Yolan Tamba Sekolah SMPN 3 Medan